"Viola, Viola, jadi Nak Devan ini yang mau dikenalin ke ayah buat jadi suami kamu?" Bimo langsung to the point. Sang ayah memang sudah dihubungi Viola saat masih di kampus soal kedatangan Devan ke rumahnya.
"Iya, Yah, tapi ... kenapa Ayah udah kenal sama Pak Devan?" Viola masih bingung. Seperti sinyal wifi di saat hujan, ia masih sulit memahami situasi yang terjadi di depan matanya. "Coba waktu itu kamu lihat dulu siapa yang mau Ayah jodohin sama kamu, pasti kamu enggak akan nolak." "Lho, maksud Ayah? Jadi ... Pak Devan yang mau Ayah jodohin sama Viola?" Bimo pun tak kuasa menahan tawa saat mendengar pertanyaan putrinya. "Iya, Viola. Nak Devan ini yang mau dijodohin sama kamu." Dina–sang ibu pun ikut bicara. Menjawab pertanyaan putrinya yang terlihat kebingungan. "Apa?!" "Udah, udah, enggak usah kaget gitu. Namanya jodoh enggak akan ke mana ya, Nak Devan?" Bimo tampak begitu akrab dengan Devan. Bagaimana tidak, Devan adalah putra dari sahabatnya semasa kuliah. Keduanya dulu memang sempat punya impian untuk menikahkan anak-anak mereka. Namun, takdir berkata lain, Ryan Alvaro–ayah Devan sudah lebih dulu menghadap Sang Pencipta. Meski rasanya mustahil, perjodohan itu bisa kembali terlaksana setelah Bimo dan Dina secara tidak sengaja bertemu dengan Nilam–ibu Devan di sebuah pusat perbelanjaan. Ya, sejak saat itulah, narasi perjodohan kembali digaungkan Bimo yang disambut baik oleh Nilam. Mereka pun akhirnya sepakat meski saat itu belum mendapatkan persetujuan dari Devan dan Viola. *** Pernikahan sederhana tanpa melibatkan orang di luar keluarga baru saja berlangsung. Hanya ada keluarga dan juga kerabat dekat dari kedua mempelai di acara tersebut sesuai syarat yang Devan berikan pada Viola. "Sekarang kita sudah resmi menjadi suami-istri, pokoknya kamu harus ingat lima syarat yang saya ajukan!" Selain mengajukan syarat untuk tidak mengadakan pernikahan secara besar-besaran. Devan juga mengajukan syarat lain yang mau tak mau harus Viola ikuti. Saat baru masuk ke dalam kamar Devan yang tampak cukup besar dan mewah, Viola pun menoleh, menatap lekat wajah pria yang baru setengah jam lalu resmi menjadi suaminya. "Apa untuk syarat nomor tiga bisa dibatalkan? Bagaimana jika orang tua Pak Devan dan orang tua saya sampai tahu kita tidak tidur sekamar?" "Mereka tidak akan tahu. Nanti malam kita akan tidur sekamar, tapi setelah mereka pulang, kamu harus pindah ke kamar tamu." Viola hanya mendesah kasar. Raut wajahnya berubah masam. Tentu saja ia masih ingat betul dengan syarat yang diajukan oleh Devan. Namun, Viola tidak menyangka jika itu benar-benar akan terjadi setelah mereka menikah. "Ya, saya tidak punya pilihan selain menuruti, Pak Devan." Viola menjawab sekaligus memenuhi syarat kedua Devan yang tidak ingin dipanggil dengan sebutan lain, walau mereka sudah menikah. Selayaknya suami-istri, sebenarnya Viola ingin memanggil Devan dengan panggilan sayang seperti pasangan lain. Walaupun merasa sedih, tetapi Viola tahu jika itu adalah pilihan yang harus dijalani. Menjadi istri Devan memang harapannya sejak mereka pertama kali bertemu di kampus lamanya, maka itulah Viola tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang didapatnya sekalipun Devan mengajukan 5 syarat yang tidak masuk akal. "Bagus kalau begitu. Lagi pula kamu harus tahu jika pernikahan ini bukan kemauan saya, melainkan keinginan kamu sendiri. Jadi, ingat syarat terakhir yang saya pernah katakan!" Viola kembali diam. Wajah masamnya berubah sendu saat ingat jika pernikahannya hanya akan berlangsung sementara seandainya Viola tidak berhasil membuat Devan jatuh cinta padanya dalam dua tahun. "Lah, tapi kan orang tua kita udah jodohin kita, Pak! Berarti kan bukan kemauan saya aja pernikahan kita bisa terjadi." "Ya, kan waktu itu kamu menolak perjodohan itu! Harusnya sekarang juga kamu tidak mengancam saya dengan pernikahan bodoh ini!" Devan menghela napas kasar. Menahan rasa kesal pada Viola yang sudah semakin menumpuk. "Pokoknya kamu harus ingat syarat terakhir yang saya bilang kemarin!" "Tenang aja, Pak, saya enggak akan lupa syarat terakhir itu. Walaupun dua tahun terbilang cepet, tapi itu lebih masuk akal dari waktu yang Bapak ajukan sebelumnya." "Sebenarnya saya cuma mau 6 bulan, tapi kamu malah ngancem akan menceritakan rahasia saya pada semua orang di kampus. Dasar licik!" Melihat raut cemberut di wajah Devan, Viola sejenak melupakan kesedihannya. Entah kenapa gadis itu merasa yakin bisa membuat Devan jatuh cinta padanya. Keyakinan yang jadi alasan terbesarnya untuk tetap menjadi nyonya Devan. "Gue dari dulu penasaran deh, apa bener cowok seganteng Pak Devan impoten?" Seketika terbesit pertanyaan yang dulu sempat mengusiknya, apalagi pertanyaan itu belum sempat Viola tanyakan, lantaran pria itu menghilang begitu saja. "Mungkin gue harus buktiin sendiri aja." Sebuah ide tiba-tiba muncul dalam pikiran Viola. Tanpa membuang waktu, gadis itu pun langsung membuka kebaya berwarna putih yang sejak tadi melekat pada tubuhnya selama beberapa jam saat acara akad nikah berlangsung. "Kamu ngapain, Vi?" "Saya mau ganti baju soalnya gerah dari tadi pake kebaya ini terus." "Ya, tapi jangan di depan saya! Ganti di sebelah sana aja!" Devan menunjuk sebuah ruangan yang ada di sisi kiri Viola. "Enggak ah, saya mau ganti di sini aja." Dalam sekejap, tubuh polos Viola terlihat jelas di mata Devan. Pria itu sampai menelan saliva-nya sendiri karena merasa tubuh Viola begitu indah. "Saya tahu pikiran kamu, tapi percuma, itu nggak akan berhasil!" Sambil mengulas senyum yang menggoda, Viola pun melangkah maju. Membuat Devan hanya bisa geleng-geleng kepala dengan tingkah liar Viola yang menurutnya tidak tahu malu. "Pak ...." Viola memanggil, suaranya terdengar berbisik di telinga Devan saat langkahnya terhenti tepat di hadapan pria itu. "Apa Bapak tahu kenapa saya masih mau jadi istri Bapak, meskipun syarat-syarat yang Bapak ajukan itu sangat tidak masuk akal buat saya?" Raut wajah Devan masih datar. Menatap Viola dengan enggan. "Saya enggak mau tahu! Menurut saya, kamu itu cuma terobsesi sama saya karena dulu saya sempat nolak kamu." "Salah, Pak! Saya itu udah jatuh cinta sama Bapak sejak Bapak pertama kali ngajar di kelas saya." Tentu saja Devan tersentak kaget, terlebih lagi saat tangan Viola hendak masuk ke celana bahan hitam yang dikenakannya. Spontan saja Devan langsung beranjak. Melangkah mundur dan menjauh dari Viola. "Stop, Viola! Jangan kurang ajar! Ingat! Saya ini dosen kamu!" "Iya, tapi kan Pak Devan suami saya sekarang. Masa sih saya enggak boleh ngelakuin itu, bukannya kita udah halal, Pak?" "Jaga sikap kamu, Viola! Saya akan tambahkan satu syarat lagi, ini sebagai syarat keenam yang harus kamu lakukan selama kita menikah! Kamu ingat syarat ini! Kamu tidak boleh menyentuh bagian mana pun tubuh saya dengan tangan kamu! Kamu ngerti!" Viola tersenyum kecut. Raut wajah Devan yang sekarang membuatnya jadi teringat saat Devan memarahinya di kampus. Wajah galak yang tegas dan benar-benar killer. "Ya udahlah kalau enggak boleh. Dasar dosen killer!" Viola membuang pandangannya. Melangkah pergi begitu saja menuju kamar mandi yang ada di sudut ruangan. Bersambung ✍️Selamat membaca!Viola tampak begitu cemas. Menanti balasan pesan suaminya. Namun, sampai ia mau berangkat pergi ke rumah Arya, Devan tak kunjung membalas. Membuat raut wajahnya semakin murung. Gadis itu pun mulai berpikir jika suaminya itu memang sudah tak lagi peduli."Apa ini akhir dari rumah tanggu gue?" Kenangan demi kenangan mulai bermunculan. Satu persatu terbesit jelas dalam pikirannya. Membuat air mata tak sanggup lagi Viola tahan untuk tak menetes. Gadis itu coba menguatkan hati. Memaksa isak tangisnya mereda saat panggilan dari sang ibu terdengar di depan kamar."Vi, ada temen kamu datang.""Iya, Bu, bentar." Sebelum keluar dari kamar, Viola sejenak mematutkan diri di depan cermin. Memastikan tak ada air mata yang tertinggal di wajahnya. Tentu saja ia tidak ingin jika Arya sampai tahu bahwa ia habis menangis karena menunggu balasan pesan dari Devan yang tak kunjung datang."Vi, apa kamu sudah izin sama suami kamu kalau mau pergi sama Arya?" tanya Dina begitu melihat Viola
Selamat membaca!Di dalam mobil, Viola dan Devan masih diam tak saling bicara, padahal mereka sudah menempuh setengah perjalanan pulang."Ngapain diajak bareng kalau cuma didiemin doang. Tahu gitu kan mending tadi pulang sendiri aja." Kesal Viola menggerutu dalam hati. Masih menatap ke luar jendela tanpa pernah melihat Devan sejak dirinya berada di dalam mobil."Saya minta maaf ya, Vi."Akhirnya, kata-kata itu terdengar dari mulut Devan. Viola pun tersenyum. Namun, sengaja ia tahan karena tak ingin terlalu kelihatan bahagia di depan Devan."Kenapa minta maaf, Pak?" Viola menatap wajah Devan yang sesekali melihatnya karena harus fokus dengan kemudi."Saya udah salah. Nggak seharusnya beberapa hari ini saya menyalahkan kamu dan bersikap tidak baik sama kamu."Viola masih diam. Hatinya merasa sangat lega karena akhirnya Devan menyadari kesalahannya."Kalau saya nggak mau maafin gimana?" Viola yang masih ingin melihat Devan lebih berusaha, berpura-pura dingin meski di dalam hati, dirinya
Selamat membaca!"Berarti bokap lo bisa terlibat kecelakaan setelah nganterin bokapnya William ke rumah sakit?" tanya Viola setelah mendengar cerita dari Tari di jam istirahat. Ya, setelah mata kuliah pertama selesai, keduanya kini tampak sudah berada di kantin."Iya, Vi. Ternyata begitu ceritanya. Pantes aja di lokasi kejadian nggak ada motor bokap gue, bokap gue naik ojek online saat itu.""Sekarang lo udah nggak ngerasa bersalah lagi, kan?""Iya, gue lega sekarang, tapi gue sebenarnya keberatan dengan niat William mau nikahin gue. Gue udah bilang dia nggak harus ngelakuin itu kalau dia nggak mau, cuma dia tetap mau nikahin gue karena itu keinginan yang terakhir dari bokapnya sebelum meninggal.""Oh, bokapnya William meninggal, bukannya bokap lo udah bawa dia ke rumah sakit?""Bokap gue emang udah nyelametin bokapnya William, tapi satu bulan kemudian, bokap William meninggal.""Oh gue ngerti sekarang. Jadi, William dan ibunya ngerasa berutang budi sama bokap lo karena bokap lo mereka
Selamat membaca!Devan menuruni anak tangga dengan langkah yang tergesa-gesa. Wajar saja, pagi ini ia bangun kesiangan setelah semalam sulit sekali memejamkan mata meski sudah menyalakan alarm pada ponselnya."Bi, tolong panggilin Viola! Bilang sarapan di kampus aja karena saya udah telat." Setibanya di lantai bawah, Devan langsung memerintahkan Retno yang terlihat sedang menyapu lantai di ruang tengah."Tapi, Mas, Mbak Viola udah jalan dari 15 menit yang lalu." Retno tampak bingung. Merasa heran karena Devan bisa tidak tahu akan hal itu."Dia udah jalan ...?" Devan seketika terdiam. Teringat perdebatan semalam di mana keduanya sampai harus pisah kamar."Bibi pikir Mas Devan tahu. Apa Mas Devan lagi ada masalah sama Mbak Viola?" Meski tak enak hati menanyakan itu, tetapi Retno penasaran karena mencemaskan kedua majikannya. Terlebih Retno tahu jika mereka baru saja bahagia setelah hubungan keduanya sempat diguncang karena kedatangan Renata."Oh, nggak apa-apa, Bi. Mungkin karena saya k
Selamat membaca!"Ini semua salah kamu, Devan! Harusnya kamu temui Audrey saat dia sakit, kenapa kamu malah nggak percaya kalau dia sakit? Kenapa?" Renata langsung mencengkram erat kerah kemeja Devan dengan kasar saat melihat kedatangan pria itu bersama Viola yang seketika langsung berusaha melepaskan tangan Renata dari suaminya."Jangan seperti ini, Renata! Lagi pula kematian Audrey bukan kesalahan Devan. Ini sudah takdir, kamu harus bisa terima."Renata menatap nyalang. Penuh dendam dengan sorot mata yang tajam. "Lebih baik kalian pergi dari sini! Aku nggak sudi kalian datang, cepat pergi!" Dengan mendorong tubuh Devan, Renata mengusir paksa keduanya agar pergi.Suara wanita itu sampai membuat beberapa orang jadi menatap sinis ke arah Devan dan Viola yang seketika merasa tidak nyaman berada di sana."Mas, lebih baik kita pulang aja! Percuma kita datang, niat baik kita nggak dihargai di sini!"Devan menatap sendu. Masih tak mengalihkan pandangannya. Pria itu terus melihat jenazah anak
Selamat membaca!Sejak mengakhiri sambungan teleponnya dengan Viola, Devan kembali pergi, padahal pria itu baru saja tiba di rumah beberapa menit lalu. Namun, entah kenapa ia merasa tidak tenang. Memikirkan Viola yang baru diizinkan pulang dari rumah sakit, tetapi sudah pergi keluar rumah seorang diri."Apa sebaiknya gue jemput Viola dulu, ya?" Setelah cukup lama bergelut dalam keraguan, Devan pun akhirnya memutuskan untuk pergi menuju cafe tempat di mana Viola berada. "Lebih baik gue jemput Viola dulu. Setelah itu, baru gue bisa nemuin Elmer. Lagian kenapa juga Viola harus pergi segala, padahal dia baru dibolehin pulang dari rumah sakit."Devan merasa cemas. Menambah kecepatan mobilnya agar segera tiba di cafe yang berada dekat dari kampus tempatnya mengajar.Tak butuh waktu yang lama, Devan sudah berbelok ke jalan di mana tempat tujuannya berada. Cafe Brewbee ada di sisi kanan dari jalan yang dilaluinya. Artinya, Devan harus memutar dulu di pertigaan yang berada di ujung depan sana