Selamat membaca!
Setelah selesai berpakaian, Viola melangkah keluar dari kamar dengan perasaan kesal. Sejak tadi ia masih tidak terima karena rasa sakit akibat dijatuhkan oleh Devan masih terasa dari pinggang hingga kakinya."Seenaknya aja Pak Devan jatuhin gue. Dasar dosen killer, kalau gue nggak cinta ama dia, nggak akan mau gue minta dinikahin." Sambil menghentakkan kedua kakinya dengan penuh penekanan, Viola terus melangkah hingga di sisi lorong lainnya."Kenapa lama banget ganti baju aja?"Suara itu seketika membuat Viola menoleh. Tentu saja raut kesal benar-benar ditunjukkan oleh gadis cantik itu, terlebih ia hafal betul dengan siapa pemilik suara yang saat ini memanggilnya."Apa Bapak enggak tahu karena Bapak tadi jatuhin saya, pinggang saya tuh jadi sakit sampai ke kaki?""Saya nggak peduli. Lagian suruh siapa kamu pake pura-pura pingsan.""Dasar nggak punya hati!" Viola merasa sangat geram. Namun, rasa kesal itu hanya bisa ia luapkan di dalam hatinya."Kenapa kamu lama? Saya tuh capek diri di sini nungguin kamu.""Lah, lagian nggak ada juga yang nyuruh Bapak nungguin saya!" Kedua mata Viola tampak melotot. Menatap wajah Devan dengan nyalang."Karena saya tuh harus ngingetin kamu sesuatu sebelum ketemu ibu dan orang tua kamu di bawah.""Ngingetin apa ya?""Syarat keempat."Viola sejenak diam. Mengingat 5 syarat yang sudah Devan katakan waktu itu. "Syarat keempat apa ya? Saya lupa, Pak.""Sepertinya kamu memang harus sering-sering saya ingatkan ya!""Habisnya syarat yang Bapak bilang waktu itu kebanyakan, udah gitu tadi juga Bapak tambahin lagi satu."Devan menaikkan sebelah alisnya, menatap Viola tanpa berkedip sambil melipat tangan di depan dada dan tetap menyandarkan tubuhnya pada dinding yang ada di belakang. "Syarat keempat, kita akan berakting seperti pasangan suami-istri sebagaimana mestinya di depan keluarga saya juga keluarga kamu, tapi tidak saat di kampus. Di sana, kita harus bersikap layaknya dosen dan mahasiswa seperti biasanya." Devan semakin menatap tajam wajah Viola yang tiba-tiba langsung menemukan cara untuk membalas apa yang telah Devan lakukan padanya."Gue punya ide," batin Viola mengulas senyuman hingga terlihat jelas oleh Devan yang seketika merasa heran."Apa yang kamu pikirkan?""Bukan apa-apa. Ayo, Pak! Pasti sekarang kedua orang tua kita udah nungguin." Viola pun melanjutkan langkah kakinya yang sempat terhenti. Meninggalkan Devan yang hanya bisa mendengus kesal karena pertanyaannya tak mendapatkan jawaban dari Viola."Sebenarnya apa yang dia pikirkan? Kenapa dia tersenyum seperti tadi?" batin Devan langsung menyusul langkah Viola yang hampir menuruni anak tangga di depan sana. "Semoga dia enggak ngelakuin hal-hal yang aneh." Devan hanya bisa mengatakan itu dalam hati. Coba tetap tenang, walau kini sudah timbul sedikit kekhawatiran dalam dirinya.Setibanya Devan di meja makan, kedatangannya langsung disambut dengan ramah oleh Viola yang sudah lebih dulu tiba di sana."Nah, ini Mas Devan, Mah. Panjang umur kamu, Mas, baru aja tadi ditanyain sama Mama kamu."Devan pun tersenyum. Menatap sekitarnya di mana hanya kursi yang ada di sebelah Viola yang kosong."Ayo, Mas, makan! Biar aku ambilin ya!" Viola bersikap baik di depan semuanya. Membuat kedua orang tuanya merasa sangat bangga karena ternyata menikah muda bukan masalah besar bagi Viola karena diusianya sekarang, gadis cantik itu sudah tahu tugas-tugas yang harus dilakukan sebagai seorang istri."Ibu Dina ini sangat pintar ya mendidik anak perempuannya, padahal anak teman saya yang seusia Viola dan sudah menikah, nggak seperti ini lho.""Jeng Nilam bisa aja mujinya." Dina sebenarnya merasa heran dengan sikap Viola. Namun, ia tak mau ambil pusing dan berpikir jika Viola benar-benar mengingat setiap nasihat yang ia berikan sebelum hari pernikahan. Hari di mana Dina coba menanyakan lagi keseriusan Viola yang tiba-tiba memutuskan untuk menikah muda.Devan hanya menatap tidak suka ke arah ibunya. Namun, tentu saja ia tidak bisa menunjukkannya begitu saja. Terlebih saat sang ibu melihat ke arahnya, pria itu seketika merubah pandangannya dan tersenyum menatap Nilam."Kamu beruntung punya istri seperti Viola, Devan. Pokoknya Mama mau, acara resepsi kamu jangan kelamaan ya! Lagian kamu ini aneh, masa punya istri sebaik Viola resepsi malah kamu tunda-tunda sih.""Bukan begitu, Mah. Lagian Viola kan masih kuliah, Mah. Ini juga permintaan Viola kok karena dia masih malu kalau sampai teman-teman di kampusnya tahu kalau dia menikah muda, benar begitu, kan, Vi?"Viola yang sudah duduk di kursinya setelah memberikan sepiring makanan lengkap dengan lauk juga sayuran pada Devan pun seketika menoleh menatap bingung pria itu. Bagaimana tidak, Devan memang tidak pernah mengatakan soal masalah tersebut hingga Viola merasa terkejut saat mendengarnya."Ka-pan aku—"Belum sempat melanjutkan ucapannya, Devan langsung menginjak kaki Viola hingga gadis cantik itu meringis, menahan sakit."Kamu ingat yang kamu omongin waktu itu, kan, Sayang?" Devan menatap tajam Viola yang seketika berbunga-bunga dengan panggilan sayang yang begitu saja lolos dari mulut Devan. Ya, walau Viola tahu itu hanya pura-pura, tapi setidaknya ini adalah kali pertama pria itu memanggilnya dengan sebutan sayang."Iya, Mah, betul kata Mas Devan. Itu permintaan aku. Soalnya aku tuh enggak mau kalau nama baik Mas Devan sampai rusak karena ada omongan yang nggak enak di kampus. Aku tuh takutnya, teman-teman aku malah ngira yang nggak-nggak karena aku nikahnya tiba-tiba gini. Nanti mereka malah pada ngomongin yang nggak benar dan reputasi mas Devan di kampus bisa jelek."Alasan Viola seketika dapat dipahami oleh Nilam yang langsung tersenyum menanggapinya. "Tuh, Devan, istri kamu ini emang benar-benar baik lho. Dia mengutamakan nama baik kamu dibanding keinginannya sendiri. Padahal asal kamu tahu ya, bagi seorang perempuan, resepsi itu sangat penting karena selain untuk mendeklarasikan hubungan kalian ke banyak orang, lewat resepsi itu juga kita sebagai perempuan bisa ngerasain gimana rasanya jadi ratu dalam satu hari. Bukan begitu, Bu Dina?""Iya, betul apa yang dibilang mama kamu, Devan. Ibu juga sebenarnya setuju kalau resepsinya jangan lama-lama, tapi balik lagi, ini kan udah jadi keputusan kalian berdua. Jadi, Ibu sih terserah kalian aja, benar begitu, kan, Pak?" Dina menoleh, menatap suaminya yang sejak tadi hanya diam tak ikut menanggapi pembahasan yang tengah terjadi. Pria paruh baya itu sejak tadi terus melihat Devan. Menatap penuh selidik pria yang mulai hari ini baru saja menjadi menantunya."Kenapa bokap Viola ngelihatin gue begitu ya?" batin Devan sambil merasa canggung dan penuh tanda tanya."Oh ya, Devan, bagaimana kalau beberapa hari ke depan kamu ajak Viola bulan madu dulu? Kebetulan Om ada kenalan di Bali, nanti dia bisa atur rencana bulan madu kamu di sana. Gimana? Kamu mau enggak?" Tiba-tiba tawaran itu terlontar dari seorang pria lainnya yang merupakan adik dari Nilam. Pria bernama Sadewo itu memang hadir untuk menemani Nilam menggantikan ayah Devan yang sudah tiada."Kalau untuk bulan madu, saya belum pu—""Saya mau, Om." Viola memotong sebelum Devan melanjutkan perkataannya. Membuat pria itu tak berkutik dan langsung menatap sinis Viola dengan tajam."Ini saatnya gue ngebales perlakuannya tadi di kamar," batin Viola tersenyum penuh kemenangan. Senyuman yang sengaja ia perlihatkan pada Devan sebelum kembali melihat Sadewo."Nah, itu istri kamu mau, Devan. Okelah, kalau begitu Om akan atur jadwalnya. Bagaimana kalau seminggu lagi?"Devan tercekat luar biasa. Ia bahkan sampai tersedak hingga Viola langsung inisiatif menuangkan segelas air untuk pria itu minum. "Ini, Mas, minum dulu. Kamu pelan-pelan dong makannya, Mas, masa bisa tersedak begitu." Layaknya sebuah perhatian jika didengar oleh yang lainnya hingga membuat semuanya tersenyum melihat betapa manisnya pasangan pengantin yang baru saja menikah. Namun bagi Devan, perkataan itu seperti sebuah sindiran yang semakin membuatnya geram."Cewe ini benar-benar menyebalkan," batin Devan merasa kesal sambil mulai meminum segelas air yang sudah ia terima dari Viola. Sementara itu, Viola terdengar mengiyakan rencana dari Sadewo yang akan mengatur bulan madu mereka dalam satu Minggu ke depan.Bersambung ✍️Selamat membaca!Setelah makan bersama, semuanya kini berkumpul di ruang keluarga. Di sana, Nilam dan Dina terlihat begitu akrab seperti sudah saling mengenal lama. Sementara Viola, selesai bercengkrama dengan mereka, gadis cantik itu pun kini tengah bersama sang ayah. Ya, Bimo sejak kecil memang sangat memanjakan putri semata wayangnya. Maka itulah, agak berat baginya untuk melepas Viola di usianya yang masih sangat muda. Namun, Bimo punya alasan kenapa ia sampai mengizinkan putrinya menikah muda."Vi, pokoknya kalau suami kamu sampai nyakitin kamu, kamu harus ngomong sama Ayah!"Viola yang tengah menyeruput segelas lemon tea pun dibuat tersedak karena perkataan itu."Ayah tenang aja, ya! Mas Devan nggak akan nyakitin aku kok." Setelah sempat kesulitan bicara karena masih tak percaya dengan apa yang didengarnya, Viola pun coba meyakinkan sang ayah."Ya, pokoknya Ayah nggak mau kalau putri Ayah sampai disakiti sama orang. Kalau itu terjadi, nanti biar Ayah tegur si Devan itu.""Iya, Y
Selamat membaca!"Bangun!" Suara teriakan itu membuat Viola terperanjat. Gadis itu pun seketika duduk. Melihat sosok Devan yang sudah rapi dengan mengenakan pakaian formal. Dan, hanya melihat penampilannya saja Viola sudah tahu jika saat ini ia kesiangan untuk pergi ke kampus."Ya Tuhan, jam berapa ini, Pak?" Sambil mengusap kedua mata, pandangan Viola langsung tertuju pada jam dinding yang ada di sisi kirinya. "Jam 8?" Tanpa berkata apa-apa lagi, Viola bangkit dari posisi duduknya. Bergegas menuju kamar mandi meninggalkan Devan yang hanya melihatnya dengan sinis."10 menit ya! Kalau lebih dari itu, saya akan ninggalin kamu."Tanpa menjawab, Viola pun melengos masuk ke dalam kamar mandi sambil menggerutu kesal, "10 menit, emang mandiin bebek apa ya? Ish, Viola, Viola, kenapa sih kebiasaan banget suka kesiangan?" keluh gadis itu merutuki kebiasannya."Ayo, cepat! Jalanan nanti macet! Seandainya aja nggak ada orang tua kita, saya pasti udah ninggalin kamu." Terdengar suara Devan dari lu
Selamat membaca!Viola yang tahu bahwa ia datang terlambat pun akhirnya tiba di depan kelas. Setidaknya ia masih yakin jika Devan akan mengizinkannya masuk karena mau bagaimanapun mereka berdua sama-sama datang terlambat."Ya ampun, capek banget deh. Betis gue sampe lemes gini." Dengan napas terengah-engah, Viola membuka pintu. "Permisi, Pak!" Pandangannya langsung tertuju pada Devan yang sudah berada di kursinya."Buat apa kamu masuk?" tanya Devan yang baru 5 menit lalu ada di dalam kelas. Pertanyaan itu sangat jauh berbeda dengan apa yang ada di pikirannya. "Emang nggak boleh, Pak?" Viola balik bertanya dengan raut wajahnya yang polos.Sementara itu, Tari yang melihat Viola dalam masalah pun tak bisa berbuat apa-apa. "Kasihan Viola. Lagi-lagi dia bikin Pak Devan marah.""Saya tidak izinkan kamu masuk. Sekarang kamu boleh pergi! Lain kali, kalau mau ikut kelas saya, kamu harus datang tepat waktu.""Tapi, Pak—""Tidak ada tapi-tapian, sekarang kamu keluar karena saya akan segera mula
Selamat membaca!"Baiklah, materi hari ini cukup. Jangan lupa kirim tugas yang tadi saya kasih malam ini, setengah delapan."Seketika ruang kelas terdengar bergemuruh. Beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang ada di ruangan tampak tidak suka saat Devan memberikan tugas dengan jangka waktu yang sempit."Lihat tuh, Vi, dosen idaman lo killer banget. Dia pasti sengaja ngasih tugas biar kita nggak bisa bebas nikmatin waktu weekend.""Ya udah sih nggak apa-apa, kerjain aja. Daripada nanti matkul dia lo dapat nilai C. Lo kan tahu, Pak Devan itu termasuk dosen penting di semester ini.""Ya, ya, terus aja lo belain dosen idaman lo.""Ih, gue tuh bukan belain, tapi ini demi kebaikan lo juga tahu.""Iya, ya. Eh, tapi ngomong-ngomong, kemarin lo ke mana aja, gue chat kok nggak dibaca-baca sampai sekarang lho, tumben?"Seketika Viola tersedak salivanya sendiri saat sorot mata Devan tiba-tiba menatapnya dengan begitu tajam sebelum keluar dari ruang kelas."Pak Devan pasti marah deh gara-gara gue bawa
Selamat membaca!Merasa Tari terlalu cerewet dan tidak bisa diajak bicara baik-baik, Viola pun langsung menarik pergelangan tangan sahabatnya itu untuk diajak pergi ke taman karena ia malu sejak tadi menjadi pusat perhatian orang sekantin."Eh, Vi, lepasin dong ah! Lo mau bawa gue ke mana sih?" "Ke taman! Habisnya lo itu bikin gue malu tahu nggak! Orang yang lagi makan di kantin malah jadi ngelihat ke arah kita terus karena lo berisik nggak bisa diem!" Viola menjawab dengan ketus sambil terus menarik tangan Tari keluar dari kantin.Setibanya di taman yang tidak jauh dari kantin, barulah Viola melepaskan genggamannya dari tangan Tari yang seketika menghela napas lega. "Aduh, Vi, lo itu kasar banget sih jadi cewek. Megang tangan gue aja sampai perih begini. Gimana gue mau percaya coba kalau lo sama Pak Devan udah ni—" Lagi dan lagi Viola terpaksa membungkam mulut sahabatnya agar mahasiswa lain yang juga tengah berada di taman tidak mengetahui soal kabar pernikahannya dengan sang dosen
Selamat membaca!"Apa Tari udah ngomong sama Arya ya soal permintaan gue buat bikin Pak Devan cemburu?" Di dalam hati Viola menduga, walau sebenarnya ia masih ragu menerima tawaran itu."Gimana? Mau gue anterin pulang nggak?" tanya Arya kembali. Wajahnya memang sungguh tampan seperti yang dikatakan Tari. Lesung pipit yang terbentuk dari senyumannya sungguh membuat kedua matanya sampai tak berkedip menatap."Yuk, tapi by the way, makasih ya lo udah mau bantuin gue.""Iya, sama-sama. Kita kan satu kampus. Jadi, kita harus saling membantu, kan?" Arya menjawab, walau sebenarnya arah perkataan Viola berbeda dengan pikirannya saat ini."Iya, pokoknya makasih ya."Keduanya pun mulai melangkah. Menuju parkiran motor yang kebetulan memang harus melewati mobil Devan."Nah, ini kesempatan gue buat bikin Pak Devan cemburu," batin Viola yang tengah bersiap saat melintas di depan mobil Devan. Viola menganggap bahwa Devan menyetujui permintaannya bukan hanya karena ancaman yang ia katakan, tetapi ad
Selamat membaca!"Jadi seperti itu ceritanya, Vi?" tanya Arya begitu Viola baru saja menyelesaikan ceritanya tentang Devan setelah didesak beberapa kali untuk bicara."Iya, Ar. Makanya, gue minta tolong sama lo buat bantuin bikin Pak Devan cemburu.""Tapi kalau Pak Devan nggak cinta sama lo, ya dia nggak akan ngerasa cemburu juga, Vi. Semua rencana lo nantinya bakal jadi sia-sia.""Ya itu kan kalau dia nggak cinta. Gue yakin kok Pak Devan sebenarnya cinta sama gue. Kalau nggak, nggak mungkin dia nerima perjodohan dari keluarganya buat nikah sama gue." Tentu saja Viola tidak menceritakan hal yang sebenarnya terjadi seperti yang ia ceritakan pada Tari sewaktu di kampus. Viola tidak ingin Arya tahu bahwa Devan telah merenggut keperawanannya dengan cara yang pastinya akan sangat memalukan untuk ia ceritakan."Seberapa yakin?"Viola sejenak diam. Berpikir sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Arya dengan ragu. "Nggak pakai berapa-berapanya, udah kaya lagi jualan aja. Udah ah, cepetan dikit
Selamat membaca!Setelah berhasil memberhentikan Arya, Devan menatap Viola dengan sorot mata yang tajam. Di dalam pikirannya, ia sudah dapat menebak jika gadis yang baru kemarin menjadi istrinya itu pasti sudah menceritakan soal pernikahannya."Pak, kenapa malah menghalangi jalan sih? Minggir dong, Pak!" Viola memberi perintah sambil menyibakkan tangannya agar Devan pergi dan tak lagi berdiri di depan motor Arya."Kamu masuk mobil!" Tak ada kata lain, hanya kalimat perintah dengan suara berat yang seketika membuat Viola maupun Arya mulai merasa takut."Nggak, nggak, gue nggak boleh nurutin kemauannya!" batin Viola masih belum menjawab pertanyaan Devan hingga pria itu mengulanginya kembali."Cepat, Viola!"Viola kembali melihat Devan. Coba memberanikan diri dengan menatap tajam wajah pria itu. "Enggak mau ah, Pak." Viola menjawab sambil melipat kedua tangan di depan dada. Bersikap acuh, lalu membuang pandangannya sebagai tanda bahwa ia menolak perintah dari Devan."Baiklah, kalau kamu