Share

7. Pernikahan Paksa yang menjadi takdir

Adelia merasa terhina oleh kata-kata Afgan. Dia menyadari bahwa Afgan memang memiliki sifat yang dingin dan keras. Namun, dia tidak bisa menahan perasaan kecewa yang muncul dalam dirinya. "Baiklah, aku mengerti," ucapnya dengan nada pahit dan memilih diam.

Adelia melayangkan tatapannya ke punggung Afgan pada saat pria itu sedang memakai kemejanya.

Adelia menatap luka bakar di punggung Afgan dengan kebingungan. Namun, saat dia menatap lebih lama, gambaran tentang gurat aneh di punggung seorang laki-laki yang pernah menyakitinya terlintas begitu saja di benaknya. Rasa takut dan ketidaknyamanan seketika melanda dirinya.

Afgan yang melihat tatapan Adelia dari pantulan cermin di depannya itu merasa terganggu. Dia membentaknya dengan nada tajam, "Apa yang kau lihat? Ini tubuhku dan aku tidak menginginkan pertanyaan apa pun. Jangan bersikap seolah kau memiliki hak atas tubuhku."

"Kau hanya istri di atas kertas, paham!"

Adelia merasa tertegun oleh reaksi Afgan yang tajam. Dia segera mengalihkan pandangannya, merasa malu dan bersalah. Dia menyadari bahwa dia telah melanggar batas privasi Afgan, bahkan jika dia melihat luka itu tanpa bermaksud buruk.

"Aku... aku minta maaf," ucap Adelia dengan suara gemetar, mencoba menahan air matanya. "Aku tidak bermaksud ... untuk melihat."

Afgan menghela nafas dalam-dalam, merasa sebal dengan situasi ini. "Cukup. Kita sudah terlalu dekat. Aku butuh ruang dan privasi. Hentikan usahamu. Kamu pindah ke kamar sebelah atau aku yang akan pindah."

Adelia merasa hatinya hancur mendengar kata-kata kasar Afgan. Dia merasa seperti dia telah menyebabkan rasa sakit pada Afgan, meskipun itu tidak ada hubungannya dengan kejadian saat ini.

"Aku ingin kamu sudah selesai berbenah dari kamar ini saat aku pulang kerja nanti! Kita kurangi saja waktu untuk bertemu kecuali bila orang tuaku datang. Aku harap kamu bisa bekerjasama dengan baik saat itu terjadi!"

"Paham?!" Afgan menatap Adelia dengan tatapan tajam.

Adelia mengangguk pelan dan merasa kesal.

Afgan lalu meninggalkan ruangan dengan hati yang berat, merasa bersalah dan kecewa pada dirinya sendiri sambil merenungkan luka bakar di punggungnya.

"Sial! Aku lupa mempunyai luka sehingga wanita murahan itu melihatnya tanpa sadar!" pekik Afgan dengan kesal sambil menuruni tangga.

Rasa sakit dari luka itu tidak hanya fisik, tetapi juga menggambarkan luka emosional yang dia sembunyikan dalam dirinya. Dia merasa terjebak dalam masa lalunya, dan takut membuka hatinya kepada siapapun, termasuk Adelia.

Seorang pelayan menyapa Afgan tanpa tahu apa-apa.

"Maaf, Tuan. Sarapan Anda dan Nyonya sudah dihidangkan di ruang makan," ucap pelayan dengan hormat membungkukkan tubuhnya.

"Sarapan? Bersama dia? Kalian sudah gila!" Bentak Afgan lalu melangkah kasar menuju ke pintu utama mansion mewah tersebut.

Beberapa pelayan kecil saling memandang, ada di antara mereka saling berbisik.

"Mereka baru menikah semalam dan sekarang Tuan dan Nyonya ..."

Yang lain memandang ke tangga atas dengan prihatin, sementara pelayan satunya lagi menaikkan bahu.

"Sepertinya pernikahannya tidak seperti yang diharapkan mereka," ujar pelayan yang lain.

"Ho-oh."

Sementara di dalam kamar, Adelia mengepalkan tangannya dengan kesal.

Adelia merasa kecewa dan kesal melihat Afgan pergi begitu saja. Dia mengepalkan tangannya dengan keras, mencoba menahan emosinya yang meluap-luap. Kamar itu terasa hampa, dan dia merasa sendirian, dikelilingi oleh keheningan yang menyakitkan.

"Kenapa dia selalu begitu dingin dan sulit didekati?" gumam Adelia dalam hati, merasakan kekecewaannya mengepul di dalam dirinya. Dia mencoba mengatasi perasaan frustasinya, mencari cara untuk mengerti Afgan, tetapi setiap kali dia berusaha, semakin jauh Afgan menjauhinya.

"Bagaimana aku menjalani pernikahan seperti ini?" Air mata mengalir sukses membuat dua garis di pipinya yang mulus tanpa kosmetik.

Dalam keheningan yang melingkupi ruangan, Adelia berbicara pada dirinya sendiri, mencoba meredakan kekecewaan yang menghantui hatinya.

"Mungkin dia merasa jijik atas diriku yang sudah ternoda. Arghh! Mengapa juga aku begitu bodoh dan pria misterius ini bahkan tidak kuketahui siapa!"

"Aku harus memberi kesempatan kepada diriku sendiri! Aku harus kuat!"

Namun, meskipun dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, rasa sakit dan kekecewaan terus menghantuinya. Dia merasa seolah-olah dia tidak dapat menembus tembok emosional yang dibangun oleh Afgan. Namun, di tengah keputusasaannya, dia merasa tekad yang membara di dalam dirinya. Dia tidak akan menyerah begitu saja.

"Mungkin aku harus memberinya waktu," pikir Adelia, mencoba menemukan harapan dalam situasi yang sulit ini.

"Mungkin suatu hari nanti, dia akan mempercayaiku dan membuka hatinya. Aku akan tetap ada di sini, meskipun dia sulit didekati."

"Pernikahan Paksa sudah menjadi takdirku dengannya."

Adelia menghapus air matanya dengan punggung tangan dan menyeka hidungnya.

Dengan tekad yang kuat, meskipun hatinya masih penuh dengan kekecewaan, Adelia memutuskan untuk tetap bertahan. Dia tahu bahwa perjalanan mendekati hati Afgan tidak akan mudah, tetapi dia siap untuk menghadapinya. Dalam diam, dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan menyerah, bahkan jika dia harus menghadapi rintangan yang lebih sulit lagi di masa depan.

Dengan langkah mantap, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan kekecewaan, Adelia meninggalkan kamar dan menuju kamar mandi. Dia memutuskan untuk memulai hari ini dengan membasuh wajahnya dan mencoba melupakan kejadian tadi pagi.

Air mandi yang dingin dari shower menyegarkan tubuhnya, memberinya sedikit kelegaan dari beban emosional yang dia rasakan.

Setelah selesai mandi, Adelia segera berpakaian dan mempersiapkan diri untuk pergi ke tempat kerja. Dia memilih baju yang memberinya rasa percaya diri, meskipun hatinya masih terombang-ambing oleh pertemuan dengan Afgan. Dengan cepat, dia menyisir rambutnya dan menyusunnya dalam gaya yang rapi sebelum mengambil tas kerjanya dan keluar dari rumah.

"Nyonya, Selamat Pagi. Sarapan Anda sudah disediakan di ruang makan," sapa pelayan yang bertugas tadi.

Adelia memandang pelayan tersebut dengan tatapan kosong.

"Aku sudah terlambat, simpan untuk besok pagi saja," jawabnya sambil lalu.

Dari wajah lesu seperti itu, para pelayan sudah bisa menebak bahwa kedua pasangan itu mengalami hal yang tidak menyenangkan dalam kebersamaannya sejak menikah.

"Mereka itu nikah paksa ya?" tanya seorang pelayan kepada yang lain setengah berbisik.

"Hush! Dipecat kamu nanti!"

Para pelayan itu segera menyusun kembali makanan yang tersia-siakan tersebut.

Perjalanan menuju tempat kerja terasa hampa bagi kedua orang itu. Pikiran Adelia masih terhantui oleh pertemuan yang tidka menyenangkan pagi tadi, membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. Namun, dia tahu bahwa dia harus tetap fokus pada pekerjaannya meskipun hatinya sedang bergejolak.

Sementara Afgan, sambil melajukan mobil sport kesayangannya yang berwarna biru, merasa terganggu dengan tatapan yang dilayangkan Adelia ke bagian lukanya tadi.

"Pagi-pagi sudah membuatku kesal!"

"Mengapa dia memandangku selayaknya aku ini cacat!" pekik Afgan lalu memukul kemudinya dengan marah.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Cindy Listiyani Aprilian
ini cerita gak jauh beda sama cerita di sebelah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status