Setelah meninggalkan rumah, Ayla mengikuti langkah cepat Ratna dan Nadya menuju pusat perbelanjaan paling mewah di kota. Jalan-jalan di antara etalase butik-butik ternama selalu membawa aura yang penuh kemewahan, tetapi bagi Ayla, itu hanya berarti satu hal: ia akan menjadi pembawa barang-barang belanjaan yang tak ada habisnya.
Mereka pertama-tama memasuki butik mewah dengan kaca yang berkilau, di mana setiap gaun dan aksesori berharga jutaan rupiah dipajang seolah-olah itu adalah karya seni. Nadya segera berjalan cepat menuju deretan baju bermerek, memilih-milih gaun yang menurutnya akan cocok untuk berbagai acara yang mungkin tidak pernah benar-benar ia hadiri.
“Ayla, bawa ini,” perintah Nadya sambil menyerahkan beberapa baju mewah ke tangan Ayla. Belum sempat Ayla mengatur baju-baju yang sudah diambil, Nadya kembali menyerahkan tas tangan berwarna emas yang berkilau. “Pasti kalau pakai ini aku cantik sekali, kan?” Nadya tertawa kecil.
Ayla hanya mengangguk, mencoba memasang senyum tipis sambil memegang semua belanjaan yang mulai berat di tangannya. Mereka terus berkeliling dari satu toko ke toko lain, berbelanja tanpa henti—sepatu mahal, gaun malam, perhiasan yang tidak akan sering dipakai, dan berbagai barang lain yang sepertinya lebih memenuhi keinginan impulsif mereka daripada kebutuhan.
Sepanjang perjalanan belanja itu, tidak ada satu pun dari mereka yang menawarkan Ayla untuk membeli sesuatu. Tidak ada yang menanyakan apakah Ayla ingin melihat-lihat atau memilih barang yang mungkin ia butuhkan. Mereka hanya fokus pada diri mereka sendiri, seolah-olah Ayla hanyalah bayangan yang berjalan di belakang mereka, berfungsi untuk membawa semua belanjaan.
Senyum Nadya semakin melebar setiap kali mereka keluar dari toko dengan kantong belanjaan yang lebih banyak. Sementara itu, Ayla mulai merasakan beratnya tumpukan barang yang ia bawa, tetapi ia tidak mengeluh. Dia sudah terbiasa. Setiap kali Ayla merasa tangannya mulai bergetar karena membawa banyak barang, Nadya akan dengan santai menambahkan lagi belanjaan ke dalam genggamannya tanpa sedikit pun menyadari rasa tidak nyaman yang Ayla alami.
Setelah beberapa jam berkeliling di pusat perbelanjaan, mereka akhirnya berhenti. Nadya dan Ratna memutuskan untuk makan siang di sebuah restoran Jepang yang mewah. Lampion-lampion merah bergantungan di depan pintu masuk, sementara suara musik tradisional Jepang terdengar samar-samar dari dalam. Restoran itu terkenal dengan hidangannya yang autentik dan mahal, tempat yang biasanya dikunjungi oleh para sosialita kota.
“Sudah waktunya kita makan,” ujar Ratna sambil melangkah masuk ke dalam restoran tanpa sedikit pun memikirkan Ayla yang masih membawa semua kantong belanjaan mereka.
Saat mereka duduk di meja yang elegan dengan peralatan makan dari porselen indah, Ayla meletakkan kantong-kantong belanjaan di sudut meja dengan hati-hati, lalu bergabung dengan mereka. Namun, saat ia duduk, rasanya seolah-olah ia tidak benar-benar ada di sana. Ratna dan Nadya langsung asyik membahas makanan yang akan mereka pesan, sama sekali tidak melibatkan Ayla dalam percakapan.
Pelayan datang membawa buku menu, dan Nadya dengan cepat memilih hidangan paling mahal yang ada di daftar. Sushi premium, daging wagyu, dan beberapa hidangan Jepang otentik lainnya dipesan tanpa ragu. Seperti biasa, Ayla duduk di sana, merasa terasing, hanya menjadi saksi dari setiap momen yang terjadi di hadapannya.
“Jangan lupa bayar dengan kartu itu nanti, Ayla,” kata Ratna dengan nada santai, seolah-olah itu sudah menjadi hal yang wajar. Ayla hanya mengangguk pelan, sambil menahan perasaan tertekan yang terus menumpuk. Kartu black card Raka lagi. Selalu begini.
Saat makanan tiba, Nadya dan Ratna mulai menikmati hidangan mereka dengan gembira, sementara Ayla memandangi piringnya yang hanya berisi sedikit makanan. Ia tidak berani memesan lebih, meski perutnya sudah mulai lapar setelah berjam-jam membawa belanjaan.
Tiba-tiba, di tengah-tengah percakapan yang awalnya seputar belanja dan acara sosial, Ratna menoleh ke arah Ayla, menyapanya dengan senyuman tipis yang tampak tidak biasa.
“Ayla, minggu depan ada acara pernikahan anak teman lama Mama,” kata Ratna, mengambil napkin di meja dan menyeka sudut bibirnya. “Dan Ibu ingin kamu menemaniku ke sana.”
Ayla terdiam, terkejut mendengar permintaan itu. Selama satu tahun pernikahannya dengan Raka, ini pertama kalinya mertuanya mengajaknya ke acara formal seperti itu. Selama ini, Ratna selalu menunjukkan sikap dingin dan acuh tak acuh, seolah-olah malu mengakui keberadaan Ayla di depan teman-teman sosialitanya. Bahkan, di berbagai acara keluarga, Ayla sering kali diabaikan atau tidak diundang sama sekali.
“Aku?” Ayla bertanya perlahan, mencoba menyembunyikan rasa curiganya. “Biasanya Mama nggak pernah mengajak aku ke acara seperti itu.”
Ratna menatapnya sesaat, senyumnya tetap bertahan namun sedikit menegang. “Iya, tentu saja terpaksa. Nadya sibuk dengan teman-temannya minggu depan, dan Papa juga sedang banyak urusan. Jadi Mama pikir, kamu bisa menemani.”
Ayla menggigit bibirnya. Di satu sisi, ia merasa ada yang janggal. Kenapa tiba-tiba Ratna ingin ditemani olehnya? Biasanya, Ratna lebih memilih membawa Nadya ke acara-acara seperti itu, atau setidaknya pergi sendiri daripada memperlihatkan Ayla di depan teman-temannya. Apakah ini karena sesuatu yang lain? pikir Ayla, masih merasa curiga.
“Pernikahan itu akan dihadiri oleh banyak orang penting,” lanjut Ratna. “Dan tentu saja, sebagai bagian dari keluarga Aditya, kamu harus mulai berkenalan dengan mereka.”
Nada suaranya terdengar penuh perhitungan, dan Ayla tahu bahwa ini bukan tentang membangun hubungan atau perkenalan sosial. Mungkin lebih tentang penampilan luar dan menjaga nama baik keluarga di mata orang lain. Selama ini, Ayla sudah tahu bagaimana Ratna sangat peduli dengan penampilan dan status sosial.
Ayla menelan keraguan yang memenuhi pikirannya dan mencoba tersenyum. “Baik, Ma. Aku akan ikut.”
Nadya yang duduk di sebelah Ratna hanya mengangkat alis, tampak tidak tertarik dengan topik tersebut. “Aku lebih baik bersama teman-temanku daripada ikut ke pernikahan yang membosankan itu,” katanya dengan malas, sambil menggulung sushi di piringnya. “Lagipula, Ayla kan butuh sedikit hiburan juga, ya kan, Bu?”
Tawa sinis Nadya membuat Ayla semakin sadar bahwa ajakan ini bukanlah bentuk penghargaan atau pengakuan dari mertuanya. Ini adalah murni soal kebutuhan. Tidak ada orang lain yang bisa menemani, jadi Ayla yang akhirnya diajak.
Meski merasa canggung dan curiga, Ayla tidak bisa menolak. Dalam hati, ia tahu bahwa ini bukanlah kesempatan untuk benar-benar diterima oleh keluarga Raka, melainkan hanya peran yang harus ia mainkan—sekali lagi, demi menjaga penampilan. Dan seperti biasa, Ayla harus menuruti apa pun permintaan mereka.
Sambil menyelesaikan makanan di piringnya yang hampir tidak disentuh, Ayla mempersiapkan dirinya untuk menghadapi minggu depan. Ia tahu bahwa acara pernikahan itu mungkin akan menjadi ujian lain, di mana setiap tindakannya akan dinilai, dan kesalahannya, sekecil apa pun, bisa menjadi alasan bagi Ratna untuk mengkritiknya lagi.
Raka duduk di ruang kerjanya, memandangi ponsel yang sudah ia genggam sejak beberapa menit lalu. Napasnya terasa berat saat ia akhirnya menekan nama Laras di daftar kontak. Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suara lembut Laras menjawab di ujung sana.“Halo, Raka,” ujar Laras dengan nada riang. “Aku baru aja mau tanya soal jadwal keberangkatan ke Medan. Jadi…”“Laras,” potong Raka dengan nada rendah, penuh tekanan.Laras langsung diam. Suara Raka yang serius membuatnya ragu untuk melanjutkan kalimat. “Ada apa, Raka?” tanyanya akhirnya.Raka menghela napas panjang, mencoba merangkai kata-kata. “Aku perlu kamu batalkan rencana kamu ikut ke Medan.”Laras terdiam sesaat. “Apa?” suaranya terdengar tidak percaya. “Batalkan? Kenapa?”“Ayla sudah tahu,” jawab Raka pelan. “Dia menemukan tiket dan reservasi hotel. Aku nggak bisa biarin ini semakin buruk.”“Jadi?” balas Laras, suaranya mulai terdengar lebih tinggi. “Kenapa itu masalah? Aku ikut ke Medan untuk urusanku sendiri, Raka. Ini
Setelah makan malam selesai, mereka semua masih duduk di meja makan, menikmati obrolan ringan yang diiringi tawa. Bintang, yang baru saja menyelesaikan sepotong tahu gorengnya, tiba-tiba menatap Bima dengan mata berbinar.“Om Bima, Om keren banget!” serunya tiba-tiba, membuat semua orang di meja menoleh ke arahnya.Bima terkekeh, menepuk kepala Bintang dengan lembut. “Kok tiba-tiba bilang gitu? Keren kenapa, Bintang?”“Karena tadi Om mau main sama aku. Terus Om ngobrol sama aku lama-lama di warung,” jawab Bintang polos sambil menyeka mulutnya dengan tisu. “Om baik banget, nggak kayak Om Raka.”Suasana meja mendadak hening. Ayla berhenti memegang gelas tehnya, sedangkan Lina dan Mira saling pandang dengan canggung.“Bintang!” tegur Mira cepat, suaranya setengah tertawa tapi jelas penuh maksud. “Nggak boleh ngomong gitu.”Bintang mengerutkan kening, tidak mengerti kenapa ibunya tiba-tiba marah. “Kenapa, Ma? Kan bener. Om Raka nggak pernah main sama aku. Dia juga nggak pernah ke sini.”M
Mira keluar dari pintu depan rumah sambil mengikat rambutnya. Matahari mulai condong ke barat, sinarnya yang hangat membuat halaman rumah terlihat lebih hidup. Ia mengernyit kecil saat menyadari bahwa Bintang, anaknya, tidak ada di halaman seperti biasanya.“Bintang!” panggil Mira, melangkah ke arah pagar. Tidak ada jawaban.Matanya melirik ke warung kopi di sebelah kanan rumah, dan ia segera melihat sosok anaknya yang sedang duduk manis di bangku panjang. Namun yang membuat Mira terkejut bukan hanya Bintang—di sebelah anak itu duduk seorang pria muda dengan pakaian rapi, tampak sedang berbicara santai dengan beberapa pria yang sering nongkrong di warung itu.Kening Mira berkerut. Ia mempercepat langkahnya, menghampiri warung dengan rasa penasaran.“Bintang!” panggil Mira, suaranya sedikit tegas.Bintang menoleh cepat, senyumnya melebar. “Iya, Ma!”Mira menghampirinya, langsung menarik tangan anaknya dengan lembut tetapi penuh maksud. “Kamu ngapain di sini? Siapa ini?” tanyanya sambil
Begitu Ayla melangkah masuk ke halaman rumah, suara pintu depan yang terbuka menarik perhatiannya. Lina, ibunya, muncul dari dalam rumah dengan wajah penuh senyum. Di belakangnya, Mira berlari kecil menyusul, wajahnya berseri-seri saat melihat Ayla.“Ayla!” Lina memanggil sambil membuka tangannya lebar.“Ibu…” Ayla tersenyum kecil, lalu berjalan cepat mendekati ibunya. Lina langsung memeluknya erat, hangat dan penuh kasih seperti yang selalu Ayla rindukan.“Kenapa nggak bilang mau pulang?” tanya Lina setelah melepaskan pelukannya. “Kamu tiba-tiba datang aja.”“Biar surprise,” jawab Ayla sambil tertawa kecil. “Aku cuma mampir sebentar, kok.”Mira, adiknya, langsung menggantikan posisi Lina dengan pelukan yang tak kalah erat. “Kak Ayla! Udah lama banget nggak ke sini! Aku kira Kak Ayla lupa jalan pulang ke rumah,” ujarnya sambil terkekeh.“Mana mungkin aku lupa,” balas Ayla sambil mencubit ringan pipi Mira.Mira tertawa, lalu menarik tangan Ayla masuk ke dalam rumah. “Masuk dulu, dong.
Ayla mengusap pipinya perlahan, mencoba menghapus sisa air mata yang masih terasa hangat. Ia menatap Bima, lalu tersenyum kecil, meski senyuman itu tampak dipaksakan. “Makasih, Bima. Aku nggak tahu gimana jadinya kalau nggak ada kamu sekarang.”Bima tersenyum, tetapi tatapannya tetap penuh perhatian. “Nggak usah makasih, Ayla. Aku cuma nggak suka lihat kamu kayak gini. Tapi jujur, senyummu itu… masih belum sempurna. Kamu masih kelihatan nggak bahagia.”Ayla menghela napas panjang, pandangannya kembali mengarah ke bukit dan langit biru di kejauhan. “Mungkin aku nggak tahu lagi gimana rasanya bahagia. Semua udah terasa terlalu berat.”Bima menyandarkan tangannya ke pinggul, menatap Ayla dengan serius. “Oke, kalau gitu, apa yang bisa bikin kamu bahagia lagi? Apa yang kamu butuhin sekarang?”Ayla terdiam sejenak, mencoba mencerna pertanyaan itu. Ia tertawa kecil, lalu mengangkat bahu. “Aku nggak tahu. Atau…” Ayla menghela napas, suaranya melembut. “Atau keluargaku, Bintang keponakanku. Ru
Malam itu, Ayla duduk di ruang tamu dengan tangan gemetar, ponselnya tergenggam erat. Di layar, bukti tiket dan reservasi hotel masih terbuka, nama-nama itu terpampang jelas: Raka Wasena Aditya dan Laras Kusuma Dewi.Jam dinding berdetak perlahan, suara itu semakin mengisi ruangan yang sepi. Di meja di depannya, secangkir teh yang telah mendingin tidak ia sentuh sama sekali. Ayla mencoba menenangkan dirinya, tetapi air mata yang menggenang di matanya tak bisa ditahan lagi. Beberapa kali ia mengusap pipinya, berharap sisa-sisa air mata itu tidak meninggalkan jejak.Pintu depan akhirnya terbuka. Raka melangkah masuk, tubuhnya terlihat lelah, tetapi matanya langsung bertemu dengan Ayla yang duduk di sofa. Ia berhenti, tatapannya berubah waspada. Ia tahu malam ini akan menjadi malam yang panjang.Ayla berdiri perlahan, matanya yang merah menatap Raka dengan campuran emosi: marah, kecewa, dan luka yang mendalam. “Kamu akhirnya pulang,” ucapnya pelan, suaranya hampir bergetar.Raka melepas