Share

BAB 5 - SITUASI YANG MEMBINGUNGKAN

Bandung.

Mobil yang dikendarai Alfan akhirnya sampai di sebuah rumah sakit swasta yang lumayan besar dan terkenal. Dengan sedikit tergesa, Alfan berlari menuju ke ruangan ibu mertuanya. 

Sedari tadi Zahra, sang istri terus saja menghubunginya. Panik, cemas dan takut adalah perasaan yang juga dirasakan Alfan. Ibu mertuanya sangat baik terhadapnya, bahkan ia sudah menganggapnya seperti ibu kandung sendiri.

Oleh sebab itu bahkan Alfan rela menerima perjodohan dengan Bulan sebab alasan yang egois.

Langkah kaki Alfan membuat seseorang yang ada di depan ruangan tersebut menoleh. Wajahnya sembab dengan bekas air mata yang masih basah di pipi. 

Wanita bertubuh mungil dengan hijab berwarna biru itu berlari dan memeluknya. Menumpahkan isak tangis di dalam pelukannya. 

“Aku takut, Mas.” 

“Ibu akan baik-baik saja, Ra.” Sembari mengelus lembut punggung yang bergetar tersebut.

Masih dalam pelukannya, Alfan menuntun wanita itu untuk duduk bersama dengan yang lain. Di sana ada dua orang lainnya yang tak lain adalah kedua adik iparnya. 

“Mas Alfan buru-buru ke sini. Maaf tidak membawakan kalian apa-apa.” 

Dua adik iparnya menggeleng. “Ibu, Mas,” lirihnya kemudian terisak.

Alfan yang menjadi lelaki satu-satunya sandaran keluarga tersebut hanya bisa menenangkan mereka dengan kata ‘semoga ibu baik-baik saja’. Apalagi yang bisa dikatakan selain itu di saat seperti ini.

Tak lama dokter keluar dari ruangan dengan wajah tertunduk. 

“Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?” tanya Zahra dengan cepat.

“Maaf, kami sudah berusaha semampu kami. Namun takdir Tuhan berkata lain,” ucap Dokter tersebut dengan wajah menyesal. “Ibu Rina telah meninggal dunia.” 

Brug! 

Zahra jatuh berlutut di lantai dengan tangisan yang menyayat hati. Kehilangan anggota keluarga yang sangat berharga dalam hidupnya adalah pukulan yang luar biasa. 

Alfan mendekat dan memeluk Zahra. Ia sedih dan juga terpukul, namun tak boleh terlihat rapuh karena ada seseorang yang membutuhkan sandarannya. 

Zahra dan kedua adiknya saling berpelukan sambil terisak. 

Alfan kemudian meminta pihak rumah sakit untuk mengurus kepulangan jenazah ibu mertuanya.

Rumah duka telah ramai didatangi oleh tetangga dan kerabat jauhnya. Jenazah ibu mertuanya telah dimandikan dan juga telah dibungkus kain kafan. 

Zahra dan kedua adiknya masih saja terisak.

Jenazah ibu mertuanya sudah diangkat ke dalam ambulans siap dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Tetangga juga beberapa kerabat dan yang lainnya mengikuti di belakang ambulans dengan kendaraan masing-masing. 

Alfan dan Zahra berikut kedua adiknya berada di mobil milik Alfan. Mereka masih tak henti-hentinya menangis atas kehilangan orang tua satu-satunya. 

“Ra, sudah. Ibu pasti sedih jika melihatmu seperti ini.” Alfan menoleh sekilas ke arah Zahra. 

“Aku cuma punya ibu, Mas. Bagaimana aku akan sanggup melanjutkan hidup tanpa ibu sebagai penerang kehidupanku,” ujarnya dengan lirih.

“Kamu masih punya aku, Ra. Lihat, ada adikmu yang juga butuh kamu,” kata Alfan sambil melirik kaca tengah mobilnya. Melihat kedua adik iparnya terisak saling berpelukan.

Karena keadaan yang ruwet dan mumet, Alfan sampai melupakan istrinya yang lain. Semenjak kepergiannya, ia bahkan lupa mengabari Bulan.

Di atas gundukan tanah yang masih basah tersebut, Zahra terduduk sembari memeluk nisan ibunya dengan isak tangis yang belum bisa dihentikan.

Para tetangga dan kerabat jauh yang ikut mengantarkan ibunya telah kembali pulang. Langit yang tadinya terang mulai menggelap seakan tahu apa yang sedang terjadi.

“Bu, kenapa ibu meninggalkan kami secepat ini.” 

Alfan menarik kemudian memeluk Zahra yang sedang dalam suasana hati yang buruk.

“Ikhlas, Ra. Doakan ibu supaya diberikan jalan yang mudah. Jangan seperti ini,” bisik Alfan di telinga Zahra. 

“Aku tidak punya siapa pun lagi, Mas.” 

“Kamu masih punya aku, Ra. Aku ada untukmu.” 

Zahra membalas pelukan Alfan. “Jangan tinggalkan aku, Mas.” 

“Aku janji!” 

Setelah mengantarkan jenazah ibu mertuanya ke tempat istirahat terakhirnya. Seusai salat magrib, diadakan pengajian di rumah minimalis tersebut yang dihadiri para tetangga dekatnya. 

Zahra dan kedua adiknya tak hentinya menangis meratapi kepergian ibunya. Satu-satunya orang tua yang selama ini dimiliki. Isak tangis mereka tentu saja menyayat hati karena sakitnya kehilangan, sakitnya ditinggal pergi untuk selamanya itu memang berat. 

***

Setelah menyuruh kedua adik iparnya untuk pergi tidur, Alfan berjalan menuju kamar ibu mertuanya. Di sana ia melihat Zahra tengah menangis sesenggukan dengan memeluk foto ibunya.

Perlahan Alfan mendekat dan duduk di sisi ranjang yang kosong. Tangannya perlahan menyentuh kepala Zahra dan mengusap rambut yang masih tertutup dengan hijab tersebut.

“Sudah Ra, ikhlaskan ibu. Kita yang masih ada hanya bisa berdoa untuk membuka jalan ibu agar mendapatkan tempat terbaik di sana. Jangan halangi kepergian ibu dengan tangisanmu seperti ini. Ibu pasti sedih melihatnya,” ucap Alfan dengan lembut.

Zahra mengangguk dengan rapuh dan isak tangis yang masih terdengar.

“Semua manusia akan kembali pada sang pencipta. Hanya tinggal menunggu waktu saja,” sambungnya lagi.

“Aku tahu, Mas. Tapi kenapa harus secepat ini? Aku dan adikku masih butuh sosok ibu.” Dengan bibir bergetar Zahra menjawab.

“Dengar, Ra. Masih ada aku, aku akan selalu bersamamu. Kita adalah keluarga, kamu harus bisa kuat demi kedua adikmu. Mereka juga merasakan kehilangan yang sama.” 

Tangisan Zahra terhenti ketika menyadari kedua adiknya. Perlahan ia duduk dan mengusap air matanya dengan kasar. 

“Aku harus kuat demi adik,” gumamnya yang masih terdengar jelas di telinga Alfan.

Dan detik berikutnya Zahra langsung berhambur memeluk Alfan yang duduk di hadapannya. 

“Terima kasih, Mas. Berjanjilah apa pun yang terjadi jangan meninggalkan aku. Aku sudah kehilangan ibu, aku tidak mau kehilangan kamu, Mas.”

Alfan mengangguk sambil mencium kening istrinya dengan kecupan singkat. 

“Tidur ya, ini sudah malam,” ucap Alfan mengingatkan.

Zahra melepaskan diri dari pelukan Alfan kemudian turun dari ranjang.

“Aku mau lihat Zea dan Zain dulu, Mas,” jawab Zahra.

Zea dan Zain adalah nama kedua adiknya. Zea sudah duduk di bangku sekolah menengah ke atas, sedangkan Zain masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. 

Alfan mengangguk sebagai jawaban. 

Setelah kepergian Zahra, Alfan menyusul keluar dari kamar tersebut dan berjalan menuju teras rumah. Ia memilih duduk di teras untuk menghisap rokok untuk sedikit menghilangkan pusing di kepalanya. 

Kepulan asap yang mengandung nikotin tersebut keluar dari mulut dan hidungnya. Tiba-tiba ia mengingat bahwa seharian ini belum memberikan kabar apapun pada istrinya, Bulan. 

Maafkan aku Bulan, batinnya.

Alfan merogoh ponsel yang ada di saku celananya kemudian mencoba mengetikkan pesan pada istrinya yang jauh di sana. 

[Alfan : Malam, Bulan. Kamu sudah tidur? Jika belum tolong balas pesanku.]

Hanya butuh waktu sekitar lima menit akhirnya ponselnya berbunyi tanda pesan masuk. 

[Bulan : Malam, Mas. Aku belum tidur, lagi mengisi waktu dengan gambar gaun yang belum jadi. Ada apa ya, Mas?]

Alfan tersenyum tipis membaca balasan pesan dari Bulan. Kemudian ia memilih menelpon wanita itu saja seraya menjelaskan.

Dalam dua kali dering akhirnya panggilan tersebut diangkat juga.

“Ya, Mas Alfan?” 

“Bulan, maaf aku baru bisa memberikan kabar. Ibu mertuaku sore tadi meninggal dunia. Aku sibuk mengurus banyak hal, maaf baru memberi kabar.” 

“Aku turut berduka cita untuk kepergian ibu mertuamu, Mas. Kamu dan keluarga yang sabar ya. Tidak perlu menjelaskan apa pun, aku bisa mengerti.” 

“Terima kasih, Bulan. Oh iya aku sekalian boleh minta tolong sama kamu?” 

“Katakan saja, Mas. Jika aku bisa aku pasti membantumu.”

Alfan menghembuskan napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya.

“Aku akan berada di Bandung sampai tujuh hari. Bisa minta tolong berikan alasan yang logis kepada kedua orang tuaku? Maaf harus melibatkanmu lagi.” 

Hening selama beberapa detik hingga suara Bulan kembali terdengar. 

“Okay, Mas. Aku mengerti.” 

Alfan bisa bernapas lega pada akhirnya. 

“Terima kasih banyak Bulan. Maaf aku merepotkanmu lagi.” 

“It’s okay, Mas. Don’t worry. Ada yang perlu disampaikan lagi? Jika tidak aku akan tidur.” 

“Baiklah. Jaga dirimu di sana, Bulan. Maaf aku harus berada di sini sam—” ucapan Alfan belum selesai namun dipotong dengan Bulan.

“Tidak ada yang perlu dijelaskan. Sudah ya Mas. Hati-hati dan sampaikan salamku untuk istrimu. Bye, Mas.” 

Panggilan terputus sebelum Alfan mengucapkan selamat malam.

Sedangkan sedari tadi Alfan tak menyadari bahwa Zahra mendengar obrolannya. Bahkan wanita itu terlihat penasaran dengan siapa suaminya berbicara di malam hari seperti ini.

“Mas Alfan telponan sama siapa ya?” gumamnya seperti bertanya pada dirinya sendiri. 

To Be Continue ….

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Yen San
pilih yang mana ya??
goodnovel comment avatar
Langit
smg Zahra segera tahu...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status