Pagi itu, udara Tokyo berembus lembut melewati jendela kamar Yudha.Ia baru saja selesai menata hasil foto dari proyek terakhirnya untuk dikirim ke galeri di Shibuya. Di layar komputer, puluhan gambar berbaris rapi: langit, jalan, wajah-wajah asing yang tak pernah ia kenal.Namun di antara semuanya, hanya satu foto yang membuatnya berhenti lama — foto langit senja dengan siluet seorang perempuan berdiri di kejauhan, menatap cakrawala.Ia tahu siapa perempuan itu, meski wajahnya hanya tampak samar.Rani.Foto itu diambil setahun lalu di Kyoto, pada sore terakhir sebelum ia mengantarnya ke bandara.Sejak hari itu, setiap kali Yudha memotret langit, seolah ada sesuatu dari dirinya yang ikut terabadikan di sana — halus, tak terlihat, tapi nyata.Di sisi mejanya, sebuah buku tergeletak terbuka.Sampulnya sederhana: Langit yang Tak Menunggu — dengan nama Rani Kencana tertera di bawahnya.Ia membelinya diam-diam lewat situs daring, dua hari setelah terbit.Sejak saat itu, Yudha tak pernah be
Jakarta menyambut Rani dengan hujan.Langit abu-abu, jalanan padat, dan udara lembab yang membawa aroma debu bercampur air. Dari jendela taksi, ia menatap kota yang terasa asing sekaligus akrab. Sudah lebih dari setahun ia tak menjejakkan kaki di sini — dan entah mengapa, meski segalanya tampak sama, sesuatu di dalam dirinya terasa berbeda.Ia menekan ujung syal di lehernya, kebiasaan yang terbawa dari Kyoto. Di kursi sebelah, koper hitamnya diam — seolah menjadi saksi dari segala yang tak bisa ia ceritakan pada siapa pun.“Sudah pulang, Rani?” tanya sopir taksi ramah, sekadar basa-basi.Rani tersenyum kecil. “Iya. Setelah cukup lama pergi.”Sopir itu hanya mengangguk, dan dalam diam itu, Rani kembali menatap jendela. Hujan turun makin deras, memburamkan pemandangan luar — gedung-gedung tinggi, papan iklan, wajah-wajah lelah yang bersembunyi di balik payung.Dan di balik semua itu, hatinya berbisik pelan:> Aku pulang. Tapi pada bagian mana dari diriku sebenarnya aku kembali?---Apar
Pagi itu, udara Kyoto terasa seperti selembar kain tipis yang membelai kulit. Matahari muncul perlahan dari balik atap kuil, memantulkan warna keemasan di dedaunan yang masih basah oleh embun. Rani duduk di tangga batu, cangkir tehnya mengepulkan uap, sementara Yudha memotret pemandangan di seberang taman.Mereka tidak banyak berbicara sejak bangun.Namun keheningan itu bukan karena jarak — melainkan kedekatan yang tidak lagi membutuhkan banyak kata. Seperti dua melodi lembut yang tahu di mana harus berhenti agar harmoni tetap indah.Yudha menurunkan kameranya dan berjalan mendekat. “Kau tahu,” katanya pelan, “di tempatku tinggal dulu, langit pagi tidak pernah seindah ini. Tapi aku sadar, mungkin bukan langitnya yang berbeda — mungkin hanya aku yang dulu terlalu sibuk mencari sesuatu yang sebenarnya sudah ada di depan mata.”Rani menatapnya dengan senyum tipis. “Kau bicara seolah hidupmu sudah jadi novel.”Yudha tertawa pelan. “Dan kau yang menulisnya, bukan?”Rani menggeleng, menatap
Malam itu, Kyoto bernafas dengan tenang.Langitnya biru tua, menampung bintang-bintang kecil yang tampak seperti cahaya yang jatuh pelan dari tempat yang jauh. Di bawahnya, dua sosok berjalan berdampingan — tanpa arah, tanpa rencana.Hanya ada langkah-langkah pelan, udara yang lembab, dan suara hati yang belum sempat diceritakan.Yudha berjalan di sisi Rani, kedua tangannya dimasukkan ke saku jaket.Ia belum tahu apa yang harus dikatakan — apakah harus memulai percakapan, atau justru membiarkan keheningan berbicara untuk mereka. Karena sejak pertama kali matanya menangkap sosok Rani tadi, semua kata yang pernah ia siapkan terasa tidak penting lagi.Rani menatap jalan di depannya.Ia masih belum percaya Yudha benar-benar di sana — bukan dalam mimpi, bukan dalam bayangan, tapi nyata, berjalan di sampingnya di kota yang jauh dari rumah. Ada kehangatan yang perlahan merambat dari dada ke ujung jarinya, kehangatan yang selama ini ia pikir sudah hilang.“Aku pikir aku tak akan melihatmu lag
Musim semi di Kyoto seperti puisi yang diulang-ulang dengan cara berbeda setiap tahun.Udara lembut beraroma bunga, jalanan tua diselimuti kelopak sakura yang gugur perlahan, dan setiap langkah terasa seperti melewati kenangan yang tak sepenuhnya asing.Rani berjalan menyusuri tepi sungai Kamo, membawa buku catatan kecil dan pena tua milik Yudha — satu-satunya benda yang selalu ia bawa sejak meninggalkan tanah air. Pena itu sudah mulai aus, ujungnya retak, tapi setiap kali ia menulis dengannya, ada rasa damai yang tak bisa dijelaskan.Di seberang sungai, anak-anak berlari mengejar kelopak sakura yang jatuh. Tawa mereka menggema di udara sore, memantul di antara gedung kayu dan jembatan batu yang dipenuhi turis.Rani tersenyum samar. Ia suka duduk di tempat itu, di bangku kayu tua dekat pohon besar. Tempat yang selalu sepi, tapi justru di situlah pikirannya paling hidup.Ia membuka catatannya. Di halaman pertama, tertulis sebuah kalimat yang sudah berbulan-bulan ia tulis tapi belum ber
Sudah hampir setahun sejak Rani pergi.Yudha masih tinggal di rumah kecil di tepi sawah, di kota tempat mereka dulu pertama kali bertemu — bukan karena ia tak mampu pindah, tapi karena di setiap hembusan angin dari jendela, ia merasa Rani masih tinggal di situ, di sela-sela cahaya pagi.Hidupnya kini sederhana.Ia menulis di ruang kecil di belakang rumah, ditemani secangkir kopi hitam dan suara jangkrik yang tak pernah bosan memecah keheningan.Ia menulis bukan lagi tentang cinta yang kehilangan, tapi tentang manusia yang terus belajar untuk bertahan.Kadang, di tengah malam, ia masih memandangi halaman kosong sebelum mulai mengetik, seolah menunggu sesuatu yang dulu hanya Rani yang bisa memunculkannya: keberanian untuk jujur pada diri sendiri.---Suatu pagi, hujan turun lembut, seperti benang-benang perak yang dijatuhkan dari langit.Yudha duduk di teras, membaca majalah sastra yang dikirim temannya dari Jakarta. Ia tidak terlalu memperhatikannya, sampai matanya berhenti pada satu h