Belasan pesan serta miscall sudah Jihan lakukan, tapi, sang suami tak kunjung merespons panggilan maupun pesannya. Ada kekhawatiran di hati Jihan, tidak biasanya Danu—suaminya tak kunjung memberikan kabar.
Jika tugas keluar kota, Danu biasanya satu jam sekali selalu menghubungi Jihan, tapi sekarang? Sudah satu hari ini tidak ada kabar.“Mas, kamu ke mana, sih, kok, aku hubungi enggak kamu respons terus,” cemas Jihan seraya terus berusaha menghubungi Danu.Jihan lakukan secara terus menerus yang awalnya balasan berubah jadi puluhan pesan dan miscall. Jihan lelah dan memutuskan untuk menghubungi Danu lagi nanti.Jihan bekerja sebagai Manajer di satu perusahaan terkenal di Jakarta. Meski suaminya memiliki kekayaan banyak, tapi Jihan ingin berkarir memanfaatkan ilmu yang Jihan peroleh semasa kuliah dulu.Pikiran Jihan tidak konsentrasi, ia terlalu memikirkan Danu yang tak kunjung merespons pesan maupun panggilannya. Pikiran buruk terbayang, ia memikirkan jika seandainya Danu sedang bersenang-senang dengan wanita lain. Atau menghabiskan uangnya untuk membayar wanita panggilan.Pemikiran yang klasik dan tak berdasar. Jihan memikirkan sesuatu yang kebenarannya saja belum tentu iya.“Ah, aku bisa-bisa gila kalau begini terus,” keluh Jihan frustrasi.Di waktu istirahat, Jihan mengecek kembali handphone berharap ada satu nama merespons pesan atau panggilannya. Hasilnya tetap sama, tidak ada. Di tengah kegelisahan dirinya, Tiba-tiba Dewi datang. Dewi adalah bawahannya Jihan yang paling dekat dengan Jihan.Bagi Dewi, Jihan adalah sosok wanita sempurna sekaligus sosok yang ia jadikan panutan. Apa yang ada pada diri Jihan Dewi menyukainya.“Mbak Jihan kita ke kantin, yuk!” ajak Dewi pada Jihan yang saat ini tengah frustasi memikirkan sang suami.Jihan tersenyum, tak ada salahnya mengikuti ajakan Dewi, pikirnya. Siapa tahu bisa melupakan semerawut pikiran tentang sang suami.“Baiklah, aku juga udah lapar. Dari tadi perut Mbak bunyi terus.”“Ayo, Mbak!”Jihan pun beranjak dan mengambil handphone serta dompet kecil miliknya. Sepanjang perjalanan menuju kantin Dewi tak hentinya berbicara. Menceritakan maslah dirinya dengan pacarnya hingga membahas aib-aib rekan kerjanya yang Dewi ketahui.“Mbak, Mbak tahu Amel?” tanya Dewi saat mereka baru saja sampai di Kafetaria dan duduk disalah satu kursi kosong.“Amel Devisa Marketing?” tebak Jihan ragu.Dewi menjentikkan jarinya. “ Tepat sekali.”“Ada berita heboh, lho Mbak tentang dia,” lanjut Dewi begitu antusias.Jihan sebenarnya tidak ingin menanggapi perkataan Dewi. Tapi, berhubung Dewi bawahannya yang paling setia dan orang yang paling memuja dirinya, mau tidak mau harus mau mendengar cerita Dewi. Meski dirinya tidak ingin.“Wi, jadinya kita ke sini mau makan atau mau nge-ghibah?”“Ih, Mbak Jihan ini bukan ghibah, ini fakta NYATA,” ucap Dewi dengan menekankan kata nyata.“Wi, yang namanya ghibah memang ngomongin orang yang memang kebenarannya autentik. Kalau ngomongin orang enggak sesuai kenyataan itu fitnah!”“Tapi Mbak ini beritanya amazing banget.”“Sebentar, kita pesen dulu makan. Soalnya akan butuh banyak tenaga buat ceritain kisah Amel. Mbak Jihan pesan yang biasa ‘kan?”Jihan mengangguk. Ia terlalu malas untuk banyak bicara sebab pikirannya kembali pada suaminya, Danu.Beberapa menit kemudian, Dewi datang dengan membawa sebuah nampan yang berisi seporsi mie ayam, seporsi salad sayuran serta dua jus jeruk. Dewi menyajikan pesannya serta pesanan Jihan yang ia pesankan.“Nih, Mbak makan dulu!” Menyerahkan seporsi salad sayur pada Jihan dan langsung di makan.Mereka makan dalam diam, karena hidup Jihan sangat perfeksionis urusan makan pun di atur di larang berbicara. Dan memang seperti itu adab makan yang baik dan benar.Buru-buru Dewi menghabiskan mie ayamnya itu. Mulutnya sudah gatal ingin segera menceritakan kisah Amel sang Devisi Marketing. Berbeda halnya dengan Jihan makannya begitu santai dan makan pun begitu terlihat elegan dan berkelas.“Mbak, Dewi langsung saja cerita, ya. Dewi yakin Mbak pasti akan kaget dengarnya.”“Wi, aku kira kamu akan lupa. Ternyata masih ingat aja. Kamu gitu, giliran ghibahin orang semangat, bahkan dari awal sampai akhir ingat dan paham sama ceritanya. Giliran kerja? Aku enggak bisa jawab, kamu sendiri pasti tahu jawabannya.”Dewi cengengesan. “Mbak gitu.”“Ya udah cepat kalau mau cerita. Aku masih banyak kerjaan, Wi,” ujar Jihan setelah ia menghabiskan satu suapan lagi salad sayur.“Dengar baik-baik, ya, Mbak. Tahu enggak Mbak.”“Aku enggak tahu.”“Ish, Mbak ini.”“Kenapa? Emang Aku salah? Tapi ‘kan Aku memang enggak tahu apa-apa.”“Iya, Dewi ngerti, Mbak. Maksudnya Dewi itu....”“Apa?”“Intinya dengerin aja aku cerita, oke, Mbak!”Dewi membuat bulatan di tangannya sebagai tanda oke.“Amel kan dulu tubuhnya langsing, wajah glowing, persisi kaya wajah Mbak. Sekarang lihat! Amel jadi sedikit berisi, wajahnya enggak glowing lagi selepas melahirkan. Dengar-dengar rumah tangganya lagi ada masalah. Mbak tahu enggak karena apa?”Jihan menggeleng.“Suaminya selingkuh, alasannya karena Amel sudah enggak menarik lagi. Gila enggak Mbak. Masa iya karena masalah penampilan suaminya selingkuh. Laki kurang ajar itu namanya.”Jihan terdiam mencerna kata demi kata yang di sampaikan oleh Dewi. Mendengar kata selingkuh membuat suasana serta perasaan Jihan jadi horor. Ada rasa ketakutan melanda hati Jihan. Bagaimana jika suaminya seperti itu? Meninggalkan dirinya saat ia sudah tak menarik lagi.‘Enggak boleh terjadi. Pokoknya Mas Danu enggak boleh berpaling. aku akan melakukan apa pun demi Mas Danu,’ batin Jihan.“Terus, nih, ya. Sekarang Amel depresi berat. Ngeri pokoknya, Mbak.”“Apa?! depresi?”“Iya, Amel depresi. Padahal, ya, Mbak menurut aku satu hubungan itu harus saling melengkapi, bukan menyuruh terlihat sempurna di mata orang. Enggak masuk akal, masa hanya gara-gara penampilan suami berpaling? Iya, enggak Mbak?”Jihan terdiam, Danu memang tidak pernah menuntut apa-apa dalam hal penampilan. Namun, dirinya sendiri yang berinisiatif memperbaiki tubuhnya dengan perawatan. Tujuan Jihan satu, ingin tetap terlihat cantik di hadapan suami sehingga suami terus memuja dirinya. Bukan hanya masalah penampilan, demi Danu juga ia rela mengubah dirinya jadi feminim. Padahal dulu Jihan adalah cewek tomboi.Tepukan di bahu Jihan menyadarkannya dari lamunan.“Eh, Mbak, kenapa malah bengong, sih?”“Enggak, kok saya enggak bengong,” kilah Jihan berpura-pura menutupi kenyataan jika dirinya sedang merasa takut, takut jika dirinya bernasib sama seperti Amel.“Sekarang mereka sedang proses cerai. Parah!Deg..‘Cerai?’Jihan menggelengkan kepala mencoba membuang jauh pikiran-pikiran negatif.“Wi, udah, yuk, ngomongin orangnya. Kita ke ruangan lagi, sepertinya waktu istirahat akan segera usai.”Dewi melirik pada jamnya.“Kau benar, Mbak. Baiklah sekarang sudahi dulu cerita Amel-nya. Nanti kalau Dewi punya berita terupdate akan Dewi ceritakan.”Jihan dan Dewi pun kembali ke ruangan mereka. Dengan berbagai ketakutan pada pikiran Jihan setelah mendengar kisah tentang Amel.[Maaf, Mas baru respons pesanmu. Mas tadi sibuk]Satu pesan masuk ke nomor Jihan. Dari sekian banyak pesan dan Miscall hanya dijawab dengan satu pesan yang singkat.Jihan mendesah, lalu ia mencoba untuk menelepon Danu. Jihan ingin menanyakan kabar serta kapan Danu akan pulang.Tut...tutHandphone tersambung tapi tak kunjung Danu angkat. Akhirnya Jihan hanya bisa membalas pesan masuk dari Danu.[Ke mana aja, Mas? Kenapa jarang menghubungiku? Kapan, sih, kamu pulang?]Rentetan pertanyaan Jihan kirim ke nomor Danu. Berharap Danu langsung membalas pesanya, kenyataannya tidak sama sekali.Jihan melempar handphone ke atas kasur. Merasa kesal atas sikap Danu.Jihan pun beranjak, ia hendak melihat anak-anaknya sebelum dirinya tidur. Pertama ia masuk ke kamar Raisa membelai rambutnya dan memberikan kecupan selamat tidur. Lalu Jihan menuju kamar Rafli melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan pada Raisa.Setelah melihat anak-anaknya, Jihan kembali ke dalam kamarnya. Baru saja Jihan akan m
Usai kerja, Jihan tidak langsung pulang ke rumah. Dia membelokkan mobilnya ke arah salon langganannya. Terlihat cantik dipandang suami menjadi aktivitas wajib untuk Jihan.Padahal, dirinya begitu sangat cantik bak bidadari. Dengan kulit putih dan tubuhnya yang ramping semampai. Namun, bagi Jihan semua itu tidaklah cukup.Sekitar satu jam memanjakan dirinya, Jihan pulang. Apalagi ada satu notif pesan dari Danu yang mengatakan dirinya sedang dalam perjalanan pulang. Secepatnya Jihan beranjak meninggalkan salon langganan dirinya.Sepanjang perjalanan tak hentinya ia bersenandung ria. Hatinya begitu bahagia, bagaikan angin segar yang berembus sangat sejuk menerpa tubuh.Di tengah perjalanan, Jihan mendapati satu panggilan masuk. Tapi, tidak sempat Jihan angkat telepon itu sudah mati. Beberapa detik kemudian, terdengar suara notip pesan masuk. Jihan memelankan laju mobilnya dan dengan perlahan Jihan membaca isi pesan tersebut.[Mbak, kata Mbak Mas Danu sedang ke luar Kota. Tapi Amel baru s
Dia... dia istri keduaku.”“Apa?!Jihan tercengang mendengar penuturan dari mulut Danu. Seketika tubuh Jihan serasa lemas, ia mundur sedikit demi sedikit dengan terus bergumam jika yang Danu katakan hanyalah sebuah kebohongan.“Kau bohong kan, Mas? Coba katakan apa yang tidak kau bilang itu kebohongan! Katakan Mas!” Suara Jihan sudah meninggi bahkan air matanya sudah mulai luruh begitu derasnya.Danu terdiam, dia memang salah oleh sebab itu dia hanya diam dan tak berani untuk menatap wajah Jihan. Kepalanya tertunduk dengan telinga yang mendengar maki-makian dari Jihan.“Mas, kenapa kamu diam saja? Katakanlah semua itu bohong!” seru Jihan.Jihan mendekati Danu, lalu kembali menanyakan dengan pertanyaan sama seperti tadi. Tepat di depan wajah Danu, Jihan kembali bertanya dengan air mata yang semakin deras.“Lihat aku, Mas! Tolong lihat aku!” Jihan mendorong bahu Danu hingga bahunya sedikit berubah posisinya.Danu menarik napas dalam lalu membuangnya secara perlahan. Danu mengumpulkan ke
Waktu berlalu begitu cepat, matahari kini sudah bersinar di ufuk. Sinarnya begitu menghangatkan dan menyehatkan. Waktu pagi, semua disibukkan dengan berbagai aktivitas. Mulai memasak sarapan, mencuci, membereskan rumah, bersiap berangkat kerja ataupun bersiap sekolah dan kuliah.Pagi ini untuk pertama kalinya, Jihan tidak melakukan aktivasi apa pun. Ia sudah terlihat rapi, tapi ia hanya berdiam diri di kamar dengan pandangan mata kosong. Setelah sekian lama berdiam diri, Jihan beranjak lalu keluar kamarnya.Sekilas ia melirik ke arah pintu kamar kedua anaknya, seperdetik kemudian ia langsung memutuskan pandangannya. Jihan lansung berlalu tanpa niat membangunkan kedua anaknya.Saat Jihan hendak keluar, ia melihat Danu sedang tertidur di atas sofa. Tengah meringkuk sebab tinggi tubuhnya tidak muat di sofa yang berukuran kecil. Dengan wajah sinis dan penuh amarah Jihan pun melewati Danu tanpa membangunkan.Jihan membuka pintu lalu membantingnya dengan keras membuat Danu terperanjat dan h
Waktu operasional kerja sudah di mulai. Suasana hati Jihan masih saja buruk. Ia bingung harus melakukan apa ke depannya. Rumah tangga yang sudah tujuh tahun dibina, bahkan demi Danu ia rela melakukan apa saja agar tetap selalu bersama Danu.Mendengar penuturan Danu semalam yang mengatakan jikalau dirinya sudah menikah lagi tanpa sepengetahuan dirinya menghancurkan dan memporak-porandakan hatinya, sakit dan kecewa yang kini melebur menjadi satu.Dalam bekerja, Jihan terus saja tidak fokus berulang kali ia salah dalam membuat laporan. Dan entah harus berapa kali Jihan mengulangi membenarkan angka-angka yang keliru itu. Jihan mengeram kesal.“Dewi! kemarilah!” Jihan melambaikan tangan menyuruh Amel untuk mendekati dirinya.Dewi tanpa membantah berjalan menuju meja Jihan. Ia langsung duduk berhadapan dengan Jihan.“Ada apa Mbak?” ujar Dewi.Jihan yang sedang memfokuskan mata pada komputer dan tangan yang tak berhenti bermain di atas keyboard. Seketika langsung menatap tajam pada Dewi. Dew
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi, Jihan tidak kunjung pulang. Bahkan Raisa dan Rafli terus menanyakan sang Bunda. Mona yang saat ini belum pulang karena kedua anak Jihan terus rewel ingin bertemu Bundanya.Mona keluar dari kamar Rafli, ia baru saja menidurkannya. Ada perasaan ingin tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi antara Tuan dan Nyonya-nya.“Tuan,” panggil Mona.Danu yang tengah menunggu Jihan di ruang tamu langsung membalikan tubuhnya hingga menghadap Mona.“Anak-anak sudah tidur, Mona?” tanya Danu begitu lemas lalu kembali membelakangi Mona“Sudah, Tuan. Meski harus mengalami drama terlebih dahulu,” lapor Mona.“Aku minta tolong, untuk sementara kamu tinggallah di sini, temani anak-anak,” pinta Danu tanpa sedikit pun melihat ke arah Mona.“Mmm, Maaf, Tuan, jika saya lancang. Sebenarnya ada apa dengan Nyonya?” tanya Mona dengan Hati-hati.“Kami sedang bertengkar. Jadi aku mohon untuk sementara di sini sampai keadaan membaik.”“Baik Tuan, InsyaAllah saya bisa
Dewi adalah gadis yang berusia 25 tahun. Ia belum menikah alasannya ingin mapan terlebih dahulu. Dewi awal mula kerja memang sudah dekat dengan Jihan. Sebab Jihan termasuk wanita yang mudah bergaul dan baik pada siapapun.Dewi dengan hati-hati menutup pintu kamar Jihan. Sebelum ia menutup pintu, Dewi menatap Jihan yang tertidur begitu lelapnya. Seulas senyum tersungging di bibir Dewi lalu menutup kembali pintu kamar Jihan.Sementara itu, di ruang tamu terlihat Danu yang tengah duduk dengan kepala yang ia tundukan serta tangan yang ia simpan di atas kepala.Perlahan Dewi mendekat ke arah Danu. Setelah berada tepat di depan Danu, Dewi berusaha bicara baik-baik mungkin ia bisa membantu masalah yang sedang di hadapi Jihan dan Danu. Begitu pikir Dewi.“Tuan Danu, bolehkah saya bicara sebentar saja?”Danu mengangkat kepala lalu menatap Dewi sebentar.“Silakan,” jawab Danu begitu singkat dan jauh dari kata semangat.Dewi pun duduk berseberangan dengan Danu. Meskipun Dewi merasa canggung haru
Setelah mendengar cerita Nesa pada Ketiga karyawati lainnya. Jihan yang merasa jarang diperlakukan romantis oleh Danu, merasa sedih. Hingga muncul pertanyaan-pertanyaan jika Danu memang tidaklah mencintai dirinya. Jihan sadar betul bagaimana keadaannya dulu, sebelum mengenal Danu lalu diperistri olehnya.Pesanan Jihan sudah diantar dan tersaji di depannya. Ia tidak langsung memakannya. Jihan malah membawa sarapannya ke meja di mana Nesa dan ketiga karyawati duduk.“Boleh gabung?” tanya Jihan memastikan.Nesa dan ketiga karyawati menoleh ke sumber suara.“Eh, Bu, Jihan. Boleh, Bu, silakan,” titah Nesa begitu hormat karena status pekerjaan mereka memang berada di bawah Jihan.“Terima kasih, ya,” balas Jihan lalu duduk di satu meja yang sama dengan Nesa.Semua karyawan dan karyawati di mana Jihan kerja, hampir mengenali sosok Jihan. Ia sangat humble, murah senyum sehingga banyak yang menyukainya. Menyukai kepribadiannya, serta bangga akan prestasi yang diraih olehnya. Membuat semua dibua