Alfan sudah sampai di Jakarta lebih dulu. Hanya memerlukan waktu sekitar dua setengah jam untuk sampai di Jakarta. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata mengingat ini malam minggu, ia tak ingin terjebak kemacetan di jalan.
Matanya melirik ke arah jam di pergelangan tangan, ia memilih langsung menjemput Bulan karena ia yakin bahwa istrinya telah tiba.
Perbedaan waktu Jakarta-Bali hanya satu jam. Seharusnya sekitar pukul lima atau setengah enam, Bulan sudah tiba.
Alfan menunggu di pintu kedatangan. Sudah hampir dua puluh menit ia menunggu namun tak kelihatan kehadiran Bulan.
Ia mengeluarkan ponsel berniat menghubungi istrinya ketika tepukan di bahu membuatnya terkejut. Segera saja ia menoleh dan melihat seorang wanita dengan jumpsuit panjang dengan rambut yang acak-acakan berdiri di hadapannya. Wajahnya tertutup masker hingga tak terlalu jelas terlihat.
“Mas Alfan,” panggilnya.
Suara itu … Alfan yang mengenali suaranya langsung membelalakkan mata.
“Bulan?” tebak Alfan yang dijawab dengan anggukan kepala oleh wanita itu. “Dari mana? Kok dari arah lain?” tanyanya karena Bulan tidak keluar dari pintu kedatangan melainkan dari arah lain.
“Dari toilet sebentar,” jawabnya.
Alfan menatap Bulan seolah meneliti penampilannya. Namun tidak ada yang aneh, semuanya masih sama hanya saja ia menyadari bahwa warna rambut istrinya telah berganti.
“Kamu warnai rambutmu?”
“Iya,” jawab Bulan singkat.
Setelahnya tak ada lagi obrolan. Alfan mengambil dua koper yang dibawa istrinya.
“Kamu bawa baju sebanyak ini?” tanya Alfan ketika mereka berjalan menuju tempat dimana mobilnya berada.
Bulan menggeleng. “Bukan, Mas. Yang satu koper isinya oleh-oleh.”
“Sebanyak itu? Apa saja yang kamu beli,” gumamnya diiringi keterkejutan di wajahnya.
Bulan tak merespon. Ia masuk ke dalam mobil lebih dulu ketika Alfan masih memasukkan kopernya ke dalam bagasi mobil.
Mobil kemudian melaju membelah jalanan kota Jakarta yang mulai padat merayap.
“Langsung ke rumah Mama Silvi ya, Mas. Aku sudah berjanji akan langsung ke sana,” kata Bulan.
“Okay!”
Hanya membutuhkan waktu sekitar empat puluh lima menit akhirnya mobil yang dikendarai Alfan telah tiba di sebuah perumahan mewah dengan pemandangan yang hijau dan asri dengan tumbuhan segar di sepanjang jalan masuk ke dalam perumahan.
Mediterania Town, namanya.
Berada di sini saat pagi hari mungkin akan menyenangkan karena suasana yang damai seperti di desa.
“Di sini sejuk ya,” gumam Bulan.
Alfan mengangguk setuju.
“Kenapa Mas Alfan tidak membeli rumah di sini saja?” tanya Bulan.
“Mahal, tabunganku belum cukup.” Diiringi dengan ledakan tawa pelan seolah ucapannya menunjukkan keseriusan.
Bulan menatap Alfan dengan menaikkan alisnya. “Aku serius bertanya, Mas.”
Alfan menghentikan tawanya. Ia menoleh ke arah Bulan yang juga tengah melirik ke arahnya.
“Memang benar. Uangku tidak cukup untuk beli rumah di sini. Apa kamu mau pindah? Jika ya aku akan meminta papa meminjamkan aku uang untuk membeli rumah di sini,” ucap Alfan dengan nada serius.
Bulan menggeleng. “Aku tidak bermaksud, hanya bertanya saja. Permata Greenland sudah cukup mewah bagiku,” jawabnya sungguh-sungguh.
Bulan masih sedikit kaku jika berbicara dengan Alfan. Ia masih menggunakan bahasa baku seperti kepada orang asing yang belum dikenal.
Mobil masuk ke halaman rumah yang luas. Di kanan dan kiri terdapat tanaman yang dirawat dengan rapi dan indah.
“Ayo turun,” ucap Alfan.
Bulan mengikuti Alfan yang sudah lebih dulu turun. Lelaki itu mulai mengeluarkan kopernya dari dalam bagasi.
“Biar saya bantu bawa ke dalam, Den.” Salah satu satpam yang tadi membukakan pintu membantu membawa koper Bulan yang besar.
“Tolong bawakan ke kamarku di lantai dua ya, Pak.”
“Baik, Den.”
Ketika keduanya melangkah masuk ke dalam rumah. Terlihat wanita paruh baya yang masih cantik itu berjalan dengan senyum mengembang ke arahnya.
Mereka saling berpelukan sebentar sebelum Mama Silvi membawa menantunya untuk duduk.
“Kenapa tidak berkabar kalau mau datang?”
“Kami baru saja pulang, Ma. Dari bandara langsung ke mari,” jawab Bulan.
Senyum wanita paruh baya itu semakin lebar. “Kalian pasti lelah, bersihkan diri dan istirahat sebentar. Mama mau bantuin masak untuk menyambut kedatangan kalian.”
“Mama tidak perlu repot-repot,” ucap Bulan segan.
“Tidak repot. Mama senang. Sudah, Alfan ajak istrimu ke kamar.”
Alfan mengangguk. “Papa ke mana, Ma?”
“Masih di jalan. Sebentar lagi mungkin sampai.”
Alfan mengajak Bulan naik ke lantai dua di mana kamarnya berada. Setelahnya lelaki itu langsung menjatuhkan diri di atas ranjang dengan mata yang langsung terpejam.
Bulan maklum. Mungkin saja Alfan lelah karena perjalanan Jakarta-Bandung yang harus ditempuh seorang diri.
Tangannya membuka koper dan mengambil pakaian ganti sebelum masuk ke dalam kamar mandi. Ia ingin berendam di dalam bathtub dengan air panas supaya pegal-pegal yang dirasakan sedikit berkurang.
“Mas, Mas Alfan,” panggil Bulan membangunkan suaminya.
“Bangun Mas.” Ia mengguncang tubuh Alfan hingga lelaki itu membuka mata. “Mandi dulu, Mas.”
Dengan malas Alfan bangun dan meneguk segelas air yang ada di atas meja.
“Jam berapa?” tanyanya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.
“Setengah delapan. Mandi dulu supaya badanmu segar. Mama dan papa sudah nunggu buat makan malam.”
Alfan mengangguk.
“Mau aku siapkan air panas dalam bathtub?” tawar Bulan dengan penuh perhatian.
Alfan menggeleng. “Tidak perlu.”
Selama Alfan mandi, Bulan menyiapkan pakaian suaminya dan meletakkannya di atas ranjang. Setelah itu ia memilih turun untuk membuat kopi.
“Di mana Alfan, Bulan?” Mama Silvi yang kebetulan lewat bertanya.
“Masih mandi, Ma. Sepertinya Mas Alfan kelelahan.”
Arti ucapan Bulan terdengar berbeda di telinga Mama Silvi yang sudah berpikir jauh. Wanita paruh baya itu tersenyum sendiri membuat Bulan bergidik ngeri
“Aku permisi mau ke dapur, Ma.” Secepat kilat ia langsung menghindar.
Setelah membuatkan kopi, Bulan langsung menuju ruang makan. Alfan sudah berada di sana dengan tampilan yang segar dan semakin terlihat tampan.
“Terima kasih,” ucap Alfan diiringi senyum tipis.
Mama Silvi tersenyum dengan perhatian yang ditunjukkan Bulan. Mereka tak salah dalam memilih menantu yang baik dan memiliki latar belakang yang jelas.
Makan malam dilanjutkan dalam diam. Tidak ada yang bersuara kecuali suara sendok dan garpu yang saling beradu di atas piring.
“Terima kasih Mama sudah merepotkan diri dengan memasak banyak makanan untuk kami,” ucap Bulan ketika mereka baru saja selesai makan malam.
Mama Silvi mengangguk. Sedangkan Papa Andre terpanah dengan ucapan menantunya yang bahkan berterima kasih dengan hal-hal yang terkadang dianggap sepele.
“Jangan begitu, kamu menantu di keluarga ini. Kita sekarang keluarga, apapun yang kamu butuhkan bisa minta pada kami atau suamimu.” Papa Andre menimpali.
Bulan hanya mengangguk dan tersenyum.
Tengah malam keduanya baru saja masuk ke dalam kamar setelah menghabiskan waktu di ruang keluarga dengan obrolan-obrolan ringan yang tak ayal mampu membuat Bulan sedikit melupakan beban dalam pikirannya.
Setelah mencuci tangan dan kakinya, Bulan naik ke atas ranjang sebelah kanan, sedang suaminya sudah bersandar di sisi sebelah kiri. Di tengah-tengah mereka terdapat guling pembatas antara area keduanya.
“Mas, kamu sudah cerita ke istrimu tentang pernikahan kita? Bagaimana responnya?” tanya Bulan, “aku benar-benar merasa bersalah dengan dia. Tapi semua ini bukan salahku semata karena ini terjadi akibat dari keegoisanmu. Demi harta kamu mengorbankan dua hati yang tidak bersalah,” sambungnya dengan lirih.
Alfan menoleh ke arahnya.
“Aku bicara fakta, jangan tersinggung.” Bulan menambahkan lagi.
“Kamu memang benar. Semua salahku, bukankah aku terlihat serakah?”
Bulan mengangguk.
Kau memang serakah. Menginginkan kebahagiaan bersama dengan istrimu juga harta orang tuamu tapi mengorbankan aku yang tidak tahu apapun.
“Maafkan aku,” ujar Alfan dengan nada rendah.
“Sudahlah, pembahasan selesai. Kamu belum jawab pertanyaanku, Mas.”
Bulan sebenarnya enggan membahas masalah ini karena ia sudah pasrah dengan takdir yang memang seharusnya dijalani. Ia akan mencoba menerima semuanya dengan lapang dada walau dalam hatinya ia masih belum ikhlas menerima kenyataan pahit ini.
Alfan menoleh menatapnya. “Aku belum bicara. Ini masih dalam suasana duka. Aku akan mengatakannya nanti. Berikan aku waktu sedikit lagi.”
“Jangan mengundur lagi, Mas. Kamu saja bisa memberikanku duka di saat aku baru saja mencapai bahagia. Lalu kenapa kamu tidak bisa melakukan hal yang sama padanya?”
Alfan menghembuskan napas pelan enggan menjawab.
“Tentu karena kamu sangat mencintainya. Sedangkan aku? Siapa aku? Aku hanyalah wanita yang kamu nikahi karena sebuah tujuan.” Bulan menyela lagi dengan nada penuh kepiluan. “Aku benar-benar menjadi wanita yang malang.”
Bulan tersenyum miris seraya menghapus air mata yang keluar begitu saja.
Alfan membuang muka ke arah lain. Karena ia tak tega melihat Bulan yang tengah berderai air mata karena ulahnya.
“Maaf, maaf dan maaf. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Kita sudah berjanji akan memulainya dari awal. Kita akan hidup dengan saling berdampingan,” ujar Alfan.
Saling berdampingan? Lucu sekali, Alfan. Wanita mana yang mau hidup berdampingan dengan membagi suami? Kamu tetap menjadi lelaki yang egois dengan mempertahankan Bulan demi harta dan Zahra karena cinta.
“Apa kamu yakin bisa adil dengan memiliki dua istri?”
To Be Continue ….
Dewi menggenggam erat pintu kamar mandi, tubuhnya benar-benar tak terkendali. Wajahnya memerah, keringat bercucuran, napasnya terengah. Bayangan Alfan seolah mengepung dari segala sisi.“Kenapa bisa begini?!” desisnya panik. Ia tak menyangka obat itu justru berbalik melawan dirinya.Ketukan keras di pintu membuat jantungnya hampir meloncat.“Dewi, kamu ngapain di dalam?” suara Nena terdengar tegas.“Aku … aku cuma haus, Mbak,” sahut Dewi dengan suara gemetar, berusaha menormalkan nada suaranya.Tapi Nena tak langsung percaya. “Haus kok lama banget di kamar mandi? Buka pintunya.”Panik menyeruak. Dewi buru-buru membasuh wajahnya dengan air dingin, lalu membuka pintu sedikit. “Maaf, Mbak. Aku tadi sekalian cuci muka. Panas sekali rasanya.”Nena mengamati wajahnya yang basah, pipinya merah padam. “Kamu sakit?” tanyanya curiga.“Tidak … hanya kecapekan.” Dewi tersenyum kaku, berusaha menutup pintu lagi.Namun, tatapan tajam Nena menelisik hingga ke hatinya. “Kalau memang sakit, jangan dip
“Mas, kamu baik-baik saja, kan?” Ayesha yang sejak pagi gelisah, menghubungi suaminya.“Ada apa?” tanya Alfan dengan nada heran.“Tidak apa-apa, hanya saja perasaanku tidak enak.”“Cepatlah pulang. Sepertinya kamu sangat merindukanku,” godanya sambil terkekeh.“Aku serius, Mas!” desis Ayesha.“Semuanya baik-baik saja, Sayang. Cepatlah pulang. Aku merindukanmu.”Ayesha singkirkan perasaan itu dari dalam dirinya. Namun, ketukan pintu di kamarnya membuat wanita itu berpaling.Di depan pintu, kliennya berdiri dengan senyum lebar. Seolah bisa menebak apa yang terjadi, Ayesha langsung menggeleng tegas.“Kali ini tidak ada tawar menawar lagi, Nona. Sudah cukup saya memaklumi permintaanmu.”“Hanya kali ini saja, Nyonya. Saya mohon.”“Saya tidak bisa.”“Saya akan membayar waktu Anda selama di sini.”Ayesha lemparkan senyum lebar, garis halus di sekitar matanya terlihat samar. “Ini bukan tentang nominal, Nona. Ini soal rasa profesional. Kesepakatan Anda sudah terlalu melenceng jauh. Demi bertah
Ayesha menghubungi Sarah, sahabatnya yang bekerja sebagai jurnalis investigasi. Sarah terkenal memiliki akses ke berbagai sumber informasi. “Sarah, aku butuh bantuanmu,” kata Ayesha saat mereka bertemu di sebuah kafe kecil di pusat kota. “Apa ini soal butikmu?” tanya Sarah sambil menyeruput cappuccino. “Bukan. Ini soal asisten rumah tanggaku, Dewi, dan juga pasangan aneh yang menemui Alfan beberapa waktu lalu.” Sarah mengangkat alis. “Apa yang mereka lakukan?” Ayesha menceritakan semuanya, mulai dari percakapan mencurigakan Dewi hingga tawaran absurd pasangan itu. Sarah mendengarkan dengan serius, lalu mengangguk. “Kurasa, ada gila-gilanya mereka melamar suamimu,” kekeh Sarah. “Aku penasaran seburuk apa wajah wanita itu sampai menggilai suami orang.” “Katanya sih masih muda.” “Umur bukan jaminan. Asal banyak hartanya.” “Sepertinya mereka juga bukan orang sembarangan. Buktinya mereka menawarkan jaminan atas bisnis Alfan di sini.” Sarah mengangguk. “Baiklah, aku akan menyelidi
Melani memutar otak, mencoba mencari celah lain. “Bagaimana kalau kita cari tahu tentang istrinya? Siapa tahu kita bisa menemukan sesuatu yang bisa dijadikan senjata.” Pria itu mengangguk setuju. “Hubungi detektif pribadi kita. Minta dia menyelidiki semua tentang wanita itu dan keluarganya. Kalau ada rahasia yang bisa kita gunakan, kita tidak perlu memaksa pria itu secara langsung.” Melani mengeluarkan ponselnya, segera menghubungi seseorang. Sementara itu, putri mereka yang masih terobsesi dengan Alfan duduk di kamar, menatap foto pria itu di ponselnya dengan tatapan penuh hasrat. “Suatu hari nanti, kamu pasti akan menjadi milikku,” gumamnya pelan. “Aku tidak peduli berapa banyak rintangan yang harus aku hadapi. Bahkan jika itu berarti menghancurkan pernikahanmu.” ♡♡♡ Ayesha memandangi laporan bulanan butiknya dengan rasa puas. Angka penjualan meningkat tajam, bahkan beberapa klien baru mulai menunjukkan ketertarikan untuk bekerja sama dengannya. Namun, pikirannya kembali me
“Ternyata suamiku ini memiliki banyak pengagum. Bahkan ada yang melamar meski sudah tahu jika sudah memilki istri. Apakah aku harus bersyukur atau justru takut, ya. Bagaimana menurutmu, Mas?” sindir Ayesha.“Aku benar-benar tidak mengenal mereka. Tiba-tiba datang dan melamar begitu saja.” Meski sama-sama bergelut dalam dunia bisnis, sepertinya Alfan tak begitu mengenal pasangan suami istri tersebut. Mungkin karena ia baru melebarkan sayapnya di kota ini atau bagaimana, yang pasti wajah mereka tak terlalu populer hingga Alfan dengan mudah mengenalinya.“Mereka bahkan menawarimu sebuah perusahaan dan akan memastikan seluruh bisnismu akan maju. Tawaran yang menggiurkan. Apa wanita itu cantik?” kata Ayesha. Ia mendengus jengkel meski kedua orang tamu tidak tahu diri itu sudah meninggalkan ruangan.“Putri mereka yang mana saja aku pun juga tidak tahu. Benar-benar aneh,” bantah Alfan.“Jika putrinya menyukaimu sejak pandangan pertama artinya pernah ada interaksi di antara kalian, Mas. Kamu
Setelah beberapa minggu berlalu, akhirnya berita tentangnya dan sang suami mereda dan tergantikan oleh berita panas lainnya.Butiknya telah kembali buka. Bahkan kini lebih banyak pengunjung yang datang dari kalangan pejabat dan beberapa istri-istri pengusaha.Tentu saja mereka bukan hanya datang karena sekadar tertarik dengan rancangan pakaiannya. Namun, beberapa dari mereka ada yang mencoba menjalin pertemanan.Entah itu benar-benar tulus atau menginginkan hal lain.Beberapa kali juga ia mendapatkan undangan untuk masuk ke dalam group sosialita.Ayesha hanya menanggapinya dengan senyum tipis seperti biasa.Setelah ujian selalu ada kebahagiaan. Tidak akan ada kehidupan yang akan berjalan lurus dan mulus. Selalu ada rintangan dan halangan.Begitulah kehidupan.Ayesha yang baru saja mengambil air dari dapur, tidak sengaja mendengar suara Dewi yang sedang berbicara dengan seseorang melalui ponsel. Ia menajamkan pendengaran untuk mengetahui isi obrolan tersebut. Namun, saat berjalan mende