Setelah panggilan terputus Bulan melempar asal ponselnya ke atas ranjang. Tangannya menyahut kertas gambar yang tadi dipakai untuk menuangkan ide menggambarnya kemudian meremasnya dengan pelan dan melemparnya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Mampukah aku bertahan sementara hatiku saja terasa sesak seperti ini? Tuhan, kenapa takdir yang kau berikan harus serumit ini? Astaghfirullah,” gumam Bulan seraya menekan dadanya dengan pelan.
Bulan memilih masuk ke kamar mandi dan berwudhu, lebih baik ia menyerahkan semuanya kepada sang pemberi kehidupan. Percuma saja mengeluh dan meratapi nasib, sekuat apa pun kita melawan takdir, jika Tuhan sudah menuliskan skenarionya, maka manusia hanya mampu menjalaninya.
Setelah selesai melakukan salat, masih terlihat jelas jejak air mata di kedua pipinya yang masih basah.
Perlahan Bulan menuju ranjang dan merebahkan tubuhnya berharap semuanya akan baik-baik saja seiring berjalannya waktu.
Waktu, ya hanya menunggu waktu dan semuanya akan membaik.
Bulan sudah duduk di taman ditemani dengan secangkir teh hijau yang menenangkan. Ia hanya tidur beberapa jam saja karena bingung harus memberikan alasan apa kepada kedua orang tua Alfan.
“Huft!” Bulan menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan pelan.
“Ayo berpikir Bulan.”
Bulan berdiri dan mondar-mandir seperti setrika sambil memutar otak mencari alasan logis tentang kepergian Alfan.
Tiba-tiba terlintas ide konyol di kepala Bulan. Alasan masuk akal dan yang pasti kedua orang tua maupun mertuanya tidak akan curiga sama sekali.
Biarlah Alfan setuju atau tidak, hanya itu alasan yang terdengar masuk akal dan jelas orang tuanya atau mertuanya tidak akan mungkin banyak bertanya.
Bulan sedang memegang ponselnya dengan sedikit keraguan. Namun pada akhirnya ia menekan ponselnya beberapa saat dan menempelkannya di telinga.
“Halo. Apa kabar Ma?”
“Baik-baik, kalian bagaimana? Jadi ke rumah hari ini?”
“Begini Ma, ada yang mau aku sampaikan.”
“Ada apa, Nak? Sepertinya kok serius sekali.”
“Begini, Ma. Sepertinya Bulan dan Mas Alfan tidak bisa kesana soalnya kami mau pergi. Mama tidak keberatan, kan?”
Di ujung panggilan Mama Silvi mengerutkan keningnya.
“Kalian mau pergi ke mana? Honeymoon?”
“Iya, Ma. Kurang lebih mungkin seminggu. Mama dan papa tidak masalah bukan kalau kami ke sana sepulangnya saja?”
Terdengar kekehan pelan sebelum menjawab, “Tidak. Kami tidak keberatan sama sekali. Kalian mau pergi ke mana biar mama yang mengurusnya.”
“Kami sudah mengurus semuanya, Ma. Kami mau pergi ke Bali saja. Sore nanti kami berangkat," ujar Bulan memberitahu.
“Jaga diri baik-baik di sana. Jangan lupa buatkan mama cucu yang banyak.”
Terdengar ledakan tawa dari Mama Silvi. Mendengar tawa ringan yang tanpa beban itu membuatnya juga ikut tertawa pelan. Tapi dalam hati ia memohon maaf yang sebesar-besarnya karena telah membohongi mereka.
“Ya sudah bersenang-senanglah kalian di sana. Hati-hati dan jangan lupa pesan mama.”
“Sampaikan salam Bulan sama papa. Sekali lagi kami minta maaf ya, Ma.”
Setelah panggilan terputus akhirnya Bulan dapat bernapas dengan lega. Untung saja mertuanya percaya, jika tidak? Entah apa yang akan terjadi.
Setelahnya Bulan mencoba menghubungi Alfan. Dua kali panggilan namun tidak diangkat juga oleh pemilik ponselnya.
Sekali lagi ia mencobanya berharap kali ini akan tersambung. Dan benar saja akhirnya panggilan itu dijawab juga.
“Halo.”
“Pagi, Mas Alfan. Maaf jika aku mengganggu, aku cuma mau pamit kalau sore nanti aku akan pergi ke Bali selama seminggu,” jelas Bulan.
“Ada apa? Memangnya ada keperluan apa kamu ke Bali? Dengan siapa?”
Cecaran pertanyaan dari Alfan membuat Bulan memutar bola matanya malas.
“Aku sudah mencari alasan dan alasannya adalah pergi ke Bali untuk honeymoon. Jadi aku akan pergi ke sana untuk menghindari mama dan papa.” Bulan menjawab setelah Alfan terdengar tenang.
“Kamu tidak perlu pergi jauh-jauh, Bulan. Daripada kamu ke Bali sendirian lebih baik kamu datang ke Bandung saja.”
Ke Bandung, apakah aku harus datang ke sana dan bertemu dengan kalian? batin Bulan.
“Tidak apa-apa, Mas. Kamu tenang saja, aku sekalian mau liburan. Nanti kalau kamu kembali, aku juga akan kembali.”
“Tapi —”
“Sudah ya Mas, aku cuma mau menyampaikan itu. Terima kasih, Mas Alfan.”
Dengan sepihak Bulan memotong ucapan Alfan dan langsung mematikannya begitu ia selesai mengucapkan kalimat terakhirnya.
***
Ponsel Alfan yang ada di atas meja bergetar beberapa kali sementara yang empunya sedang mandi. Kebetulan ada Zahra yang saat itu sedang merapikan kamar, ia melihat ponsel suaminya namun tak berani mengangkatnya.
Queen Bulan. Nama yang tertera di layar ponsel tersebut.
Zahra hanya melirik sekilas sambil berpikir siapa itu. Ia memang tak terlalu mengenal sahabat ataupun rekan kerja Alfan. Statusnya yang tersembunyi membuat ia tak banyak tahu tentang suaminya diluar sana.
Ceklek!
Pintu kamar terbuka dan Alfan masuk ke dalam kamar dengan handuk yang masih melingkar di lehernya.
“Mas, ponselmu sedari tadi bunyi,” ujar Zahra pada Alfan yang dijawab anggukan.
Alfan langsung mengambil ponselnya dan melihat beberapa panggilan tak terjawab dari Bulan.
“Aku mau telepon sebentar, kamu tunggu di luar ya, Ra.” Tidak biasanya Alfan meminta waktu untuk sekadar menelpon.
Zahra langsung mengangguk dan keluar dari kamar sambil menebak siapa gerangan yang akan dihubungi suaminya.
Alfan baru saja mau menghubungi Bulan saat ponselnya kembali berdering. Secepat kilat ia mengangkatnya sambil duduk di atas ranjang.
“Tapi —” ucapannya terputus ketika Bulan mematikan panggilan sepihak tanpa menunggu jawabannya.
Alfan mendesah pelan, ia jadi merasa sangat bersalah dengan Bulan karena dirinya wanita itu menjadi repot seperti saat ini.
Alhasil Alfan hanya pasrah ketika Bulan memilih pergi ke Bali selama dirinya berada di Bandung. Ia kembali mengetikkan sesuatu di ponselnya sebelum mengantongi ponsel tersebut ke dalam saku celananya.
Ia memilih keluar dari kamar sambil menunggu pesannya dibalas. Langkahnya membawanya menuju sofa dan langsung mengambil tempat duduk di samping istrinya.
Diam-diam Zahra menatap Alfan dengan mata yang menyorotkan kecurigaan. Pasalnya selama ini jika menerima panggilan Alfan tak pernah memintanya untuk keluar walaupun itu keluarganya sekalipun.
“Mas Alfan, boleh aku tanya?” Zahra menyuarakan diri.
“Hm,” gumamnya tanpa menoleh ke arah Zahra yang sedang duduk di sofa.
“Siapa Queen Bulan itu, Mas?”
Deg!
To Be Continue ….
Hari-hari dilewati oleh Bulan dan Alfan dengan tempat dan waktu yang berbeda juga situasi yang hampir delapan puluh persen berbeda. Jika Alfan sibuk dengan keluarga kecilnya, maka Bulan tengah menikmati liburannya walaupun seorang diri. Bulan pasrah dan menjalani apa yang memang harus dijalani hingga Tuhan berkata berhenti. Ia telah memasrahkan semuanya kepada sang pemberi kehidupan. Sosok Bulan masih menjadi wanita masa kini dengan penampilan yang sangat fashionable. Namun begitu ia tak pernah lupa menjalankan kewajiban sholat lima waktu disela kesibukannya selama ini. Keluarga Latief adalah mualaf, mereka berpindah agama sekitar sepuluh tahun yang lalu. Tidak memakai hijab bukan berarti mereka lupa menjalankan kewajiban. Jangan melihat seseorang hanya dari luarnya saja, karena dalamnya hati seseorang kita tak pernah tahu. Bulan menerima perjodohan dengan A
Alfan sudah sampai di Jakarta lebih dulu. Hanya memerlukan waktu sekitar dua setengah jam untuk sampai di Jakarta. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata mengingat ini malam minggu, ia tak ingin terjebak kemacetan di jalan. Matanya melirik ke arah jam di pergelangan tangan, ia memilih langsung menjemput Bulan karena ia yakin bahwa istrinya telah tiba. Perbedaan waktu Jakarta-Bali hanya satu jam. Seharusnya sekitar pukul lima atau setengah enam, Bulan sudah tiba. Alfan menunggu di pintu kedatangan. Sudah hampir dua puluh menit ia menunggu namun tak kelihatan kehadiran Bulan. Ia mengeluarkan ponsel berniat menghubungi istrinya ketika tepukan di bahu membuatnya terkejut. Segera saja ia menoleh dan melihat seorang wanita dengan jumpsuit panjang dengan rambut yang acak-acakan berdiri di hadapannya. Wajahnya tertutup masker hingga tak terlalu jelas terlihat.
Pagi itu Bulan sudah mandi dan bersiap turun ke lantai dua dengan membawa beberapa paper bag yang berisi oleh-oleh dari Bali. Dibantu oleh bibi asisten rumah tangga, Bulan membawa semua barang-barang itu ke ruang keluarga untuk dibagikan ke semua orang. “Bulan, kenapa repot-repot bawain mama oleh-oleh banyak begini.” Mama Silvi berkomentar saat ia masuk ke dalam ruang keluarga. “Tidak repot, Ma. Mumpung sekalian di Bali. Kapan-kapan belum tentu ada waktu buat liburan lagi,” jawab Bulan diiringi tawa ringan. Ia mulai bisa menyesuaikan diri dengan keluarga Alfan dengan berbicara santai. Mama Silvi ikut tertawa. Semua pekerja yang bekerja di rumah mendapatkan jatah semuanya tanpa terkecuali. Setelah keadaan hening, Mama Silvi menggenggam tangan Bulan dan menatapnya dengan intens penuh ketegasan. “Ada apa, Ma?”
Bulan turun ke meja makan lebih dulu setelah menyiapkan pakaian suaminya. Sejak semalam mereka tak banyak bicara seperti biasanya. Tak lama Alfan turun ke meja makan dengan pakaian rapi. Mereka berdua sudah kembali memulai aktivitas kembali seperti biasanya. Alfan sudah harus kembali bekerja di perusahaan papanya dan ia harus kembali mengurus butik yang sudah hampir dua minggu ini ditinggalkan. Setelah lelaki itu duduk, Bulan dengan penuh perhatian melayani suaminya. Walaupun bukan cinta setidaknya ia memberikan rasa hormatnya pada suaminya. “Apa yang kamu lakukan semalam, Bulan?” tanya Alfan membuat tangan Bulan menggantung di udara. “Apa maksudnya?” jawab Bulan yang belum paham inti dari ucapan suaminya. “Zahra,” sahutnya dengan pelan. Bulan meletakkan kembali tangannya kemudian menatap suaminya dengan datar. Kini ia paham apa maksud
Hari berganti, minggu berlalu, bulan berganti dan waktu terus berputar mengikuti bumi yang juga terus berputar. Semuanya mengalami perubahan namun tidak dengan hubungan antara Alfan dan Bulan. Hubungan sepasang suami-istri itu masih panas seperti saat terakhir kali mereka bertengkar. Sikap Bulan yang cuek membuat hubungan mereka terasa semakin dingin karena tidak ada komunikasi yang baik di antara keduanya. Bulan dan Alfan sama-sama memiliki sikap yang tak mudah dibelokkan sehingga keduanya sama-sama tidak ada yang mau mengalah. Alfan sudah mencoba bicara dengan Bulan namun selalu berujung dengan perdebatan. Alfan yang seharusnya hanya meminta maaf pada Bulan ternyata mengungkit sesuatu hal lain yang selalu membuat emosinya naik. Begitulah keduanya. Mereka tinggal bersama bahkan berbagi kamar yang sama namun bagaikan orang asing yang tidak saling mengenal. Asisten rumah tang
Masih berada di rumah yang sama namun kini keadaan kedua wanita itu sama-sama tak terkendali. Bulan mengayunkan tangannya menghampiri wajah Zahra yang tengah meluapkan emosinya. Kejadiannya sangat cepat hingga Alfan tak bisa mencegahnya. Tamparan Bulan sekaligus menghentikan ucapan Zahra. Wanita itu menatap Bulan dengan tatapan tidak percaya. Ia memegang pipinya yang terasa panas. “Jangan melimpahkan kesalahan hanya padaku. Jika ada yang harus disalahkan itu adalah kalian berdua. Kalian yang menyembunyikan pernikahan itu. Jika kamu menyebutku pelacur lalu apa bedanya denganmu yang mau dinikahi hanya secara siri?” balas Bulan dengan suara meninggi. Zahra dan Alfan sama-sama tersentak mendengar lengkingan suara Bulan yang penuh amarah. “Sudah cukup!” Alfan melerai di antara dua istrinya sebelum keduanya kembali memulai debat. Ia menoleh ke arah Zahra. “Sudah aku bilang, semuanya salahku. Bulan
Semenjak pertemuan antara Bulan dan Zahra, keadaan sedikit mulai membaik sebab mereka sudah saling tahu tentang apa yang terjadi. Alfan berusaha bersikap adil dengan membagi waktunya, tiga hari bersama dengannya dan tiga hari bersama Zahra. Sementara di hari minggu, Alfan meminta waktu untuk sendiri. Bulan menyetujui tanpa banyak protes, sementara Zahra terlihat beberapa kali tidak menerima keputusan Alfan. Bahkan wanita itu menuntut hari minggu Alfan harus bersamanya karena ia istri pertama. Jawaban Alfan membuat wanita itu terdiam dengan isak tangis. “Jangan menuntut terlalu banyak, Zahra. Istri pertama atau kedua tidak ada bedanya, kalian sama di mataku. Seharusnya kamu bersyukur kita bisa bertemu tiga kali dalam seminggu. Dulu kita hanya bertemu dua kali dalam sebulan. Kamu jangan terlihat serakah, Zahra.” Itulah ucapan Alfan yang saat itu terdengar di telinga Bulan. Begitu te
Selama beberapa hari Bulan selalu sibuk dengan urusan butiknya. Ia selalu pulang larut malam dan selama itu pula Alfan selalu menunggunya. Hubungannya dengan lelaki itu lebih baik dari sebelumnya. Komunikasi di antara keduanya juga mulai terbuka tentang beberapa hal. Karena hari ini adalah hari terakhir dirinya bersama dengan Alfan maka Bulan memutuskan untuk pulang sebelum magrib tiba. Ia ingin sedikit memanfaatkan waktu bersama dengan suaminya untuk saling mengenal. Saat Bulan tiba di rumah ternyata Alfan juga baru saja tiba. Mereka berdua bahkan baru saja turun dari mobilnya masing-masing. “Tumben pulang sore, Bulan,” ucap Alfan. “Kamu baik-baik saja ‘kan?” Bulan mengangguk. “Baik. Pekerjaanku sudah selesai makanya aku pulang.” Keduanya berjalan bersamaan masuk ke dalam rumah. Bulan langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa setelah mereka berada di ruan