"Hei, Nona Westbrook."
Brianna menoleh pada Matthew, pria yang akan menikahinya sehari setelah perayaan natal itu."Aku tak kasihan padamu. Asal kau tahu."Brianna terdiam. Ia tak tahu harus merespon Matthew dengan bagaimana. Gadis itu hanya teringat saat ibunya menghilang hari itu."Aku tak sabar ingin bekerja denganmu, Tuan. Agar aku bisa memperbaiki pemanas rumahku yang rusak."Matthew menatap lurus ke depan. Pria itu segera menutup kaca mobilnya dan mengemudikan mobilnya. Ia harus menyiapkan pernikahannya dengan Brianna. Segera atau ibu tiri dan para saudara tirinya akan mengambil alih semua aset milik keluarga Matthew.Pria itu menghentikan mobilnya sejenak dan melirik Brianna yang masih saja mematung di depan pintu rumahnya."Apa aku salah pilih pemeran utama wanitanya? Sepertinya, keluarganya terlalu banyak masalah," gerutu Matthew. Pria itu mendengus dan kembali mengemudikan mobilnya.Brianna memantapkan hatinya untuk segera masuk ke dalam rumahnya. Ia sudah kedinginan sejak tadi. Tapi, masuk ke dalam pun tak akan menyelesaikan kedinginan ini. Pemanasnya rusak.Tepat seperti dugaannya. Ayahnya telah menghabiskan dua botol alkohol yang Brianna berikan. Tak tersisa setetes pun untuknya.Tubuh tambun pria itu tampak begitu lebar saat sedang berbaring seperti sekarang.Gadis itu masih punya hati dan perasaan untuk mengambilkan ayahnya yang pengangguran itu selimut yang lumayan tebal."Bisa-bisanya tidur di sofa di udara yang dingin begini," gerutu Brianna sambil menyelimuti ayahnya. Ia berusaha memastikan seluruh bagian tubuh pria itu tertutup oleh selimut, kecuali wajahnya."Linda."Gurauan Eddy membuat Brianna menghentikan langkahnya.Gadis itu mendengus dan malah makin membenci ayahnya."Bisa-bisanya ia tidur dan mengigau menyebut nama Ibu dengan mulutnya yang beraroma alkohol."Brianna kehilangan kebaikan hatinya. Ia segera menarik kembali selimut yang sudah ia pasang di tubuh Eddy sampai membuat pria itu meringkuk kedinginan.Brianna tak peduli sekarang. Ia segera pergi ke lantai dua. Kamarnya yang kecil terletak di lantai atas rumahnya. Dari sini, ia bisa melihat salju yang lumayan tebal.Ia melirik jam dindingnya yang menunjukkan pukul dua pagi. Pantas saja ia agak lelah dan mengantuk. Mengecek telepon genggamnya sebentar tak ada salahnya, bukan?Brianna tersadar. Telepon genggamnya tak ada di jaketnya. Pasti tertinggal di rumah Matthew atau tertinggal di mobil Matthew."Bodohnya," rutuk Brianna sambil membenturkan kepalanya ke bantal.Beberapa saat kemudian, ia tertidur karena kelelahan. Ia harus kembali ke rumah Matthew esok hari untuk mengambil telepon genggamnya.Dugaan Brianna benar. Telepon genggamnya tertinggal di mobil Matthew. Benda itu terus saja berdering bahkan sejak Matthew masih berada di jalan sampai ia tiba di rumahnya."Grey? Dengan lambang cinta di belakang namanya?" Matthew mendengus. "Gadis itu punya pacar?" Pria itu memasukkan telepon genggam Brianna ke dalam saku celananya."Matt!" panggil Laura yang sedang duduk di sofa ruang tamu. Wanita tua itu menyilangkan kakinya seolah memberi kesan bahwa ia adalah wanita dengan kasta tertinggi di rumah ini."Sedang apa wanita ini di sini? Menungguku? Harusnya ia lelah setelah berlibur dari Paris," batin Matthew sembari memasukkan tangannya ke dalam saku celana. "Ah, sial. Pria bernama Grey ini terus saja menelepon." Matthew yang kesal segera mematikan telepon genggam milik Brianna."Sedang apa kau berdiri mematung di sana? Aku ingin berbicara denganmu, Matt.""Ada perlu apa? Aku sedang sibuk," jawab Matthew singkat. Ia merasa tak perlu bicara terlalu banyak pada nenek sihir ini."Benarkah?" tanya Laura skeptis. "Apa yang sedang kau sibukkan pagi buta begini? Duduklah."Matthew memutar bola matanya. Ia begitu malas sekali untuk berhadapan dengan ibu tirinya ini."Siapa gadis itu?" tanya Laura pada Matthew."Dia gadis yang akan kunikahi setelah perayaan natal tahun ini.""Apa?" Laura membelalakkan matanya."Kau senang? Sebentar lagi kau akan memiliki menantu tiri, Laura.""Natal tinggal beberapa hari lagi, Matt. Kau jangan bercanda.""Tepat sekali, Laura. Dan aku sedang tak bercanda. Gadis itu memang benar-benar akan kunikahi."Laura geram sekali mendengar ucapan anak tirinya itu. Surat wasiat sialan itu membuat rencananya untuk menguasai warisan keluarga MacMillan gagal total."Aku akan tidur sekarang. Kau jangan terlalu banyak minum kopi. Aku ingin kau tetap hidup sampai 16 bulan ke depan, Laura."Laura hanya bisa menganga mendengar Matthew mengomentari kebiasaan mengopinya yang terlalu sering. Lagipula tak ada yang bisa menjamin pernikahan itu akan terlaksana dan mereka akan langgeng selama 16 bulan."Bu, apa yang ibu katakan pada Matt?" tanya Anntonia penasaran.Laura tak menjawab anak perempuannya yang masih remaja itu. Wanita tua itu hanya diam sembari menikmati segelas kopi yang pelayan sediakan.Ia tiba-tiba teringat tentang ucapan Matthew. Ia harus tetap hidup sampai 16 bulan ke depan. Laura menjauhkan gelas kopi yang sudah berada di depan mulutnya yang sudah siap menyeruput. Tapi seketika itu ia juga tetap meminum kopi itu sambil menggerutu."Kenapa aku harus mempedulikan ucapan anak itu?""Bu," panggil Aaron yang baru saja datang pada Laura. "Matthew akan menikah? Dengan gadis yang ia bawa tadi?""Tidak akan. Ia tak akan melakukan itu. Ia tak suka perempuan. Kalian semua tahu itu, kan?"Laura mencoba meyakinkan dirinya. Ia memang sejak lama berasumsi tentang orientasi seksual Matthew, walaupun tak ada satupun bukti yang berkata tentang hal itu.Memang Matthew tak pernah terlihat bersama dengan seorang gadis selama ini. Dan keputusannya untuk menikah secara mendadak membuat Laura makin curiga dengan Matthew.Tapi Matthew tentu saja tak peduli. Ia tak akan berhenti sampai ia mendapatkan haknya kembali. Brianna adalah satu hal besar yang akan membantunya mendapatkan itu semua.Matthew masih saja penasaran dengan Grey, pria yang sejak tadi menelepon Brianna tanpa henti.Ia kembali menyalakan telepon genggam Brianna."Jelek sekali telepon genggamnya. Terlalu butut untuk telepon genggam di tahun ini," gumam Matthew.Tepat seperti dugaan Matthew. Pria bernama Grey itu menelepon kembali.Matthew berpikir sejenak. Apa yang akan ia lakukan pada pria ini. Bisa saja Grey akan menghalangi rencana Matthew nantinya."Ya, halo." Matthew memberanikan diri untuk mengangkat teleponnya."Huh? Di mana, Bri? Di mana kesayanganku itu?"Matthew mengernyitkan dahinya. Pria itu sepertinya sedang mabuk."Dia-""Hei, tunggu. Siapa kau? Apa aku salah menelepon seseorang? Aku yakin kalau aku menelepon Brianna. ""Hei, dengar, Grey. Brianna tak ada ada di sini.""Omong kosong."Matthew mengacaukan rambutnya. Ia juga bingung dengan apa yang ia lakukan sekarang. Ia tadi hanya penasaran dengan pria bernama Grey dan sekarang Matthew sedang meladeni pria mabuk yang mengoceh."Bri, aku rindu mencumbumu.""Kau seperti anak kecil, Brianna," ucap Matthew saat pria itu keluar dari kamar mandi."Apa maksudmu?""Kemarin kau bilang bahwa kau tak ingin membicarakan ayahmu. Lalu kau tiba-tiba ingin menemuinya saat malam natal."Brianna melihat bagaimana Matthew seolah sedang mengoloknya."Kau keberatan karena aku ingin menemui ayahku, Matt?" tebak Brianna. "Kau bahkan tak mengizinkan ayahku untuk pergi ke pesta pernikahan kita."Matthew tak menggubris ucapan Brianna. Ia tak peduli. Ia punya alasan khusus untuk tak ikut mengundang ayah Brianna ke pesta pernikahan."Lagipula itu hanya pernikahan sandiwara, Bri. Pernikahan sandiwara. Kau ingin mengundang ayahmu di acara seperti itu? Ayolah, Bri. Aku tahu kau tak akan melakukan hal itu."Ucapan Matthew ada benarnya. Lusa adalah sebuah acara pernikahan sandiwara, bukan pernikahan s
Eddy Westbrook memicingkan matanya. Mengamati mobil mewah yang baru saja berhenti di depan rumahnya. Ia meletakkan sekop pembersih saljunya yang ia gunakan untuk menyingkirkan salju yang ada di tangga depan rumahnya."Kau di sini?" tanya Eddy pada Brianna yang baru saja keluar dari sana. Anak perempuannya itu membawa sebotol anggur di tangannya."Untuk apa kau berlelah membersihkan salju di depan rumah? Tak akan ada yang mengunjungimu untuk merayakan natal," ucap Brianna sambil berjalan masuk ke dalam rumah. "Masuklah. Kau pasti sudah ingin mabuk sejak tadi."Eddy tak menjawab perkataan putrinya.Tampak Matthew mengikuti langkah Brianna masuk ke dalam rumahnya.Tentu saja Eddy harus bergabung dengan mereka yang sudah datang di malam natal ini.Brianna menuangkan anggurnya ke dalam masing-masing gelas."Dia ingin sekal
Grey terkesima dengan apa yang baru saja Matthew bicarakan. Pria itu masih saja mengingat perkataan Grey saat di telepon."Kau mengingatnya?" tanya Grey. "Oh, ayolah, Tuan. Saat itu aku sedang mabuk. Semua pria tak sadar apa yang sedang ia katakan saat sedang mabuk.""Kau mengenalnya, Grey?" tanya Zack sambil berbisik di telinga Grey."Tentu," jawab Grey dengan lantang. "Dia adalah kekasihku saat masa sekolah menengah atas. Brianna Westbrook.""Grey namamu? Sebaiknya kau mematikan nomor teleponmu saat sedang minum. Karena dengan mulutmu itu, kau bisa saja menghancurkan hubungan seseorang," ucap Matthew memperingatkan."By the way, Bri. Tadi pagi aku meneleponmu dan calon suamimu yang mengangkatnya."Perkataan Grey membuat Matthew salah tingkah.Tentu saja ia tak memberi tahu Brianna tentang hal itu. Bahkan Matthew s
Laura mengacak-acak meja kerjanya. Ia tak peduli bagaimana petugas kebersihan akan membersihkan mejanya nanti."Nyonya, tenanglah," ucap pengacara yang Laura sewa untuk menangani kasus warisannya."Bagaimana aku bisa tenang? Anak itu akan menikah dengan seorang wanita yang tak jelas. Bukan itu masalahnya sebenarnya. Tapi Matthew akan benar-benar menikah. Sebentar lagi. Sehari setelah natal. Aku tak bisa tenang kalau aku memikirkan hal itu.""Kau bisa duduk di hadapanku, Nyonya Laura?"Laura Rose Summers atau yang sudah berganti nama menjadi Laura Rose MacMillan setelah berhasil menjadi istri simpanan George MacMillan itu menarik dan menghela napasnya. Berulang kali. Ia sedang menenangkan dirinya sendiri."Aku tetap tak bisa tenang. Kau tahu tanganku gemetar, bukan karena terlalu banyak meminum kafein. Tapi aku terlalu banyak pikiran.""Kau b
"Kau sedang apa?" tanya Clint Wall pria berusia 48 tahun itu pada Shailene, istrinya yang sedang sibuk menonton acara televisi."Huh?" Shailene tersadar. Ia buru-buru mematikan televisinya."Matthew sepertinya baik-baik saja," batin Shailene."Apa yang kau tonton?"Shailene hanya menggeleng."Ayo, bergegaslah. Kita harus segera pergi menemui Celeste. Besok sudah natal. Kau tak ingin membuatnya menunggu, bukan?" tanya Clint pada istrinya. Celeste adalah putri mereka yang berusia 3 tahun.Mereka berjalan beriringan keluar dari rumah megah yang ia tinggali. Jika dilihat sekilas, Shailene bahkan lebih pantas memanggil Clint dengan sebutan ayah daripada sayang.Perbedaan usia 20 tahun di antara mereka sungguh jauh. Jika buka orang tua Shailene yang menyatukannya dengan Clint, mungkin ia tak akan menikah dengan pria tua itu
Pagi itu, Fifth Avenue, Midtown Manhattan. Itu adalah tempat pusat perkantoran di kota New York. Beberapa hari menjelang hari libur natal. Sepanjang jalan di sana sudah tampak pernak-pernik natal yang dipajang.Grey berhenti di pinggir jalan saat lampu lalu lintas menyala merah. Ia menatap iklan LED display luar ruangan. Sebuah wajah tertampang di sana. Wajah dari gadis yang ia kenal.Brianna Westbrook, putri seorang pengangguran dan pecandu alkohol. Ibunya bunuh diri dengan terjun ke laut karena tak kuat dengan perilaku Eddy Westbrook, ayah Brianna. Gadis itu ternyata bisa menjalin hubungan dengan salah satu konglomerat di Amerika. Ia akan menikah sebentar lagi dengan Matthew Duncan MacMillan.Grey bergidik. Entah apa yang sudah Brianna lakukan hingga bisa menikah denga pria tak biasa macam Matthew.Ia menghisap rokoknya untuk terakhir kalinya dan membuang puntung rokok itu di bawah kaki