Share

Bab 1 Surat wasiat

Golda melihat Amberly yang sedang berada di pelukan Maya. Kata-kata hiburan dan membesarkan hati cukup banyak diutarakan olehnya.

"Kamu seorang istri yang baik, Amber. Mami sangat berterima kasih sama kamu, karena Ethan sempat mengecap kebahagiaan membangun rumah tangga bersamamu. Meski akhirnya Ethan meninggalkan kita juga, tapi semua ini sudah kehendak Tuhan. Tidak ada yang harus kita sesali, Mami sudah benar-benar ikhlas." ucap Maya terlihat pasrah.

"Aku sangat menyayangi, Ethan. Tidak ada cacat celanya di mataku." ungkap Amberly.

"Mami dapat melihatnya dari sikap kalian yang saling mengasihi. Ethan bahagia sekali sepanjang hidup bersamamu. Tidak ada yang perlu disalahkan." Sepertinya, Maya tahu sedikit banyak mengenai sikap Golda yang terus menyalahkan Amberly atas kematian kakaknya.

Mendengar itu, Golda yang masih merasa belum puas, mendekati keduanya dengan wajah tidak bersahabat.

"Apakah Mami percaya, kematian bang Ethan tidak ada apa-apanya?" tanya Golda.

Maya melepaskan pelukannya pada Amberly. Katanya. "Coba duduk baik-baik, Sayang. Mami mau bicara."

Mau tidak mau Golda duduk di hadapannya dengan wajah masih ditekuk, sama sekali tidak melihat pada Amberly yang duduk di samping maminya.

Maya terlihat menarik napasnya, mulai bicara. "Menghadapi duka cita ini, kita menyikapinya tidak harus berlebihan. Mami mengerti kesedihanmu, Gold. Namun, kita harus ingat, jangan sampai disesatkan oleh rekayasa iblis yang bermaksud mengacaukan perasaan kita yang sedang berduka." nasihat Maya, menatap anak bungsunya dengan penuh kasih.

"Mami yang merawat abangmu dari kecil saja, tetap tenang, meski mengalami duka yang sama denganmu." lanjut Maya. "Terus terang Mami sudah siap, bila suatu saat Ethan dipanggil Tuhan, ini justru luar biasa terjadi melebihi perkiraan Mami. Dari awal, dokter sudah memprediksikan kalau Ethan tidak akan melewati usia remajanya, tetapi buktinya, kan? Tuhan memberi waktu lebih untuk abangmu hidup di dunia ini. Mami bersyukur pada Tuhan atas kesempatan yang Tuhan berikan ini. Jadi, jangan cacati rasa syukur Mami ini dengan menganggap Ethan seolah meninggalnya tidak wajar. Mami perjelas, Gold…" tatap Maya lagi lebih tegas.

"Ethan meninggal dalam damai. Mami melihat detik-detik di helaan napas terakhirnya, dia tersenyum dan sempat bilang 'terima kasih', tidak ada penyesalan sama sekali di raut wajahnya. Ethan menerima, kehendak Tuhan, meski tahu hidupnya akan berakhir." Maya mengakhiri ucapannya yang panjang lebar.

Golda mengusap tetesan air matanya. "Coba kalau bang Ethan tidak nekat menikah dengan wanita ini!" tunjuknya pada Amberly.

"Gold … !" tegur Maya. Dengan suara agak naik, ia menyatakan ketidaksetujuannya.

"Kamu anak Mami. Kamu percaya pada kehendak Tuhan, kan?" Masih dengan nada teguran.

"Maaf, Mi. Entahlah, aku masih merasa janggal." Golda membuang mukanya. Masih belum terima.

"Tenangkan dirimu dulu, Gold. Jernihkan pikiranmu. Nanti sore, kita akan duduk bersama lagi, karena ada sesuatu yang akan disampaikan oleh pengacara kita. Ada surat wasiat yang perlu kita ketahui dari Ethan." Maya menatap anaknya.

"Apa?" Secara spontan Golda bertanya, dari rasa terkejutannya.

"Ya, Mami juga belum tahu apa isinya." jawab Maya tenang. Matanya melirik Amberly yang sedari tadi terduduk dalam diam, kemudian memeluknya lagi. "Kita dengarkan, apa yang hendak Ethan sampaikan pada kita."

Amberly menanggapi, hanya dengan senyum getirnya. Sementara Golda sudah meninggalkan mereka tanpa kata.

***

Golda sedang berdiri mematung, menatap taman yang setiap hari dirawat oleh Amberly. Ethan kadang betah melukis di sana, ditemani istrinya dengan setia.

Selama ini, Golda mengawasi Amberly memang tidak terbantahkan. Bagaimana perilaku kakak iparnya itu sangat mengabdi pada suaminya, Ethan.

Setiap pagi menyediakan sarapan dengan tidak lupa menyiapkan obat yang harus rutin dikonsumsi Ethan. Tidak seperti interaksi antara dirinya dan Amberly yang tidak begitu baik, tapi dengan Ethan, Amberly bisa ngobrol dan bercanda seperti umumnya suami-istri. Kadang membuat Golda sedikit cemburu, kalau Ethan diperlakukan oleh Amberly, seperti seorang pangeran.

Namun mengapa, timbul rasa tidak suka dalam hatinya pada Amberly? Apa salah wanita itu? Sisi lain di hati Golda, diam-diam juga mengagumi wajah perinya. Sungguh, suatu perasaan yang sangat tidak dimengertinya. Membuat Golda kadang memperlihatkan rasa tidak sukanya itu, dengan sikap menegur dengan kata-kata ancaman pada Amberly. Menekannya, bahwa: 'bila dia menemukan sikap tidak baiknya pada Ethan, Golda akan marah'.

Atau, itu hanya sebuah alasan saja, agar Golda bisa mendekati Amberly? Karena menurutnya, wanita itu sangat misterius. Tidak mudah didekati. Sikapnnya diam dan tidak begitu menggubris apapun yang dilakukan Golda terhadapnya. Menggelitik kelelakiannya untuk mendapatkan perhatian. Mungkin.

Dan secara diam-diam pula Golda suka melakukan pengintipan di tempat tersembunyi, untuk memperhatikan Amberly. Entah itu sedang menyiram bunga, atau menanamnya. Hanya itu, tanpa diketahui oleh seorangpun. Golda sendiri merasa aneh dengan sikapnya itu.

Sore hari, pak Fadly yang sebagai pengacara keluarga, sudah hadir. Semua menunggu Golda, di ruang tengah.

Tidak lama laki-laki muda yang tampan itu, muncul dengan rambut yang masih basah. Rupanya dia baru selesai mandi.

Pak Fadly tersenyum melihat Golda langsung duduk, menurut pada ajakkan Maya, sesaat setelah pemuda itu muncul. "Di sini, Gold. Duduk di samping Mami."

"Baiklah kita mulai saja." Tarikan napas pak Fadly menandakan kalau dia akan segera memulai. "Sebelumnya bang Ethan memanggil saya, sehari sebelum beliau meninggal. Kemudian dengan susah payah, beliau berpesan, untuk membacakan amplop yang dia serahkan kepada saya. Tidak banyak kata yang disampaikan, sehubungan dengan kondisinya." Pak Fadly menjeda ucapannya, untuk menatap satu persatu orang yang ada di ruangan keluarga, rumah Ethan. Pada Golda, Maya, Amberly dan terakhir pada Frank, papinya yang duduk di kursi roda.

"Baiklah, untuk mempersingkat waktu, saya akan segera membuka surat ini. Apapun isi di dalamnya, saya sama sekali tidak tahu." Pak Fadly mengangkat sampul surat panjang berwarna coklat, yang masih tertutup rapat, kemudian merobek dan mengambil lembar suratnya.

Golda memegang kepalan tangan dan menaruh di bawah dagunya. Berusaha bersikap tenang, karena Maya ada di sampingnya.

"Apapun yang disampaikan, inilah pesan terakhir bang Ethan." ucap pak Fadly.

Beberapa saat dia terpaku diam. Menyimak tulisan yang begitu rapi.

"Langsung bacakan saja, Pak. Tidak harus Pak Fadly dulu yang menyimaknya." protes Golda tidak sabar.

"Baik, baik, akan langsung saya bacakan." Sepertinya pak Fadly baru sadar dari rasa terperangahnya.

"Surat ini saya buat, dikhususkan buat adik yang sangat Abang sayangi, Golda. Maaf, Abang membuat surat ini lewat pengacara, tidak secara langsung. Bertujuan untuk dilakukan oleh kedua belah pihak, tanpa bantahan."

Selanjutnya. "Adikku, Golda, kesayangan abang. Yang masih tertinggal di dunia ini, adalah istri yang sangat kukasihi, dengan Angel anak abang satu-satunya. Kiranya, setelah satu tahun dari sekarang, secara rela kamu dapat menikahinya." Surat itu dibacakan, tanpa ada kelanjutannya lagi.

Semua orang tampak terkejut. Apalagi yang bersangkutan. Golda hampir loncat dari tempatnya. "Bacakan, terus!" desaknya.

"Sudah selesai, tidak ada lagi." jawab pak Fadly, langsung.

Secara cepat Golda menyambar surat yang ada di tangan pak Fadly. Memang benar sangat pendek, tidak ada kelanjutannya saat Golda membacanya.

"Apa maksudnya Abang ini, Mi?" tanyanya pada Maya.

"Mana Mami tahu, Gold." Maya merentangkan tangan sebagai isyarat bahwa dirinya pun tidak tahu.

Semua tampak terdiam, setelahnya. 'Ini, Gila!' pikir Golda.

Ethan sangat tahu, hubungan dia dengan Amberly tidak begitu baik. Apa maksudnya mereka dipaksa harus bersatu dalam tali pernikahan? Tanpa penjelasan, lagi. Kenapa mereka harus menikah di satu tahun berikutnya?

Bolehlah Ethan merasa khawatir akan nasib istri dan anak, setelah kepergiannya. Akan tetapi, tidak mesti meminta Golda untuk menikahinya juga, bukan?

Tanpa diminta pun, tentu saja dia dan keluarga, tidak akan membuang Amberly dan anaknya dengan begitu saja.

"Bagaimana ini, Mi?" Golda bertanya pada Maya.

"Dalam hal ini, Mami benar-benar tidak tahu maksud dari abangmu. Mami hanya bisa menyarankan, lakukan apa yang abangmu minta darimu. Karena ini merupakan permintaan terakhirnya." ucap Maya dalam keadaan bingung.

Tatapan Golda beralih pada Amberly. Yang sejak tahu isi dari surat itu, bersikap seperti sebuah patung. Bibirnya terkatup rapat, matanya terpejam, hanya gerakan saat ia bernapas dan jatuhnya air mata membasahi pipinya yang menandakan ia masih hidup.

"Jangan tanyakan padaku. Aku sudah tidak bisa berpikir jernih lagi untuk sekarang." ujar Amberly, mendahului Golda yang baru saja membuka mulut, untuk berbicara.

Bibir Golda langsung terkatup lagi. Menatap wajah yang sedikit memucat dan tanpa ekspresi itu.

"Kita bicarakan nanti, pak Fadly. Terima kasih sudah menyampaikan surat wasiat dari almarhum bang Ethan" angguk Golda, sedikit membungkukkan tubuhnya pada pak Fadly, mengakhiri pertemuan itu.

Tidak ada obrolan setelah pak Fadly beranjak dari ruangan. Perhatian mereka agak teralihkan dengan masuknya bi Lasih sambil menggendong anak perempuan berumur tiga tahun. Raut wajah anak itu, sudah terlihat sembab dan tampak rewel.

Amberly langsung berdiri, menerima Angel yang disodorkan bi Lasih padanya.

"Kasihan, Non. Ange tidak begitu keperhatikan, sejak abang masuk rumah sakit." kata bi Lasih.

Seakan baru menyadarinya, Amberly langsung mendekap anaknya dengan penuh rasa bersalah.

"Maafkan, Mama, Sayang …." Amberly menciumi wajah Angel. "Papamu, sudah gak ada ... tidak akan mengajak Ange bermain di taman lagi." Amberly malah kembali menangis, semakin mendekap anak kecil itu. Tentu saja Angel tidak mengerti kesedihan yang sedang dialami ibunya.

Angel malah memberontak sambil menyebut-nyebut mamanya. "Mama … mama …."

Tiba-tiba anak itu menghilang dari pelukan Amberly, karena secara cepat Golda menyambarnya. "Mana mengerti anak sekecil ini tentang kematian." Lalu dia membawanya ke ruangan lain rumah yang ditempati oleh keluarga kecil Ethan.

Amberly merasa malas untuk mengambilnya kembali, ia sudah tidak punya semangat untuk melawan lelaki arogan itu. Yang sayangnya, adalah adik iparnya sendiri.

Ia hanya dapat menatap Maya. Dibalas dengan tatapan prihatinnya. "Ange sangat akrab dengan om-nya, biarkan ia bersamanya." hibur Maya. Dipaksakan untuk tersenyum.

"Iya, Mi." Amberly menurut.

"Lebih baik kamu istirahat, Amber. Mami juga akan melakukannya, karena sama-sama lelah."

Ia kembali mematung, saat ingin masuk ke kamar tidur. Ingatannya kembali ke kebersamaannya dengan Ethan. Masih tergambar jelas dalam ingatannya. Bagaimana ia membangun hubungan baik, bukan sebagai suami-istri, tapi lebih tepatnya sebagai sahabat.

Kalau digambarkan, Ethan sebagai sahabat yang penuh pengertian, meski hubungan itu baru terjalin dalam empat tahun ini. Ethan selalu tersenyum dan bersikap sangat baik padanya. Amberly tidak pernah membiarkan hal apapun, dapat mempengaruhi emosi Ethan. Ia selama ini sangat menjaganya.

Namun, pada malam itu … ada keributan yang terjadi. Bukan mereka, tapi justru dari Golda sendiri dan kekasihnya, Sherra.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status