Chava tersenyum mendengar jawaban - jawaban Alvian yang memuaskan dan tanpa ia pikir terlebih dahulu sudah menjawab. Memang tidak salah Chava menerima Alvian sebagai calon suami.
Chava tiba – tiba saja mendekatkan tubuhnya kepada Alvian. Alvian mengerutkan matanya, memundurkan badannya dari Chava. “Aku boleh cium kamu sekarang, gak sih?” Tanya Chava tanpa merasa malu.Alvian terkekeh, kemudian menempelkan telapak tangannya di dahi Chava. “Gak boleh. Belum muhrim.”Chava mendengus sebal mendengar jawaban Alvian. Orang lain ketika di lamar, akan berakhir berpelukan dan berciuman. Tapi Chava dan Alvian hanya berpelukan saja tanpa ada adegan cium – cium.Sekarang juga, Chava ingin cium Alvian tapi dilarang oleh Alvian dengan alasan belum muhrim. Bukan karena Alvian sangat taat agama, ibadah saja masih bolong - bolong, mabuk juga masih suka. Cuman Alvian sangat memperlakukan Chava dengan berbeda.“Dih padahal dulu, aku tuh sering lihat ya kamu di cium – cium sama mantan kamu, tapi mana? Kamu gak nolak di cium – cium sama mereka?! Tapi kenapa sama aku gak mau? Aku kan tunangan kamu!”Mengingat hal itu saja sudah membuat darahnya berdesir merangkak naik ke wajahnya. Mungkin itu kejadian dulu tapi tetap saja membuat Chava terbakar cemburu.“Tapi kamu gak pernah lihat kan aku ciumin mereka balik?”Chava diam mendengar pertanyaan Alvian. Memang sih kebanyakan mantannya yang mencium Alvian, itu juga hanya pada pipi Alvian saja, karena setiap kali mereka ingin cium bibir Alvian, Alvian selalu menghindar.“Ya, gak pernah. Bisa aja kan di belakang aku, kamu ciumin mereka balik.” Ujar Chava membela dirinya.“Enggak pernah tuh. Pernah juga ada satu cewek yang ambil first kiss aku di bibir. Ciri – ciri cewek itu, tingginya sekitar 165 centi, waktu cium aku dia lagi pake baju dress merah. Terus keliatannya cewek itu lagi patah hati.”Merasa tidak asing dengan ciri – ciri yang disebutkan Alvian, Chava mencubit perut Alvian hingga Alvian meringgis kesakitan. “ITU AKU! Ih kan aku udah bilang, aku waktu itu lagi mabuk, aku gak sadar cium kamu!” Klarifikasi Chava pada Alvian yang kesekian kalinya karena Alvian selalu membahas hal tersebut untuk menggoda Chava.Saat itu Chava benar - benar sedang mabuk parah karena patah hati—putus dengan pacarnya. Chava benar - benar tidak sadar sudah mencium Alvian yang menolongnya.“Tuh kan berarti kamu udah pernah cium aku. First kiss aku lagi.” Ledek Alvian pada Chava.“Aku gak percaya sama tampang berandal kamu, kalau itu first kiss kamu. Bisa aja kan itu ngarang, kamu pernah juga lakuin hal itu sama cewek lain.”“Yaudah kalau gak percaya. By the way berandal – berandal gini juga, bisa bikin kamu cinta kan?” Tanya Alvian kemudian mengedipkan satu matanya pada Chava. Menyebalkan sekali. Lagi – lagi pipi Chava memerah.Chava juga tidak bisa mengelak atas perkataan Alvian. Memang benar, meski Alvian itu menyebalkan, kaku, cuek, gila kerja dan sibuk terus, Chava tetap cinta.Chava juga akui, meski Chava kadang kesal dan dibuat sedih oleh Alvian, tetap saja Chava akan selalu kembali pada Alvian. Memang benar cinta itu bisa membutakan manusia, ya seperti cinta Chava pada Alvian.“Ih apaan sih?!” ucap Chava dengan melemparkan bantal pada Alvian. Alvian selalu saja bisa membuat pipi Chava memerah.Chava hendak berdiri untuk meninggalkan Alvian, namun Alvian menarik Chava kembali hingga Chava terpaksa ke posisi semula.“Mau kemana? Katanya mau cium aku?” goda Alvian menaik turun kan alisnya yang tebal, tak lupa dengan seringai miring di bibirnya.“Enggak jadi! Udah gak nafsu!” jawab Chava dengan bibir yang cemberut.Alvian tertawa lepas. Chava yang marah selalu saja membuat Alvian kesenangan, apalagi jika Chava marah karena di ganggu olehnya. Namun jika Chava yang marahnya benar – benar marah hingga tidak mengeluarkan kata, nah bagi Alvian itu sangat menyeramkan.Jika Chava sudah marah seperti itu, minta maaf saja harus benar – benar minta maaf dengan tulus, karena sangat sulit untuk dimaafkan oleh Chava.Alvian menghentikan tawanya melirik perempuan yang menjadi tunangannya itu sedang menekuk wajahnya. Sekarang rasanya Alvian merasa gemas melihat Chava, apalagi bibir Chava yang mencebik seperti anak kecil. Tak hanya itu, matanya juga menatap sinis Alvian.Alvian tersenyum, Chava delapan tahun lalu dan Chava yang sekarang, bagi Alvian masih sama, sama – sama Chava yang selalu banyak energinya, gampang marah, dan selalu ceria.Alvian merasa tenang melihat Chava nya kembali lagi seperti awal dia bertemu. Karena saat Chava berusia 19 tahun, Alvian seperti melihat orang lain pada diri Chava, Chava yang selalu ceria berubah menjadi menangis terus. Satu penyebab yang membuat Chava sangat sedih, yaitu Gavin, mantan pacar Chava yang meninggalkan trauma yang sangat mendalam untuk Chava.Hubungan beracunnya dengan Gavin, hampir saja membuat Chava menghilangkan nyawanya sendiri.Alvian mendekatkan bibirnya pada pipi gadis yang masih saja mencebikan bibirnya, lalu mengecup pipi Chava yang membuat Chava tersentak kaget hingga matanya membulat.Chava menoleh pada Alvian, lalu mendapati Alvian yang tersenyum jahil. “Di cicil dulu ciumnya. Nanti sisanya saat udah menikah.” Kata Alvian yang mengedipkan satu matanya, lagi, pada Chava.“IH ABANG! Sini cium lagi? Yang benar tuh cium di bibir!” Protes Chava yang kini mulai mendekati Alvian yang sudah terlebih dahulu menghindar. Chava ingin ciuman, bukan di cium di pipi saja, karena menurut Chava kurang romantis.Malam semakin larut, namun kedua calon pengantin ini sedang melakukan aksi kejar – kejaran. Alvian yang enggan untuk di cium, Chava yang ingin mencium Alvian. Chava bahkan tidak merasa lelah mengejar Alvian, sedangkan Alvian tidak mau menyerah juga, Alvian tetap berlari dari Chava dengan tawanya yang mengema di ruangan.Tidak ada yang mau mengalah atas hal ini, mereka adalah dua orang yang sama – sama memiliki ego yang tinggi. Namun takdir ingin mereka bersatu menjadi pasangan.***Bersambung ...“Ca, maaf, Fitting baju hari ini, aku enggak bisa. Tapi kamu tenang aja, aku udah hubungin pihak butiknya, untuk Resechedule.” Suara Alvian di sebrang sana mampu melunturkan senyum Chava. Chava pikir Alvian menelponnya untuk memberitahu bahwa dia akan menjemput Chava untuk Fitting baju pernikahan, namun ternyata bukan. “Loh, kenapa? Abang kita kan udah punya rencana hari ini tuh kita akan Fitting baju. Aku udah dandan dan udah siap, Bang. Masa enggak jadi sih?!” Jawab Chava meminta penjelasan pada calon suaminya. “Aku ada kerjaan, penting banget. Benar – benar aku enggak bisa buat ninggalin kerjaan ini.” Chava tertawa gusar, “Lagi – lagi kerjaan! Pekerjaan kamu tuh, emang lebih penting ya dari pernikahan kita?” Sarkas Chava dengan nada bicara yang mulai meroket ke atas, hatinya seperti tertusuk oleh jarum. “Enggak gitu, Ca. Aku-“ Tut Tut Tut Belum sempat Chava mendengarkan jawaban Alvian, Chava terlebih dahulu mematikan panggilan teleponnya, tidak mau mendengarkan alasan dari P
Alvian datang ke rumah Chava pukul enam sore, setelah berhasil melaksanakan pekerjaannya, dia segera bergegas pergi ke rumah Chava. Apalagi pesan dari Gara yang menampilkan foto Chava yang sedang menangis tadi, membuat seharian ini Alvian tidak fokus, kepalanya di penuhi oleh Chava. Disini lah Alvian sekarang, di sebelah Chava yang kini sedang tertidur di kamarnya. Alvian menatap nanar Chava, hati Alvian teriris melihat bekas air mata yang masih ada di pipi Chava, bahkan mata Chava yang indah terlihat sembab sekarang. Alvian benar – benar merasa bersalah. Kata Gara, adik Gara itu menangis cukup lama bahkan sampai mogok untuk makan, katanya Chava baru bisa berhenti menangis karena ketiduran. Alvian mengelus lembut rambut hitam milik Chava, lalu mengelus pipi yang selalu Gara kagumi ketika tersenyum itu. “Ca … ” lirih Alvian memanggil nama Chava, bertujuan untuk membangunkan Wanita nya. Alvian sudah tidak sabar untuk meluruskan kesalah pahaman ini. Yang dipanggil mulai membuka mata
Tangisan Chava sudah berhenti, namun baik Chava dan Alvian masih tidak ingin berganti posisi, mereka setia dengan posisi saling membelakangi pintu. Hening, hanya suara denting jam dinding saja yang terdengar kini. Masing – masing dari mereka sibuk dengan pemikiran – pemikiran yang kini seperti berkecamuk di benaknya. “Ca, kamu tahu kan bahwa aku adalah orang yang selalu merencanakan masa depan? Bahkan ingin menikahi kamu pun, itu sudah aku rencanakan dari dulu.” Suara Alvian memecahkan keheningan. Detik demi detik terus berjalan, namun telinga Alvian tidak mendengar tunangannya itu merespon perkataan Alvian. Alvian tersenyum palsu, dia menarik napas dalam – dalam, mengerti bahwa Chava masih marah kepada dirinya. “Pekerjaan ku tadi, ada hubungannya dengan rencana yang udah aku buat. Pak Hartono — calon investor perusahaan aku. Tiba – tiba aja dia ubah jadwal pertemuan aku dan dia, yang seharusnya dua hari lagi, menjadi sekarang.” Mulut Alvian tidak henti – hentinya mengeluarkan suar
“Saya terima nikahnya Chava Lyra Pradikta Binti Wirawan Pradikta, dengan mas kawin tersebut, di bayar tunai!” “Saksi Sah?” “SAH!” Jawaban dari para manusia – manusia yang dengan senang hati hadir di pernikahan Chava dan Alvian, menandakan bahwa kini Chava dan Alvian sudah resmi menjadi pasangan suami – istri. Alvian menghembuskan napas lega, keringat dingin sedari tadi seakan lenyap begitu saja. Alvian menengadahkan telapak tangannya, mengucapkan kalimat Syukur atas kelancaran ijabnya, lalu mengusapkan ke wajahnya yang tampan. Alvian bahkan menghapal kalimat ijab itu sudah dari satu minggu yang lalu, wajar saja jika Alvian berhasil mengucapkan dalam satu tarikan napas. “Alhamdulillah Aim, sekarang kamu udah jadi adik ipar aku, baik – baik kamu sama aku!” Teriak Garalen di tengah – tengah para tamu. Alvian hanya menanggapinya dengan senyuman. Alvian melirik pembawa acara, bahkan dia mengigit bibirnya, dia tidak sabar menunggu acara selanjutnya, yaitu dimana Alvian akan menyambut C
“Damn! Kenapa isi koper aku, bajunya kurang bahan semua?!” Mata Chava terbuka lebar, mulutnya terbuka sedikit. Chava sungguh terkejut melihat isi koper miliknya, tiba – tiba saja berubah. Padahal Chava masih sangat jelas memasukan pakaian – pakaian yang aman ke koper miliknya. Chava tidak ingin menyerah, dia terus menerus memeriksa baju – baju yang ada disana, namun hasilnya nihil, tetap sama seperti semula. Matanya kini tertarik pada selembar kertas yang kini terselip di salah satu baju. Dia mengambil kertas tersebut, membuka secara perlahan. “Kejutan! Selamat menikmati malam pertama! Semoga cepat – cepat kasih aku keponakan yang lucu – lucu. Aunty Binar dan Joya, selalu menanti.” Chava tersenyum miris melihat tulisan dari kertas tersebut. Ternyata semua ini ulah sahabat – sahabatnya. Chava menyugar rambutnya, merasa frustasi memikirkan baju apakah yang akan dia pakai. “Argh! Awas aja ya kak Binar dan Joya, aku akan balas kalian!” Ancam Chava pada kedua sahabatnya itu. Tok Tok
Mata Chava berbinar – binar, mulutnya bahkan terbuka sedikit, dia tidak henti – hentinya memandang takjub pemandangan yang dia lihat dari balkon Vila yang Alvian sewa .Air laut yang berwarna biru seakan menggoda Chava untuk berenang kesana, apalagi di tambah dengan langit yang cerah disertai burung – burung yang beterbangan kesana kemari.“Abang, makasih banyak udah bawa aku honeymoon disini!” jerit Chava pada Alvian yang baru saja selesai meletakan koper.“Enggak usah heboh, kamu kan sering ke Bali.”“Ih beda tahu! Kalau ke Bali nya sama kamu, jadi lebih indah.” Ujar Chava dengan mengedipkan sebelah matanya pada Alvian.“Dasar!”Tubuh Chava bergetar karena mentertawakan Alvian. Namun yang Chava ucapkan benar – benar kenyataan, bukan hanya godaan untuk Alvian. Tempat ini benar – benar lebih indah ketika datang kesini bersama Alvian.“Sini deh abang?” Chava menjulurkan tangannya pada Alvian, lalu di balas oleh Alvian dan kemudian mengenggam tangannya.Chava membawa Alvian keluar dari
“Hallo, kakak ipar? Ada apa menelpon?”Suara Mario di seberang sana membuat Chava memutar bola matanya. Bahkan suara Mario terdengar biasa saja, padahal Mario adalah penyebab kekacauan ini — karena telepon dari Mario beberapa hari lalu, membuat alvian menjadi sibuk bekerja ketika berbulan madu.“Enggak usah so manis, deh!” ketus Chava. Tujuan Chava menelpon Mario untuk protes.“Aku ada salah apa sama kamu? Perasaan aku enggak buat salah apa – apa.” Jawab Mario binggung.“Enggak punya gimana? Jelas – jelas kamu udah bikin kesalahan fatal!” Chava meneriaki Mario.Napas Chava bahkan tersenggal – senggal sekarang, dia benar – benar sudah muak.“Hah? Kesalahan apa?”“Kalau kamu enggak telepon Alvian beberapa hari lalu, Alvian pasti gak akan sibuk sama kerjaannya. Mario, ini abang kamu tuh sama aku lagi honeymoon. Bisa – bisanya kamu hubungin dia!”“Loh?”Chava dapat mendengar suara tawa Mario di speaker ponselnya. Mario bukannya meminta maaf malah mentertawakan Chava.Chava mengepalkan ta
“Ca, kamu serius mau pulang?”Chava menghentikan kegiatan melipat pakaiannya ketika mendengar suara Alvian di belakang.“Iya.” Jawab Chava tanpa menoleh pada Alvian.Chava sudah malas berada disini, maka dari itu setelah berdebat dengan Alvian beberapa jam lalu, Chava memutuskan untuk kembali ke rumah saja. Suaminya itu bahkan baru menyusul Chava setelah berjam – jam.Jika Alvian datang lebih awal, mungkin Chava akan memikirkan ulang untuk pulang sekarang. Namun Alvian datang disaat Chava sudah enggan untuk memikirkan ulang kepulangannya.Terdengar suara langkah kaki yang mendekat ke arah Chava. “Ca, i’m really sorry. Please, forgive me. Kita masih bisa ada disini, untuk bulan madu kita, enggak perlu pulang.”“Enggak mau. Aku lebih baik pulang daripada disini terus sama kamu yang sibuk kerja. Toh, apa bedanya di Bali dan di Jakarta? Sama aja.”Chava mulai melanjutkan kegiatannya lagi, pakaian - pakaian yang sudah selesai dia lipat, dia masukan ke koper.Chava mulai menata pakaian yang