Share

Bab 2 Pertengkaran

"Den Golda, sepertinya nona kecil sudah tertidur, biar Bibi letakkan di tempat tidurnya." pinta bi Lasih ketika melihat Angel sudah tertidur dalam gendongan hangat om-nya.

"Biarkan saja, Ange lebih lama tertidur dalam gendonganku, Bi." tolak halus Golda.

"Baiklah, Den. Tapi, ada sedikit yang mau Bibi sampaikan. Aden tidak apa-apa, sambil menggendong Nona Ange?" tanya bi Lasih agak ragu-ragu.

Golda melihat bi Lasih kemudian pada Angel, keponakan tersayangnya ini. Terlihat tampak damai dalam tidurnya.

"Tidak apa-apa, Bi. Katakan saja."

"Ini mengenai den Ethan saat Bibi menemukannya pingsan di tempat tidurnya." ungkap bi Lasih, memulai.

"Sudahlah, Bi. Saya malas untuk membahasnya lagi. Kenyataannya, Abang tidak bisa bangun lagi dari kuburnya, apapun yang akan Bibi katakan." Golda tampak tidak tertarik, mengenai apa yang akan disampaikan bi Lasih. Hanya akan menambah kesedihannya saja.

"Tidak begitu, Den. Dengarkan perkataan Bibi dulu. Ini sangat penting, Den. Supaya Aden pun tahu dan menyadari kalau pertengkaran Aden dengan Non Sherra pada waktu malam itu, den Ethan mendengarnya."

Kali ini Golda menatap bi Lasih lebih fokus. Tidak menyangka kalau pertengkaran dirinya dan Sherra ada yang mengetahui. Padahal dia sudah berusaha menangkup mulut kekasihnya itu, bila berkata keras. Dan memperingatinya supaya agak tenang.

"Ceritakan secara pelan, Bi. Apa yang Bibi ketahui." pintanya. Sedikit mengurangi nada suaranya.

"Atau, Bibi mau duduk? Santai aja, Bi. Akan aku dengarkan." tambanya lagi.

Bi Lasih mengikuti saran Golda, ia duduk tidak jauh dari anak majikannya yang tetap berdiri sambil menimang Angel.

"Malam itu, Bibi melihat den Ethan keluar kamar karena mendengar ribut-ribut orang sedang bertengkar di samping taman. Bibi sudah berusaha menarik tangannya supaya jangan mendekat. Bibi melakukan itu, supaya den Ethan tidak terlibat masuk dalam pertengkaran itu untuk memisahkan. Tapi, den Ethan berjanji tidak akan mencampuri urusan Den Golda dan non Sherra." Bi Lasih, menjeda ucapannya.

"Terus …?" Golda tampak tidak sabar untuk mendengar kelanjutannya.

"Bibi mah hanya mengawasinya dari jauh, Den. Tidak ikut mendengarkan pertengkaran Aden, tetapi setelah berselang lama, Bibi melihat den Ethan masuk ke kamarnya dengan wajah pucat sambil memegangi dadanya. Bibi jadi merasa khawatir. Sepertinya ada dari isi pertengkaran Aden, yang jadi pikiran den Ethan." Bi Lasih menatap Golda dengan pandangan bertanya.

"Apanya, Bi? Pertengkaranku dan Sherra, hanya menyangkut hal pribadi antara aku dan Sherra aja, Bi. Tidak membahas hal lainnya, apalagi bang Ethan." ujar Golda. Belum mengerti, apa sangkut paut pertengkaran dirinya, bisa berpengaruh pada jantungnya bang Ethan?

"Coba Aden ingat-ingat, sekiranya apa yang membuat den Ethan begitu. Karena sejak masuk kamar, saat Bibi masuk karena merasa khawatir. Den Ethan mengeluh terus kalau dadanya sakit. Bibi hanya memberi obat rutin yang harus di minumnya saja." jelas bi Lasih.

"Amberly ada di mana, saat itu? Apakah ikut menguping juga?" Golda bertanya penuh curiga.

"Sejak sore juga, non Amber mah sudah tidur ngelonin nona Ange, Den. Kamar nona Ange kan, jauh dari taman. Ada kemungkinan non Amber mah tidak tahu kejadian itu."

Golda yang tadi lebih mendekat, jadi menjauh. Ada perasaan lega, saat mendengar kalau Amberly tidak tahu pertengkaran dia dan Sherra pada malam itu.

"Dan Aden tahu selanjutnya, kalau den Ethan tiba-tiba pingsan tidak lama setelah merasakan sesak napasnya. Orang pertama yang mengusulkan untuk segera dibawa ke rumah sakit, kan, non Amber. Ia terbangun, karena Bibi yang ribut saking panik melihat den Ethan kesakitan."

Golda jadi terdiam, memikirkan apa yang diterangkan oleh bi Lasih.

"Aden juga, tahu. Kalau dari pagi keadaan den Ethan itu, baik-baik saja. Bahkan sempat bersenda gurau sama Aden, di taman. Tidak baik kalau Aden terus menyalahkan non Amber atas kematian den Ethan. Itu sudah kehendak Tuhan, Den."

Sambungnya lagi. "Bibi lihat pengabdian non Amber itu, tiada duanya sebagai istri. Bibi saja merasa salut pada non Amber. Ia yang merawat den Ethan sangat baik. Dari mandi, makan, minum, semua keperluan den Ethan tanpa diminta, selalu disiapkan non Amber. Jangan sakiti lagi hati non Amber, Den. Justru non Amberlah yang paling berduka atas kepergian den Ethan. Karena ia yang menemaninya setiap hari dari bangun tidur sampai tidurnya kembali." Bi Lasih menatapnya dengan penuh permohonan.

Golda jadi menatap ke arah lain, ke taman yang disinari lampu yang temaram. Hatinya penuh gejolak rasa yang tidak keruan. Amberly tidak bersalah? Malah dia sendiri yang jadi penyebabnya?

Dan yang lebih dipikirkannya lagi, mengenai wasiat kakaknya. Dia harus menikahi Amberly? Apa maksud dari kakaknya?

"Bi, mungkin Bibi belum tahu isi wasiat dari bang Ethan." Apa yg dipikirkan, Golda langsung kemukakan.

Bi Lasih tidak bertanya, cukup menatap Golda. Karena ini bukan wewenangnya untuk ikut mengetahui.

"Bang Ethan memintaku untuk menikahi Amberly setelah setahun kematiannya." Golda lebih memperjelasnya.

Terlihat mata tua itu melebar, dengan ekspresi terkejut.

"Bagaimana menurut, Bibi?" Golda malah bertanya padanya.

Bi Lasih hanya dipercaya oleh keluarga Frank Sander, sebagai pengasuh kedua anak lelakinya. Dari mereka lahir sampai usia dewasanya. Hubungan mereka satu sama lain memang sudah sangat dekat, bi Lasih sudah seperti ibu kedua bagi mereka. Namun, untuk pertanyaan Golda kali ini, membuat bi lasih tidak secara mudah menjawabnya.

"Den …." Bi Lasih memanggilnya secara lembut. Melihat pada Golda yang seakan sangat berharap pada jawabannya.

"Bibi tidak tahu, mengapa den Ethan memberi wasiat seperti itu?"

"Apakah, kepada Bibi, Abang tidak mengatakan sesuatu apapun?"

"Tidak, Den."

Golda kembali termenung. "Aneh! Apakah Abang terlalu khawatir karena melihat sikapku pada Amber yang tidak begitu baik? Hingga mengira, aku akan mengabaikan istrinya?"

"Menurut pendapat Aden sendiri, gimana?"

"Saat ini, aku belum bisa memikirkanya, Bi. Abang memberi kesempatan setahun untuk mempertimbangkannya."

"Tapi, Den. Tidak harus dipertimbangkan lagi. Sebuah wasiat dari orang yang sudah meninggal, biasanya harus dilaksanakan." ucap Bi Lasih secara lugas.

"Itulah yang membuatku bingung, Bi."

"Non Sherra! Gimana?" Secara spontan bi Lasih bertanya.

"Kalau soal itu tidak jadi masalah berat lagi, bagiku. Hubunganku dengannya, sejak pertengkaran itu, sudah berakhir."

"Den!" Tampak bi Lasih tersentak kaget.

"Dari awal hubunganku dengan Sherra memang selalu diwarnai pertengkaran, Bi. Kalau sampai lima tahun bertahan, itu karena tuntutan publik saja. Yang sudah terlanjur kami diidolakan sebagai pasangan serasi."

"Aden seperti bintang film aja." kekeh bi Lasih, merasa tergugu.

"Entahlah, Bi. Aku sering mendapat perhatian publik. Padahal aku hanya sebagai pengusaha muda, bukan seorang artis." Golda ikut terkekeh.

"Lalu selanjutnya, bagaimana, Den?"

"Saya sendiri tidak tahu." Golda sendiri masih bingung.

"Kasian non Amber …." gumam bi Lasih.

"Kenapa, kasian, Bi?"

"Tidak apa-apa." Bi Lasih langsung menggeleng, seperti ada yang disembunyikannya.

"Bi. Sepertinya Bibi dan abang, menyembunyikan sesuatu tentang Amberly. Dari mana ia datang, siapa dirinya, latar belakang kehidupannya pun kita tidak tahu. Mengapa ia selalu ketakutan bila bertemu orang lain? Sungguh! Amber tidak berperilaku seperti orang pada umumnya."

Secara terburu-buru bi Lasih sepertinya ingin menghindari keingintahuan Golda. "Maaf, Den. Bibi juga tidak begitu tahu. Bibi pamit mau istirahat. Sudah malam" Tanpa menunggu, bi Lasih bergegas meninggalkan ruangan.

Pikirnya, bukan haknya untuk menceritakan siapa sebenarnya Amberly, tetapi bi Lasih punya tekat yang kuat untuk selalu melindungi wanita cantik yang bernasib malang itu.

Biarlah Amberly sendiri yang mengungkapkan siapa dirinya, kalau ia mau. Bi Lasih merasa bukan kapasitasnya menceritakan orang lain yang orangnya sendiri masih ada.

Sepeninggal bi Lasih, Golda terus menimang Angel yang kadang terusik oleh obrolan mereka tadi.

Membayangkan Amberly sebagai istrinya?

Kecantikan alami yang dimiliki Amberly, memang sangat menarik perhatiannya. Akan tetapi, wanita itu sangat misterius bagi Golda.

Sikap diam dan masih memperlihatkan rasa takut-takutnya, bila terkadang kebetulan mereka berinteraksi. Selebihnya, Amberly memilih menghindarinya. Namun, dibalik sikap lemahnya, Golda menemukan juga kekuatan yang sama sekali tidak terduga dari wanita itu. Sungguh! Tidak mudah tertebak.

Tidak seperti Sherra, yang menurutnya seperti sebuah buku yang terbuka, selalu mudah ditebak isi pikirannya.

Alangkah terkejutnya Golda, saat mau menidurkan Angel. Di tempat tidur yang biasanya ditempati oleh keponakan kecilnya ini, sudah penuh oleh tubuh Amberly. Rupanya setelah masuk kamarnya dengan Ethan, Amberly merasakan ketidaknyamanan, hingga ia tidak memaksakan diri untuk tidur di kamar itu. Ia malah masuk ke kamar anaknya yang terasa lebih hangat.

Tubuhnya sudah sangat lelah dan mengantuk, setelah selama dua hari menunggu Ethan dirawat di rumah sakit. Ia tidak mau beranjak sedikitpun dari sisi tempat tidurnya, hingga dr. Ben menyarankan agar Amberly mau mengistirahatkan tubuh barang sejenak. Namun, ia tidak mau beranjak juga. Bahkan ketika Maya membujuknya.

Golda memahami rasa lelah wanita itu. Hanya menatapnya lama. Dan muncul pertanyaan di otaknya. "Maukah, Amberly jadi istrinya?"

Dengan Sherra pun menjalin kasih sampai lima tahun ini, Golda merasa belum pasti. Selalu menghindar bila Sherra mendesak untuk menikahinya. Sekarang, malah mendapat wasiat dari abangnya. Yang sama sekali tidak dimengerti apa tujuannya.

Perasaan Golda sendiri belum jelas. Ada rasa tertarik, tapi masih abu-abu. Tertarik dari segi apanya? Jelas-jelas Amberly sudah janda beranak satu. Sementara di luar sana, banyak sekali gadis lajang yang mengaguminya. Apalagi nanti, setelah dia mengumumkan soal perpisahannya dengan Sherra. Dengan percaya diri, Golda merasa yakin, masih banyak gadis yang akan antri untuk menjadi kekasihnya.

Akhirnya Golda menarik dirinya untuk keluar dari kamar Angel, menuju satu lagi kamar yang biasa dia pakai bila menginap di rumah Ethan. Meski rumah itu tidak begitu besar, seperti milik orang tuanya di Jakarta. Akan tetapi, cukup ada empat kamar. Hal itu juga terpaksa ditambahkan atas permintaan Maya. Karena Ethan hanya ingin rumah kecil saja yang di kelilingi taman seperti di sebuah surga.

Golda tidur di kamar itu dengan keponakan kecilnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status