“Mboten, Gus. Saya malah senang.” Saat menjawab demikian, Arisha melirik ke arah uminya. Umi Anis langsung menggelengkan kepala sambil netranya melotot. Sebuah kode agar Arisha menyatakan keberatan.
“Iya, kalo tanya Arisha jelas dia tidak keberatan, Gus. Wong dia memang suka sama anak-anak, tapi kami ini loh Gus yang masih belum siap. Paling lama dua minggu lagi lah, insyaallah. Biar kami siap dulu, inggih, Bah?” Kini Umi Anis ganti menatap suaminya, meminta persetujuan.
Kiai Salman manggut-manggut. Kakeknya Keisha itu sudah mendapat penjelasan dari Umi Anis jika Arisha dan Akhtar belum melakoni kewajiban suami istri semestinya. Makanya, Umi Anis ingin pengantin baru itu bisa bersama tanpa gangguan tangisan Keisha. Jadilah dibuat alasan yang mengada-ada ini dan Kiai Salman menyepakati.
“Hm … kalo begitu jangan dua minggu Umi, terlalu lama. Nanti pas jadwalnya Arisha ngajar tafsir di sini, sekalian Keisha kami ajak.” Akhtar mengambil jalan tengah. Ia juga sungkan jika tidak mengabulkan permintaan mertuanya itu.
“Inggih, Gus. Bismillah, kami sudah siap melepas Keisha saat kalian ke sini nanti.” Umi Anis lalu melirik ke arah Arisha. Wanita berkerudung abu-abu itu sudah membuat ketentuan, tak akan menyerahkan Keisha sebelum Arisha mandi junub.
🍂🍂🍂
Matahari dalam posisi paling terik di cakrawala saat rombongan keluarga Arisha meninggalkan rumah Akhtar. Salah satu santri yang diajak dalam rombongan itu menangis, “Ning, Sabtu minggu depan tetap mengajar kami, ‘kan?” tanyanya mengiba.
“Insyaallah, sudah jangan nangis. Doakan saja saya sehat biar bisa rutin ke Riyadus Sholihin.”
Santri itu pun berlalu. Kini giliran Umi Anis yang berpamitan dengan anaknya yang masih gadis. “Ning, jangan lupa pesan umi,” bisiknya di telinga kanan Arisha. Arisha menanggapinya dengan senyuman.
Terakhir, Kiai Salman. Hanya beliau yang paham bahwa Arisha punya niatan menggagalkan Akhtar mencalonkan diri sebagai wakil bupati. Umi Anis saja tidak diberi tahu agar tidak menjadi beban pikiran.
“Kamu boleh punya pandangan lain, Ning. Tapi biar bagaimana, suami itu pemimpin. Kamu tidak bisa memaksakan kehendak. Dan jangan sampai jika Gus Akhtar tidak sepakat dengan pemikiranmu, lantas kamu enggan melayaninya. Tolong bedakan dua perkara itu.”
Pada hakikatnya pesan Kiai Salman dan Umi Anis kepada putrinya sama. Hanya redaksinya saja yang berbeda. Mereka berharap Arisha menjadi istri yang taat kepada suaminya.
Dengan melambaikan tangan, Arisha melepas kepergian rombongan keluarganya. Lalu ia membalikkan badan menuju koper ukuran sedang yang masih tergeletak di ruang tengah. Ia tidak membawa banyak barang, baju pun hanya empat set gamis dan beberapa potong pakaian rumahan. Selebihnya kotak seserahan yang masih utuh dalam berbagai bentuk hiasan, termasuk maharnya berupa 10 dinar. Angka yang membuat Arisha cukup terbelalak, baginya itu cukup banyak. Satu dinar kadarnya 4,25 gram emas. Jika dikurskan ke rupiah, 10 dinar itu kisaran 35 juta. Arisha tidak mematok maharnya, tetapi menyerahkan kepada Akhtar. Arisha ingin menjadi wanita yang tidak memberatkan calon suaminya dengan mahar yang tinggi. Meski akhirnya ia mendapatkan mahar cukup tinggi untuk ukuran kebiasaan di masyarakat Jawa.
“Ahlan wasahlan zauji,” sapa Akhtar mengucapakan selamat datang kepada istrinya. Arisha tersenyum melihat tingkah Akhtar yang berlebihan. Lelaki itu membuka lebar tangan kanannya, mempersilakan Arisha lewat layaknya petugas di bagian front office hotel mewah.
Sejak kesalahan di malam pertama yang ia lakukan karena masih belum dapat melupakan bayangan Hasna, Akhtar berjanji akan menebus semuanya dengan memperlakukan Arisha bak putri. Sehingga perempuan yang telah berkorban bersedia dijodohkan dengan dirinya itu tak akan pernah menyesal. Senyum Akhtar mengembang begitu langkah awalnya mendapat respon yang positif dari Arisha, istrinya itu tersipu.
Mereka melewati sebuah kamar dan Akhtar membukakan kamar nomor dua tetapi dengan ukuran yang sama besar dengan kamar sebelumnya. “Ini kamar kita,” ucap Akhtar setelah membukakan pintu. Kata ‘kita’ yang dipilih Akhtar untuk menyebut kepemilikan kamar itu menggambarkan keintiman. Yang maknanya tentu berbeda dengan ini kamarmu.
“Kalo di depan tadi kamarnya siapa, Gus?” tanya Arisha penasaran.
“Bukan milik siapa-siapa, hanya saja di dalamnya masih ada barang-barangnya Hasna. Aku ingin memberimu kamar baru, sehingga tak perlu membayangkan Hasna pernah menghuninya.” Pernyataan Akhtar barusan, jika mau jujur, sebenarnya lebih untuk menjaga kewarasannya sendiri. Ia tak ingin terus dalam bayang-bayanag Hasna. Bukannya ingin melupakan, ia hanya ingin memuliakan wanita yang kini menjadi tanggung jawabnya.
Ukuran kamar pertama dengan kedua sama, 20 meter persegi. Namun desain interiornya dibuat berbeda oleh Akhtar. Seminggu yang lalu ia memanggil mebel langganannya untuk menggarap furniture baru dengan cepat. Sebab awalnya kamar ini tidak banyak perabot karena diperuntukkan kamar tamu. Alhasil, kemarin semuanya baru selesai dikerjakan. Samar, aroma kayu jati yang dilapisi plitur masih tercium.
Sekali lagi Arisha menarik bibirnya. Bisa saja Akhtar melakukan ini untuk kepentingannya sendiri agar tidak teringat Hasna, tetapi ini langkah positif yang patut dihargai. Sebab itu berarti Akhtar juga memperhatikan perasaan Arisha. Terlebih, gadis itu cukup sering mendapatkan barang bekas milik kakaknya. Hingga menjadi cukup sensitif kala jiwanya sedang sentimentil.
“Apakah kamu suka?” tanya Akhtar memastikan. Meski pria itu sudah melihat rona bahagia pada wajah istrinya.
“Inggih, Gus. Kamar yang cantik.” Arisha lalu bergerak menuju jendela. Gadis itu membuka gorden dan daun jendelanya.
“Untuk lemarinya masih kosong, sempat terpikir mengisinya sendiri tapi aku khawatir nanti pilihanku kurang tepat.” Akhtar membuka lemari sambil mengecek kuncinya tidak ada yang macet.
“Ini sudah cukup, Gus. Saya bukan tipe perempuan yang terlalu menggilai fashion. Bahkan gamis saya hanya empat set sekarang.” Arisha pandangannya masih terkunci pad ataman mini di luar jendela. Taman dengan konsep tropis itu ditumbuhi mawar tanah yang sedang bermekaran. Ada warna merah, pink, orange, kuning, dan putih. Warna mawar tanah yang lengkap.
“Makanya kamu memakai gamisnya Hasna saat itu?” Akhtar teringat kala mereka pertama kali bertemu.
“Betul, Gus.” Saat itu, Arisha baru sehari menginjakkan kaki di rumahnya. Ia masih malas membongkar isi koper yang kebanyakan berisi buku dan kitab-kitab tafsir. Makanya ia mencomot bajunya Hasna. Mungkin karena pengaruh baju yang masih menyimpan aroma ibunya, Keisha saat itu langsung merasa nyaman saat digendong Arisha.
“Hasna …” sebuah suara baritone memanggil dari arah pagar. Saat itu Arisha berdiri di teras sambil menggendong Keisha. Pengantin baru itu kembali mengingat momen pertama kali mereka berjumpa.
Saat melihat Arisha pertama kali, Akhtar merasa sosok inilah yang tepat untuk menggantikan Hasna. Bukan karena parasnya yang mirip, tetapi kenyamanan Keisha dalam gendongan Arisha. Hanya saja, pria itu ragu. Maukah wanita dengan gelar Licence (Lc) itu menerima pinangannya? Maka, keinginan itu ia pendam sampai akhirnya Kiai Mansur menyuruh Akhtar untuk segera menikah dan menyodorkan beberapa pilihan gadis yang sudah masuk dalam daftar tunggu.
“Gus, boleh saya tahu alasan Panjenengan mau mencalonkan diri sebagai wakil bupati?” Arisha masih berdiri di ambang jendela. Hanya saja kerudung yang tadi menutup auratnya kini tersampir di bibir ranjang. Arisha mengibaskan rambutnya. Ia hanya bermaksud mendapatkan kesejukan dari angin yang bertiup dari luar jendela.
Namun, gerakannya itu menunjukkan ada keangkuhan dalam diri perempuan itu, sebuah energi, tantangan mengenai wawasannya, yang menyebabkan respon kebutuhan asing dalam diri Akhtar. Akhtar mengernyitkan kening, tidak menyukai reaksi dirinya. Ia tidak benar-benar memahami dirinya.
.
.
(Bersambung)
“Mas Akhtar!” seru Arisha dengan mulut menganga. “A-aku enggak mimpi, ‘kan?” tanyanya hampir tercekat. Melihat sosok yang berada di hadapannya menggelengkan kepala, netra wanita yang telah menanggung rindu belasan bulan itu basah.Lelaki yang membuatnya terpanah kini merentangkan kedua tangan sambil bergerak pelan mendekatinya. “Assalamu’alaikum, aku pulang, Sayang.” Sapaan Akhtar terasa lembut menyapu daun telinga Arisha. Tubuh wanita itu masih kaku saat Akhtar merengkuhnya erat. Arisha hanya mampu menyandarkan kepala pada dada bidang di hadapannya. Seketika kemeja Akhtar basah terkena lelehan air mata sang istri. Lelaki itu mengangkat wajah Arisha dan mengusap air mata yang bercucuran dengan jempolnya meski percuma. Sebab buliran bening itu terus menganak sungai.“Pan-Panjenengan sudah bebas?” tanya Arisha terbata beserta raut tak percaya.Akhtar mengangguk pelan.“Bu-bukannya masih sebulan lagi?”Akhtar menggeleng. “Apakah kamu ingin sebulan lagi aku baru bebas?” tantangnya. Ari
Angin berhenti berembus. Menjadikan kulit terasa lembab, basah oleh keringat. Di ruang tamu bercat krem itu, Kiai Salman dan Kiai Mansur sedang bercakap. Perkembangan pondok pesantren menjadi topik utama perbincangan. Kemudian, obrolan mereka mengarah pada kasus yang menimpa Akhtar. “Kita sama-sama menduga kuat, jika pihak yang menjebak Akhtar ini adalah lawan politiknya, San. Hanya saja saya tak habis pikir, kenapa mereka sejahat itu?” ucap Kiai Salman dengan pandangan menerawang lalu kembali menatap besannya. Lelaki yang tidak mau terlibat aksi mendukung secara langsung siapa pun calon penguasa dalam masa pemilu itu sudah paham jika beberapa orang akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Baru sekarang ia merasakan langsung dampaknya kala menantunya dijebak. Hingga menyebabkan putrinya menanggung pilu. Maka, begitu Arisha mengabari bahwa ia hamil, Kiai Salman dan Umi Anis bergegas datang. Mereka hendak mengajak Arisha tinggal bersama.“Saya masih kontak dengan Kiai Yass
Akhtar menatap kepergian Arisha dari balik kaca. Pria itu menyimpan senyum bercampur lara yang tersungging dari bibir istrinya. Meski berusaha tegar, Akhtar paham wajah wanita itu tampak rapuh. Walau auranya tetap setenang cahaya bulan di permukaan danau.Saat punggung istrinya hilang ditelan belokan koridor, Akhtar membalikkan badan dan menuju ke kamar tahanan. Ia teringat semangat yang digulirkan Arisha. Bakda Subuh itu, kabar hasil penghitungan suara dari tim pemenangan sudah dikirim, Yassir-Akhtar dinyatakan kalah.“Panjenengan tetap jadi orang penting meski mboten jadi wakil bupati, Mas,” bisik Arisha lembut. Ia mengatakannya sambil meletakkan tangan di pipi Akhtar.Kepala lelaki itu berada di pangkuan istrinya. Jari lentik Arisha menelusuri cambang tipis perlahan. Belaian ringan itu menimbulkan hangat dan kini membuat kepala Akhtar berdenyut-denyut nyeri kala mengingatnya. Yang Arisha bisikkan terasa sangat intim melebihi sentuhan di pipi.Begitu mendengar kabar kekalahannya, se
“Kalo kamu pingin nginep di rumah abah dan umikmu enggak apa-apa, Ning.” Umi Hanum memberi saran. Ia tidak tega melihat menantunya itu tinggal di rumah sendirian. Meski sejak Akhtar ditahan, Umi Hanum menjadwalkan dua orang santri putri tidur di kamar tamu menemani Arisha saat malam. “Mboten Umik, saya di sini saja,” jawab Arisha pelan.Bukannya tanpa maksud. Ada alasan tersendiri kenapa Arisha bersikeras tetap tinggal di rumah yang disediakan Akhtar untuknya. Sebab di sana ia bisa merasakan kehadiran suaminya dalam tiap sudutnya. Bahkan baju koko dan sarung yang terakhir Akhtar pakai, hingga kini tidak ia cuci. Sarung dan baju koko itu ia peluk setiap malam. Aroma Akhtar yang tertinggal, memberinya ketenangan. “Sudah saya cuci, Umik.” Arisha menyerahkan bunga kates gantung dalam wadah. Ia saat ini sedang di dapur, turut belajar memasak. Khususnya menu kesukaan Akhtar.Arisha berpikir keras apa yang bisa ia lakukan untuk suaminya yang sedang berada di penjara. Kiranya mereka dapat t
Rasa aman menyelimuti diri Akhtar. Sebab hingga bakda Isya tidak ada kabar yang menetapkannya sebagai buronan. Semua pintu dan jendela sudah ditutup, begitu pun gordennya.Mereka sudah beringsut di balik selimut. Arisha bercerita jika ia tadi siang hampir menyebutkan identitas dirinya kepada petugas kepolisian. Untungnya Umi Hanum mencegah, sehingga ia tidak perlu berurusan dengan aparat berbaju cokelat. “Panjenengan tadi sempat memberi orasi, Mas?” tanya Arisha sambil menarik selimut hingga menutupi lehernya. Hawa kian dingin setelah hujan mengguyur. Bahkan rintiknya sekarang masih terdengar berdenting di atas genting.Akhtar menggeleng, tetapi pandangannya masih menyiratkan kekhawatiran.“Alhamdulillah, berarti tidak ada yang tahu ‘kan, Mas, kalo Panjenengan di sana?”“Entahlah.” Lelaki itu kembali menggeleng. “Saat mendengar ledakan pertama kali itu, aku spontan berteriak mendekat ke orang-orang yang berusaha melempari mobil, Dik. Aku menghalau mereka agar menghentikan aksi anarki
“Mohon maaf dengan Ibu siapa? Bisa disebutkan nama suaminya?”Arisha hampir saja menyebutkan identitasnya, namun terhenti begitu lengannya ditarik. “Suaminya sudah pulang, Pak,” ucap Umi Hanum kepada petugas berseragam cokelat.Tanpa banyak bicara Umi Hanum mengeratkan genggamannya di pergelangan tangan Arisha dan berjalan cepat menghindari kerumunan. Petugas itu melihat dengan tatapan yang sulit diartikan.“Umik, benar Mas Akhtar sudah pulang?” tanya Arisha dengan napas ngos-ngosan. Ia menyamai langkah Umi Hanum yang berjalan cepat.“Gus Akhtar barusan telepon dan meminta kita segera pergi dari sini, Ning. Nanti dia akan menghubungi lagi.” Arisha masih belum paham apa yang sebenarnya terjadi. Namun, mengetahui suaminya masih hidup sudah membuatnya bersyukur. Kondisi halaman gedung DPRD yang porak-poranda cukup menggambarkan betapa kisruh demonstrasi beberapa jam yang lalu. Apalagi ia sempat mendengar pertanyaan wartawan tentang kemungkinan adanya korban jiwa. “Jadi sekarang Mas Akh