Ke esokan harinya, Harris kembali mengantar Asha ke tempat kursus menari. Asha tak pernah ingin absen kursus menari jika tidak ada keperluan mendesak. Kursus menari itu seperti obat manjur bagi Asha yang selalu merasa sepi dan sendiri di rumahnya.
Setelah menepikan mobilnya, Harris tak pernah lupa berpesan pada Asha untuk segera pulang jika kursus selesai. Harris tak pernah tenang jika istrinya berlama-lama di luar rumah. Entah karena terlalu khawatir atau karena alasan lainnya yang tak pernah di ucapkan secara gamblang.
Asha pun begitu, dia benar-benar melakukan pesan Harris yang berulang. Asha terlalu malas untuk sekedar memprotes suaminya yang posesif itu. Dia juga terlalu takut keributan menginterupsi kehidupan pernikahannya yang adem ayem. Bagi Asha, mendapatkan ijin mulus dari Harris untuk kursus menari saja sudah membuatnya mengucap syukur berkali-kali.
Asha meraih tangan Harris untuk melirik arlogi su
Napas Harris terengah-engah, keringat bercucuran dari berbagai arah, anehnya, dia tak ingin berhenti, malah terus menyetel alat cardio agar larinya semakin kencang.Asha di ruangan yang sama, sedang berlenggak menari di iringi musik syahdu yang mengalun. Meski sempat tersalah-salah, Asha tetap riang melakukannya. Dia masih belajar membuat koreografi sendiri sebab di akhir semester kursus, akan di gelar kontes menari umum untuk semua peserta kursus dari berbagai genre. Dan Asha sudah tentu tak ingin melewatkannya begitu saja. Baginya, memenangkan kontes tersebut akan menjadi kebanggan sebab sejak menikah dengan Harris yang membuat Asha banyak berkegitan di rumah, ini akan jadi prestasi pertamanya.Asha melepas earphone yang melekat di kedua daun telinganya. Menarik napas panjang dan dalam lalu menghembuskannya perlahan, agar pernapasannya stabil. "Mas udahan yuk!" ajak Asha pada Harris yang tengah melakukan sit up di atas bench. Bagaima
Harris dan Asha sudah naik ke lantai dua rumahnya, berada di dalam kamar tidur untuk melanjutkan adegan panas di dapur yang menciptakan hasrat ingin saling memiliki.Harris turun dari atas tubuh Asha yang terkungkung badan atletisnya setelah puas bermain-main dengan kemolekan tubuh Asha yang menggoda jiwa. Degup jantungnya berkejaran dengan gemuruh napas yang memburu.Tangannya menyusup ke dalam laci nakas yang kecil, mencari-cari karet pelindung yang selama ini menjadi barang berharga baginya. “Sha, ini apa?” tanya Harris mengacungkan sebuah kotak kecil di udara. Asha menoleh malas, mengarahkan sorot matanya pada kotak menggantung di udara dengan napas terengah-engah. “Arrgh!” teriak Asha segera menarik bantal dan menangkupkan benda empuk tersebut ke wajahnya. Harris tergelak keras sekali. Jika Asha tak salah mengingat, ini adalah kali pertama Harris begitu puas menertawakannya. “Aku salah beli itu, Mas! Jangan
Asha bertumpu di atas sepatu berhak dua belas centimeter menghadap cermin besar. Berputar ke kiri dan ke kanan, memastikan atasan brokat berwarna krem tangan pendek yang melekat di tubuhnya sudah tertata dengan rapi. Begitu pas membentuk tubuh rampingnya, namun menyembul sempurna pada bagian dada. Asha memang sengaja memilih model atasan pressed body yang sederhana, sebab ia nyaman menggunakannya.Sementara kain jarik motif parang kawung yang di dominasi hitam begitu ketat mengikat bagian bawah tubuhnya hingga ke mata kaki. Mentok sempurna pada bagian pantatnya.Rambut keritingnya tak begitu nampak, saat di ikat membentuk sanggul tipis.Asha tak pernah suka berdandan menor, dia hanya mengoles beberapa macam makeup dasar dengan warna natural, hanya permukaan bibirnya ya
Dua pekan berlalu, Jasmine kembali mengikuti kursus menari dengan wajah berseri-seri. Kecantikannya semakin terpancar setelah menanggalkan status lajangnya. Nitha dan Sashi selaku instruktur tari yang turut hadir di pesta pernikahannya ikut menyambut wanita yang baru saja menyandang gelar nyonya Mario Birmingham. “Selamat datang kembali Jasmine.” sapa Sashi dan Nitha yang berdiri berdampingan saat jadwal menari akan segera di mulai. “Makasih ya Mbak Sas, Mbak Nit!” balas Jasmine melambaikan tangannya pada kedua instruktur yang berdiri di atas pangung khusus pelatih dengan senyum lebar hingga menampilkan barisan giginya yang rapi. Begitu pun dengan Asha yang tak kalah bahagia menyambut teman seperjuangannya. Seperti belahan jiwanya telah kembali, Asha dan Jasmine saling merangkul, mengeratkan dekapan cukup lama, setela
“Sayang, teman aku mau tanya sesuatu sama kamu.” seru Jasmine pada Mario yang duduk manis di dalam mobil menunggunya. Mario tak lantas merespon, dia menatap sekilas wanita muda yang berdiri di samping istri barunya itu. “Ya udah, yuk masuk! Kita cari tempat ngobrol yang enak.” ajak Mario membagikan senyum tipisnya. Asha dan Jasmine pun melenggang masuk ke dalam mobil Mario yang saat itu sedang menggunakan Alpard hitam.Mario menghentikan mobilnya di sebuah kafe kecil yang hanya berjarak lima menit dari studio tari mereka. Tempat itu di pilih ketiganya karena merupakan lokasi terdekat yang bisa di pakai untuk berbagi cerita, daripada parkiran ruko tempat kursus menari mereka.Tak butuh waktu lama bagi ketiganya memilih meja yang akan mereka tempati, sebab kafe kecil itu hanya muat menampung beberapa saja.
Mario menggerak-gerakan kepala seraya terpejam dalam, dia harus bekerja keras menjawab pertanyaan Asha. Mengingat kembali beberapa orang yang sempat ia lihat sekilas. Benar, hanya sekilas. Ketika dia tengah fokus memeriksa kondisi mendiang Ananta ataupun berpapasan saat berjalan di koridor rumah sakit. "Asha sepertinya, saya gak bisa jawab mengenai itu. Saya tidak terlalu ingat, saya takut berasumsi sendiri jika saya memaksakan diri." jawab Harris, setelah berusaha mengingat kejadian singkat itu. Asha tentu saja kecewa, sebab Asha berharap, jika saja dia mengenali si pengunjung terakhir keluarganya, mungkin ada hal penting lain yang bisa Asha dapatkan informasinya. Wasiat terakhir misalnya atau apapun itu."Mario, tolong ingat-ingat kembali ciri-ciri keluarga yang sempat bicara dengan papa sebelum menghembuskan napas terakhirnya." Asha kembali memohon pada Mario. Tatapan mata Asha pada Mario yang menusuk lubuk hati nuraninya, membuat Mario kembali berusaha
Asha kembali ke rumah. Di antarkan secara ekslusif oleh sopir taksi yang terlambat menjemputnya sepuluh menit. Padahal sebelumnya, Asha tak pernah mengomel pada Mang Ahmad, sopir taksi langganan yang pernah telat hingga setengah jam lamanya. Anehnya, hari itu Asha begitu geram saat Mang Ahmad tak juga datang setelah lewat sembilan menit. Dan tepat di menit ke sepuluh, Asha menyembur Mang Ahmad untuk pertama kalinya. Meluapkan kekesalannya yang sudah menunggu lama, versi dirinya, pada mantan sopir taksi langganan almarhumah ibu mertuanya itu. Untunglah, Mang Ahmad sudah menanggap Asha seperti anaknya sendiri. Jadi, pria lima puluh tahun itu diam saja saat Asha tak berhenti mengomel, bahkan baru puas melampiaskan emosinya setelah sampai di halaman rumah. Sepertinya hari itu Mang Ahmad sedang sial, sebab Asha meluapkan emosinya pada Mang Ahmad. Orang yang sama sekali tidak tahu jika Asha sedang membenci semesta.Asha sempoyongan setelah turun dari taksi ekslu
Sudah tiga puluh menit berlalu, Asha masih belum puas membanjiri kemeja kerja Harris dengan airmata yang deras mengalir menganak sungai. Dia juga luput kalau Harris masih belum sempat makan malam selepas bekerja, sampai suara 'kruukuk' dari perut Harris menginterupsi. "Mas Harris lapar?" tanya Asha singkat. Asha menarik kepala ke atas agar bersitatap dengan Harris, menghapus sisa airmata di pipinya dengan asal-asalan. Harris refleks sedikit menunduk saat Asha menatapnya. "Kamu udah selesai nangisnya?" tanya Harris tak lekas menjawab pertanyaan Asha tentang kabar cacing-cacing dalam perutnya. Asha melerai pelukannya, mengambil langkah mundur dari Harris. "Ya udah, makan dulu yuk!" ajak Asha kemudian. Harris mengangkat satu alisnya memastikan jika Asha benar-benar sudah bersikap normal padanya. "Beli makan apa untuk makan malam?" tanya Asha tak mengindahkan tatapan skeptis Harris. "Sate padang, soto betawi sama nasi goreng." sahut Harris lurus-lurus. "Banyak banget!" celetuk Asha. Har