Di tengah kegundahan yang melanda hatinya, Helena pun bisa bernapas lega karena akhirnya ia melihat beberapa dokter keluar dari ruang operasi. Salah satu dokter yang selama ini menangani penyakit ginjal suaminya terlihat berjalan menghampirinya.
“Bagaimana operasinya, Dok? Semuanya berjalan lancar, bukan?” tanya Helena dengan tidak sabaran begitu dokter itu berada di hadapannya.
“Syukurlah pelaksanaan operasinya berjalan lancar. Hanya saja, selama seminggu ini kami masih harus memantau kondisi Pak Harris karena ditakutkan terjadinya komplikasi penolakan oleh metabolisme tubuhnya terhadap ginjal yang baru ditransplantasikan,” jelas dokter tersebut lalu berpamitan untuk kembali ke ruangan kerjanya.
*****
Seminggu berlalu dengan cepatnya dan kondisi kesehatan Harris tampaknya sudah semakin membaik. Setelah dinyatakan tidak ada komplikasi yang terjadi dan ginjal baru yang id dapatkan diterima baik oleh tubuhnya, Harris pun diperbolehkan untuk kembali ke rumah.
Namun, meskipun sudah diberikan izin untuk pulang, Harris belum diperbolehkan untuk melakukan aktivitas fisik yang bisa menguras tenaganya dan diminta untuk beristirahat saja selama 6 minggu ke depan.
“Diminum dulu obatnya, Mas. Setelah itu, Mas harus istirahat lagi,” tutur Helena dengan suara yang begitu lembut sambil menyodorkan obat dan segelas air kepada suaminya.
“Terima kasih sudah menjaga dan merawat saya selama saya sakit, Helena. Maafkan saya karena selama ini saya selalu bersikap dingin dan mengacuhkan kamu juga putra kita. Saya baru sadar setelah sakit, kalau hanya kamu satu-satunya orang yang bersedia ada di sisi saya dengan tulus, tanpa mengeluh dan mengenal lelah.”
Untuk pertama kalinya, Harrison Arthur Wijaya yang selama ini selalu menunjukan sikap dingin dan penuh pengabaian kepada Helena, mengatakan kata-kata penyesalan yang terdengar begitu dalam dan tulus.
“Sudahlah, Mas. Aku bisa memaklumi segala sikap tak hangatmu selama ini karena memang kita menikah atas dasar perjodohan. Jadi wajar saja kalau kamu bersikap begitu dan tak bisa menunjukan rasa cintamu kepadaku, Mas,” sahut Helena.
Helena menatap dalam mata Harris yang kini tampak melunak dan tak terlihat dingin seperti dulu lagi ketika beradu pandang dengannya. Sepertinya, ia akan melihat adanya perubahan baik dari suaminya.
Helena berharap dengan adanya perubahan dari diri Harris, bisa membuat terbalasnya rasa cinta yang ia miliki selama lebih dari 23 tahun ini kepada suaminya itu.
“Mulai sekarang saya akan mencoba untuk mengubah sikap saya padamu dan Tian, Hel. Saya ingin bisa menebus kesalahan saya dan membalas pengabdianmu yang penuh kebaikan selama ini dengan belajar untuk mencintaimu.”
“Terima kasih, Mas. Aku sungguh terharu mendengar perkataan yang baru kali terdengar manis di telingaku, Mas,” ujar Helena sambil memberikan pelukan kepada Harris dengan mata yang berkaca-kaca.”
Harris pun untuk kali pertama membalas pelukan Helena. Lalu tak lama ia berkata, “Hel, bisakah kau panggilan keluarga Meira untuk datang kemari. Aku ingin mengucapkan terima kasih secara langsung kepada mereka.”
“Baiklah, Mas. Akan kukabari Maya dan menyuruh supir untuk menjemput mereka kemari,” jawab Maya yang langsung bergegas ke mengambil ponselnya dan menghubngin Maya untuk datang kemari.
Tiga puluh menit berlalu, Maya dan Hartanto datang ke rumah Helena dengan membawa bingkisan kecil. Sekalian menengok Harris yang baru keluar dari rumah sakit pikir mereka.
“Padahal enggak perlu repot-repot membawa bingkisan segala, May. Tapi, terima kasih untuk pemberiannya,” ucap Helena ketika menerima bingkisan yang diserahkan Maya kepadanya dan meminta pembantunya untuk menaruh bingkisan itu di dapur.
“Bagaimana mungkin keluargaku datang kemari, tapi tidak membawa apa pun, Len. Sedangkan selama ini saja kamu selalu membawakan banyak buah tangan setiap kamu mampir ke rumah kami,” sanggah Maya.
“Ya sudah, kalau begitu ayo kita ke atas,” ajak Helena mengantar Maya dan Hartanto untuk menemui suaminya di lantai atas.
Meira sendiri tidak bisa ikut kemari karena masih harus menghabiskan banyak waktu untuk beristirahat. Sama halnya dengan Harris, Meria juga diharuskan untuk banyak istirahat dan tidak boleh melakukan aktivitas berat. Sehingga Helena sengaja menyuruh Maya dan Hartanto untuk datang berdua saja dan tak perlu mengajak Meira.
“Saya sungguh ingin berterima kasih atas kebaikan Meira yang mau mendonorkan salah satu ginjalnya kepadanya saya. Berkat ginjal Meira, saya bisa pulih kembali seperti ini. Oleh karena itu, izinkan saya untuk memberikan kalian cek ini dan mengabulkan apa pun permintaan kalian berdua sebagai balas budi atas pertolongan Meira.”
Begitu lah kata-kata yang meluncur dari mulut Harris saat melihat Hartanto dan Maya yang merupakan orang tua Meira duduk di hadapannya. Ia juga menyerahkan sebuah cek berisi uang 500 juta.
“Tidak usah repot-repot, Pak Harris. Selama ini, saya sekeluarga sudah cukup banyak mendapatkan bantuan dari Pak Harris, jadi kami tidak bisa meminta permintaan apa pun. Anggap saja kebaikan Meira sebagai balasan atas kebaikan Pak Harris sekeluarga kepada kami,” tolak Hartanto.
Selama ini, keluarganya sudah cukup banyak menerima bantuan kebaikan dari Helena dan Harris. Oleh karena itu, ia yang masih mempunyai harga diri tak bisa menerima cek dari Harris dan tak akan sanggup meminta apa pun kepada Harrison.
Dari gelagat keluarga Gunawan, Harris menyadari sepertinya mereka bukan keluarga yang gila harta dan tidak akan pernah meminta apa pun padanya meski ia memaksa. Tetapi, tetap saja dengan harga dirinya yang tinggi, Harris tidak bisa merasakan punya hutang budi tanpa membayarnya.
“Kalau kalian memang tidak bisa menerima cek dari saya, setidaknya saya mohon kepada kalian mintalah sesuatu. Saya benar-benar tidak bisa hidup dengan tenang, sebelum membalas kebaikan yang orang lakukan kepada saya,” mohon Harris dengan tangan bersedekap di depan wajahnya.
Merasa tak enak melihat Harris yang memohon sampai sedemikian rupanya, membuat Maya dan Hartanto saling berbisik untuk mendiskusikan hal yang sepertinya mau tak mau harus mereka minta dari Harris.
“Baiklah, karena Pa Harris memaksa, maka hanya ada satu saja permintaan saya. Hal ini berkaitan dengan Meira yang tinggal mempunyai satu ginjal. Saya takut tidak ada lelaki yang mau menikahi Meira karena menggap Meira cacat sebab tahu putri saya hidup hanya dengan satu ginjal saja. Oleh karena itu, kalau Pak Harris tidak keberatan, bagaimana kalau saya ingin Meira dinikahkan dengan putra Bapak?”
“Tentu saja saya tidak keberatan, justru saya malah merasa senang. Dari kecil Meira sering main kemari dan saya perhatikan kalau Meira merupakan gadis yang baik. Saya rasa anak baik seperti Meira akan cocok mendampingi Tian. Dengan ini, saya berjanji akan memenuhi permintaan kalian dengan menikahkan Tian dan Meira.”
“Aku perhatikan hampir tiap hari mukamu pucat dan matamu sembab. Kamu enggak mau berhenti kerja atau mengajukan cuti dulu, Ra? Aku yakin Pak Rama pasti kasih izin. Bukan apa, aku cuma khawatir saja sama kamu dan kandungan kamu,” ucap Rea.Kerutan di beberapa bagian wajah Rea seolah mencerminkan betapa tingginya kecemasan yang ia miliki kepada sahabatnya.Sebagai seorang sahabat, bagaimana mungkin ia tak buncah kalau hampir setiap hari disuguhi pemandangan wajah lesu dari sahabatnya yang ia ketahui sedang hamil.Meira tersenyum sebelum merespon ucapan sahabatnya. “Terima kasih kamu sudah mengkhawatirkan aku, Re. Tapi, aku masih kuat untuk bekerja. Lagian kehamilan aku masih kecil. Nanti saja kalau sudah membesar, baru aku akan mengajukan izin cuti.”Memang benar apa yang dikatakan oleh Rea, tetapi Meira tak bisa berhenti karena kalau hanya diam saja di rumah, ia takut akan perasaannya sendiri.Menghabiskan setengah waktunya di rumah dan juga secara penuh di rumah saja saat hari libur,
“Sialan!” Tian melemparkan tinjuan sekonyong-konyongnya ke samsak yang ada di depannya.Amarah Tian seperti sudah di ubun-ubun, saat mengetahui kalau Meira benar-benar hamil sesuai dugaannya dan wanita itu sama sekali tetap kekeh tak mau mengkonsumsi peluruh kandungan yang ia berikan.Semua ini bermula karena ulah Mamanya. Seandainya saja Mamanya tak memberikan seafood padanya. Juga Tak mencampurkan apapun di makanan dan minuman yang diberikan padanya dan Meira, ia dan Meira tak mungkin tidur bersama, lalu wanita itu tak akan hamil seperti sekarang.Oleh karena itu, meski dua bulan telah berlalu, Tian kian menunjukkan sikap dingin dan makin acuh tak acuh pada Meira.Salahnya sendiri menolak permintaannya untuk mengkonsumsi pil yang ia belikan. Jadi, wajar saja Tian makin mudah kesal pada Meira karena kesalahan wanita itu yang tak mau menuruti kehendaknya untuk meminum pil peluruh kandungan, sehingga positif hamil begini.Di tengah kondisinya yang sedang berbadan dua, Meira tampak kewa
“Minum lah pil ini! Saya belikan untukmu supaya bisa langsung meluruhkan yang ada di perutmu, seandainya yang tidak sengaja kita lakukan 3 hari lalu membuahkan hasil.” Alis Meira berkerut. Apa kah yang Tian maksud yaitu kejadian saat mereka tidak sengaja tidur bersama sewaktu bulan madu yang berakhir sehari lalu? Ah … kenapa otaknya lemot sekali. Tentu saja yang Tian maksud memang kejadian malam itu. Lagi pula kapan lagi mereka pernah berhubungan selain malam itu? Dalam keadaan sadar, mana sudi Tian menyentuhnya, meski mereka telah sah sebagai suami istri. Bulan madu mereka pun rasanya hambar. Tian memilih tidur di sofa setelah kejadian malam itu. Hari terakhir bulan madu mereka pun hanya dihabiskan dengan Tian yang sibuk bekerja dan Meira yang hanya bisa menyibukan diri dengan deretan ebook di kindle-nya. Kendati demikian, kenapa pula Tian sampai terpikirkan membelikan pil ini untuknya? Tidak mau kah Tian punya anak dari wanita biasa seperti Meira? Bukan kah di luaran sana, rat
“Jangan mendekat!” larang Tian pada Meira yang ia lirik dari sudut matanya akan mendekat ke arahnya sambil menenteng kotak P3K.“Tapi luka kamu harus segera diobati. Nanti bisa infeksi kalau dibiarkan terlalu lama, Tian.”Meira tak memperdulikan larangan Tian dan terus melanjutkan langkahnya menuju tempat Tian sedang berdiri.Masa bodo kalau lelaki itu akan memarahi dan mengomelinya karena tak menuruti perintahnya. Intinya, Meira sudah sangat khawatir setengah mati karena memperhatikan kian derasnya darah yang mengalir dari tangan Tian. Seolah darah itu adalah air terjun yang tak mau berhenti berambai-ambai.“Saya bisa mengobati tangan saya sendiri! Lebih baik kamu menjauh saja. Saya enggak nyaman ada orang lain saat saya tidak mengenakan pakaian!” hardik Tian menarik dengan kasar tangannya yang akan diobati oleh Meira. “Apa sih masalahnya? Aku istri kamu, jadi wajar saja kalau aku melihat kamu dalam kondisi kayak gini. Lagian aku cuma mau mengobati luka kamu supaya enggak infeksi!”
Sensasi pusing tidak kepalang terasa menyergapi kepala Meira begitu ia membuka mata. Dikerjapkan matanya berkali-kali, sebelum ia menyadari bahwa kepalanya menempel di permukaan yang terasa keras, bidang, dan lapang. Siapa yang menyangka ternyata kepala Meira menempel di dada telanjang Tian. Menyadari hal itu, ia langsung menjauh kan kepalanya karena tak ingin Tian marah-marah kalau tahu kepalanya menempel di dada lelaki itu.Untuk sesaat, Meira belum menyadari apa yang terjadi antara ia dan Tian. Tetapi, sewaktu melihat area sekitar pundak dan atas dadanya terbuka, Meira tak bisa menahan tangannya untuk tak menyingkap selimut yang membungkus tubuhnya dan Tian.“Jangan-jangan semalam aku sama Tian sudah melakukan itu!” batin Meira merapatkan selimut yang membungkus tubuh polosnya ini sampai menutupi dagunya.Seketika pikirannya berkelana pada ingatan semalam. Adegan demi adegan semalam samar-samar mulai menerobos dalam kepalanya.Dimulai dari kepalanya yang terasa pusing dan tubuhny
“Bisa mati bosan kalau saya kebanyakan makan seafood ini, Ma! Saya mau pesan menu lain juga!” lontar Rafka mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan dan memesan makanan lain.Namun, belum sepenuhnya terangkat, tangannya sudah diturunkan paksa oleh Mamanya dengan menepuk kencang tangannya.“Jangan mengada-ada, Tian! Kalau kamu memesan menu lain, lantas siapa yang menghabiskan seafood sebanyak ini? Kamu mau kolesterol Mama dan Papa naik? Tega kah kamu kalau sampai perut Meira kembung kalau menyantap sendiri semua makanan ini?” Helaan nafas pasrah terdengar jelas dari bibir Tian. Ingin mengeluarkan bantahan, tetapi ia tidak ingin menjadi pusat perhatian karena Mamanya pasti bertambah garang kalau ia kembali menyanggah.Akhirnya disingkirkannya tiram di hadapannya dan diganti dengan ikan saja. Sepertinya kandungan ikan untuk menambah gairah seksual tak seganas tiram segar kegemarannya itu.Ah … Kalau saja ia berbulan madu dengan wanita yang ia cintai. Ia tidak perlu tersiksa seperti i