Suasana menjadi sangat tegang, karena Lidya yang tidak biasanya mendengar Morgan yang meminta bantuannya seperti ini.
"Umm ... ada apa ya, Pak? Apa yang Pak Morgan inginkan?" tanya Lidya penasaran."Saya ingin memeriksa rekaman CCTV di depan ruang penyimpanan peralatan olahraga. Saya ingin melihat di jam sebelum pulang sekolah," ujar Morgan tanpa basa-basi, membuat Lidya mengangguk kecil mendengarnya.Dengan cekatan, Lidya segera menuju ke arah tempat duduknya. Ia pun duduk, kemudian memeriksa rekaman tersebut pada monitor kontrol miliknya."Ini Pak," ucap Lidya.Morgan memandangi layar monitor dengan sangat berhati-hati. Setelah Ayra masuk ke dalam ruangan tersebut, tidak ada siapa pun di sana yang melintas di area tersebut. Morgan semakin menajamkan matanya, kalau saja ada seseorang yang melewatinya di sana.Namun, ketika Morgan datang membawa sapu di tangannya, tidak ada orang lain sebelum dan setelah kedatangannya. Dengan kata lain, tidak ada saksi yang bisa membuktikan tentang hal ini.Lidya mendelik kaget, ketika ia melihat pada rekaman CCTV tersebut Morgan yang tiba-tiba saja masuk ke dalam ruangan tersebut. Apalagi sebelumnya sudah ada Ayra di dalam, sehingga membuatnya bertanya-tanya tentang hal ini."Morgan dan murid itu ... kenapa mereka masuk ke dalam ruangan penyimpanan alat olahraga? Apa yang mereka lakukan di dalam ruangan?" batin Lidya, yang merasa tidak percaya dengan apa yang mereka lakukan tersebut.Morgan memandang dalam ke arah monitor tersebut. "Kenapa tidak ada saksi, sih? Ini membuat saya semakin kesulitan membela diri," batinnya kesal."Apa ada kamera di dalam ruangan tersebut?" tanya Morgan.Lidya tersadar dari lamunannya. "Ah? Ada satu kamera di sana, tapi sudah lama tidak berfungsi. Jadi saya tidak bisa menunjukkan rekaman apa pun," jawabnya.Mendengar jawaban Lidya, membuat Morgan sangat kesal. Ia tidak bisa melakukan apa pun lagi, karena ia tidak memiliki bukti apa pun untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah.Satu sisi ia tidak ingin menyiakan kehidupannya bersama dengan gadis yang tidak ia cintai. Di sisi lain, ia juga tidak ingin menyiakan masa mudanya di dalam jeruji besi. Keduanya sama-sama tidak ia inginkan."Sial, kalau begini aku harus apa?" batin Morgan, yang merasa semakin kesal dengan dirinya sendiri.Lidya memandangi ekspresi Morgan. Ia merasa ada yang aneh, yang mungkin terjadi di antara dirinya dan juga murid baru tersebut. Lidya tidak menyangka, akan ada kejadian seperti ini di antara guru dan murid sekolah ini."Pak Morgan, apa kita bisa bicara sebentar?" tanya Lidya.Morgan tersadar, lalu segera mengangguk dan melangkah ke arah luar ruangan ini.Mereka saat ini berhadapan satu sama lain, dengan wajah Lidya yang sudah memerah. Lidya merasa sangat marah, tetapi ia bingung harus mengungkapkan amarahnya seperti apa.Di atas rooftop ini, mereka bebas mengekspresikan diri mereka. Tidak ada siapa pun yang bisa mendengar mereka di sini."Morgan, tolong jujur sama saya. Sebenarnya ada apa di antara kalian?" tanya Lidya, yang perkataannya tidak seformal saat berada di hadapan orang lain.Morgan yang sejak dulu sudah mengetahui perasaan Lidya, hanya bisa diam sembari memandangnya saja."Jawab saya, Gan! Apa yang kamu lakukan sama murid itu di ruangan gelap?" tanya Lidya dengan perasaan yang sudah campur aduk.Karena tak merasa melakukan apa pun, Morgan hanya bisa acuh di hadapan Lidya."Apa kamu meminta bicara, hanya untuk mengatakan ini?" tanya Morgan dengan datar."Gan, please ... jawab pertanyaan saya dulu," rengek Lidya.Morgan melangkah pergi dari sana. "Tidak ada yang perlu saya katakan. Terima kasih sudah membantu," ucapnya yang kemudian meninggalkan Lidya di sana.Lidya kesal, sampai menangis karena sikap Morgan yang masih saja acuh padanya."Kenapa sih kamu gak pernah anggap saya ada?" teriak Lidya, Morgan sampai menghentikan sejenak langkah kakinya.Suasana menjadi canggung, karena Morgan yang bingung harus mengatakan apa pada Lidya. Pasalnya, tidak ada yang perlu dijelaskan, karena mereka tidak ada hubungan apa pun."Kita gak ada hubungan apa pun, Lidya. Saya tidak akan berkata apa pun tentang hal ini," ujar Morgan, yang kembali meninggalkan Lidya di sana.Melihat kepergian Morgan, Lidya pun menjerit kesal. Harga dirinya terluka, karena ia merasa Morgan sama sekali tidak menganggapnya ada. Setahun sudah ia menyatakan cintanya di hadapan Morgan, tetapi selama itu pula ia tidak mendapatkan tempat di hati Morgan.Kini ia melihat rekaman aneh antara Morgan dan seorang murid, yang membuatnya terluka. Hal itu sangat sensitif, sampai membuatnya menangis dengan derai air mata yang sangat deras."Dia jahat! Kenapa dia tega ngelakuin itu, sih?" gumam Lidya, sembari tetap menangis meratapi nasibnya itu.Morgan tak menghiraukan Lidya, dan malah pergi dari sana secepat mungkin. Ia tidak ingin perasaannya malah menjadi semakin rumit, akibat permasalahan baru yang mungkin saja akan muncul setelah ini."Yang tadi hampir saja," batin Morgan, sembari melangkah menuruni tangga.Saking terburu-burunya Morgan, tak sadar ia pun menabrak seseorang yang ingin menaiki tangga. Mereka saling menabrak, membuat Morgan sedikit terpental ke bagian terakhir tangga."Aduh ...."Morgan menyadari suara rintihan tersebut. Ketika ia memandang ke arah orang yang ia tabrak, ternyata benar dugaannya. Di sana ada Ayra, yang baru saja datang dengan membawa tasnya."Ayra!" gumam Morgan, yang ingin sekali mengatakan hal yang baru saja ia lakukan di ruangan kontrol.Melihat Morgan yang menabraknya, Ayra pun mendadak kesal. Ia tidak ingin bersentuhan langsung dengan Morgan karena ia sudah muak dengan takdir yang akan ia terima bersama Morgan."Dia lagi!" gerutu Ayra dalam hati, kemudian segera berlari pergi meninggalkan Morgan di sana.Tak ingin kehilangan kesempatan untuk berbicara dengan Ayra, Morgan pun lantas menahan lengan tangan Ayra. Hal itu membuat langkah kaki Ayra terhenti kembali."Pak Morgan, bisa lepasin tangan saya gak? Saya terlambat banget masuk ke kelas!" pinta Ayra dengan nada yang sedikit ketus."Saya ingin bicara sebentar sama kamu," ucap Morgan."Saya gak mau bicara apa pun, Pak! Saya muak bicara sama Pak Morgan!" ujar Ayra dengan ketus, membuat Morgan merasa bingung melihat sikapnya tersebut."Kamu muak sama saya?" tanya Morgan tak percaya dengan apa yang ia dengar dari Ayra."Ya, saya muak sama Bapak! Kenapa sih, saya harus ngalamin kejadian memalukan ini?" bentak Ayra, yang tak terima dengan apa yang sudah menjadi takdirnya.Keadaan semakin panas, karena Morgan yang emosinya tersulut mendengar ucapan Ayra padanya. Morgan yang semula sabar, kini sudah terbakar habis dengan amarah yang muncul karena perkataan Ayra padanya."Kamu!"Morgan menatap Ayra dengan dalam. "Kamu tahu apa yang sedang saya rasakan saat ini, Ayra? Kehidupan saya hancur karena saya nolong kamu kemarin! Dengan entengnya kamu ngomong kalau kamu muak sama saya. Harusnya saya yang bicara seperti itu! Saya muak sama kamu, karena saya gak melakukan apa pun sama kamu tapi terpaksa harus menanggung permasalahan ini!" ujarnya dengan sedikit kasar. Ayra yang jiwanya sedang terluka, merasa tidak bisa menerimanya. Ia merasa kesal, karena kejadian ini juga bukanlah keinginannya. "Lho, bukan salah saya dong Pak! Ini juga bukan keinginan saya! Lagian kenapa Bapak masuk ke dalam ruangan itu gitu aja? Kenapa Bapak lalai banget, tanpa mikirin dampak yang akan terjadi, hah? Katanya Bapak guru, kenapa hal begini aja Bapak gak bisa prediksi, sih?" ungkap Ayra dengan sinis, membuat Morgan menghela napasnya dengan kasar. "Ayra, saya ini guru. Bukan cenayang. Saya gak bisa prediksi apa pun di luar nalar. Kamu harusnya tahu itu!" ujar Morgan dengan nada yang sed
Karena rasa penasaran yang menggebu, Morgan pun segera menuju ke arah mobilnya untuk membuntuti mereka. Hati Morgan cemas, tetapi ia tidak paham dengan apa yang ia rasakan. Sepanjang jalan ia hanya bisa memandang ke arah mobil tersebut. Ia tidak bisa mengalihkan pandangannya, karena ia yang khawatir dengan keadaan Ayra. "Kalau pria itu bukan kakak atau kerabatnya, bagaimana? Apa yang akan terjadi dengan mereka?" batin Morgan, sembari tetap memandang ke arah mobil tersebut. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam, mereka pun akhirnya sampai di sebuah restoran. Morgan memandang Ayra yang keluar dari dalam mobil tersebut, dengan pria yang hendak menggenggam tangannya. Namun, Ayra menolak dan menghempaskan tangannya karena tidak ingin Ilham menggandengnya. Hal itu membuat Morgan berspekulasi sendiri. "Kalau pria itu kakaknya, dia tidak mungkin menggandeng mesra tangan adik perempuannya. Kalau pria itu kekasihnya, kenapa Ayra menolak gandengan tangannya?" gumam Morgan,
"Tunggu dulu, Sayang. Apa alasan kamu minta aku buat segera menikahi kamu? Biasanya kamu gak gini?" tanya Ilham, yang merasa masih bingung dengan alasan Ayra untuk hal ini. Karena tidak mungkin mengatakan hal yang terjadi padanya dan Morgan, Ayra hanya bisa diam dan tak berkata tentang hal itu. "Pokoknya kamu harus nikahin aku! Aku gak mau jadi milik orang lain!" bentak Ayra, yang sudah kehabisan akal untuk memberikan alasan kepada Ilham. "Apa?" Mendengar ucapan Ayra, Ilham sampai terkejut karenanya. Ia merasa tidak mengerti dengan perkataan yang Ayra maksudkan. "Maksud kamu apa, Ra? Milik orang lain?" tanya Ilham. Ayra menghela napasnya dengan panjang. "Ya, Papa jodohin aku sama orang lain. Pernikahan akan dilakukan besok malam. Makanya, aku minta kamu nikahin aku sekarang juga." "Apa?" pekik Ilham, yang kembali membuat semua orang memandang heran ke arahnya. Karena merasa tidak nyaman dengan suasana ini, Ilham pun menarik lengan tangan Ayra untuk menjauh pergi dari sana. "A
Melihat Ayra yang meledak seperti itu, Ilham segera memeluknya dari belakang. Ilham tidak ingin Ayra sampai marah padanya, hanya karena permasalahan seperti ini. "Oke, oke! Aku akan nikahin kamu," ucap Ilham, membuat Ayra merasa sangat tenang mendengarnya. "Tapi gak sekarang atau hari ini," tambah Ilham, sontak membuat Ayra melepaskan dirinya dari Ilham dan bangkit di hadapannya. "Maksud lo apa, hah? Gak hari ini gimana? Perjodohannya tinggal besok, kenapa lo gak mau nikahin gue sekarang?" tanya sinis Ayra dengan kesal. "Dengerin dulu, Ra. Aku janji akan nikahin kamu, kalau kamu sudah bercerai sama dia. Jadi, kamu bertahan dulu aja sama dia dalam pernikahan palsu kamu. Biarin Papa kamu mikir, kalau kamu bisa nerima apa yang dia mau. Setelah berjalan beberapa waktu, kamu tinggal bilang kalau kamu gak cocok jalanin pernikahan sama dia. Kalian tinggal bercerai, dan pada saat yang tepat, aku akan melamar kamu," ujar Ilham yang menjelaskan tentang hal ini pada Ayra. Ayra yang tak bisa
Di sela memikirkan perasaannya terhadap Clara, Morgan tiba-tiba saja memikirkan Ayra. Perasaannya tidak enak, tetapi ia tidak tahu apa yang terjadi dengan Ayra. "Dia cuma murid baru. Saya juga belum terlalu kenal sama dia, tapi kenapa pikiran saya dipenuhi dengan dia saat ini? Saya juga gak melakukan apa pun yang merugikan dia. kKenapa saya bisa merasa bersalah sama dia, sih?" gumam Morgan, yang merasa sangat kesal dengan dirinya sendiri. "Morgan ... kamu udah selesai mandi belum?" tanya Clara dari arah depan pintu kamar Morgan. Mrgan tersadar, dan akhirnya ia pun bangkit untuk menghampiri Clara di sana yang sudah menunggunya. Setelah Morgan sampai di sana, Clara pun tersenyum dengan sangat bahagia. Akhirnya ia bisa melakukan kebersamaan kembali dengan Morgan. Kebersamaan yang sempat hilang, kini kembali lagi. "Akhirnya kamu udah selesai mandi. Ayo kita makan! Aku udah nggak sabar mau makan bareng kamu!" Tidak ada jawaban dari Morgan. Ia hanya bisa mengikuti apa yang Clara ingi
Ilham mengusap rambut Ayra dengan lembut. "Aku bukan gak perjuangin kamu, Ayra. Aku cuma belum bisa melakukan apa-apa untuk saat ini." Ayra merasa kesal mendengarnya. "Sama aja kamu gak perjuangin aku!" bentaknya, sembari membuang pandangannya dari Ilham. "Sayang ... aku janji, kok! Aku pasti akan ngelamar kamu nanti, di saat yang tepat. Aku lagi berusaha untuk dapetin beberapa proyek, untuk kasih kamu pesta pernikahan termewah. Aku janji itu," ujar Ilham, berusaha untuk merayu Ayra. Karena dirinya yang sudah sangat mencintai Ilham, Ayra hanya bisa diam. Ilham merengkuhnya, sembuat Ayra menyandarkan kepalanya di dada Ilham. "Kamu percaya sama aku, ya?" ujar Ilham, tetapi Ayra sama sekali tidak merespon apa pun padanya. *** Setelah seharian mencari bukti dan saksi, baik Morgan ataupun Ayra, mereka sama sekali tidak mendapatkannya. Hari ini adalah penentuan bagi mereka, tentang permasalahan mereka dengan kedua orang tua Ayra. Karena Morgan tidak bisa mendapatkan bukti apa pun, i
"Ya, setidaknya saya gak dicap penjahat oleh orang lain. Biarlah saya dicap penjahat oleh orang tua kamu, tapi setidaknya saya mau bertanggung jawab menikahi kamu. Ya ... walaupun saya gak mengakui kalau saya melakukan itu sama kamu sih!" sahut Morgan, membuat Ayra kesal mendengarnya. Saking kesalnya, Ayra merasa sangat bingung harus melakukan apa. Ia hanya bisa menahan diri untuk tidak memukul Morgan, padahal hatinya sangat ingin memukul Morgan sekeras mungkin. "Saya akui tekad kamu," ujar seseorang dari arah belakang Morgan, sontak membuat Morgan berbalik ke arahnya. Betapa terkejutnya Morgan, ketika melihat kedua orang tua Ayra yang berada di belakangnya. Ayra juga terkejut, karena ternyata sejak tadi perbincangan mereka terdengar orang tuanya. "Mama, Papa! Sejak kapan ada di sini?" tanya Ayra tak percaya. Morgan mendelik kaget. "Pak Darmawan, Bu Viona." "Sejak tadi Papa sudah mendengar seluruh percakapan kalian. Papa dan Mama sengaja datang lagi ke sekolah, karena ini sudah
Ayra mendelik, karena ia merasa Morgan sudah melakukan hal yang tidak perlu ia lakukan. Hal itu membuatnya menjerit, karena Morgan benar-benar melakukannya. “Pak Morgan, turunin saya!” teriak Ayra, tetapi Morgan sama sekali tidak menghiraukannya. Kini Morgan berhasil menggendong Ayra di dadanya. Pandangan mereka saling bertemu satu sama lain, membuat keduanya terpaku untuk sejenak. Ayra merasa sangat malu, sehingga membuat wajahnya memerah tanpa ia sadari. “Saya ‘kan udah bilang, saya masih mampu gendong kamu! Gak ada rasa berat sama sekali, tubuh kamu kayak kapas! Lagian saya masih muda, masih 25 tahun! Saya masih sanggup gendong kamu!” gerutu Morgan, yang hanya bisa menyombongkan dirinya di hadapan Ayra. Menyadari wajah Ayra yang memerah, Morgan pun juga merasa demikian. Ia merasa malu, dan segera menuruni Ayra dari gendongannya. Kini mereka sama-sama merasa salah tingkah, dengan Morgan yang tidak ingin menatap wajah Ayra. Hal itu membuat Ayra merasa sangat gugup, dan ia juga e