#Cinta_merubah_segalanya{Sarapan ada di meja. Aku ke kantor duluan. Dan Tenang saja aku akan menjaga sikap agar status kita tak ketahuan. Jangan lupa sarapannya di habisin!Semangat!!! }Ezra membaca kertas memo kecil yang menempel di pintu lemari es. Ia tersenyum dan berulang-ulang membaca tulisan itu. Entah, seperti ada semangat baru yang ia temukan setelah tahu perasaan Shaila yang sesungguhnya. Bahkan dia berencana mengagalkan Shaila yang akan pergi meninggalkannya setelah perusahaannya pulih. Justru ia akan membawa Shaila tetap hidup bersamanya selamanya. Ia mesem-mesem sendiri."Good morning Bos Ezra." Tiba tiba suara seseorang muncul dari arah pintu masuk."Hayia...ada yang lagi bucin ni, pake senyum-senyum sendiri lagi, baca apa sih? Surat cintrong?" Sekertar
"Hallo Ma. ""Apa? Baik Ma aku akan pulang sekarang."Seraya Shaila mematikan ponselnya dan menatap Ezra."Maaf, sepertinya aku harus pulang ke rumah Mama. Papa sedang dalam kondisi kritis.""Aku akan mengantarmu."Ezra segera berlari menuju parkiran dan menyalakan mobil, lalu melaju menghampiri Shaila yang sedang berdiri menunggunya di depan kantor. Dengan cepat ia membukakan pintu sebelah kirinya. Shaila pun masuk dan duduk di samping Ezra."Bushhh... " Mobil melaju dengan kecepatan tinggi."Pelan saja! " Pinta Shaila sambil melihatkan ekspresi wajah yang sedang khawatir. Ezra tak berani mengeluarkan kata-kata karena takut menganggu suasana hati Shaila. Sesekali ia melirik Shaila yang terlihat gelisah. Dering ponsel memeca
"Kau, kenapa kau berani-beraninya menggantikan si brengsek itu?" Nada Raka meninggi"Maksudmu apa kak?" Tanya Ezra penuh tanya."Asal kau tahu... " Raka menarik kerah baju Ezra. Shila yang menyaksikan itu dari balik pintu dapur merasa kaget. Ia langsung berlari menghampiri mereka berdua. Bagaimana bisa Raka bersikap seperti itu kepada Ezra."Ehm... Ehmmm.. Kalian main apa ko serius amat? ""Ahh, Ila... Biasa aja kalo cowok kan harus di tes keseriusannya. Apalagi Kakak dengar Ezra dengan berani menggantikan Fauzan sebagai mempelai Priamu."" Sudah! Sudah Kak! Sekarang bukan waktu yang tepat membahas soal itu. Aku juga sudah berniat mengenalkan Ezra sama Mama sama Papa. Tapi kondisi berkata lain. Aku juga yakin Mama tetap akan merestui kami." Jelas Shaila seraya duduk di samping Ezra.
Kalau saja Shaila tidak mendengarkan percakapan Alyne dan Raka, mungkin selamanya dia akan dikelabaui oleh sandiwara Raka. Tapi, bagaimana bisa Alyne pergi sendiri tanpa Fauzan? Lalu mengapa Alyne berhubungan dengan Raka? Dan...apa benar Raka mencintainya. Pikirannya membuncah. Pusara Sang Ayah saja, masih basah. Kini di timpa oleh teka-teki yang bermunculan menggelisahi hati Shaila. Mengabaikannya pun bukan solusi.Shaila terus memikirkan dari segala sisi. Ia menemukan beberapa hal yang mungkin ia mengerti, tapi ia sama sekali tidak menginginkan perpecahan hubungan antara mereka yang sudah seperti keluarga."Oke, aku harus mulai menyelidiki. Ila yang sekarang harus beda dengan Ila yang dulu, yang selalu mengalah dan polos sehingga akan terus tersakiti. Dunia sudah sangat kejam padamu Ila." Shaila mengepalkan tangannya. Nafasnya terengah-engah. Marah yang berbaur dengan sakit telah melebur dal
Angin sepertiga malam berhembus. Menerka jendela yang sedikit terbuka. Menyapa Kedua insan yang tengah menengadah memohon rida Tuhan. Seraya Ezra berbalik, kedua tangannya menyentuh kepala Shaila yang masih tertutup dengan balutan mukena. Mukena pemberian Ezra yang pertama kali ia kenakan. Matanya menatap penuh kehangatan."Kamu sangat cantik," Bisik Ezra."Kamu harus tahu, aku mencintaimu karena allah. Karena aku yakin jika cintaku karena allah, maka cintaku padamu akan kekal hingga maut merenggut nyawaku."Kata-kata Ezra begitu dalam. Hingga tak terasa embun di sudut mata Shaila mulai menetes. Usai berdo'a bersama. Shaila belajar membaca al-qur'an. Damai mendengar ayat yang dilantunkan Ezra. Hati Shaila mulai berdesir indah bagaikan ombak yang melambai sang fajar, Kala Ezra melantunkan ayat,
"Kalian siap dengan desain produk baru kita? Sepatu dengan motif batik pasti banyak peminat, karena batik merupakan khas kita sebagai orang Indonesia, tentunya kita akan bangga ketika salah satu warisan budaya Indonesia bisa dinikmati oleh seluruh rakyatnya, bahkan hingga ke mancanegara." Tutur Shaila menuangkan seluruh idenya.Shaila merasa tenang. Salah satu rencananya membantu Ezra terwujudkan. Tinggal menunggu hasil. Jam istirahatpun tiba. Shaila berniat mengajak Ezra untuk makan siang bersama di Cafe dekat Kantor. Dia berjalan sambil tersenyum sembari mengeluarkan ponsel dari saku blazer. Tiba-tiba seseorang menarik tangan kanannya dan membawa Shaila masuk ke dalam mobil. Shaila merasa kaget, spontan ia ingin berteriak. Namun keinginan itu terhenti ketika melihat Direktur Han di dalam mobil. Alhasil dia hanya terdiam duduk di sebelah Direktur Han."Saya tahu,
"Ila aku mengenalmu sejak kecil. Tapi kamu, kamu tidak pernah melihatku layaknya seorang laki-laki yang mengagumimu. Laki-laki yang mencintaimu. Asal kamu tahu, betapa akan menyesalnya kamu memilih Ezra. Karena sesungguhnya hanya aku orang yang paling baik untukmu, orang yang paling tepat untukmu," teriak Raka dengan nada suara semakin meninggi, hingga suaranya menggema di dalam ruangan dan terdengar keluar.Senyum penuh ironis kembali muncul dari bibir Raka. Pun, Shaila semakin sulit menebak bagaimana sebenarnya jalan pikiran kakak angkatnya itu."Raka, dimana perasaanmu sebagai seorang Kakak yang mencintai adiknya? Kamu telah menghancurkan pernikahanku dengan memperalat wanita itu, padahal dia mengandung anakmu. Apa itu yang dinamakan cinta?" pertanyaan Shaila tak mampu mengubah niat Raka untuk meyakinkan, kalau dia benar-benar cinta pada sang adik. "Braakkkk..."Tiba-tiba pintu terbuk
Keadaan di kantor mulai memanas, Direktur Han mencoba mengadakan meeting antara pemegang saham tanpa hadirnya Ezra. Sekertaris Gun sibuk dengan ponselnya. Dia terus mencoba menghubungi Ezra, tapi tak ada respon."Apa yang terjadi? kenapa dia tidak mengangkat panggilanku?" Gun mulai resah dan terus menggerutu."Masih tidak ada jawaban?" tanya Direktur Han dengan raut wajah penuh kecewa. Kerutan di wajahnya nampak sudah terlihat kalau dia memang sudah tua."Belum Pak, padahal satu jam yang lalu dia masih berkeliaran di kantor," jawab Gun khawatir."Apa yang terjadi? Apa karena wanita itu? Hemh..." Senyum sinis orang tua paruh baya itu menyeringai."Dia memang tak bisa dipercaya, rasa tanggung jawabnya sudah mulai hilang," lanjutnya masih dalam keadaan marah."Agh, aku bisa gila ini." Gun menggertakkan giginya. Sesekali menyugar rambut yang sudah rapi sekedar