“Sudah. Tangan Arisha dicium, Mik,” sahut Arisha sambil ketawa. Ia ingin mengerjai uminya yang terlalu serius.
“Ih, Ning, jangan bercanda, lah. Umi serius ini. Jadi kalian belum ehem … ehem ….?”
Arisha menggeleng masih dengan tawanya. Hingga gigi-giginya yang putih tampak. Ia benar-benar merasa lucu melihat ekspresi wanita yang sudah dianggapnya sebagai sahabat itu. Karena kepedulian Umi Anis pada hal-hal sepele hingga urusan perasaannya, selalu ditanyakan.
“Kenapa … kenapa … ada masalah apa? Sini cerita sama umik.” Umi Anis menggeret tangan Arisha dan mengarahkannya duduk di kursi meja makan.
“Ih, Umik apa-apa an, sih!” sahut Arisha malu-malu.
“Apa kamu yang menolak ajakan Gus Akhtar, Ning?”
Arisha menggeleng.
“Ah, umi enggak percaya. Pasti kamu yang masih enggan, ‘kan?”
“Bukan begitu, Umi. Kami ini ‘kan baru kenal, jadi ya butuh penyesuaian. Mana bisa langsung ehem … ehem … gitu.” Arisha mengikuti istilah yang digunakan uminya.
Umi Anis menyeret kursinya agar lebih dekat dengan Arisha. “Dengerin umi, ya, Ning. Abah sama umi dulu juga dijodohkan. Belum kenal juga sebelumnya. Tapi, pas malam pertama langsung tancap gas,” jelas Umi Anis bersemangat. “Apalagi, Gus Akhtar itu sudah pernah merasakan gituan. Lelaki kalo sudah pernah ehem … ehem … bakal nagih, Ning.”
“Ah, Umi ini bisa aja.”
“Tuh, ‘kan dibilangin orang tua enggak percaya. Kamu ingat enggak dua minggu lalu umik ajak datang ke nikahannya Kiai Wahid?”
Arisha mengangguk.
“Kamu tahu berapa usia beliau?” tanya Umi Anis sambil melotot. Sementara Arisha menjawab dengan geleng kepala.
“Enam puluh lima tahun, Ning. Sudah kakek-kakek, cucunya sudah delapan. Tapi baru ditinggal wafat istrinya, sama kayak Hasna, kena covid. Malah lebih dulu Kiai Wahid nikahnya daripada Gus Akhtar. Ning paham enggak itu artinya apa?”
Arisha mencoba untuk mencerna analog yang diberikan uminya. Ia mulai menangkap, tetapi tidak mau bersuara.
“Itu artinya, lelaki itu tidak bisa tanpa wanita lama-lama, Ning. Yang sudah kakek-kakek saja masih ngebet nikah, apalagi Gus Akhtar yang usianya masih 28 tahun. Itu kuat-kuatnya laki-laki, Ning. Jadi, kamu enggak usah kemakan omongan orang kalo Gus Akhtar itu nikahin kamu demi dapat dukungan suara di Pilkada nanti. Jangan ditelan omongan itu. Yang bener, Gus Akhtar mau nikah lagi, karena dia masih normal sebagai laki-laki, Ning,” jelas Umi Anis menggebu-gebu.
“Iya, iya, Umi. Arisha ngerti.”
“Bagus, kalo kamu sudah mulai ngerti. Umi hanya khawatir, Ning. Kamu ‘kan masih polos soal ini, belum punya pengalaman. Apalagi kalian dijodohkan. Umi hanya khawatir kamu belum ikhlas, jadinya enggak mau menjalankan tugas. Paham ‘kan tugas utama istri?”
Arisha memonyongkan mulut. Uminya terlalu underestimate dengan kemampuannya memahami masalah fikih mendasar semacam kewajiban istri.
“Jadilah engkau seakan-akan budak perempuan bagi Gus Akhtar, Ning. Insyaallah, Gus Akhtar juga seakan-akaan jadi budak laki-laki bagimu, Ning.”
Arisha langsung berpikir, budak, berarti akan menuruti semua keinginannya. Apakah ini jalan yang ia tempuh untuk mengubah pola pikir Akhtar agar membatalkan diri mencalonkan sebagai wakil bupati? Ia hanya punya waktu kurang dari dua pekan dari sekarang. Sebelum pengumumam calon kotentas Pilkada disampaikan secara resmi oleh KPU nantinya.
Lalu Umi Anis mulai memberi ceramah kepada putrinya yang dianggap masih seperti anak kecil itu. Ia membahas bahwasanya tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan. Maka, setiap kali seorang istri menambah pelayanan terhadap suami, niscaya suami akan merespon kebaikan istrinya dengan kebaikan pula. Hal itu selaras dengan fitrah jiwa seseorang, bahwa ia akan jatuh cinta kepada siapa yang berbuat baik kepadanya.
“Jagi kamu yang agresif ya, Ning. Jangan berdiam diri. Goda Gus Akhtar. Binal di depan suami itu berpahala. Ingat, Gus Akhtar sekarang itu suamimu, bukan kakak iparmu lagi. Jadi kamu jangan sungkan. Kamu harus merasa bangga loh dipilih Gus Akhtar. Karena umi dengar, enggak sedikit orang yang menawarkan putrinya untuk menggantikan posisi Hasna. Makanya umi langsung memintamu menerima tawaran Kiai Mansur. Selama tiga tahun jadi menantu, perangainya sangat baik, Ning. Percayalah, umi enggak salah pilih.”
“Iya, Umi iya, doakan Arisha bisa jadi istri yang baik. Eh salah, jadi budak perempuan,” sahut Arisha sambil tertawa. Arisha memang cukup humoris bila dibandingkan dengan Hasna. Meski demikian, bukan berarti ia gadis slengekan. Justru ia sangat teguh memegang prinsip. Termasuk tentang sistem politik saat ini yang dinilainya belum cocok jika seorang Kiai atau ulama yang menjalankan.
Arisha masih terus berpikir, wasilah apa yang akan ia gunakan untuk menyampaikan pemikirannya kepada Akhtar. Lalu ia kembali ingat nasihat uminya tadi, jadilah budak perempuan buat suamimu, maka ia kan menjadi budak laki-laki untukmu. “Umi memang jos gandos!” seru Arisha.
“Umik … masaknya jangan lama-lama. Jam delapan kita harus sudah berangkat ke rumah Gus Akhtar!” seru Kiai Salman yang kebetulan melintas di dapur. Apalagi ia melihat istrinya tidak memegang alat memasak, tetapi asyik mengobrol dengan Arisha.
“Inggih, Bi. Wong tinggal hangatin saja rawonnya. Ini cuma bikin acar, buat tambahan nasi campur. Lauknya semua sudah siap.” Umi Anis kini beranjak dari kursinya, melanjutkan aktivitas memotong wortel.
“Iya, aku cuma ngingetin, sudah jam enam sekarang. Kalo masakannya sudah siap, buruan ajak suamimu sarapan, Ning! Jangan sampe menunggu perutnya keroncongan.” Kini gentian Arisha yang jadi sasaran teguran Kiai Salman.
“Inggih, Abah,” sahut Arisha sambil mengangguk.
🍂🍂🍂
Usai sarapan, Kiai Salman mendudukkan Akhtar dan Arisha di ruang tamu. Ada yang ingin beliau sampaikan sebelum mengantarkan Arisha ke tempat tinggal Akhtar. Acara pagi ini sebagai ganti tradisi unduh mantu. Tidak banyak orang yang diajak. Hanya keluarga inti sebagaimana keluarganya Akhtar saat mengantarkan prosesi akad nikah kemarin.
“Gus Akhtar, Ning Arisha, ini abah mau minta sesuatu ke kalian.” Akhtar sudah bersiap mendengarkan nasihat yang akan disampaikan oleh Kiai Salman. Ia berpikir akan mendapatkan tausiyah sebelum membawa anak gadisnya pindah tempat tinggal.
“Tentang Keisha, abah sama umi ini tadi kok merasa berat buat pisah sama Keisha. Makanya kami minta, Keisha jangan dibawa dulu.”
“Ta-tapi, Bah …” sela Akhtar merasa keberatan.
“Iya, abah paham ini menyalahi kesepakatan sebelumnya. Mestinya Keisha kalian ajak sekarang. Tapi, abah sama umi mohon, beri kami waktu. Abah masih belum tega melepas bayi lucu ini. Tiga bulan merawatnya rasanya sebentar sekali. Abah masih terbayang-bayang pipi lucunya. Tanpa ngudang Keisha, saya enggak bakal susah tidur, Gus.”
Akhtar membuang napasnya. Ia juga ingin setiap hari bisa melihat putri kecilnya itu. Selama tiga bulan ini, ia sudah riwa-riwi ke sini demi menyempatkan diri melihat putrinya.
“Inggih, Gus. Umik mohon, biar kami menyiapkan hati dulu. Mungkin satu atau dua minggu lagi. Biar Ning Arisha juga bisa fokus adaptasi sama lingkungan baru di sana. Umi khawatir, jika Keisha diajak sekarang, Ning Arisha terlalu fokus sama Keisha, hingga susah menyesuaikan diri dangan sekitarnya.”
Gus Akhtar mulai meraba makna kiasan dari ucapan ibu mertuanya itu. Jika yang dimaksud adalah memberikan waktu agar Arisha lebih fokus melayaninya, sebenarnya tidak perlu sampai menjauhkan Keisha. Sedangkan Arisha sudah paham alasan uminya itu. Tadi ia sudah didudukkan di hadapan sang abah juga. Ini semua agar Arisha bisa menjadi budak perempuan yang totalitas. Arisha tak menyangka uminya begitu serius menyiapkan dirinya bisa menjalankan peran utama sebagai istri tanpa gangguan Keisha terlebih dahulu.
“Gimana, Dik. Apa kamu keberatan kalo Keisha ikut dengan kita sekarang?” Akhtar merasa perlu mengetahui pendapat istrinya untuk masalah ini.
.
.
(Bersambung)
“Mas Akhtar!” seru Arisha dengan mulut menganga. “A-aku enggak mimpi, ‘kan?” tanyanya hampir tercekat. Melihat sosok yang berada di hadapannya menggelengkan kepala, netra wanita yang telah menanggung rindu belasan bulan itu basah.Lelaki yang membuatnya terpanah kini merentangkan kedua tangan sambil bergerak pelan mendekatinya. “Assalamu’alaikum, aku pulang, Sayang.” Sapaan Akhtar terasa lembut menyapu daun telinga Arisha. Tubuh wanita itu masih kaku saat Akhtar merengkuhnya erat. Arisha hanya mampu menyandarkan kepala pada dada bidang di hadapannya. Seketika kemeja Akhtar basah terkena lelehan air mata sang istri. Lelaki itu mengangkat wajah Arisha dan mengusap air mata yang bercucuran dengan jempolnya meski percuma. Sebab buliran bening itu terus menganak sungai.“Pan-Panjenengan sudah bebas?” tanya Arisha terbata beserta raut tak percaya.Akhtar mengangguk pelan.“Bu-bukannya masih sebulan lagi?”Akhtar menggeleng. “Apakah kamu ingin sebulan lagi aku baru bebas?” tantangnya. Ari
Angin berhenti berembus. Menjadikan kulit terasa lembab, basah oleh keringat. Di ruang tamu bercat krem itu, Kiai Salman dan Kiai Mansur sedang bercakap. Perkembangan pondok pesantren menjadi topik utama perbincangan. Kemudian, obrolan mereka mengarah pada kasus yang menimpa Akhtar. “Kita sama-sama menduga kuat, jika pihak yang menjebak Akhtar ini adalah lawan politiknya, San. Hanya saja saya tak habis pikir, kenapa mereka sejahat itu?” ucap Kiai Salman dengan pandangan menerawang lalu kembali menatap besannya. Lelaki yang tidak mau terlibat aksi mendukung secara langsung siapa pun calon penguasa dalam masa pemilu itu sudah paham jika beberapa orang akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Baru sekarang ia merasakan langsung dampaknya kala menantunya dijebak. Hingga menyebabkan putrinya menanggung pilu. Maka, begitu Arisha mengabari bahwa ia hamil, Kiai Salman dan Umi Anis bergegas datang. Mereka hendak mengajak Arisha tinggal bersama.“Saya masih kontak dengan Kiai Yass
Akhtar menatap kepergian Arisha dari balik kaca. Pria itu menyimpan senyum bercampur lara yang tersungging dari bibir istrinya. Meski berusaha tegar, Akhtar paham wajah wanita itu tampak rapuh. Walau auranya tetap setenang cahaya bulan di permukaan danau.Saat punggung istrinya hilang ditelan belokan koridor, Akhtar membalikkan badan dan menuju ke kamar tahanan. Ia teringat semangat yang digulirkan Arisha. Bakda Subuh itu, kabar hasil penghitungan suara dari tim pemenangan sudah dikirim, Yassir-Akhtar dinyatakan kalah.“Panjenengan tetap jadi orang penting meski mboten jadi wakil bupati, Mas,” bisik Arisha lembut. Ia mengatakannya sambil meletakkan tangan di pipi Akhtar.Kepala lelaki itu berada di pangkuan istrinya. Jari lentik Arisha menelusuri cambang tipis perlahan. Belaian ringan itu menimbulkan hangat dan kini membuat kepala Akhtar berdenyut-denyut nyeri kala mengingatnya. Yang Arisha bisikkan terasa sangat intim melebihi sentuhan di pipi.Begitu mendengar kabar kekalahannya, se
“Kalo kamu pingin nginep di rumah abah dan umikmu enggak apa-apa, Ning.” Umi Hanum memberi saran. Ia tidak tega melihat menantunya itu tinggal di rumah sendirian. Meski sejak Akhtar ditahan, Umi Hanum menjadwalkan dua orang santri putri tidur di kamar tamu menemani Arisha saat malam. “Mboten Umik, saya di sini saja,” jawab Arisha pelan.Bukannya tanpa maksud. Ada alasan tersendiri kenapa Arisha bersikeras tetap tinggal di rumah yang disediakan Akhtar untuknya. Sebab di sana ia bisa merasakan kehadiran suaminya dalam tiap sudutnya. Bahkan baju koko dan sarung yang terakhir Akhtar pakai, hingga kini tidak ia cuci. Sarung dan baju koko itu ia peluk setiap malam. Aroma Akhtar yang tertinggal, memberinya ketenangan. “Sudah saya cuci, Umik.” Arisha menyerahkan bunga kates gantung dalam wadah. Ia saat ini sedang di dapur, turut belajar memasak. Khususnya menu kesukaan Akhtar.Arisha berpikir keras apa yang bisa ia lakukan untuk suaminya yang sedang berada di penjara. Kiranya mereka dapat t
Rasa aman menyelimuti diri Akhtar. Sebab hingga bakda Isya tidak ada kabar yang menetapkannya sebagai buronan. Semua pintu dan jendela sudah ditutup, begitu pun gordennya.Mereka sudah beringsut di balik selimut. Arisha bercerita jika ia tadi siang hampir menyebutkan identitas dirinya kepada petugas kepolisian. Untungnya Umi Hanum mencegah, sehingga ia tidak perlu berurusan dengan aparat berbaju cokelat. “Panjenengan tadi sempat memberi orasi, Mas?” tanya Arisha sambil menarik selimut hingga menutupi lehernya. Hawa kian dingin setelah hujan mengguyur. Bahkan rintiknya sekarang masih terdengar berdenting di atas genting.Akhtar menggeleng, tetapi pandangannya masih menyiratkan kekhawatiran.“Alhamdulillah, berarti tidak ada yang tahu ‘kan, Mas, kalo Panjenengan di sana?”“Entahlah.” Lelaki itu kembali menggeleng. “Saat mendengar ledakan pertama kali itu, aku spontan berteriak mendekat ke orang-orang yang berusaha melempari mobil, Dik. Aku menghalau mereka agar menghentikan aksi anarki
“Mohon maaf dengan Ibu siapa? Bisa disebutkan nama suaminya?”Arisha hampir saja menyebutkan identitasnya, namun terhenti begitu lengannya ditarik. “Suaminya sudah pulang, Pak,” ucap Umi Hanum kepada petugas berseragam cokelat.Tanpa banyak bicara Umi Hanum mengeratkan genggamannya di pergelangan tangan Arisha dan berjalan cepat menghindari kerumunan. Petugas itu melihat dengan tatapan yang sulit diartikan.“Umik, benar Mas Akhtar sudah pulang?” tanya Arisha dengan napas ngos-ngosan. Ia menyamai langkah Umi Hanum yang berjalan cepat.“Gus Akhtar barusan telepon dan meminta kita segera pergi dari sini, Ning. Nanti dia akan menghubungi lagi.” Arisha masih belum paham apa yang sebenarnya terjadi. Namun, mengetahui suaminya masih hidup sudah membuatnya bersyukur. Kondisi halaman gedung DPRD yang porak-poranda cukup menggambarkan betapa kisruh demonstrasi beberapa jam yang lalu. Apalagi ia sempat mendengar pertanyaan wartawan tentang kemungkinan adanya korban jiwa. “Jadi sekarang Mas Akh
Hiruk pikuk meliputi suasana halaman gedung tiga lantai yang menghadap sisi timur alun-alun. Suara orator menyeru lantang agar para wakil rakyat itu tidak tinggal diam menyaksikan pelanggaran selama proses Pilkada. “Kami butuh pemimpin yang tidak menyuap rakyatnya demi mendapatkan suara. Jika jalan menuju kekuasaan saja sudah mereka tempuh dengan cara kotor, bagaimana kelak jika mereka berkuasa?” seru sang orator dari atas mobil pikap dengan sound system. Suaranya menggema hingga ke lantai tiga. Meski massa demonstrasi tak sampai ribuan layaknya aksi mahasiswa di Ibu Kota Negara, tetap saja unjuk rasa itu membuat para pegawai dan wakil rakyat yang sedang bekerja di dalam gedung was-was. Apalagi akhir-akhir ini hawa panas suksesi kepeminpinan masih teramat kental. Akhtar masih dalam perjalanan menuju alun-alun. Pria itu duduk di jok tengah dan berusaha menghubungi Kiai Yassir. Sayangnya ponsel Kiai Yassir dalam kondisi tidak aktif. Sehingga Akhtar kini memasukkan gawainya ke dalam
Suasana lengang cenderung tegang menyelimuti Kabupaten Mojoasri dan mungkin seluruh kabupaten yang melaksanakan Pilkada serentak hari ini. Total ada 224 kabupaten dan 37 kota di seluruh Indonesia yang menggelar hajat pemilihan pemimpin daerah. Warga lebih banyak memanfaatkan libur nasional hari Rabu ini untuk berkumpul bersama keluarga di rumah. Sehingga jalanan relatif sepi.Saat langit di ufuk timur perlahan melukiskan warna merah jingga, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) masih melakukan penghitungan suara di TPS. Kotak suara yang sudah terisi kertas suara sejak pukul tujuh pagi hingga satu siang itu dalam proses direkap hasilnya. Setelah rampung akan dilaporkan ke Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang berada di tingkat desa atau kelurahan dalam bentuk formulir model C1.Setiap Paslon telah menempatkan relawan untuk mengawasi jalannya Pilkada pada setiap TPS. Selanjutnya mereka akan mengirimkan salinan dengan memfoto formulir model C1. Tak terkecuali relawan Paslon nomor
Umi Anis melepas kepergian putrinya dengan wajah semringah. Saat tadi ditanya kenapa buru-buru balik, Arisha hanya menjawab dengan senyuman. Wanita paruh baya yang sudah lebih banyak makan asam garam itu paham gelagat anaknya meski tak diungkapkan dengan kata-kata.Wajah Arisha yang terlihat berseri-seri dan bersemangat. Tatapan Akhtar yang penuh hasrat kepada Arisha saat mereka di meja makan tadi sudah cukup menjelaskan apa yang sedang dibutuhkan anak dan menantunya itu. Maka, saat Arisha dan Akhtar memutuskan pamit, Umi Anis sama sekali tak mencegah. Beliau malah menjanjikan akan berkunjung ke rumah Akhtar usai pemilihan besok.Mobil warna putih jenis SUV bergerak dengan kecepatan sedang menyusuri daerah pegunungan dengan kontur menanjak dan menurun. Hari mulai terang, dan warga terlihat hilir mudik dengan berbagai aktivitasnya. Para pedagang buah dan sayur tampak menata jualannya pada kios-kios di pinggir jalan. Akhtar sekonyong-konyong membelokkan mobil ke halaman sebuah hotel.“N