Hujan tak kunjung reda. Sang langit masih dengan setianya menjatuhkan berjuta kubik air ke muka bumi. Membasahi genting, pepohonan, gedung-gedung, jalanan serta semua yang ada di muka bumi tak luput dari terpaan air hujan.
Beruntung hujan turun saat malam hari, waktu yang digunakan semua orang untuk beristirahat. Memanjakan tubuhnya setelah seharian berkutat dengan berbagi aktivitas.
Namun, tidak berlaku untuk Jihan Haura. Seorang ibu rumah tangga berusia 30 tahun dan memiliki dua orang anak. Anak pertama bernama Raisa Putri berusia enam tahun dan anak keduanya bernama Rafli Putra yang satu minggu lalu tepat berusia tiga tahun.
Jihan merupakan sosok wanita sempurna. Selain memiliki wajah baby face, bekerja di perusahaan terbesar, investasi di mana-mana. Dan jangan lupakan dia juga memiliki seorang suami tampan pemilik hotel bintang lima terbesar di Jakarta-- Danu Prasetyo. Sempurna bukan hidup Jihan?
Saat ini Jihan tengah disibukkan mengurus Rafli yang sudah dua hari ini sakit. Saat sakit Rafli tidak mau lepas dari ketek Jihan. Seperti saat ini Rafli ingin terus digendong, padahal dirinya baru saja pulang bekerja. Pulang dalam keadaan basah kuyup dan disambut dengan kerewelan sang anak.
Saat dirinya dan suami bekerja, anak-anak mereka akan diasuh oleh babysitter, Mona namanya.
“Mona kau menginap saja di sini, di luar hujan deras. Sekalian bantuin aku jagain Rafli, takut rewel," pinta Jihan pada Mona babysitter Rafli dan Raisa.
“Tapi, saya belum minta izin sama ibu. Nyonya tahu sendiri kan ibu saya tidak mengizinkan saya kerja sambil nginap?"
Jihan tampak berpikir apa yang di katakan Mona. Mona memang babysitter tapi Jihan tahu dan kenal betul siapa ibu dari Mona. Dia adalah asisten rumah tangganya, dulu.
“Biar saya yang telepon ibumu. Lagian jarak ke rumahmu cukup jauh, aku khawatir.”
Jihan lalu mengambil handphone di kamarnya dan berusaha menghubungi Lilah ibu dari Mona.
Tut...tut...
Sambungan terhubung tapi tak kunjung di angkat. Sekali lagi Jihan menelepon Lilah, dan yang kedua kali berhasil.
“Halo, Assalamu’alaikum,” sapa Lilah di seberang telepon.
“Halo, Wa'alaikum salam,” jawab Jihan.
“Nyonya Jihan tumben telepon bibi, apa Mona melakukan kesalahan?” cemas Lilah di balik telepon.
Jihan terkekeh. “Enggak, kok, Bi. Mona kerjanya bagus, saya sangat suka dengan pekerjaan Mona.”
“Syukurlah, Bibi takut Mona melakukan kesalahan,” ujar Lilah.
“Enggak, Bi. Bi saya telepon bibi mau ngasih tahu malam ini Mona nginap di sini, ya,” izin Jihan dan berharap Lilah mengizinkan.
“Tapi...”
“Ini sudah malam, mana di luar hujan. Saya takut terjadi sesuatu yang tidak di inginkan. Apalagi Rafli sakit, Mas Danu sedang di luar kota, jadi, sekalian saja temenin saya.”
Dari balik telepon sana Lilah sedang memikirkan perkataan Jihan. Bukan tanpa alasan dirinya selalu melarang Mona menginap. Lilah hanya tak ingin kejadian dulu terulang.
“Bi, bagaimana? Ini demi kebaikan Mona juga.”
“Baiklah Nyonya. Boleh saya ngobrol sebentar sama Mona?”
“Tentu, tunggu sebentar.”
Jihan berjalan menghampiri Mona yang saat ini sedang duduk di ruang tamu seraya memangku Rafli.
“Mona, ibumu mau ngomong sama kamu,” teriak Jihan dan Mona langsung meraih handphone yang di ulurkan Jihan. Lalu memberikan Rafli berganti ke pangkuan Jihan.
“Halo, Bu, ada apa?”
“Mona Ibu ngizinin kamu nginap di rumah Nyonya Jihan. Ibu harap kamu jaga sikap, jangan macam-macam.”
“Iya, Mona ngerti, Bu. Memang Mona mau berbuat macam-macam apa, Bu. Ada-ada aja.”
“Ya udah Ibu tutup, ingat pesan Ibu!”
“Iya, iya. Assalamu’alaikum."
“Wa’alaikumsalam.”
Sambungan telepon terputus. Mona lalu mengembalikan handphone kepada Jihan.
“Gimana? Diizinin?”
“Iya, Bu.”
“Syukurlah, sekarang kamu tidur di kamar Raisa. Nanti kalau ada apa-apa saya panggil kamu.”
“Iya, Nyonya.” Mona berlalu menuju kamar Raisa.
Sedangkan Jihan pun menuju kamarnya menidurkan Rafli yang sudah tertidur di pangkuannya.
***
Jihan terbangun jam lima subuh, ia bersyukur malam ini Rafli tidak terlalu rewel sehingga tidurnya begitu nyenyak. Sebelum beranjak Jihan mencium kening Rafli sekaligus mengecek suhu tubuh Rafli.
“Alhamdulillah, panasnya sudah turun,” gumam Jihan lalu ia pun pergi ke kamar mandi untuk mandi dan mengambil air wudu untuk salat Subuh.
Selesai mandi dan salat Jihan langsung ke dapur menyiapkan sarapan untuk kedua buah hatinya. Di dapur ia mendapati Mona sedang memasak. Ia hampir lupa jika semalam Mona menginap di rumahnya.
“Mona, kamu sudah bangun?”
Perkataan tiba-tiba dari Jihan membuat Mona terkejut, sampai ia menjatuhkan spatula yang Mona pegang.
“Nyonya, saya kaget!” jujur Mona dan wajahnya berubah sedikit pucat.
“Maafkan saya Mona jika membuatmu terkejut.”
“Enggak apa-apa Nyonya.”
“Mona kamu masak apa?”
“Nasi goreng Nyonya, sayang... ada sisa nasi.”
“Ah, iya. Nanti nasi gorengnya habiskan, ya,” ucap Jihan seraya mengeluarkan berbagai bahan makanan dari kulkas.
“Lho, kok, Mona? Nyonya sama anak-anak juga makan. Ini banyak Nyonya.”
Jihan tersenyum ke arah Mona, dengan tak hentinya tangannya meramu berbagai bumbu dan bahan-bahan memasak.
“Saya selalu membuat masakan sendiri untuk anak-anak. Saya Bunda mereka, jadi kewajiban saya melayani mereka,” ujar Jihan sedikit berhati-hati agar tidak menyinggung perasaan Mona.
“Nyonya hebat! Meski sibuk, tapi, Nyonya menyempatkan untuk membuat masakkan untuk Raisa dan Rafli. Bunda idaman,” puji Mona pada Jihan.
“Kau bisa saja, nanti kamu juga merasakan sendiri jika sudah berumah tangga dan memiliki anak.”
“Saya harap jika waktu itu datang, saya ingin seperti Nyonya begitu sempurna.”
“Kau berlebihan.”
“Serius, Mona berbicara jujur.”
Jihan terkekeh. Seperti itulah Jihan. Segala sesuatu itu harus berjalan dengan sempurna, tak boleh ada celah pada kehidupan dirinya. Kesempurnaan sepertinya sudah menjadi keharusan bagi Jihan.
Mona selesai memasak nasi goreng, kemudian dilanjut Jihan yang masak untuk dirinya dan anak-anak.
Mona hanya bisa melihat Jihan memasak, Mona dilarang ikut membantu. Ada kekaguman pada Mona saat melihat dengan cekatannya memasak dua menu dan tentunya menu sehat.
'Wah, Nyonya benar-benar wanita sempurna. Aku iri sekali,' batin Mona.
Selesai masak Jihan langsung membangunkan kedua anaknya, apalagi hari ini Raisa harus sekolah dan dirinya yang harus mengantar. Jika pulang selalu di antar oleh bus sekolah. Hari ini juga Jihan bisa merasa lega sebab Rafli sudah sembuh jadi pikirannya tidak bercabang.
“Mona saya titip Rafli, dia baru sembuh. Untuk makan Rafli ada di kulkas, nanti tinggal angetin, ya.”
“Iya, Nyonya tidak usah khawatir. Rafli aman.”
“Saya percaya sama kamu.” Jihan tersenyum.
Lalu matanya mengarah pada Rafli yang sedang berada di pangkuan Mona.
“Jagoan kecil Bunda, jangan rewel, baik-baik sama encus, ya.” Jihan mencium lama kening Rafli.
“Bunda cepat pulang.”
“Tentu. Dah!"
Jihan melambaikan tangan lalu meraih tangan Raisa untuk mengantarnya ke sekolah Harapan.
Keesokan paginya, Mario begitu ingin bertemu dengan Jihan. Ia ingin membuat Jihan tidak untuk memikirkan kejadian tersebut. Apa lagi sekarang sudah dipastikan Danu tidak akan pernah bisa mengganggu Jihan. Danu sudah mendapatkan balasannya. Adam berhasil menjebloskan Danu ke penjara. Bukan di penjara di Ciamis atau di Jakarta. Tapi di Bogor, sengaja agar jaraknya benar-benar jauh. Ceklek.... Suara pintu terbuka... Mario melihat Jihan berdiri di dekat jendela, dengan tubuhnya ia senderkan pada sisi jendela. Melihat pemandangan seperti itu membuat Mario menghela napas panjang . Secara perlahan Mario pun masuk dan berdiri tepat di belakang tubuh Jihan. "Bagaimana keadaanmu sekarang? Aku harap jauh lebih baik." Ujar Mario. Mendengar suara seseorang, Jihan pun menoleh lalu kembali melihat ke arah jendela. "Tidak baik-baik saja," Jawab Jihan singkat. "Apa yang membuat kamu merasakan hal demikian? Padahal, sekarang sudah tidak ada lagi yang akan mengganggumu. Orang itu sudah dipenj
Firna begitu sedih melihat keadaan Jihan yang kacau. Ia turut merasakan apa yang Jihan rasakan. Tanpa terasa pula air matanya menetes. Sungguh membayangkan berada diposisi Jihan rasanya ia tak sanggup.Firna semakin tidak suka dengan Danu. Ia tidak menyangka ada sosok pria di dunia ini seperti Danu. "Mas Danu, kamu sudah keterlaluan! Kamu bertindak diluar batas kewajaran! Sebenarnya apa lagi mau kamu? Dulu kau membuang mbak Jihan dan sekarang apa coba yang kamu lakukan. Sungguh semakin ke sini kau tidak layak disebut manusia." Gumam Firna. Tak lama Raisya da Reno tiba-tiba datang. Padahal ia yakin kedua bocah ini sudah terlelap tidur. Cepat-cepat Firna mendorong pelan tubuh mereka untuk sedikit menjauh. Mereka tidak boleh tahu keadaan Umma-nya."Mama, Umma sudah pulang? Aku mau ketemu Umma," ujar Raisya pada Firna. Lalu disusul oleh Reno yang sama-sama merengek ingin bertemu Jihan."Besok, ya. Sekarang Umma harus istirahat. Dia kecapean. Kalian sayang kan sama Umma? Kalau iya, Mama
Orang yang Adam hubungi adalah polisi, ia meminta untuk berjaga-jaga apabila nantinya Danu memberontak. Sementara itu Mario dan Adam bersembunyi. Dua orang berpakaian koko terkejut saat melihat polisi datang. Namun Adam meminta mereka tenang. Bahkan meminta mereka untuk kembali pulang. Mario yang sudah tidak sabar segera berlari ke lantai atas. Ia membuka satu-satu ruangan yang ada di sana. Hingga tinggal satu ruangan yang belum ia lihat.Sebelumnya, Mario ingin memastikan apakah Jihan benar ada di kamar itu atau tidak.Mario menempelkan telinganya ke daun pintu dan ia benar-benar mendengar sesuatu yang membuat amarahnya semakin diubun-ubun. Ia melihat Jihan menangis sambil berancau agar dilepaskan. Tanpa berpikir lama Mario langsung membuka pintu kamar yang ternyata tidak terkunci itu.Brak..."Jihan!" Teriak Mario.Jihan dan Danu langsung menoleh. Mario berjalan cepat ke arah Danu yang ternyata tengah melecehkan Jihan. Ia tidak menerima Jihan diperlukan seperti itu.."kurang ajar
Mario dan Adam sudah berada di depan sebuah villa megah berlantai dua. Adam tahu siapa pemiliknya, sebab pemiliknya termasuk orang berpengaruh di sana. "Adam apa kau yakin di sini tempatnya?" Tanya Mario seraya menatap ke sekeliling rumah tersebut."Aku yakin." Ucap Adam.Kemudian terlihat sebuah mobil hitam melaju menuju villa. Buru-buru Mario dan Adam langsung bersembunyi. Mereka berdua bersembunyi di balik pohon besar yang ada di samping villa tersebut. Terlihat dua orang yang berpakaian seperti ustaz dan satunya berpakaian biasa yang tak lain adalah Danu. Mario semakin kuat dugaannya jika Jihan memang ada di sini di vila berlantai dua itu. "Kenapa perasaanku mendadak tidak enak seperti ini? Dam, ayo kita masuk saja, kita selamatkan kekasihku." tutur Mario pada Adam."Jangan gegabah, kita tidak tahu ada acara apa. sebaiknya kita cari tahu dulu. Sekarang ikut aku."Adam berjalan ke bagian belaang vila, berharap ada sesatu yang mereka ketahui. sementara itu Danu yang membawa dua
Firna melihat Mario berlari, padahal beberapa menit lalu Mario mengatakan jika dirinya ingin beristirahat. Lalu sekarang kenapa malah berlari dengan raut wajah seulas senyuman."Mario kamu mau ke mana? Bukankah kau bilang mau beristirahat? Lalu kenapa malah ke luar?" Tanya Firna pada Mario.Dengan tidak hentinya melukiskan senyuman, Mario menceritakan apa yang baru saja ia dapat. Firna mendengar dengan seksama hingga Firna pun ikut tersenyum senang. Berharap ini adalah jalan untuk menemukan keberadaan Jihan."Tapi, apa kamu yakin itu Jihan? Bukan Danu yang sengaja menjebakmu?" Terka Firna dan sukses membuat senyum di bibir Mario kembali sirna.Apa yang dikatakan Firna benar, kenapa dirinya tidak berpikir sampai sana? Bisa saja orang yang menghubungi Nayla adalah Danu. Tapi, jika dipikir ulang meskipun ini adalah jebakan Danu. Setidaknya ia akan tahu di mana keberadaan Nayla. Ya, itu benar. "Aku tidak peduli jika pun ini adalah jebakan Danu. Jika jebakan ini malah akan mempertemukan a
Satu hari Mario tidak pulang ke rumah Jihan, anak-anak ia titipkan pada Firna. Sungguh selama dua hari itu ia berusaha untuk mencari keberadaan Jihan. Meskipun hasilnya tidak ada.Sekitar pukul enam pagi, Mario tiba di rumah Jihan. Dengan lemah Mario mengucapkan salam, kedatangan Mario disambut oleh Raisya dan Reno. Mereka berdua langsung berlari ke arah Mario dengan pertanyaan seputar Umma-nya.Bukan hanya Mario yang merasa hidupnya hilang separuh. Tapi, Raisya dan Reno juga merasakan hal yang sama. "Om, Umma udah ketemu? Di mana sekarang? Raisya sama Reno udah kangen," cerocos Raisya si sulung.Raisya tahu, belum ada kabar tentang umma-nya. Ini terlihat jelas dari raut wajah Mario yang terlihat muram, tak ada sedikit pun senyum walau seulas.Mario kemudian tersenyum, sebisanya ia berusaha untuk tidak memperlihatkan wajah sedihnya. Jika seperti itu, maka siapa yang akan menguatkan anak-anak Jihan? Begitu pikir Mario.Mario mengusap kepala Raisya, kemudian kepala Reno. "Sepertinya Al