Pagi itu Bulan sudah mandi dan bersiap turun ke lantai dua dengan membawa beberapa paper bag yang berisi oleh-oleh dari Bali.
Dibantu oleh bibi asisten rumah tangga, Bulan membawa semua barang-barang itu ke ruang keluarga untuk dibagikan ke semua orang.
“Bulan, kenapa repot-repot bawain mama oleh-oleh banyak begini.” Mama Silvi berkomentar saat ia masuk ke dalam ruang keluarga.
“Tidak repot, Ma. Mumpung sekalian di Bali. Kapan-kapan belum tentu ada waktu buat liburan lagi,” jawab Bulan diiringi tawa ringan. Ia mulai bisa menyesuaikan diri dengan keluarga Alfan dengan berbicara santai.
Mama Silvi ikut tertawa. Semua pekerja yang bekerja di rumah mendapatkan jatah semuanya tanpa terkecuali.
Setelah keadaan hening, Mama Silvi menggenggam tangan Bulan dan menatapnya dengan intens penuh ketegasan.
“Ada apa, Ma?”
Mama Silvi masih belum bicara. Ia hanya menatap menantunya yang juga tengah menatapnya.
“Mama,” panggil Bulan sekali lagi.
“Berjanjilah dengan mama,” jawabnya dengan mendesak.
“Janji apa, Ma? Aku tidak akan berjanji sebelum Mama kasih tahu apa yang harus kujanjikan.” Bulan menggeleng, “janji adalah hutang dan aku takut tak bisa menepatinya.”
“Berjanjilah untuk selalu menemani Alfan dalam keadaan apa pun. Baik suka atau duka, jangan tinggalkan Alfan.”
Bulan langsung menggeleng dengan tegas. “Aku tidak bisa berjanji untuk itu, Ma. Jodoh tidak ada yang tahu,” jawabnya dengan tegas.
“Kenapa?”
“Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi nanti, Ma. Jangan membuatku mengemban sesuatu yang berat.” Bulan menghela napas pelan.
“Mama kenapa berpikir sejauh itu?”
Apa Mama tahu sesuatu tentang hubungan Mas Alfan dan istrinya? Bulan menebak.
Mama Silvi memeluk Bulan dengan erat. “Setiap orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Begitu juga dengan kami sebagai orang tua Alfan. Kami ingin Alfan memiliki istri yang baik dan dari keluarga yang baik.”
Perkataan Mama Silvi semakin membuat Bulan berpikir bahwa wanita paruh baya itu sudah mengetahui hubungan anaknya dengan wanita lain.
“Apa Mama merahasiakan sesuatu?” tanya Bulan dengan tatapan mata menyelidik.
Mama Silvi menggeleng.
“Lalu sebenarnya apa maksud Mama? Aku masih tidak mengerti ke mana arah pembicaraan ini.”
“Tidak ada orang tua yang tidak menginginkan kebahagiaan untuk anaknya. Tapi jika kebahagiaan itu hanyalah semu dan penuh kepalsuan, apakah kami akan membiarkannya?”
Bulan menggeleng. “Semua orang tua pasti ingin yang terbaik dari sekedar yang baik, Ma.”
Mama Silvi tersenyum puas dengan jawaban Bulan.
“Jangan dipikirkan,” ucap Mama Silvi membuyarkan lamunannya. “Jalani saja semuanya seperti air mengalir.”
Bulan mengangguk.
Tok! Tok! Tok!
“Mas Alfan, makan siang dulu.”
Bulan berdiri di depan ruang kerja milik Alfan. Mengajak lelaki itu untuk makan siang bersama karena semenjak pagi lelaki itu selalu menghindarinya.
Bulan tahu bahwa Alfan merasa bersalah. Ia juga tahu bahwa suaminya enggan bertemu karena pembicaraan semalam yang teramat menyakitkan.
Tapi … dengan segala pengertian Bulan masih mau menunjukkan perhatiannya untuk Alfan yang jelas telah banyak menyakitinya.
Ceklek!
Alfan keluar dari ruang kerjanya dengan mata sayu.
“Makan siang dulu, Mas.”
Alfan hanya mengangguk dan mengikuti langkah Bulan menuju meja makan.
Tidak ada Mama Silvi atau Papa Andre. Mereka hanya makan siang berdua dalam kebungkaman masing-masing.
Setelah makan siang, Alfan pamit kembali ke ruang kerja karena harus menyelesaikan pekerjaannya. Bulan hanya mengangguk tanpa bertanya apapun.
Keduanya berniat pulang ke rumahnya. Karena mereka berdua pulang mendekati makan malam, akhirnya Mama Silvi membawakan banyak makanan untuk menantunya agar mereka bisa langsung makan tanpa menunggu.
Awalnya Mama Silvi meminta anak dan menantunya menginap satu malam lagi, namun Bulan menolaknya karena besok mereka berdua sudah mulai menjalankan aktivitas kembali.
Sore tadi Bulan sudah meminta tolong pada sopir Mama Silvi untuk mengantarkan oleh-olehnya ke rumah keluarga Latief.
“Sering-sering main ke rumah kalau lagi libur.” Mama Silvi berpesan sambil memeluk Bulan.
“Kami pulang, Ma, Pa. Jaga kesehatan kalian,” pamit Bulan kepada kedua mertuanya.
Mobil yang dikendarai Alfan membelah padatnya jalanan ibukota. Sebenarnya jarak rumah mereka tidak terlalu jauh seperti ke rumah keluarganya yang butuh waktu berjam-jam.
Satu jam kemudian ….
Mereka telah tiba di rumah sendiri. Bulan segera turun diikuti oleh Alfan.
“Kamu masuk saja duluan. Aku akan mengeluarkan kopernya dulu,” ucap Alfan ketika mobil sudah berhenti di rumahnya.
“Iya.” Bulan langsung keluar dari dalam mobil setelahnya.
Mbak Marni yang membukakan pintu dan bertanya apa yang diinginkan. Ia menyerahkan paper bag berisi makanan yang dibawakan dari rumah mertuanya.
“Dihangatkan saja nanti, Mbak. Aku mau bersih-bersih dulu,” ucap Bulan menginterupsi yang langsung dibalas anggukan kepala.
Bulan langsung berjalan ke kamarnya dan langsung membersihkan diri dengan mencuci muka. Pikirnya tidak usah mandi karena sore tadi ia sudah mandi di rumah mertuanya.
Setelahnya ia merebahkan diri sebentar di atas ranjang untuk meluruskan punggungnya yang sedikit pegal.
Ceklek!
“Bulan,” panggil Alfan yang mengira Bulan tertidur.
“Ada apa, Mas?”
“Sudah mandi?”
“Sudah tadi. Kenapa?”
“Tidak sholat isya dulu? Ayo sama-sama, kita berjamaah.”
Mendengar itu Bulan tersenyum tipis dan segera duduk dengan tegak.
Alfan pamit ke kamar mandi lebih dulu untuk membersihkan diri. Tak lama lelaki itu sudah keluar dengan penampilan yang segar dan terlihat tampan dengan baju koko yang dikenakan.
“Wudhu dulu,” ucapnya.
Alfan berdiri di depan sebagai imam sedangkan Bulan mengikuti di belakangnya sebagai makmum. Keduanya melakukan sholat dengan khusyuk untuk pertama kalinya setelah berstatus suami istri. Sebelumnya mereka selalu melakukan sholat sendiri.
“Assalamualaikum warahmatullah.”
Setelah mengucapkan salam keduanya masih duduk untuk memanjatkan doa.
“Allaahumma baarik lii fii ahlii wa baarik li ahlii fiyya (Ya Allah, berkahilah istriku untukku dan berkahilah aku untuk istriku)."
“Allahummaghfirli, warhamni, wahdini, wa‘aafini, warzuqni (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, berilah petunjuk kepadaku, selamatkanlah aku, dan berikanlah rezeki kepadaku).”
“Amin.”
Alfan berbalik badan menoleh ke arah Bulan yang sudah berlinang air mata. Lelaki itu menghapus air mata istrinya dengan pelan kemudian istrinya menangkap tangannya dan mencium punggung tangannya penuh kelembutan dan perasaan.
Alfan merengkuh tubuh Bulan ke dalam pelukannya dengan air mata yang juga ikut meleleh.
‘Maaf’ satu kata itu sudah berulang kali diucapkan.
Jika seperti ini mereka berdua terlihat seperti pasangan yang berbahagia. Yang satunya sholeh yang satunya shalihah, tapi apa yang terlihat kadang tak sesuai dengan kenyataan. Begitulah kehidupan.
“Bulan bisa minta sesuatu?” Alfan berbicara serius.
“Ada apa, Mas?”
“Bisa bicara padaku dengan bahasa santai saja? Jangan terlalu kaku, jika seperti ini kita terlihat seperti orang asing.”
Bulan mengangguk. “Baiklah.”
Setelah makan malam, Bulan langsung masuk ke kamarnya sedangkan Alfan masuk ke ruang kerjanya kalau tidak salah. Ia tidak begitu memperhatikan karena saat Alfan pamit tadi, ia sedang bertelponan dengan Mami Tari.
Mami Tari terkejut ketika ia mengatakan berlibur bersama Alfan. Karena ibunya tahu bahwa di antara keduanya belum ada cinta di dalamnya. Namun penjelasan Bulan mematahkan semua prasangka buruk ibunya.
Wanita itu sedang menekuni buku yang sedang dibaca. Salah satu buku bisnis yang dulu dibeli atas rekomendasi dari dosennya saat ia menempuh pendidikan di Harvard University.
Bulan adalah lulusan Harvard University jurusan manajemen bisnis dengan predikat cumlaude. Namun memilih mengembangkan hobinya menggambar dengan menjadi seorang desainer.
Fokusnya kembali terpecah saat mendengar getaran ponsel. Bulan melihat ponselnya, layarnya mati berarti bukan suara ponselnya. Ia menoleh dan mendapati ada ponsel tergeletak di atas meja. Bulan meraihnya dan melihat nama yang tertera di layarnya.
My Love, menjadi nama yang disematkan di kontak tersebut.
Bulan menduga itu adalah istri pertama Alfan, cintanya, wanita yang dibela lelaki itu hingga mengorbankannya.
Ragu.
Ia ingin menjawab panggilan tersebut dan mendengar suara dari wanita yang sudah membuat lelaki seperti Alfan bertindak gegabah. Namun, siapkah ia mendengar apa yang seharusnya tidak didengar?
Dengan tangan sedikit gemetar dan hembusan napas panjang, ia meraih ponsel tersebut yang terus bergetar dan mengganggu konsentrasinya. Jemarinya menggeser tombol hijau untuk mengangkat panggilan.
“Halo Mas, kenapa pesanku dari tadi tidak dijawab?”
Suaranya lembut dan terdengar manja di telinganya.
“Mas Alfan. Kok diam saja. Ada apa, Mas? Tidak rindu aku ya?”
Bulan masih terdiam dengan hati yang semakin melebur mendengar suara bernada manja itu mendayu di telinganya.
“Halo, Mas Alfan.”
“Maaf Mbak. Mas Alfan sedang sibuk,” ucapnya dengan bibir yang bergetar.
“Loh! Maaf Mbak siapa ya?” tanyanya sedikit terkejut. “Ini ponsel Mas Alfan. Mas Alfan di mana ya?”
Aku istrinya, batin Bulan perih.
“Mbak bisa tanya Mas Alfan siapa saya.” Bulan tidak berhak menjawab. “Ada yang ingin disampaikan sama Mas Alfan? Jika ya saya akan memanggilnya,” lanjutnya mencoba tetap biasa saja.
“Oh tidak perlu, Mbak. Nanti saja biar Mas Alfan yang menghubungiku.”
“Ya sudah kalau begitu, Mbak.”
“Maaf mengganggu, Mbak. Selamat malam.”
Tut ….
Bulan kembali meletakkan ponselnya di tempat semula dan menyahut segelas air kemudian meneguknya untuk membasahi tenggorokan. Ia menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya. Mendengar suara manja itu membuatnya membayangkan sosok wanita bernama Zahra tersebut.
Zahra mematung sambil menggenggam ponselnya dengan erat setelah memutuskan panggilan.
Bertanya-tanya dalam hati tentang siapa wanita yang menjawab panggilan di ponsel suaminya.
“Mas Alfan, apa ini, Mas? Siapa wanita itu?”
To Be Continue ….
Dewi menggenggam erat pintu kamar mandi, tubuhnya benar-benar tak terkendali. Wajahnya memerah, keringat bercucuran, napasnya terengah. Bayangan Alfan seolah mengepung dari segala sisi.“Kenapa bisa begini?!” desisnya panik. Ia tak menyangka obat itu justru berbalik melawan dirinya.Ketukan keras di pintu membuat jantungnya hampir meloncat.“Dewi, kamu ngapain di dalam?” suara Nena terdengar tegas.“Aku … aku cuma haus, Mbak,” sahut Dewi dengan suara gemetar, berusaha menormalkan nada suaranya.Tapi Nena tak langsung percaya. “Haus kok lama banget di kamar mandi? Buka pintunya.”Panik menyeruak. Dewi buru-buru membasuh wajahnya dengan air dingin, lalu membuka pintu sedikit. “Maaf, Mbak. Aku tadi sekalian cuci muka. Panas sekali rasanya.”Nena mengamati wajahnya yang basah, pipinya merah padam. “Kamu sakit?” tanyanya curiga.“Tidak … hanya kecapekan.” Dewi tersenyum kaku, berusaha menutup pintu lagi.Namun, tatapan tajam Nena menelisik hingga ke hatinya. “Kalau memang sakit, jangan dip
“Mas, kamu baik-baik saja, kan?” Ayesha yang sejak pagi gelisah, menghubungi suaminya.“Ada apa?” tanya Alfan dengan nada heran.“Tidak apa-apa, hanya saja perasaanku tidak enak.”“Cepatlah pulang. Sepertinya kamu sangat merindukanku,” godanya sambil terkekeh.“Aku serius, Mas!” desis Ayesha.“Semuanya baik-baik saja, Sayang. Cepatlah pulang. Aku merindukanmu.”Ayesha singkirkan perasaan itu dari dalam dirinya. Namun, ketukan pintu di kamarnya membuat wanita itu berpaling.Di depan pintu, kliennya berdiri dengan senyum lebar. Seolah bisa menebak apa yang terjadi, Ayesha langsung menggeleng tegas.“Kali ini tidak ada tawar menawar lagi, Nona. Sudah cukup saya memaklumi permintaanmu.”“Hanya kali ini saja, Nyonya. Saya mohon.”“Saya tidak bisa.”“Saya akan membayar waktu Anda selama di sini.”Ayesha lemparkan senyum lebar, garis halus di sekitar matanya terlihat samar. “Ini bukan tentang nominal, Nona. Ini soal rasa profesional. Kesepakatan Anda sudah terlalu melenceng jauh. Demi bertah
Ayesha menghubungi Sarah, sahabatnya yang bekerja sebagai jurnalis investigasi. Sarah terkenal memiliki akses ke berbagai sumber informasi. “Sarah, aku butuh bantuanmu,” kata Ayesha saat mereka bertemu di sebuah kafe kecil di pusat kota. “Apa ini soal butikmu?” tanya Sarah sambil menyeruput cappuccino. “Bukan. Ini soal asisten rumah tanggaku, Dewi, dan juga pasangan aneh yang menemui Alfan beberapa waktu lalu.” Sarah mengangkat alis. “Apa yang mereka lakukan?” Ayesha menceritakan semuanya, mulai dari percakapan mencurigakan Dewi hingga tawaran absurd pasangan itu. Sarah mendengarkan dengan serius, lalu mengangguk. “Kurasa, ada gila-gilanya mereka melamar suamimu,” kekeh Sarah. “Aku penasaran seburuk apa wajah wanita itu sampai menggilai suami orang.” “Katanya sih masih muda.” “Umur bukan jaminan. Asal banyak hartanya.” “Sepertinya mereka juga bukan orang sembarangan. Buktinya mereka menawarkan jaminan atas bisnis Alfan di sini.” Sarah mengangguk. “Baiklah, aku akan menyelidi
Melani memutar otak, mencoba mencari celah lain. “Bagaimana kalau kita cari tahu tentang istrinya? Siapa tahu kita bisa menemukan sesuatu yang bisa dijadikan senjata.” Pria itu mengangguk setuju. “Hubungi detektif pribadi kita. Minta dia menyelidiki semua tentang wanita itu dan keluarganya. Kalau ada rahasia yang bisa kita gunakan, kita tidak perlu memaksa pria itu secara langsung.” Melani mengeluarkan ponselnya, segera menghubungi seseorang. Sementara itu, putri mereka yang masih terobsesi dengan Alfan duduk di kamar, menatap foto pria itu di ponselnya dengan tatapan penuh hasrat. “Suatu hari nanti, kamu pasti akan menjadi milikku,” gumamnya pelan. “Aku tidak peduli berapa banyak rintangan yang harus aku hadapi. Bahkan jika itu berarti menghancurkan pernikahanmu.” ♡♡♡ Ayesha memandangi laporan bulanan butiknya dengan rasa puas. Angka penjualan meningkat tajam, bahkan beberapa klien baru mulai menunjukkan ketertarikan untuk bekerja sama dengannya. Namun, pikirannya kembali me
“Ternyata suamiku ini memiliki banyak pengagum. Bahkan ada yang melamar meski sudah tahu jika sudah memilki istri. Apakah aku harus bersyukur atau justru takut, ya. Bagaimana menurutmu, Mas?” sindir Ayesha.“Aku benar-benar tidak mengenal mereka. Tiba-tiba datang dan melamar begitu saja.” Meski sama-sama bergelut dalam dunia bisnis, sepertinya Alfan tak begitu mengenal pasangan suami istri tersebut. Mungkin karena ia baru melebarkan sayapnya di kota ini atau bagaimana, yang pasti wajah mereka tak terlalu populer hingga Alfan dengan mudah mengenalinya.“Mereka bahkan menawarimu sebuah perusahaan dan akan memastikan seluruh bisnismu akan maju. Tawaran yang menggiurkan. Apa wanita itu cantik?” kata Ayesha. Ia mendengus jengkel meski kedua orang tamu tidak tahu diri itu sudah meninggalkan ruangan.“Putri mereka yang mana saja aku pun juga tidak tahu. Benar-benar aneh,” bantah Alfan.“Jika putrinya menyukaimu sejak pandangan pertama artinya pernah ada interaksi di antara kalian, Mas. Kamu
Setelah beberapa minggu berlalu, akhirnya berita tentangnya dan sang suami mereda dan tergantikan oleh berita panas lainnya.Butiknya telah kembali buka. Bahkan kini lebih banyak pengunjung yang datang dari kalangan pejabat dan beberapa istri-istri pengusaha.Tentu saja mereka bukan hanya datang karena sekadar tertarik dengan rancangan pakaiannya. Namun, beberapa dari mereka ada yang mencoba menjalin pertemanan.Entah itu benar-benar tulus atau menginginkan hal lain.Beberapa kali juga ia mendapatkan undangan untuk masuk ke dalam group sosialita.Ayesha hanya menanggapinya dengan senyum tipis seperti biasa.Setelah ujian selalu ada kebahagiaan. Tidak akan ada kehidupan yang akan berjalan lurus dan mulus. Selalu ada rintangan dan halangan.Begitulah kehidupan.Ayesha yang baru saja mengambil air dari dapur, tidak sengaja mendengar suara Dewi yang sedang berbicara dengan seseorang melalui ponsel. Ia menajamkan pendengaran untuk mengetahui isi obrolan tersebut. Namun, saat berjalan mende