Share

Danu Pulang

[Maaf, Mas baru respons pesanmu. Mas tadi sibuk]

Satu pesan masuk ke nomor Jihan. Dari sekian banyak pesan dan Miscall hanya dijawab dengan satu pesan yang singkat.

Jihan mendesah, lalu ia mencoba untuk menelepon Danu. Jihan ingin menanyakan kabar serta kapan Danu akan pulang.

Tut...tut

Handphone tersambung tapi tak kunjung Danu angkat. Akhirnya Jihan hanya bisa membalas pesan masuk dari Danu.

[Ke mana aja, Mas? Kenapa jarang menghubungiku? Kapan, sih, kamu pulang?]

Rentetan pertanyaan Jihan kirim ke nomor Danu. Berharap Danu langsung membalas pesanya, kenyataannya tidak sama sekali.

Jihan melempar handphone ke atas kasur. Merasa kesal atas sikap Danu.

Jihan pun beranjak, ia hendak melihat anak-anaknya sebelum dirinya tidur. Pertama ia masuk ke kamar Raisa membelai rambutnya dan memberikan kecupan selamat tidur. Lalu Jihan menuju kamar Rafli melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan pada Raisa.

Setelah melihat anak-anaknya, Jihan kembali ke dalam kamarnya. Baru saja Jihan akan merebahkan tubuhnya tiba-tiba terdengar suara handphone miliknya.

Dert...dert...

Suara pesan masuk terdengar.

Jihan segera meraih handphone dan membuka pesan masuk.

[Besok, Mas pulang. Kamu mau Mas belikan apa?]

Senyum lebar tersungging di bibir Jihan. Ia senang sebab Danu akan pulang besok. Ia akan bersiap-siap untuk menyambut kedatangan Danu. Jihan ingin terlihat sempurna di mata Danu, sempurna dalam segala hal.

[Beneran pulang besok?]

[Aku enggak mau apa-apa, cukup secepatnya Mas pulang.]

Dua pesan telah terkirim. Jihan tampak senyum-senyum sendiri. Sembari terus menunggu balasan pesan dari Danu yang begitu lama.

Dret...

Satu pesan kembali masuk.

[Secepatnya Mas akan pulang. Di sini jelek signal jadi Mas gak bisa hubungi kamu terus, maaf, ya.]

Jihan kembali membalas pesan masuk dari Danu.

[Iya, Mas. Aku tunggu kepulangan mu.]

Rasa sukacita yang membuncah membuat mood-nya kembali dan sepertinya malam ini dirinya akan tidur dengan nyenyak.

***

Pagi menjelang, sudah menjadi rutinitas Jihan setiap pagi berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan sehat untuk kedua anaknya. Setelah selesai baru Jihan akan mandi lalu membangunkan anak-anaknya.

Raisa anak tertuanya sudah bisa bangun dan mandi sendiri. Jadi, tugasnya hanya memandikan kan menyuapi Rafli si anak bungsunya.

Sekarang Jihan dan kedua anaknya sudah ada di depan meja makan. Menikmati sarapan yang dibuat penuh kasih oleh Jihan.

“Anak-anak Bunda, makan yang banyak, ya, biar pada sehat dan kuat,” ucap Jihan seraya mengangkat tangan dan memperlihatkan otot tangan.

“Raisa pasti akan makan banyak, ‘kan masakan Bunda enak,” puji Raisa pada sang Bunda.

“Ah, Bunda terharu sekali dipuji sama anak Bunda yang paling cantik ini.” Jihan mengelus gemas pipi Raisa.

“Oh ya, Bun, besok Raisa mau ikut lomba, lho.”

“Oh, ya! Lomba apa sayang?” tanya Jihan begitu antusias saat mendengar sang anak akan mengikuti lomba.

“Lomba melukis, Bun. Kalau menang nanti lomba tingkat Nasional,” jawab Raisa tak kalah antusias.

“Wah, harusnya anak Bunda menang, nih. Bunda ‘kan memasukkan Raisa les melukis. Jadi jangan kecewakan Bunda, ya.”

“Iya, Bunda. Raisa pasti menang.”

Dari usia TK Raisa memang sudah berbakat melukis. Oleh karena itu, Jihan memasukkan Raisa untuk ikutan les melukis. Selain itu alasan utama dirinya memasukkan Raisa les agar kesempurnaan menjadi seorang ibu semakin tinggi jika memiliki anak yang berprestasi.

Kesempurnaan sepertinya menjadi moto hidup Jihan. Ia akan marah atau menyalahkan dirinya sendiri saat sesuatu yang harusnya berjalan sempurna menjadi gagal.

Di tengah obrolannya dengan sang anak, Mona datang dan mengucapkan salam.

“Assalamu’alaikum, Nyonya, anak-anak.”

“Waalaikumsalam,” jawab Jihan Raisa bersamaan seraya menoleh ke arah Mona yang baru saja datang.

“Maaf Nyonya saya sedikit terlambat,” sesal Mona dan meminta maaf.

Jihan melihat ke arah jam yang terpasang di tangan Kirinya.

“Hanya telat dua puluh menit enggak masalah. Ya udah, Raisa sayang, ayo kita berangkat!”

Jihan beranjak lalu memberikan mangkuk kepada Mona yang berisi sarapan Rafli yang belum habis. Mona pun meraih mangkuk itu dan langsung saja terduduk di kursi yang tadi Jihan duduki.

“Mon, udah sarapan belum? Kalau belum sarapan dulu, ya, jangan sampai kamu sakit,” ujar Jihan.

Mona tersenyum. “Terima kasih Nyonya. Saya sudah sarapan,” tolak halus Mona.

“Bagus kalau gitu.”

“Rafli sayang, Bunda kerja dulu, ya. Dah.”Jihan pamit lalu mencium pipi dan kepala Rafli.

“Hati-hati Bunda,” ucap lembut Rafli.

Jihan mengangguk seraya tersenyum.

“Mona, saya titip Rafli, ya. Kemungkinan hari ini saya pulang terlambat. Saya mau nyalon soalnya papanya anak-anak mau pulang.”

“Baik, Nyonya. Nyonya tidak usah khawatir.”

***

“Hari ini aku mau pulang,” ucap seorang pria pada wanita yang ada di pangkuannya.

“Lo, Mas. Kok, cepat? Baru juga tiga hari,” keluh seorang wanita.

“Jihan sudah menghubungiku terus. Aku enggak mau dia curiga.”

Wanita yang berada di pangkuan pria itu pun berdiri, lebih memilih menjauh dari prianya.

“Kenapa kamu enggak ceraikan saja Jihan, Mas. Daripada hubungan kita terus di sembunyikan. Aku juga mau kaya teman-temanku, pergi berlibur dengan suami dan anaknya. Aku? Boro-boro kaya gitu.”

Pria yang sedang bersama seorang wanita itu adalah Danu dan wanita itu istri keduanya yang ia nikahi secara sembunyi-sembunyi, namanya Firna.

Danu beranjak lalu menghampiri Firna yang sedang merajuk itu. Dipeluknya tubuh Firna dari belakang, kepala Danu ia senderkan pada ceruk leher Firna.

“Kenapa aku harus menceraikannya? Memiliki dua istri sangat menyenangkan,” ujar Danu seraya terkekeh pelan.

Mendengar pernyataan Danu, Firna langsung menepis kepala Danu yang bersender di ceruk lehernya. Lalu membalikkan tubuhnya menuju ranjang dan duduk di atasnya.

“Kau yang enak! Lalu aku? Aku serasa jadi simpananmu, Mas. Padahal jelas-jelas aku juga istri sahmu!”

Danu tersenyum simpul, senang karena Firna cemburu yang artinya istri keduanya itu teramat mencintai dirinya. Danu pun menghampiri Firna yang tengah merajuk itu. Danu bersimpuh di hadapannya, meraih tangan Firna dan menggenggam erat.

“Sabar, ya, nanti kalau sudah waktunya aku akan bilang ke Jihan tentang hubungan kita yang sebenarnya,” Danu berusaha untuk meluluhkan hati Firna berharap Ia mau mengerti dengan keadaannya. Memiliki dua istri serta satu istri yang ia rahasiakan membuat Danu harus bersikap adil.

Firna luluh, ia sangat mencintai Danu dari dulu hingga sekarang. Dia memilih untuk bersabar demi kebaikan bersama.

“Baiklah, Mas. Aku wanita sama seperti Jihan. Jika seandainya pernikahan kita diberi tahu di waktu yang tidak tepat, tentu akan menyakitkan Jihan. Demi menjaga perasaan sesama wanita dan sadar diri hanya sebagai istri kedua aku mencoba untuk bersabar,” terang Firna begitu yakin dengan keputusannya.

Danu tersenyum senang, lalu dibawanya tubuh Firna ke dalam rengkuhannya. Seraya mendapatkan kecupan sayang di puncak kepala Firna. Sementara itu, Firna menutup matanya merasakan kecupan Danu yang sangat lama dan lembut menentramkan jiwanya. Ia merasa dirinya sangat dicintai.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
terlalu ingin sempurna sampai suami selingkuh g nyadar.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status