Share

BAB 16

Penulis: tasharenjana
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-14 22:38:32

Sudah lima hari berlalu, dan selama itu, suasana rumah Ayla dan Raka berubah menjadi sunyi. Bukan sunyi yang nyaman, melainkan sunyi yang menusuk, penuh dengan perasaan terasing. Setiap langkah di rumah terasa canggung, setiap detik berlalu dengan ketidakpastian yang menggantung di udara.

Raka hampir tidak pernah menyapa Ayla. Bahkan saat mereka bertemu di lorong atau di ruang makan, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Tatapan Raka yang dulu penuh ketenangan, kini hanya menatap lurus ke depan, seolah-olah Ayla tidak ada di hadapannya. Ia menghindari percakapan, menghindari sentuhan, dan setiap kali berada di ruangan yang sama dengan Ayla, dia hanya berusaha menyelesaikan kegiatan dengan cepat dan pergi tanpa bicara.

Ayla merasakan keheningan itu semakin dalam. Awalnya, dia mencoba memahami, memberi ruang kepada Raka agar bisa mendinginkan diri setelah perdebatan terakhir mereka. Namun, semakin hari berlalu, perang dingin di antara mereka semakin menyakitkan. Ayla tahu bahwa ada jarak yang semakin melebar di antara mereka—bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional.

Di pagi hari, Ayla bangun lebih awal dan menyiapkan sarapan. Namun, piring-piring di atas meja hanya menjadi dekorasi yang tak tersentuh. Raka selalu keluar rumah sebelum Ayla sempat berbicara, dan Ayla hanya bisa memandangi makanan yang sudah ia siapkan dengan sia-sia. Piring-piring itu adalah simbol dari keheningan yang kini menguasai pernikahan mereka.

Setiap kali Raka pulang larut malam, Ayla masih terjaga di tempat tidurnya, berharap ada suara langkahnya mendekat, tetapi yang terjadi hanyalah pintu yang tertutup dan langkah kaki yang menjauh menuju kamar yang terpisah. Setiap malam yang berlalu, Ayla merasa dirinya semakin tenggelam dalam kesepian yang tak terucapkan.

Dia mencoba mengalihkan perasaannya dengan menulis, tetapi bahkan kata-kata yang biasa menjadi pelariannya kini terasa hampa. Setiap kalimat yang ia tulis seolah kehilangan makna, seperti hatinya yang sudah mati rasa. Apakah ini akhir dari pernikahan kami? pikir Ayla, meskipun dia tahu dia belum siap menyerah.

Selama lima hari ini, Raka tidak pernah berusaha memulai pembicaraan. Ayla tahu dia harus berbicara duluan, tetapi harga dirinya menahannya. Ia tidak ingin terlihat lemah, apalagi setelah semua usaha yang ia lakukan untuk menyelamatkan hubungan mereka. Setiap kali dia melihat Raka melewati ruang tamu tanpa sepatah kata, perasaannya semakin hancur.

Bagaimana ini bisa terjadi? pikirnya. Namun, rasa sakit dari masa lalu dan ketidakpedulian yang kini menguasai Raka membuat Ayla semakin merasa tidak berdaya.

Hari kelima, saat Ayla duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela, mendengar suara mobil Raka memasuki garasi. Jantungnya berdegup cepat, berharap ada perubahan. Namun, seperti biasa, Raka masuk ke dalam rumah tanpa sepatah kata, menatapnya sekilas dengan tatapan kosong, lalu bergegas menuju kamarnya yang terpisah.

Ayla merasa lelah. Lelah dengan keheningan, lelah dengan ketidakpedulian, dan lelah dengan perang dingin yang terus berlangsung di antara mereka. Tetapi, dia tahu, jika salah satu dari mereka tidak mengambil langkah untuk memperbaiki situasi, perang ini tidak akan pernah berakhir.

***

Malam itu, Ayla berdiri di depan cermin kamarnya, mematut dirinya dengan gaun malam yang elegan. Pesta pernikahan yang akan ia hadiri bersama Ibu Raka seharusnya menjadi sebuah perayaan besar, tetapi hati Ayla tidak bisa tenang. Ada sesuatu yang tidak nyaman sejak Ibu Raka memintanya secara tiba-tiba untuk ikut ke acara ini.

Namun, Ayla berusaha menenangkan dirinya. Aku harus tetap menjaga sikap, pikirnya sambil memperbaiki sedikit lipatan di gaunnya. Setelah siap, Ayla turun dan bertemu dengan Ibu Raka yang sudah menunggu di ruang tamu. Tatapan kritisnya tidak lepas dari penampilan Ayla, tetapi kali ini, ia tidak mengomentarinya.

“Kita akan terlambat jika tidak segera berangkat,” ujar Ibu Raka tanpa basa-basi, lalu mereka berdua melangkah keluar menuju mobil.

Mereka tiba di sebuah gedung megah yang dihias dengan lampu-lampu kristal berkilauan, menciptakan suasana glamor yang seolah datang dari dunia lain. Pintu masuknya dipenuhi oleh tamu-tamu yang berpakaian mewah, seolah setiap orang di sana adalah sosok penting.

Ayla menatap sekeliling dengan rasa kagum, meskipun hatinya masih diselimuti keraguan. Karpet merah terbentang di sepanjang jalan masuk, menuntun para tamu menuju aula besar yang dipenuhi bunga-bunga putih segar dan hiasan emas. Dari kejauhan, terdengar alunan musik klasik yang dimainkan dengan sempurna oleh sebuah orkestra. Suasana pesta ini tidak hanya mewah, tetapi juga megah, seolah pernikahan ini adalah perayaan kerajaan.

Ketika mereka melangkah masuk ke dalam aula, Ayla tidak bisa menahan diri untuk kagum melihat dekorasi yang begitu mewah. Langit-langit ruangan yang tinggi dihiasi lampu gantung kristal raksasa, menerangi setiap sudut aula dengan kilauan lembut. Meja-meja bundar dihias dengan taplak sutra putih, vas-vas bunga besar penuh mawar putih, dan lilin-lilin mewah yang menambah keanggunan suasana.

Namun, meskipun suasana di sekitarnya begitu megah, Ayla merasa dirinya semakin terasing. Tempat ini bukan dunia yang ku kenal, pikirnya. Dia berjalan mengikuti Ibu Raka yang dengan anggun melangkah menuju salah satu meja tamu di bagian depan aula, tanpa memperhatikan Ayla yang mengikuti di belakang dengan sedikit canggung.

“Ini adalah pesta pernikahan yang sangat penting,” bisik Ibu Raka ketika mereka duduk. “Banyak pengusaha besar dan orang-orang penting di sini. Pastikan kamu menjaga sikap, Ayla.”

Ayla mengangguk pelan, meski perasaan tidak nyamannya semakin menguat. Selama pesta berlangsung, Ayla merasa seperti orang asing di tengah-tengah kemewahan yang mengelilinginya. Para tamu berbicara dengan nada ceria, saling menyapa dengan penuh formalitas, namun Ayla merasakan dinding yang tak terlihat memisahkannya dari mereka semua. Tatapan-tatapan sinis dan senyuman palsu dari beberapa tamu terasa menusuk. Aku tidak pernah benar-benar diterima di dunia ini, pikirnya.

Setiap kali ada seseorang yang menghampiri meja mereka, Ibu Raka dengan anggun menyapa mereka, berbicara dengan nada yang tenang namun tegas. Namun, Ayla hanya duduk diam, mendengarkan dengan sopan, tanpa benar-benar terlibat dalam percakapan. Terkadang, Ibu Raka meliriknya, seolah ingin memastikan Ayla tidak melakukan kesalahan yang bisa memalukan.

Ketika hidangan utama disajikan, Ayla merasakan tatapan-tatapan tajam dari beberapa tamu yang lewat. Mereka berbicara tentang bisnis, investasi, dan pernikahan. Salah seorang tamu yang duduk di meja mereka bahkan menyebutkan bagaimana "pentingnya memiliki pasangan yang bisa mengangkat status sosial." Kata-kata itu membuat hati Ayla semakin berat. Dia tahu bahwa, di mata keluarga Raka, dia hanyalah seorang yang tidak pernah dianggap cukup.

Di tengah percakapan para tamu, Ayla merasa dirinya semakin terasing. Apa aku hanya di sini sebagai tameng? pikirnya. Ibu Raka dengan anggun berbicara tentang koneksinya, seolah-olah pesta ini adalah kesempatan sempurna untuk memperlihatkan status mereka, tetapi Ayla merasa dirinya hanya digunakan sebagai pajangan.

Malam itu terasa sangat panjang, dan meskipun dekorasi dan suasana pesta begitu memukau, Ayla tidak bisa menikmati satu pun momen di dalamnya. Semua terasa palsu—setiap senyuman, setiap kata yang diucapkan, semuanya hanya permainan status dan kekuasaan. Ia merasa seperti seorang boneka yang ditarik ke sana-sini tanpa kendali atas dirinya sendiri.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pernikahan Tanpa Kasih   BAB 50

    Raka duduk di ruang kerjanya, memandangi ponsel yang sudah ia genggam sejak beberapa menit lalu. Napasnya terasa berat saat ia akhirnya menekan nama Laras di daftar kontak. Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suara lembut Laras menjawab di ujung sana.“Halo, Raka,” ujar Laras dengan nada riang. “Aku baru aja mau tanya soal jadwal keberangkatan ke Medan. Jadi…”“Laras,” potong Raka dengan nada rendah, penuh tekanan.Laras langsung diam. Suara Raka yang serius membuatnya ragu untuk melanjutkan kalimat. “Ada apa, Raka?” tanyanya akhirnya.Raka menghela napas panjang, mencoba merangkai kata-kata. “Aku perlu kamu batalkan rencana kamu ikut ke Medan.”Laras terdiam sesaat. “Apa?” suaranya terdengar tidak percaya. “Batalkan? Kenapa?”“Ayla sudah tahu,” jawab Raka pelan. “Dia menemukan tiket dan reservasi hotel. Aku nggak bisa biarin ini semakin buruk.”“Jadi?” balas Laras, suaranya mulai terdengar lebih tinggi. “Kenapa itu masalah? Aku ikut ke Medan untuk urusanku sendiri, Raka. Ini

  • Pernikahan Tanpa Kasih   BAB 49

    Setelah makan malam selesai, mereka semua masih duduk di meja makan, menikmati obrolan ringan yang diiringi tawa. Bintang, yang baru saja menyelesaikan sepotong tahu gorengnya, tiba-tiba menatap Bima dengan mata berbinar.“Om Bima, Om keren banget!” serunya tiba-tiba, membuat semua orang di meja menoleh ke arahnya.Bima terkekeh, menepuk kepala Bintang dengan lembut. “Kok tiba-tiba bilang gitu? Keren kenapa, Bintang?”“Karena tadi Om mau main sama aku. Terus Om ngobrol sama aku lama-lama di warung,” jawab Bintang polos sambil menyeka mulutnya dengan tisu. “Om baik banget, nggak kayak Om Raka.”Suasana meja mendadak hening. Ayla berhenti memegang gelas tehnya, sedangkan Lina dan Mira saling pandang dengan canggung.“Bintang!” tegur Mira cepat, suaranya setengah tertawa tapi jelas penuh maksud. “Nggak boleh ngomong gitu.”Bintang mengerutkan kening, tidak mengerti kenapa ibunya tiba-tiba marah. “Kenapa, Ma? Kan bener. Om Raka nggak pernah main sama aku. Dia juga nggak pernah ke sini.”M

  • Pernikahan Tanpa Kasih   BAB 48

    Mira keluar dari pintu depan rumah sambil mengikat rambutnya. Matahari mulai condong ke barat, sinarnya yang hangat membuat halaman rumah terlihat lebih hidup. Ia mengernyit kecil saat menyadari bahwa Bintang, anaknya, tidak ada di halaman seperti biasanya.“Bintang!” panggil Mira, melangkah ke arah pagar. Tidak ada jawaban.Matanya melirik ke warung kopi di sebelah kanan rumah, dan ia segera melihat sosok anaknya yang sedang duduk manis di bangku panjang. Namun yang membuat Mira terkejut bukan hanya Bintang—di sebelah anak itu duduk seorang pria muda dengan pakaian rapi, tampak sedang berbicara santai dengan beberapa pria yang sering nongkrong di warung itu.Kening Mira berkerut. Ia mempercepat langkahnya, menghampiri warung dengan rasa penasaran.“Bintang!” panggil Mira, suaranya sedikit tegas.Bintang menoleh cepat, senyumnya melebar. “Iya, Ma!”Mira menghampirinya, langsung menarik tangan anaknya dengan lembut tetapi penuh maksud. “Kamu ngapain di sini? Siapa ini?” tanyanya sambil

  • Pernikahan Tanpa Kasih   BAB 47

    Begitu Ayla melangkah masuk ke halaman rumah, suara pintu depan yang terbuka menarik perhatiannya. Lina, ibunya, muncul dari dalam rumah dengan wajah penuh senyum. Di belakangnya, Mira berlari kecil menyusul, wajahnya berseri-seri saat melihat Ayla.“Ayla!” Lina memanggil sambil membuka tangannya lebar.“Ibu…” Ayla tersenyum kecil, lalu berjalan cepat mendekati ibunya. Lina langsung memeluknya erat, hangat dan penuh kasih seperti yang selalu Ayla rindukan.“Kenapa nggak bilang mau pulang?” tanya Lina setelah melepaskan pelukannya. “Kamu tiba-tiba datang aja.”“Biar surprise,” jawab Ayla sambil tertawa kecil. “Aku cuma mampir sebentar, kok.”Mira, adiknya, langsung menggantikan posisi Lina dengan pelukan yang tak kalah erat. “Kak Ayla! Udah lama banget nggak ke sini! Aku kira Kak Ayla lupa jalan pulang ke rumah,” ujarnya sambil terkekeh.“Mana mungkin aku lupa,” balas Ayla sambil mencubit ringan pipi Mira.Mira tertawa, lalu menarik tangan Ayla masuk ke dalam rumah. “Masuk dulu, dong.

  • Pernikahan Tanpa Kasih   BAB 46

    Ayla mengusap pipinya perlahan, mencoba menghapus sisa air mata yang masih terasa hangat. Ia menatap Bima, lalu tersenyum kecil, meski senyuman itu tampak dipaksakan. “Makasih, Bima. Aku nggak tahu gimana jadinya kalau nggak ada kamu sekarang.”Bima tersenyum, tetapi tatapannya tetap penuh perhatian. “Nggak usah makasih, Ayla. Aku cuma nggak suka lihat kamu kayak gini. Tapi jujur, senyummu itu… masih belum sempurna. Kamu masih kelihatan nggak bahagia.”Ayla menghela napas panjang, pandangannya kembali mengarah ke bukit dan langit biru di kejauhan. “Mungkin aku nggak tahu lagi gimana rasanya bahagia. Semua udah terasa terlalu berat.”Bima menyandarkan tangannya ke pinggul, menatap Ayla dengan serius. “Oke, kalau gitu, apa yang bisa bikin kamu bahagia lagi? Apa yang kamu butuhin sekarang?”Ayla terdiam sejenak, mencoba mencerna pertanyaan itu. Ia tertawa kecil, lalu mengangkat bahu. “Aku nggak tahu. Atau…” Ayla menghela napas, suaranya melembut. “Atau keluargaku, Bintang keponakanku. Ru

  • Pernikahan Tanpa Kasih   BAB 45

    Malam itu, Ayla duduk di ruang tamu dengan tangan gemetar, ponselnya tergenggam erat. Di layar, bukti tiket dan reservasi hotel masih terbuka, nama-nama itu terpampang jelas: Raka Wasena Aditya dan Laras Kusuma Dewi.Jam dinding berdetak perlahan, suara itu semakin mengisi ruangan yang sepi. Di meja di depannya, secangkir teh yang telah mendingin tidak ia sentuh sama sekali. Ayla mencoba menenangkan dirinya, tetapi air mata yang menggenang di matanya tak bisa ditahan lagi. Beberapa kali ia mengusap pipinya, berharap sisa-sisa air mata itu tidak meninggalkan jejak.Pintu depan akhirnya terbuka. Raka melangkah masuk, tubuhnya terlihat lelah, tetapi matanya langsung bertemu dengan Ayla yang duduk di sofa. Ia berhenti, tatapannya berubah waspada. Ia tahu malam ini akan menjadi malam yang panjang.Ayla berdiri perlahan, matanya yang merah menatap Raka dengan campuran emosi: marah, kecewa, dan luka yang mendalam. “Kamu akhirnya pulang,” ucapnya pelan, suaranya hampir bergetar.Raka melepas

  • Pernikahan Tanpa Kasih   BAB 44

    Ayla membuka pintu rumah dengan cepat, langkah kakinya tergesa menuju tangga. Tas belanjaan peralatan kuliah masih tergantung di lengannya, tetapi pikirannya terusik oleh sesuatu yang tak ia duga sebelumnya: pintu kamarnya di lantai atas yang tadi terlihat terbuka dari luar.Ketika ia mencapai lantai atas, napasnya terhenti sesaat. Di dalam kamarnya, Ratna berdiri di dekat meja kerjanya, sementara Nadya dengan santai duduk di tepi tempat tidur, tangan keduanya memegang formulir pendaftaran kuliah milik Ayla."Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Ayla tajam, matanya menatap keduanya dengan penuh kecurigaan.Ratna berbalik, wajahnya penuh kemarahan. Ia mengangkat formulir pendaftaran kuliah itu seperti barang bukti. "Ini apa, Ayla?" suaranya meninggi. "Kamu mau kuliah lagi? Apa kamu pikir uang Raka itu nggak ada batasnya? Kamu akan menghabiskan uangnya untuk hal tidak penting seperti ini?"Ayla melepaskan tas belanjaannya ke lantai, tubuhnya bergetar oleh emosi. "Maaf, Ma. Tapi apa y

  • Pernikahan Tanpa Kasih   BAB 43

    Langkah Raka terhenti ketika mendengar suara keras dari sudut koridor yang mengarah ke ruang kerja staf. Ia menoleh, melihat seorang pegawai senior sedang berdiri dengan wajah tegang, berbicara kepada seorang wanita muda yang menundukkan kepala. Pegawai muda itu tampak gugup, jari-jarinya mencengkeram ujung buku catatannya, dan wajahnya memerah karena malu."Lia, kamu sadar nggak seberapa besar masalah yang bisa terjadi karena ini?" tegur pegawai senior itu dengan nada tajam. "Kamu nggak boleh asal mengirimkan informasi penting ke sembarang orang!""Saya... saya benar-benar minta maaf, Pak," jawab Lia dengan suara bergetar. "Tapi saya hanya mengikuti perintah. Saya disuruh mengirimkan rincian hotel dan tiket ke istri Pak Raka."Raka mendekat, matanya menyipit. "Apa yang sedang terjadi di sini?"Kedua pegawai itu menoleh ke arahnya dengan wajah berbeda. Wajah pegawai senior menunjukkan ketakutan, sementara Lia terlihat semakin pucat.“Pak Raka,” panggil pegawai senior itu dengan nada ra

  • Pernikahan Tanpa Kasih   BAB 42

    Rak-rak tinggi yang dipenuhi buku dan perlengkapan tulis memenuhi pandangan Ayla saat ia melangkah di antara lorong-lorong toko buku besar itu. Keranjang belanjanya sudah penuh dengan buku catatan, pena beraneka warna, dan beberapa buku teks yang ia rasa akan berguna untuk semester pertamanya nanti. Setiap barang yang ia masukkan ke dalam keranjang membawa semacam kegembiraan kecil, seolah-olah ia sedang membangun awal yang baru, satu barang demi satu barang.Di tengah kegiatannya memilih tas ransel baru, ponsel Ayla bergetar di saku jaketnya. Ia berhenti sejenak, menarik ponsel itu dan melihat nama tak dikenal muncul di layar. Dengan alis sedikit terangkat, ia menerima panggilan itu.“Halo?” tanyanya, sambil menyeimbangkan keranjang belanja di lengannya.“Selamat siang, Ibu Ayla,” suara seorang wanita terdengar ramah dari ujung telepon. “Saya Lia dari kantor Pak Raka. Saya hanya ingin mengonfirmasi reservasi hotel untuk perjalanan Ibu dan Pak Raka ke Medan minggu ini.”Langkah Ayla t

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status