Share

BAB 7

Author: tasharenjana
last update Last Updated: 2024-10-17 14:03:43

Di dalam kamar yang sunyi, Ayla duduk di depan laptopnya, jemarinya menari di atas keyboard, mencurahkan perasaannya melalui kata-kata. Kamar itu adalah tempat favoritnya—ruang yang memberikan kenyamanan dan pelarian dari kehidupan yang sepi dan rumit. Dalam dunia novelnya, Ayla menemukan kebebasan dan kekuatan yang tak pernah ia rasakan di kehidupan nyata.

Namun, saat pikirannya masih tenggelam dalam cerita yang sedang ia tulis, bunyi bel rumah yang keras dan berulang memecahkan keheningan. Ayla menghentikan tulisannya sejenak, menoleh ke arah jendela. Siapa yang datang pagi-pagi begini?

Tiba-tiba, suara Ratna dan Nadya terdengar samar dari bawah. Jantung Ayla berdetak cepat. Mertuanya dan Nadya? pikirnya, panik. Mereka tidak pernah datang tanpa pemberitahuan, dan kedatangan mereka jarang membawa kabar baik.

Dengan cepat, Ayla menekan tombol untuk mematikan laptopnya, khawatir jika mereka mengetahui tentang kehidupan rahasianya sebagai penulis. Ia menutup laptop dan berdiri dengan tergesa, berusaha menenangkan dirinya.

Ayla melangkah cepat keluar dari kamar, meninggalkan dunia yang ia ciptakan melalui tulisan. Ketika ia sampai di ruang tamu, ia melihat Ratna dan Nadya sudah duduk di sofa, wajah mereka menunjukkan ketidaknyamanan yang khas—seolah-olah mereka tidak ingin berada di sini, tetapi mereka datang karena sesuatu yang penting.

“Selamat pagi, Ma, Nadya,” sapa Ayla dengan senyum kecil yang dipaksakan, berharap bisa menyembunyikan rasa tegang yang muncul di dadanya. Ia duduk di kursi yang berhadapan dengan mereka, berusaha menjaga ketenangan. “Maaf, aku baru turun.”

Ratna meliriknya sebentar sebelum berbicara. “Kami nggak masalah menunggu,” jawabnya dengan nada dingin, sambil melirik sekilas ke sekitar rumah seakan sedang menilai keadaan di dalamnya. Nadya, seperti biasa, duduk dengan tubuhnya bersandar malas di sofa, seolah tak ingin berada di sana.

Ayla merasa jantungnya semakin berdebar saat duduk di hadapan Ratna dan Nadya. Ruangan yang tadinya terasa nyaman kini dipenuhi ketegangan. Sebelum Ayla sempat menanyakan maksud kedatangan mereka, mata tajam Ratna langsung mengarah ke tumpukan paket yang ada di sudut ruang tamu.

“Apa itu semua?” tanya Ratna dengan nada yang terkesan menyindir, menatap paket-paket yang baru saja datang beberapa hari lalu. “Apakah kamu menghabiskan uang Raka lagi untuk hal-hal yang nggak penting?”

Ayla menghela napas dalam hati, mencoba menahan gejolak emosi yang mulai menguar. Selalu begini, pikirnya. Setiap kali ada barang baru di rumah, selalu dianggap sebagai bentuk pemborosan. Ia harus selalu membela diri, meskipun sebagian besar yang ia beli adalah kebutuhan rumah tangga.

“Semua itu adalah peralatan rumah tangga, Ma,” jawab Ayla dengan nada tenang, meski hatinya gelisah. “Piring, gelas, dan beberapa barang lain yang kami butuhkan. Rumah ini kan harus dirawat dan dijaga kebutuhannya.”

Ratna menatapnya dengan pandangan skeptis, seolah tidak percaya dengan penjelasan Ayla. “Kebutuhan rumah tangga?” ujarnya dingin. “Piring? Gelas? Setiap kali kami datang, selalu ada yang baru. Raka sudah bekerja keras untuk memenuhi semua kebutuhan rumah, dan kamu terus-terusan menghabiskan uangnya untuk barang-barang yang nggak jelas.”

Nadya yang duduk di sebelahnya tertawa kecil, menambahkan komentar dengan sinis, “Iya, Kak Raka memang kaya, tapi kamu tahu kan, Ayla, bukan berarti bisa seenaknya. Aku heran kenapa selalu ada paket yang datang ke rumah ini.”

Ayla mencoba tetap tenang. Ia tahu setiap kata yang ia ucapkan akan selalu dinilai salah di mata mereka. “Aku pastikan semua yang dibeli memang untuk kebutuhan rumah, Nadya. Rumah ini besar, banyak yang harus diperbaiki dan diperbarui. Aku cuma berusaha membuat semuanya lebih baik.”

Namun, Ratna tidak mengurangi sindirannya. “Lebih baik? Atau kamu cuma cari alasan untuk membelanjakan uang Raka? Jangan pikir kami nggak tahu akal bulusmu ya.”

Kata-kata itu menusuk Ayla, namun ia tahu bahwa tidak ada gunanya berdebat panjang dengan mereka. Ini bukan pertama kalinya ia dituduh menghabiskan uang Raka, dan setiap kali ia menjelaskan, tanggapan yang ia terima selalu sama: ketidakpercayaan.

Ayla menggigit bibirnya, menahan rasa frustrasi yang terus membesar. “Aku cuma berusaha merawat rumah ini, Ma. Itu saja.”

Ratna menghela napas, seolah lelah dengan penjelasan Ayla. “Baiklah. Tapi ingat, Raka bekerja keras untuk semuanya. Jangan sampai kamu membuatnya lebih terbebani dengan hal-hal yang nggak penting.”

Ayla hanya bisa mengangguk, meski dalam hatinya ia merasa hancur. Setiap usahanya untuk menjalankan tugas sebagai istri selalu dianggap salah. Tidak ada yang ia lakukan yang tampak cukup di mata keluarga Raka.

“Kami mau berbelanja, Ayla. Kamu ikut dengan kami.”

Ayla tidak terkejut mendengar ajakan itu. Ia sudah tahu apa artinya ketika Ratna dan Nadya mengajaknya berbelanja. Ini bukan ajakan untuk menikmati waktu bersama, melainkan sebuah kesempatan bagi mereka untuk memanfaatkannya.

“Ya, Ma,” jawab Ayla pelan, berusaha menjaga senyumnya meski hatinya ingin menolak.

Nadya, yang dari tadi terlihat bosan, langsung tersenyum lebar. “Akhirnya! Aku sudah lama pengen ke butik baru di pusat kota. Kamu harus lihat, Ayla. Mereka punya koleksi baju baru yang keren. Oh, tapi kamu nggak akan pakai baju-baju semahal itu, kan?” tawa sinis Nadya kembali terdengar, seolah sengaja mempermalukan Ayla.

Ayla menahan diri untuk tidak bereaksi. Ia sudah terbiasa dengan ejekan Nadya. Satu hal lagi yang sudah Ayla ketahui dengan pasti adalah mereka tidak hanya mengajaknya berbelanja. Ratna dan Nadya membutuhkan sesuatu darinya—lebih tepatnya, mereka membutuhkan kartu black card yang diberikan oleh Raka untuk Ayla.

Semenjak Pak Aditya menyita kartu kredit mereka berdua akibat pemborosan yang berlebihan, Ratna dan Nadya tak lagi bisa bebas berbelanja seperti biasanya. Mereka tahu bahwa satu-satunya cara untuk tetap bisa memanjakan diri adalah dengan menggunakan kartu black card milik Ayla. Kartu itu diberikan Raka kepada Ayla sebagai bentuk tanggung jawab untuk mengurus keperluan rumah tangga, tetapi keluarga Raka selalu berhasil memanfaatkannya untuk kepentingan mereka sendiri.

“Jangan lupa bawa kartu itu, Ayla,” tambah Ratna, kali ini nada suaranya tidak lagi bernada sindiran, tetapi perintah yang jelas. “Kartu yang Raka berikan padamu. Kami akan membutuhkan itu.”

Ayla merasakan beban berat di dadanya, tetapi ia hanya bisa mengangguk. Di satu sisi, ia tahu tidak ada pilihan lain. Menolak hanya akan memperburuk hubungan mereka yang sudah dingin. Di sisi lain, ia tahu betul bahwa saat mereka berbelanja, dirinya tak lebih dari sekadar 'kacung' yang disuruh-suruh. Tidak ada pembicaraan hangat, tidak ada perhatian, hanya penugasan tanpa henti.

“Baik, Ma,” jawab Ayla akhirnya. “Aku bawa kartunya.” Suaranya tenang, meski hatinya merasakan luka yang tak pernah sembuh.

“Bagus,” balas Ratna dengan datar. “Ayo, kita berangkat. Jangan buang waktu.”

Ayla tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ini bukan pertama kalinya, dan mungkin bukan yang terakhir. Ia akan ikut, membawa beban—baik fisik maupun emosi—dan tidak ada yang akan melihat atau peduli dengan apa yang dirasakannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Tanpa Kasih   BAB 50

    Raka duduk di ruang kerjanya, memandangi ponsel yang sudah ia genggam sejak beberapa menit lalu. Napasnya terasa berat saat ia akhirnya menekan nama Laras di daftar kontak. Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suara lembut Laras menjawab di ujung sana.“Halo, Raka,” ujar Laras dengan nada riang. “Aku baru aja mau tanya soal jadwal keberangkatan ke Medan. Jadi…”“Laras,” potong Raka dengan nada rendah, penuh tekanan.Laras langsung diam. Suara Raka yang serius membuatnya ragu untuk melanjutkan kalimat. “Ada apa, Raka?” tanyanya akhirnya.Raka menghela napas panjang, mencoba merangkai kata-kata. “Aku perlu kamu batalkan rencana kamu ikut ke Medan.”Laras terdiam sesaat. “Apa?” suaranya terdengar tidak percaya. “Batalkan? Kenapa?”“Ayla sudah tahu,” jawab Raka pelan. “Dia menemukan tiket dan reservasi hotel. Aku nggak bisa biarin ini semakin buruk.”“Jadi?” balas Laras, suaranya mulai terdengar lebih tinggi. “Kenapa itu masalah? Aku ikut ke Medan untuk urusanku sendiri, Raka. Ini

  • Pernikahan Tanpa Kasih   BAB 49

    Setelah makan malam selesai, mereka semua masih duduk di meja makan, menikmati obrolan ringan yang diiringi tawa. Bintang, yang baru saja menyelesaikan sepotong tahu gorengnya, tiba-tiba menatap Bima dengan mata berbinar.“Om Bima, Om keren banget!” serunya tiba-tiba, membuat semua orang di meja menoleh ke arahnya.Bima terkekeh, menepuk kepala Bintang dengan lembut. “Kok tiba-tiba bilang gitu? Keren kenapa, Bintang?”“Karena tadi Om mau main sama aku. Terus Om ngobrol sama aku lama-lama di warung,” jawab Bintang polos sambil menyeka mulutnya dengan tisu. “Om baik banget, nggak kayak Om Raka.”Suasana meja mendadak hening. Ayla berhenti memegang gelas tehnya, sedangkan Lina dan Mira saling pandang dengan canggung.“Bintang!” tegur Mira cepat, suaranya setengah tertawa tapi jelas penuh maksud. “Nggak boleh ngomong gitu.”Bintang mengerutkan kening, tidak mengerti kenapa ibunya tiba-tiba marah. “Kenapa, Ma? Kan bener. Om Raka nggak pernah main sama aku. Dia juga nggak pernah ke sini.”M

  • Pernikahan Tanpa Kasih   BAB 48

    Mira keluar dari pintu depan rumah sambil mengikat rambutnya. Matahari mulai condong ke barat, sinarnya yang hangat membuat halaman rumah terlihat lebih hidup. Ia mengernyit kecil saat menyadari bahwa Bintang, anaknya, tidak ada di halaman seperti biasanya.“Bintang!” panggil Mira, melangkah ke arah pagar. Tidak ada jawaban.Matanya melirik ke warung kopi di sebelah kanan rumah, dan ia segera melihat sosok anaknya yang sedang duduk manis di bangku panjang. Namun yang membuat Mira terkejut bukan hanya Bintang—di sebelah anak itu duduk seorang pria muda dengan pakaian rapi, tampak sedang berbicara santai dengan beberapa pria yang sering nongkrong di warung itu.Kening Mira berkerut. Ia mempercepat langkahnya, menghampiri warung dengan rasa penasaran.“Bintang!” panggil Mira, suaranya sedikit tegas.Bintang menoleh cepat, senyumnya melebar. “Iya, Ma!”Mira menghampirinya, langsung menarik tangan anaknya dengan lembut tetapi penuh maksud. “Kamu ngapain di sini? Siapa ini?” tanyanya sambil

  • Pernikahan Tanpa Kasih   BAB 47

    Begitu Ayla melangkah masuk ke halaman rumah, suara pintu depan yang terbuka menarik perhatiannya. Lina, ibunya, muncul dari dalam rumah dengan wajah penuh senyum. Di belakangnya, Mira berlari kecil menyusul, wajahnya berseri-seri saat melihat Ayla.“Ayla!” Lina memanggil sambil membuka tangannya lebar.“Ibu…” Ayla tersenyum kecil, lalu berjalan cepat mendekati ibunya. Lina langsung memeluknya erat, hangat dan penuh kasih seperti yang selalu Ayla rindukan.“Kenapa nggak bilang mau pulang?” tanya Lina setelah melepaskan pelukannya. “Kamu tiba-tiba datang aja.”“Biar surprise,” jawab Ayla sambil tertawa kecil. “Aku cuma mampir sebentar, kok.”Mira, adiknya, langsung menggantikan posisi Lina dengan pelukan yang tak kalah erat. “Kak Ayla! Udah lama banget nggak ke sini! Aku kira Kak Ayla lupa jalan pulang ke rumah,” ujarnya sambil terkekeh.“Mana mungkin aku lupa,” balas Ayla sambil mencubit ringan pipi Mira.Mira tertawa, lalu menarik tangan Ayla masuk ke dalam rumah. “Masuk dulu, dong.

  • Pernikahan Tanpa Kasih   BAB 46

    Ayla mengusap pipinya perlahan, mencoba menghapus sisa air mata yang masih terasa hangat. Ia menatap Bima, lalu tersenyum kecil, meski senyuman itu tampak dipaksakan. “Makasih, Bima. Aku nggak tahu gimana jadinya kalau nggak ada kamu sekarang.”Bima tersenyum, tetapi tatapannya tetap penuh perhatian. “Nggak usah makasih, Ayla. Aku cuma nggak suka lihat kamu kayak gini. Tapi jujur, senyummu itu… masih belum sempurna. Kamu masih kelihatan nggak bahagia.”Ayla menghela napas panjang, pandangannya kembali mengarah ke bukit dan langit biru di kejauhan. “Mungkin aku nggak tahu lagi gimana rasanya bahagia. Semua udah terasa terlalu berat.”Bima menyandarkan tangannya ke pinggul, menatap Ayla dengan serius. “Oke, kalau gitu, apa yang bisa bikin kamu bahagia lagi? Apa yang kamu butuhin sekarang?”Ayla terdiam sejenak, mencoba mencerna pertanyaan itu. Ia tertawa kecil, lalu mengangkat bahu. “Aku nggak tahu. Atau…” Ayla menghela napas, suaranya melembut. “Atau keluargaku, Bintang keponakanku. Ru

  • Pernikahan Tanpa Kasih   BAB 45

    Malam itu, Ayla duduk di ruang tamu dengan tangan gemetar, ponselnya tergenggam erat. Di layar, bukti tiket dan reservasi hotel masih terbuka, nama-nama itu terpampang jelas: Raka Wasena Aditya dan Laras Kusuma Dewi.Jam dinding berdetak perlahan, suara itu semakin mengisi ruangan yang sepi. Di meja di depannya, secangkir teh yang telah mendingin tidak ia sentuh sama sekali. Ayla mencoba menenangkan dirinya, tetapi air mata yang menggenang di matanya tak bisa ditahan lagi. Beberapa kali ia mengusap pipinya, berharap sisa-sisa air mata itu tidak meninggalkan jejak.Pintu depan akhirnya terbuka. Raka melangkah masuk, tubuhnya terlihat lelah, tetapi matanya langsung bertemu dengan Ayla yang duduk di sofa. Ia berhenti, tatapannya berubah waspada. Ia tahu malam ini akan menjadi malam yang panjang.Ayla berdiri perlahan, matanya yang merah menatap Raka dengan campuran emosi: marah, kecewa, dan luka yang mendalam. “Kamu akhirnya pulang,” ucapnya pelan, suaranya hampir bergetar.Raka melepas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status