Share

Siapa Dia?

Morgan menatap Ayra dengan dalam. "Kamu tahu apa yang sedang saya rasakan saat ini, Ayra? Kehidupan saya hancur karena saya nolong kamu kemarin! Dengan entengnya kamu ngomong kalau kamu muak sama saya. Harusnya saya yang bicara seperti itu! Saya muak sama kamu, karena saya gak melakukan apa pun sama kamu tapi terpaksa harus menanggung permasalahan ini!" ujarnya dengan sedikit kasar.

Ayra yang jiwanya sedang terluka, merasa tidak bisa menerimanya. Ia merasa kesal, karena kejadian ini juga bukanlah keinginannya.

"Lho, bukan salah saya dong Pak! Ini juga bukan keinginan saya! Lagian kenapa Bapak masuk ke dalam ruangan itu gitu aja? Kenapa Bapak lalai banget, tanpa mikirin dampak yang akan terjadi, hah? Katanya Bapak guru, kenapa hal begini aja Bapak gak bisa prediksi, sih?" ungkap Ayra dengan sinis, membuat Morgan menghela napasnya dengan kasar.

"Ayra, saya ini guru. Bukan cenayang. Saya gak bisa prediksi apa pun di luar nalar. Kamu harusnya tahu itu!" ujar Morgan dengan nada yang sedikit ia tekan.

Mendengar Morgan yang mengatakan hal itu, membuat Ayra sedikit tersentil. Namun, ucapan Morgan terdengar sedikit lucu, dengan ekspresi Morgan yang seperti itu di hadapannya.

Ingin sekali Ayra tertawa, tetapi ia masih menjaga image di hadapan Morgan.

Melihat gelagat Ayra yang menahan tawanya, Morgan pun merasa kesal. Tak disangka, Ayra bahkan hendak menertawakan derita yang ia rasakan.

"Kamu ngetawain saya, hah?" tanya sinis Morgan, membuat Ayra tertawa lepas karena sudah tidak bisa menahannya.

"Cenayang katanya?" batin Ayra, yang malah tak bisa menahan tawanya di hadapan Morgan.

Melihat kedua orang tersebut di hadapannya, Lidya yang baru saja datang merasa terganggu dengan pemandangan ini. Dalam sudut pandangnya Ayra dan Morgan terlihat sangat romantis.

"Mereka bersikap romantis di hadapan saya? Kenapa mereka sengaja begitu, sih?" batin Lidya yang malah kesal melihat kebersamaan mereka.

Karena sudah terlalu kesal, Lidya pun berlari pergi dari sana dan melewati mereka tanpa berkata apa pun.

Ayra yang bingung, hanya bisa memandang kepergian Lidya saja.

"Dia kenapa?" gumam Ayra, dengan Morgan yang hanya diam tak memedulikan apa yang Lidya lakukan.

Morgan memandang kepergian Lidya. "Dia ngeliat, ya? Baguslah," batinnya yang sedikit lega karenanya.

Beberapa saat, Morgan tersadar dengan keadaan. Ia kembali memandang sinis ke arah Ayra, membuat Ayra juga tersadar dan memandang Morgan dengan tatapan yang tak kalah sinisnya.

"Pokoknya saya gak mau masuk penjara!" ujar Morgan dengan kesal, karena sudah tidak bisa mengatakan apa pun lagi.

"Lebih baik begitu, daripada saya harus nikah sama Pak Morgan!" ujar Ayra dengan ketus, membuat Morgan tak bisa menerimanya.

"Kamu ...."

Ayra pergi, sebelum Morgan bisa meneruskan apa yang hendak ia katakan.

"Ayra, tunggu!" pekik Morgan, yang tak dipedulikan oleh Ayra.

Dengan rasa kesal yang memuncak, Morgan hanya bisa menendang udara. Ia merasa tidak bisa melakukan apa pun lagi, karena ternyata Ayra yang memang tidak menginginkan pernikahan itu terjadi.

"Ya, saya juga gak mau pernikahan itu sampai terjadi. Tapi saya juga gak mau sampai masuk penjara!" gerutu Morgan, yang merasa tidak bisa menerima kedua hal tersebut.

***

Jam pelajaran hari ini sudah hampir selesai. Sepanjang hari Ayra hanya tertidur di kelas, karena ia yang semalaman tidak bisa beristirahat. Tak ada guru yang menegurnya, karena kepala sekolah yang berpesan pada mereka untuk tidak menghukum Ayra selama dua hari ke depan.

"Baiklah, jika tidak ada pertanyaan mari kita sudahi pelajaran hari ini. Sampai jumpa besok di hari Jumat," ucap guru yang mengisi jam pelajaran kali ini.

Semua orang membubarkan diri, setelah guru keluar dari ruangan kelas ini. Ayra masih saja tertidur pulas, sehingga membuat sahabatnya yang bernama Nadine merasa iba melihatnya.

Nadine menggoyangkan lengan tangan Ayra. "Ra, bangun. Ini udah selesai jam pelajaran," ujarnya dengan sangat hati-hati membangunkan Ayra.

"Eng?" Ayra tersadar dari tidurnya, dan menyadari bahwa keadaan sekelilingnya sudah sangat sepi.

"Kamu capek banget kelihatannya. Kamu begadang semalem?" tanya Nadine, penasaran dengan apa yang Ayra lakukan.

Ayra membenarkan sikap duduknya, kemudian menghela napasnya dengan panjang. "Ya, aku ga bisa tidur."

"Kenapa gak bisa tidur? Apa ada yang kamu pikirin?" tanya Nadine lagi.

Karena tidak ingin mengatakan apa pun, Ayra hanya bisa menggelengkan kepalanya saja.

"Aku cuma gak bisa tidur aja semalam. Aku main game, sampai lupa waktu. Aku kebablasan," ujar Ayra yang berusaha untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi.

Nadine menghela napasnya dengan panjang. "Harusnya kalau mau main game, di weekend. Kamu bisa dengan enaknya main tanpa mengganggu pelajaran kamu di sekolah."

Nadine memanglah sangat baik. Selain itu, ia adalah anak paling pandai di kelas ini. Ia sangat rajin, sehingga membuat para guru memerhatikan lebih kepada dirinya.

"Ya, aku salah. Lain kali aku gak akan begitu lagi," ucap Ayra dengan nada rendah, berusaha untuk tidak melawan yang Nadine katakan.

"Ya udah, ayo kita pulang," ajak Nadine.

"Duluan aja, Nad. Aku dijemput sama pacar aku."

Nadine mengangguk kecil. "Ya udah, kamu hati-hati di jalan ya. Jangan malam-malam pulangnya," pesannya.

Selain rajin, Nadine juga adalah anak yang sangat baik. Ia sangat patuh peraturan, dan tidak macam-macam menjalani kehidupannya. Semuanya sudah tersusun rapi sesuai jadwal, sehingga Nadine tidak bisa melanggar hal yang sudah ia pelajari sejak kecil.

"Oke deh."

Mereka pun berpisah di sana, dengan Nadine yang lebih dulu pergi dari sana. Melihat kepergian Nadine, Ayra pun menghela napasnya dengan panjang.

"Pura-pura gak ada apa-apa itu, ternyata butuh effort yang besar," batin Ayra, yang merasa sudah mulai tertekan dengan apa yang ia jalani saat ini.

Setelah merapikan barang-barang miliknya, Ayra pun segera pergi dari sana untuk menuju ke arah gerbang sekolah.

Di sana, ternyata sudah ada Ilham yang sejak tadi sudah menunggu kedatangan Ayra. Karena profesi Ilham yang merupakan manajer di sebuah perusahaan, ia datang menggunakan mobil dan juga jas yang rapi.

Biasanya Ayra tidak ingin jalan bersama Ilham, yang terlihat lebih dewasa darinya. Apalagi saat ini Ayra masih mengenakan seragamnya, sehingga nampak jelas perbedaan umur di antara keduanya.

Ayra masuk ke dalam mobil Ilham dengan mood yang tidak jelas. Ia hanya diam tak menatap Ilham, membuat Ilham heran dengan apa yang terjadi dengan kekasihnya itu.

"Ada apa, Sayang? Kenapa bete gitu ketemu sama aku?" tanya Ilham.

Ayra hanya diam, tidak memedulikan apa yang Ilham katakan.

Menyadari dengan mood remaja yang satu ini, Ilham pun hanya bisa menghela napasnya dengan panjang. Ia mengerti dengan apa yang Ayra rasakan.

"Ya udah, kita makan dulu ya. Nanti baru cerita," ujar Ilham, yang masih tak dihiraukan oleh Ayra.

Ilham mengemudikan mobilnya untuk menuju ke tempat yang ingin mereka tuju.

Di luar dugaan, ternyata sedari tadi Morgan ada di sana memerhatikan Ayra dari kejauhan. Ia tak percaya, Ayra akan pergi dengan pria yang tidak ia kenal.

"Ayra pergi dengan siapa? Kenapa kelihatannya sudah dewasa, ya? Apa ... itu kakaknya?" gumam Morgan, yang penasaran dengan hubungan di antara Ayra dan pria yang menjemputnya tadi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status