Share

Pagi Buta

"Bri!"

Teriakan Eddy beserta dentuman suara pintu yang pria itu ciptakan membuat tidur Brianna terusik.

"Brianna Westbrook! Bangunlah!"

Brianna menyingkap selimut yang sepertinya sejak semalam menutupi wajahnya.

"Brianna!"

Pintu kamar Brianna sudah hening sekarang. Mungkin sudah setengah jam ayahnya berusaha mendobrak pintu kamar Brianna.

Matanya yang masih ingin terpejam itu harus terpaksa terbuka sekarang. Brianna harus mencuci muka dan sikat gigi sebentar. Ia bisa menebak bahwa ayahnya sedang ditagih para penagih hutang. Maka dari itu, Brianna berinisiatif untuk menyiapkan sejumlah uang yang ia ambil dari brankas kecilnya.

"Dimana pria sialan yang pagi-pagi sekali sudah menagih hutang itu, Yah?"

Senyuman Matthew seolah menjelaskan semuanya. Bukan penagih hutang yang datang ke rumah ini.

"Untuk apa pria ini pagi-pagi begini ke rumah?" batin Brianna.

"Hei, Bri. Aku tak peduli kau mengenal pria ini dari mana. Dia kaya raya. Aku sering melihatnya di televisi dan dia berkata bahwa akan menikahimu."

Brianna masih mematung.

"Apa yang kau katakan pada ayahku?" tanya Brianna pada Matthew tanpa suara.

Matthew hanya tersenyum melihat ekspresi wajah Brianna.

"Hei, apa yang kau bawa itu?" tanya Eddy sambil menunjuk sejumlah uang yang ada di tangan Brianna.

Gadis itu cepat-cepat menyembunyikan uang tabungannya dari ayahnya. Ia tak ingin pria itu merengek padanya dan minta dibelikan alkohol lagi.

"Aku akan segera kembali." Brianna berlari sekencang mungkin ke kamarnya. Ia akan meletakkan uangnya lagi ke brankas dan bergegas menemui Matthew sebelum pria itu mengatakan hal yang aneh-aneh pada ayahnya.

"Wohoo, hati-hati, Nona," ucap Matthew yang hampir saja ditabrak oleh Brianna. Pria itu sudah berada di ambang pintu kamar saat Brianna hendak pergi lagi ke lantai bawah.

"Apa yang akan kau lakukan di kamarku?" tanya Brianna. "Siapa yang memberimu izin?"

"Ayahmu bilang aku boleh melakukan apapun di sini asal aku menikahi anak perempuannya," jawab Matthew. Ia menghempaskan tubuhnya di kasur kecil Brianna yang keras. Kasur yang sudah menemaninya tidur selama 20 tahun ini. "Hhhhh, kasurmu keras sekali." Matthew memejamkan matanya dan menjadikan satu lengannya sebagai bantal.

"Kenapa kau bilang padanya kalau kita akan menikah?" tanya Brianna kesal. "Perbuatanmu bisa membuat ayahku heboh."

"Aku tak peduli. Lagipula aku tak tinggal di rumah ini, kan? Kau juga akan segera pindah dari rumah ini. Kecuali kau ingin kita berdua tidur bertumpuk dalam satu ranjangmu yang kecil ini."

"Terserah kau saja, Tuan."

Matthew menarik lengan Brianna sehingga membuat tubuh wanita itu limbung dan terjatuh di atas tubuh Matthew yang bergelombang itu. Semakin membuat Brianna yakin bahwa pria itu menjaga makan dan olahraganya.

Matthew perlahan menyibakkan rambut Brianna yang terurai ke belakang telinganya.

"Sudah kubilang, pembuktian kita hanya 16 bulan. Aku ingin kemampuan bermain peranmu lebih baik dari ini. Atau apa aku perlu mengajarimu, Nona Westbrook?"

Brianna terdiam dan hanya menelan ludahnya. Seperti malam tadi, saat Matthew mencium bibirnya, wajah pria ini amat dan terlalu dekat padanya.

Calon suami pura-puranya ini bisa dibilang pria sempurna. Entah apa yang membuat ia bernasib sial sampai harus menjalani pernikahan sandiwara dengan gadis macam Brianna.

"Aku akan membuat pancake untuk sarapan."

Brianna meletakkan tangannya di atas dada Matthew agar ia bisa bangkit dan berlari pergi meninggalkan pria itu berbaring di atas kasurnya.

"Kau tahu? Pria tadi? Aku sering melihatnya di televisi. Ia kaya raya. Kau harus menikah dan hidup bahagia dengannya." Eddy kembali ke ruang tamu sambil membawa camilan dan segelas kopi. "Buatkan calon suamimu pancake dan segelas kopi. Kau harus baik padanya."

Brianna menghela napasnya kasar. Bagaimana bisa ia membenarkan perkataan ayahnya. Kalau memang jadi kaya akan membuat bahagia, kenapa ibunya harus bunuh diri saat ada masalah? Harusnya ibunya pergi mencari pria lain, bukan?

"Buatkan aku pancake dan kopi juga. Setelah itu kau ikut denganku," ucap Matthew yang turun dari tangga.

Brianna tak percaya pria ini bisa sampai di rumahnya.

Dari sini, Brianna bisa melihat Matthew begitu akrab dengan ayahnya, pria yang selama ini begitu Brianna benci. Senyuman mereka berdua tampak tak menunjukkan jarak.

"Ah, sudahlah. Kenapa aku harus peduli dengan mereka?" batin Brianna. Ia harus segera membuat pancake dan kopi.

Semua hal sejak kecil selalu Brianna siapkan sendiri. Menjadi gadis yang tumbuh tanpa sosok ibu membuat Brianna menjadi lebih kuat dari orang biasa.

"Kau butuh bantuan?" Pria yang sudah lapar itu berusaha mencomot pancake panas yang baru saja matang itu. "Awww," pekiknya.

Brianna tak pedul dengan apa yang dilakukan Matthew, sampai akhirnya ia jengah dengan pria yang masih berusaha mengambil benda panas dengan tangan kosong.

Ia menyuapi Matthew dengan pancake yang ia potong dan tusuk dengan garpu.

"Makanlah pakai garpu, Tuan."

"Kau pintar. Lain kali kau harus membuatkanku pancake lagi."

Matthew menarik pinggang Brianna agar lebih dekat dengan tubuhnya.

"Yang seperti ini maksudku?"

Brianna dibuat terkejut oleh perlakuan Matthew.

"Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku, Tuan!"

Brianna mencoba melepaskan diri dari pelukan Matthew.

"Kau harusnya mencoba lebih luwes denganku, Nona Westbrook. Kau tahu, sebentar lagi paparazi akan tahu tentang hubungan kita. Mereka akan jadi cahaya saat kita berada di luar rumah."

"Lepaskan aku atau aku akan memukul kepalamu dengan wajan," ancam Brianna.

Tak ada pilihan lain. Matthew harus melepas tubuh Brianna sebelum nyawanya terancam.

Brianna dengan hatinya yang hampir copot itu kembali melanjutkan memasak pancake.

Ia harus cepat menyelesaikan pancake-nya sebelum hari terlalu siang.

"Hei, Tuan MacMillan. Kau tahu dimana telepon genggamku? Sepertinya aku meninggalkannya di rumah atau di mobilmu, Tuan."

Brianna agak terkejut dengan telepon genggamnya yang ada di tangan Matthew.

"Kau menemukannya? Di mana? Terima kasih, Tuan. Kau bisa meletakkannya di meja."

Brianna bisa bernapas lega sekarang.

"Hanya telepon genggam yang sudah usang. Kau tak berniat menggantinya?" tanya Matthew sambil meminum kopi yang sudah Brianna siapkan sejak tadi.

"Tidak," jawab Brianna singkat. "Aku tak pernah mengganti apapun kalau tidak rusak. Kenapa?"

Brianna mencuci semua peralatan memasaknya. Ia tak ingin menimbun terlalu banyak benda kotor di dalam tempat cucian piring. Menjijikkan.

"Seseorang menelepon semalam. Ia bernama Grey dengan lambang hati berwarna merah di belakang namanya. Kau mengenalnya, Nona Westbrook?" tanya Matthew.

Brianna terenyak. Gadis itu meletakkan semua pekerjaannya. Ia membalikkan badannya pada Matthew.

"Grey kau bilang?" Brianna memastikan bahwa ia tak salah dengar.

"Ya, benar. Grey. Dia kekasimu?" tanya Matthew lagi.

Brianna tak menjawab pertanyaan Matthew.

"Dan pria itu berkata bahwa ia rindu mencumbumu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status