Setelah selesai berpakaian, Viola melangkah keluar dari kamar dengan perasaan kesal. Sejak tadi, ia masih tidak terima karena rasa sakit akibat dijatuhkan Devan masih terasa dari pinggang hingga kakinya.
"Seenaknya aja Pak Devan jatuhin gue. Dasar dosen killer, kalau gue nggak cinta ama dia, nggak akan mau gue minta minta dia nikahin gue." Sambil menghentakkan kedua kakinya dengan penuh penekanan, Viola terus melangkah menuju anak tangga untuk ke ruang makan "Kenapa lama banget ganti baju aja?" Suara itu seketika membuat Viola menoleh. Tentu saja raut kesal benar-benar ditunjukkan gadis cantik itu, terlebih ia hafal betul dengan siapa pemilik suara yang saat ini memanggilnya. "Apa Bapak enggak tahu karena Bapak tadi jatuhin saya, pinggang saya tuh jadi sakit sampai ke kaki?" "Saya nggak peduli. Lagian suruh siapa kamu pake pura-pura pingsan." "Dasar nggak punya hati!" Viola merasa sangat geram. Namun, rasa kesal itu hanya bisa ia luapkan di dalam hatinya. "Kenapa kamu lama? Saya tuh capek diri di sini nungguin kamu." "Lah, lagian nggak ada juga yang nyuruh Bapak nungguin saya!" Kedua mata Viola tampak melotot. Menatap wajah Devan dengan nyalang. "Karena saya tuh harus ngingetin kamu sesuatu sebelum ketemu ibu dan orang tua kamu di bawah." "Ngingetin apa, ya?" "Syarat keempat." Viola sejenak diam. Mengingat 5 syarat yang sudah Devan katakan waktu itu. "Syarat keempat apa, ya? Saya lupa, Pak." "Sepertinya kamu memang harus sering-sering saya ingatkan!" "Habisnya syarat yang Bapak bilang waktu itu kebanyakan, udah gitu tadi juga Bapak tambahin lagi satu." Devan menaikkan sebelah alisnya, menatap Viola tanpa berkedip sambil melipat tangan di depan dada dan tetap menyandarkan tubuhnya pada dinding yang ada di belakang. "Syarat keempat, kita akan berakting seperti pasangan suami-istri sebagaimana mestinya di depan keluarga saya juga keluarga kamu, tapi tidak saat di kampus. Di sana, kita harus bersikap layaknya dosen dan mahasiswa seperti biasanya." Devan semakin menatap tajam wajah Viola yang tiba-tiba langsung menemukan cara untuk membalas apa yang telah Devan lakukan padanya. "Gue punya ide," batin Viola mengulas senyuman hingga terlihat jelas oleh Devan yang seketika merasa heran. "Apa yang kamu pikirkan?" "Bukan apa-apa. Ayo, Pak! Pasti sekarang orang tua kita udah pada nungguin." Viola pun melanjutkan langkah kakinya yang sempat terhenti. Meninggalkan Devan yang hanya bisa mendengus kesal karena pertanyaannya tak mendapatkan jawaban dari Viola. "Sebenarnya apa yang dia pikirkan? Kenapa dia senyum seperti tadi?" batin Devan langsung menyusul langkah Viola yang hampir menuruni anak tangga di depan sana. "Semoga dia enggak ngelakuin hal-hal yang aneh." Devan hanya bisa mengatakan itu dalam hati. Coba tetap tenang, walau kini sudah timbul sedikit kekhawatiran dalam dirinya. Setibanya Devan di meja makan, kedatangannya langsung disambut dengan ramah oleh Viola yang sudah lebih dulu tiba di sana. "Nah, ini Mas Devan, Mah. Panjang umur kamu, Mas, baru aja tadi ditanyain sama Mama kamu." Devan pun tersenyum. Menatap sekitarnya di mana hanya kursi yang ada di sebelah Viola yang kosong. "Ayo, Mas, makan! Biar aku ambilin, ya!" Viola bersikap baik di depan semuanya. Membuat kedua orang tuanya merasa sangat bangga karena ternyata menikah muda bukan masalah besar bagi Viola karena diusianya sekarang, gadis cantik itu sudah tahu tugas-tugas yang harus dilakukan sebagai seorang istri. "Ibu Dina ini sangat pintar ya mendidik anak perempuannya, padahal anak teman saya yang seusia Viola dan sudah menikah, nggak seperti ini lho." "Jeng Nilam bisa aja mujinya." Dina sebenarnya merasa heran dengan sikap Viola. Namun, ia tak mau ambil pusing dan berpikir jika Viola benar-benar mengingat setiap nasihat yang ia berikan sebelum hari pernikahan. Devan hanya menatap tidak suka ke arah ibunya. Namun, tentu saja ia tidak bisa menunjukkannya begitu saja. Terlebih saat sang ibu melihat ke arahnya, pria itu seketika merubah pandangannya dan tersenyum menatap Nilam. "Kamu beruntung punya istri seperti Viola, Devan. Pokoknya Mama mau, acara resepsi kamu jangan kelamaan, ya! Lagian kamu ini aneh, masa punya istri sebaik dan secantik Viola malah nunda-tunda resepsi sih. Harusnya kamu tuh cepet-cepet umumin biar enggak ada cowok yang ngelirik istri kamu saat di kampus." "Bukan begitu, Mah. Lagian Viola kan masih kuliah, semester akhir lagi. Ini juga permintaan Viola kok karena dia masih malu kalau sampai teman-teman di kampusnya tahu kalau dia nikah muda, benar begitu kan, Vi?" Viola yang sudah duduk di kursinya setelah memberikan sepiring makanan lengkap dengan lauk juga sayuran pada Devan pun seketika menoleh menatap bingung pria itu. Bagaimana tidak, Devan memang tidak pernah mengatakan soal masalah tersebut hingga Viola merasa terkejut saat mendengarnya. "Ka-pan sa—" Belum sempat melanjutkan ucapannya, Devan langsung menginjak kaki Viola hingga gadis cantik itu meringis, menahan sakit. "Kamu ingat yang kamu omongin waktu itu kan, Sayang?" Devan menatap tajam Viola yang seketika berbunga-bunga dengan panggilan sayang yang begitu saja lolos dari mulut Devan. Ya, walau Viola tahu itu hanya pura-pura, setidaknya itu adalah kali pertama Devan memanggilnya dengan sebutan sayang. "Iya, Mah, betul kata Mas Devan. Itu permintaan aku. Soalnya aku tuh enggak mau nama baik Mas Devan sampai rusak kalo nanti ada omongan yang nggak enak di kampus. Aku tuh takutnya, teman-teman aku malah ngira yang nggak-nggak karena aku nikahnya mendadak gini, apalagi kan aku mahasiswi pindahan. Nanti mereka malah pada ngomongin yang nggak benar dan reputasi Mas Devan di kampus bisa jelek." Alasan Viola seketika dapat dipahami oleh Nilam yang langsung tersenyum menanggapinya. "Tuh denger Devan! Istri kamu ini emang benar-benar baik lho. Dia lebih mentingin nama baik kamu dibanding keinginannya sendiri, padahal asal kamu tahu ya, bagi seorang perempuan, resepsi itu sangat penting karena selain mendeklarasikan hubungan kalian ke banyak orang, lewat resepsi itu juga kita sebagai perempuan bisa ngerasain gimana rasanya jadi ratu dalam satu hari. Bukan begitu, Bu Dina?" "Iya, betul apa yang dibilang Mama kamu, Devan. Ibu juga sebenarnya setuju kalau resepsinya jangan ditunda terlalu lama, tapi balik lagi, ini kan udah jadi keputusan kalian berdua. Jadi, Ibu sih terserah kalian aja, benar begitu kan, Pak?" Dina menoleh, menatap sang suami yang juga mengiakan ucapannya. "Oh ya, Devan, bagaimana kalau beberapa hari ke depan kamu ajak Viola bulan madu dulu? Kebetulan Om ada kenalan di Bali, nanti dia bisa atur rencana bulan madu kamu di sana. Gimana? Kamu mau enggak?" Tiba-Tiba tawaran itu terlontar dari seorang pria lainnya yang merupakan adik dari Nilam. Pria bernama Sadewo itu memang hadir untuk menemani Nilam menggantikan ayah Devan yang sudah tiada. "Kalau untuk bulan madu, saya belum pu—" "Saya mau, Om." Viola memotong sebelum Devan melanjutkan perkataannya. Membuat pria itu tak berkutik dan langsung menatap sinis Viola dengan tajam. "Ini saatnya gue ngebales perlakuannya tadi di kamar," batin Viola tersenyum penuh kemenangan. Senyuman yang sengaja ia perlihatkan pada Devan sebelum kembali melihat Sadewo. "Nah, itu istri kamu mau, Devan. Okelah, kalau begitu Om akan atur jadwalnya. Bagaimana kalau seminggu lagi?" Devan tercekat luar biasa. Ia bahkan sampai tersedak hingga Viola langsung inisiatif menuangkan segelas air untuk pria itu minum. "Ini, Mas, minum dulu. Kamu pelan-pelan dong makannya, Mas, masa bisa tersedak begitu." Layaknya sebuah perhatian jika didengar oleh yang lainnya hingga semuanya tersenyum melihat betapa manisnya pasangan pengantin yang baru saja menikah. Namun bagi Devan, perkataan itu seperti sebuah sindiran yang semakin membuatnya geram. "Cewe ini benar-benar nyebelin banget," batin Devan merasa kesal sambil mulai meminum segelas air yang sudah ia terima dari Viola. Sementara itu, Viola terdengar mengiyakan rencana dari Sadewo yang akan mengatur bulan madu mereka dalam satu Minggu ke depan. Bersambung ✍️Selamat membaca!Viola tampak begitu cemas. Menanti balasan pesan suaminya. Namun, sampai ia mau berangkat pergi ke rumah Arya, Devan tak kunjung membalas. Membuat raut wajahnya semakin murung. Gadis itu pun mulai berpikir jika suaminya itu memang sudah tak lagi peduli."Apa ini akhir dari rumah tanggu gue?" Kenangan demi kenangan mulai bermunculan. Satu persatu terbesit jelas dalam pikirannya. Membuat air mata tak sanggup lagi Viola tahan untuk tak menetes. Gadis itu coba menguatkan hati. Memaksa isak tangisnya mereda saat panggilan dari sang ibu terdengar di depan kamar."Vi, ada temen kamu datang.""Iya, Bu, bentar." Sebelum keluar dari kamar, Viola sejenak mematutkan diri di depan cermin. Memastikan tak ada air mata yang tertinggal di wajahnya. Tentu saja ia tidak ingin jika Arya sampai tahu bahwa ia habis menangis karena menunggu balasan pesan dari Devan yang tak kunjung datang."Vi, apa kamu sudah izin sama suami kamu kalau mau pergi sama Arya?" tanya Dina begitu melihat Viola
Selamat membaca!Di dalam mobil, Viola dan Devan masih diam tak saling bicara, padahal mereka sudah menempuh setengah perjalanan pulang."Ngapain diajak bareng kalau cuma didiemin doang. Tahu gitu kan mending tadi pulang sendiri aja." Kesal Viola menggerutu dalam hati. Masih menatap ke luar jendela tanpa pernah melihat Devan sejak dirinya berada di dalam mobil."Saya minta maaf ya, Vi."Akhirnya, kata-kata itu terdengar dari mulut Devan. Viola pun tersenyum. Namun, sengaja ia tahan karena tak ingin terlalu kelihatan bahagia di depan Devan."Kenapa minta maaf, Pak?" Viola menatap wajah Devan yang sesekali melihatnya karena harus fokus dengan kemudi."Saya udah salah. Nggak seharusnya beberapa hari ini saya menyalahkan kamu dan bersikap tidak baik sama kamu."Viola masih diam. Hatinya merasa sangat lega karena akhirnya Devan menyadari kesalahannya."Kalau saya nggak mau maafin gimana?" Viola yang masih ingin melihat Devan lebih berusaha, berpura-pura dingin meski di dalam hati, dirinya
Selamat membaca!"Berarti bokap lo bisa terlibat kecelakaan setelah nganterin bokapnya William ke rumah sakit?" tanya Viola setelah mendengar cerita dari Tari di jam istirahat. Ya, setelah mata kuliah pertama selesai, keduanya kini tampak sudah berada di kantin."Iya, Vi. Ternyata begitu ceritanya. Pantes aja di lokasi kejadian nggak ada motor bokap gue, bokap gue naik ojek online saat itu.""Sekarang lo udah nggak ngerasa bersalah lagi, kan?""Iya, gue lega sekarang, tapi gue sebenarnya keberatan dengan niat William mau nikahin gue. Gue udah bilang dia nggak harus ngelakuin itu kalau dia nggak mau, cuma dia tetap mau nikahin gue karena itu keinginan yang terakhir dari bokapnya sebelum meninggal.""Oh, bokapnya William meninggal, bukannya bokap lo udah bawa dia ke rumah sakit?""Bokap gue emang udah nyelametin bokapnya William, tapi satu bulan kemudian, bokap William meninggal.""Oh gue ngerti sekarang. Jadi, William dan ibunya ngerasa berutang budi sama bokap lo karena bokap lo mereka
Selamat membaca!Devan menuruni anak tangga dengan langkah yang tergesa-gesa. Wajar saja, pagi ini ia bangun kesiangan setelah semalam sulit sekali memejamkan mata meski sudah menyalakan alarm pada ponselnya."Bi, tolong panggilin Viola! Bilang sarapan di kampus aja karena saya udah telat." Setibanya di lantai bawah, Devan langsung memerintahkan Retno yang terlihat sedang menyapu lantai di ruang tengah."Tapi, Mas, Mbak Viola udah jalan dari 15 menit yang lalu." Retno tampak bingung. Merasa heran karena Devan bisa tidak tahu akan hal itu."Dia udah jalan ...?" Devan seketika terdiam. Teringat perdebatan semalam di mana keduanya sampai harus pisah kamar."Bibi pikir Mas Devan tahu. Apa Mas Devan lagi ada masalah sama Mbak Viola?" Meski tak enak hati menanyakan itu, tetapi Retno penasaran karena mencemaskan kedua majikannya. Terlebih Retno tahu jika mereka baru saja bahagia setelah hubungan keduanya sempat diguncang karena kedatangan Renata."Oh, nggak apa-apa, Bi. Mungkin karena saya k
Selamat membaca!"Ini semua salah kamu, Devan! Harusnya kamu temui Audrey saat dia sakit, kenapa kamu malah nggak percaya kalau dia sakit? Kenapa?" Renata langsung mencengkram erat kerah kemeja Devan dengan kasar saat melihat kedatangan pria itu bersama Viola yang seketika langsung berusaha melepaskan tangan Renata dari suaminya."Jangan seperti ini, Renata! Lagi pula kematian Audrey bukan kesalahan Devan. Ini sudah takdir, kamu harus bisa terima."Renata menatap nyalang. Penuh dendam dengan sorot mata yang tajam. "Lebih baik kalian pergi dari sini! Aku nggak sudi kalian datang, cepat pergi!" Dengan mendorong tubuh Devan, Renata mengusir paksa keduanya agar pergi.Suara wanita itu sampai membuat beberapa orang jadi menatap sinis ke arah Devan dan Viola yang seketika merasa tidak nyaman berada di sana."Mas, lebih baik kita pulang aja! Percuma kita datang, niat baik kita nggak dihargai di sini!"Devan menatap sendu. Masih tak mengalihkan pandangannya. Pria itu terus melihat jenazah anak
Selamat membaca!Sejak mengakhiri sambungan teleponnya dengan Viola, Devan kembali pergi, padahal pria itu baru saja tiba di rumah beberapa menit lalu. Namun, entah kenapa ia merasa tidak tenang. Memikirkan Viola yang baru diizinkan pulang dari rumah sakit, tetapi sudah pergi keluar rumah seorang diri."Apa sebaiknya gue jemput Viola dulu, ya?" Setelah cukup lama bergelut dalam keraguan, Devan pun akhirnya memutuskan untuk pergi menuju cafe tempat di mana Viola berada. "Lebih baik gue jemput Viola dulu. Setelah itu, baru gue bisa nemuin Elmer. Lagian kenapa juga Viola harus pergi segala, padahal dia baru dibolehin pulang dari rumah sakit."Devan merasa cemas. Menambah kecepatan mobilnya agar segera tiba di cafe yang berada dekat dari kampus tempatnya mengajar.Tak butuh waktu yang lama, Devan sudah berbelok ke jalan di mana tempat tujuannya berada. Cafe Brewbee ada di sisi kanan dari jalan yang dilaluinya. Artinya, Devan harus memutar dulu di pertigaan yang berada di ujung depan sana