Share

BAB 4 - DITINGGALKAN

Bulan dan Alfan turun dari lantai dua. Mereka akan langsung pergi ke rumah pribadi milik Alfan. 

Kedua orang tuanya sudah menunggu di ruang tamu. Beberapa koper besar sudah dimasukkan ke dalam mobil lebih dulu.

Bulan memeluk Mami Tari dan Papi Jacob secara bergantian. 

“Jaga dirimu baik-baik, Nak.” Mami Tari mengelus rambut panjangnya.

“Mami juga. Jaga kesehatan dan berhentilah bekerja terus menerus.” 

“Iya,” jawab Mami Tari dengan senyum yang dipaksakan.

“Aku akan sangat merindukan kalian.” Bulan berbicara dengan mata yang berkaca-kaca.

Papi Jacob memeluk Alfan. “Titip putriku, Nak. Cintai dan sayangi dia seperti kami mencintainya.” 

Tapi kalian lebih mencintai pekerjaan dibandingkan aku anak kalian, batin Bulan.

“Baik. Saya akan berusaha membahagiakan Bulan.” 

Bahkan untuk pertama kalinya kamu sudah menggoreskan luka, batin Bulan.

“Jadilah wanita shalihah yang selalu menurut apa kata suami. Kamu bukan lagi bebas melakukan apa pun semaumu. Kamu harus meminta izin pada suamimu. Kamu paham, Bulan?” Nasihat Mami Tari padanya.

“Iya, Mam.” 

Kedua orang tua itu akhirnya melepas kepergiannya dengan sedikit drama mengharukan. 

Akhirnya mobil yang dikendarai Alfan meninggalkan rumah tempatnya dibesarkan. Diikuti mobil lain yang membawa beberapa koper besar keperluan Bulan. Tentu saja mobil sport ini tidak akan bisa memuat koper-koper berukuran besar tersebut.

Jalanan padat merayap. Bulan memilih menyadarkan kepalanya dan memejamkan mata. 

“Ada apa Bulan?” tanya Alfan memecah keheningan.

“Tidak apa-apa, Mas. Aku cuma sedikit mengantuk.” 

“Pusing?” tanya Alfan lagi.

“Tidak, Mas.”

Permata Greenland.

Mobil yang dikendarai Alfan sudah berhenti di sebuah rumah mewah yang tidak terlalu besar dengan dua lantai. 

“Bulan, bangun. Kita sudah sampai.” Alfan menyentuh bahu Bulan dengan pelan agar tak mengagetkan wanita itu.

“Bulan,” panggilnya sekali lagi.

Perlahan Bulan membuka mata dan menatap sekitar. 

“Kita sudah sampai,” ucap Alfan yang mengerti akan kebingungan Bulan.

“Maaf aku ketiduran,” ujar Bulan dengan suara serak.

Alfan mengangguk.

Kemudian keduanya turun dari mobil. Bulan melihat dua orang lelaki mengeluarkan koper-koper dari dalam mobil. Setelah selesai Alfan memberikan beberapa lembar kepada mereka dan langsung pamit pergi. 

Alfan mengajak Bulan masuk ke dalam rumah. 

“Ayo aku antar ke kamar.” 

Bulan mengangguk dan mengikuti langkah Alfan yang telah melangkah lebih dulu. 

“Rumah ini punya lampu otomatis. Saat sensor menunjukkan bahwa ada orang di sekitar maka lampu akan tetap menyala,” jelas Alfan. 

Bulan mengagumi desain rumah ini. 

Keduanya sampai di lantai dua. Ada beberapa kamar di lantai dua yaitu kamar tamu dan kamar utama. Sedangkan di lantai dasar hanya kamar khusus pekerja rumah. 

Ceklek! 

Pintu terbuka dan seketika lampu menyala. 

“Kamu istirahat saja dulu. Biar besok bibi yang membantumu menyimpan keperluanmu.” 

Bulan mengangguk. 

Setelah mencuci muka, ia langsung naik ke atas ranjang. Ia tak lagi melihat Alfan di dalam kamar.

Pikiran yang masih kacau ditambah dengan tubuh yang lelah membuat tak butuh waktu lama bagi Bulan akhirnya terlelap di bawah selimut. 

***

“Ada apa Ra? Kenapa belum tidur, ini sudah larut malam.” 

“Aku tidak bisa tidur, Mas. Kepikiran kamu. Kayaknya aku merasa ada sesuatu yang terjadi sama kamu.” 

“Itu cuma pikiranmu saja. Tidur Ra, ini sudah larut malam.” 

“Aku kangen, Mas.” 

“Lusa aku datang. Oh ya bagaimana perkembangan ibu?” 

“Masih sama, Mas.” 

“Sudah tidak apa-apa, ibu pasti sembuh. Kamu yang sabar dan jangan lupa berdoa.” 

“Terima kasih Mas. Aku mencintaimu.” 

“Aku lebih mencintaimu, Ra.” 

“Ya sudah aku mau tidur. Mas Alfan jaga kesehatan di sana ya.” 

“Iya. Good night, Sayang.” 

Alfan memutuskan panggilan setelah berbicara dengan Zahra, istrinya. Setelah itu ia memilih merebahkan tubuhnya di sofa dan memilih memejamkan mata.

Tanpa diketahui oleh Alfan bahwa Bulan mendengar dengan jelas obrolan tersebut.

Tiba-tiba hatinya didera rasa sakit dan kecewa yang mendalam. Itu manusiawi karena Alfan adalah suaminya.

Bulan membungkam mulutnya agar tak mengeluarkan suara.

Kenapa rasanya sesakit ini, batin Bulan dengan air mata yang sudah meleleh.

Diam-diam Bulan terisak dengan pelan dibalik selimut yang menutup tubuhnya. Ia tidak menyangka bahwa rasanya akan semenyedihkan ini. Mampukah ia berbagi suami dengan wanita yang lebih dulu menjadi istri dari suaminya?

Bulan yang semenjak subuh tidak melihat keberadaan Alfan, bergegas mencuci muka dan sikat gigi. Setelah itu ia turun ke bawah mencari keberadaan suaminya.

“Pagi, Bi.” Bulan menyapa bibi asisten rumah tangga. 

“Pagi, Non.” 

“Masak apa, Bi? Ada yang bisa aku bantu?” tawar Bulan. 

“Tidak Non, jangan. Non duduk saja.” Bibi menolak dengan halus.

“Nanti Marni yang akan bantu Non di lantai atas. Marni lagi pergi ke pasar, sebentar lagi pasti sudah pulang.”

Bulan mengangguk.

“Di sini ada tiga asisten rumah tangga termasuk bibi. Bibi cuma masak dan bertugas di dapur. Lainnya dipegang Marni sama Yuli,” jelas wanita paruh baya itu.

Bulan kembali mengangguk. Semalam mereka memang tak sempat bertemu.

“Mas Alfan ke mana, Bi?” 

“Den Alfan kalau pagi begini lagi olahraga, Non. Biasanya keliling kompleks,” jawab Bibi.

Setelah meneguk segelas air dingin, Bulan memilih pergi kembali ke kamarnya. 

Ceklek! 

“Lho sudah bangun,” ucap Alfan yang baru saja masuk ke kamar dan melihat Bulan duduk di sofa dengan televisi yang menyala.

Kaos yang dipakai terlihat basah hingga mencetak jelas bentuk tubuhnya yang tegap. 

Bulan menoleh. “Dari mana, Mas?” 

“Lari keliling kompleks,” sahutnya. 

Bulan mengangguk. 

“Aku mandi dulu ya.” Bergegas masuk ke kamar mandi tanpa menunggu sahutan dari Bulan. 

Setelah itu Bulan bangun dan berjalan menuju lemari untuk menyiapkan pakaian suaminya.

Celana kain selutut dengan kaos polos menjadi pilihan. Bulan menyiapkan pakaian tersebut di atas ranjang dan kembali duduk di sofa. 

Ceklek! 

Pintu kamar mandi terbuka, Alfan keluar dengan handuk yang hanya melilit tubuh bagian bawahnya.

Matanya melihat pakaian yang ada di atas ranjang. Kemudian tersenyum tipis dan mengambilnya. 

Alfan kembali masuk ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya. 

“Terima kasih, Bulan.” 

Bulan tersenyum dan mengangguk. Andai saja ia tidak mengetahui fakta bahwa lelaki ini telah memiliki istri lain, mungkin Bulan akan sangat bahagia. Tapi lagi dan lagi kenyataan itu kembali menamparnya akan sebuah status bahwa ia hanyalah istri di atas kertas.

Dan mencoba bersikap baik-baik saja itu ternyata tidak semudah bayangan. Butuh tenaga ekstra untuk menutupi segalanya.

Tok! Tok! Tok! 

“Non Bulan, Den Alfan, sarapan sudah siap.”

“Iya, Mbak.” Alfan balas berteriak.

Alfan berpaling menatap Bulan.

“Itu Mbak Marni.”

Bulan mengangguk.

“Mau sarapan sekarang?” tanya Alfan.

“Iya,” sahut Bulan. 

Keduanya akhirnya berjalan bersama menuju meja makan. Tidak banyak obrolan yang bisa dilakukan sepasang pengantin baru tersebut. Mereka berdua sepertinya masih canggung walaupun keduanya mencoba bersikap biasa saja.

Bulan mengambilkan makanan untuk Alfan. Ia melayani suaminya dengan baik walaupun di sudut hatinya masih ada luka menganga. 

“Selamat makan,” ucap Alfan dengan senyum tipis yang sangat manis. 

Ponsel milik Alfan bergetar menandakan ada sebuah pesan masuk. Bulan pura-pura tidak peduli, namun sekilas matanya melirik ke arah Alfan yang menatap ponselnya dengan raut tegang. 

“Bulan,” panggil Alfan lirih.

“Ada apa, Mas? Kenapa Mas Alfan tegang?” tanya balik Bulan.

Alfan langsung bangkit dari kursi. “Aku harus ke Bandung. Ibu mertuaku mendadak kritis.” 

Deg! 

Bulan mematung. 

Alfan langsung bergegas menuju kamarnya tanpa mempedulikan Bulan yang diam saja. 

Tak lama Alfan turun dengan pakaian yang sudah rapi. Kemeja panjang yang dilipat sampai sebatas siku membuatnya terlihat semakin tampan.

“Aku pergi dulu, Bulan. Kamu hati-hati di rumah. Maaf harus meninggalkanmu,” ucap Alfan. 

“Hati-hati di jalan, Mas Alfan.” 

Suara Bulan lirih, Alfan jelas tak akan mendengarnya karena lelaki itu sudah menghilang dari hadapannya.

Tanpa terasa buliran bening itu membasahi pipinya. 

Mulai sekarang kamu memang harus terbiasa, Bulan. Karena suamimu bukan hanya milikmu, batinnya.

Bulan tak lagi melanjutkan sarapan. Napsu makannya menguap begitu saja ketika melihat kecemasan yang tergambar di wajah Alfan.

Sampai siang hari Bulan masih mengurung diri di dalam kamar. Beberapa kali Mbak Marni dan Mbak Yuli datang untuk menawarkan makan siang namun ditolaknya begitu saja. 

Tak lama ponselnya berdering kembali, tanda pesan masuk dari Mama Silvi yang menawarkan paket liburan kepadanya. 

Bulan tersenyum miris dan mencibir dirinya sendiri. 

Kamu adalah pengantin baru yang paling menyedihkan, Bulan. Baru beberapa jam menikah, suamimu mengatakan kejujuran yang menyakitkan, dan kini kau harus ditinggalkan begitu saja, batinnya mengasihani diri sendiri.

To Be Continue ….

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Yen San
sedih kak....
goodnovel comment avatar
Jamiah Kampil
sepi itu menyakitkan
goodnovel comment avatar
Raja Wali Jaya Bf
lanjutkan bro
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status