Share

2. Perjanjian pernikahan

Jalan hidup Chava sedang dipenuhi oleh banyak bunga sekarang. Beberapa hari kemudian setelah malam dimana Alvian melamar Chava, Alvian datang dengan membawa keluarga besarnya ke rumah untuk melamar Chava secara resmi.

Meski status Chava sekarang adalah tunangannya Alvian, Chava masih belum percaya dengan semua ini, bahkan setelah malam itu, Chava terus – terusan bertanya pada Alvian perihal lamaran itu, baik berupa pesan, telepon atau ketika mereka bertemu. Alvian yang memang diberikan anugerah stok kesabaran lebih, selalu menjawab Chava dengan baik.

Chava sangat bahagia, Alvian seperti impian yang indah untuk Chava. Bahkan Chava tidak pernah berpikiran bahwa Alvian akan menjadi suaminya, mengingat dari dulu Alvian selalu terang-terangan bilang bahwa dia hanya menganggap Chava sebagai adiknya.

Namun takdir tidak ada yang tahu, tidak ada angin, tidak ada hujan, Alvian sekarang menjadi tunangan Chava.

Sekarang Chava tidak henti-hentinya memandangi Alvian yang kini duduk di sebelahnya dengan terus sibuk berkutat pada laptopnya. Mata Chava sangat berbinar – binar, terpampang senyum di wajah Chava.

“Duh, tunangan aku ganteng banget. Benar ya, nikmat Tuhan mana yang engkau dustakan? Punya tunangan yang gantengnya minta ampun!”

“Lebay deh.” Jawab Alvian pada Chava tanpa melepas pandangannya dari laptopnya.

“Gak lebay, ini tuh fakta, tahu?!” Ucap Chava dengan kejujurannya. Mendengar jawaban Chava, Alvian seharusnya salah tingkah terus tersenyum malu – malu karena sedang di puji Chava. Tapi ini seorang Alvian mahesa, cowok kaku,cuek dan jarang bicara.

Reaksi Alvian hanya memasang wajah tanpa ekspresi, seperti laptop yang ada di pangkuannya kini lebih menarik di banding tunangannya yang berada di samping dirinya.

Seperti teringat akan tujuannya ke apartemen Alvian malam ini, Chava yang semula memandangi Alvian kini membenarkan posisi duduknya dan menatap Alvian dengan sungguh - sungguh.

“Abang, aku baru ingat sesuatu. Ada hal yang harus kita bahas secara serius.”.

Alvian melirik pada Chava, “Apa?”.

“Kalau nanti kita nikah, kamu mau cepat – cepat punya anak atau enggak?” Tanya Chava pada Alvian yang kini merasa aneh akan pertanyaannya.

Biasanya Chava dan Alvian selama ini hanya mengobrol soal hal – hal yang random atau Chava yang bercerita, Chava bahkan mengesampingkan rasa malu yang kini menjalar pada tubuhnya, Chava mengumpulkan keberaniannya untuk membahas soal pernikahannya bahkan soal anak.

Alvian menyingkirkan laptop yang berada di pangkuannya, Alvian mengerti jika Chava sudah membahas pernikahan itu artinya Alvian harus menghentikan aktifitas apapun itu.

Si cowok gila kerja itu,kini membalikan badannya untuk benar-benar berhadapan dengan Chava. “Terserah kamu, Ca.”

Chava mengeryitkan dahinya. “Ih jangan terserah aku. Kan yang mau nikah itu kita berdua.”

“Iya, terserah kamu. Aku akan ngikutin semua keinginan kamu. Kalau emang kamu pengen punya anak cepat – cepat, aku akan setuju. Kalau kamu gak mau dulu punya anak, aku oke oke aja.” Jelas Alvian yang berharap Chava bisa mengerti akan perkatannya.

“Kenapa kayak gitu?” masih dengan kernyitan di dahinya Chava menanyakan hal itu kembali, belum puas akan jawaban Alvian.

“Sebenarnya aku gak akan tanyain lagi alasan kamu, jika kamu udah bilang ‘terserah’ tadi, apalagi kan emang itu kebiasaan kamu kalau jawab tuh singkat – singkat gitu. Tapi Abang, yang kita bahas ini soal pernikahan, ini tentang kita. Kamu gak bisa, hanya menjawab ‘terserah’ aja.”

“Ca, yang punya rahim itu kamu. Aku emang akan menikah sama kamu, tapi tubuh kamu tetap milik kamu. Aku gak mau memaksakan kamu untuk cepat – cepat punya anak, apalagi dengan kondisi kamu belum siap.”

“Aku emang gak ngerasain bagaimana hamil, melahirkan dan menyusui. Tapi menurut aku itu bukan hal yang mudah. Sekarang aku mau tanya sama kamu, kamu udah siap punya anak?”

Ini salah satu alasan Chava menyukai Alvian, Chava selalu jatuh cinta dengan pemikiran Alvian yang lebih dewasa dibanding dirinya. Apalagi mengingat perbedaan umur Chava dan Alvian yang berbeda 3 tahun.

Setelah merasakan hubungan yang tidak sehat bersama cowok yang umurnya sama dengan Chava, Chava jadi lebih suka kepada cowok yang lebih tua darinya.

Hidung Chava berkerut. Pertanyaan dari Alvian mampu membuat Chava memutar otaknya. “Jujur, aku belum siap untuk punya anak.”

“Bukan karena aku keberatan harus hamil dan nantinya bisa merubah bentuk tubuh aku. Tapi seperti yang kamu tahu, jadi orang tua itu harus benar – benar siap. Aku mau yang terbaik untuk anak aku, aku takut gak bisa jadi ibu yang baik untuk anak aku nanti.”

“Aku masih belum sepenuhnya sembuh dari diri aku yang dulu, masih berusaha jadi lebih baik lagi. Aku mau membahas hal ini, karena kita akan menikah, akan memulai hidup yang baru, berdua. Tapi kalau kamu pengen punya anak cepat – cepat, aku juga akan mau kok. Aku gak mau egois.”

Setelah mengatakan hal tersebut, rasa takut terlukis di wajahnya, cemas menunggu respon Alvian.

Alvian menghirup udara dalam – dalam dan mengeluarkan udara tersebut secara perlahan. “Ca, aku nikahin kamu, bukan untuk jadikan kamu mesin penghasil anak. Aku nikah sama kamu karena aku pengen kamu jadi istri aku, pendamping hidup aku.”

“Bahkan aku juga gak masalah kalau misalnya kita nanti gak punya anak. Tapi Ca, jangan pernah ngerasa takut kamu gak bisa jadi ibu yang baik untuk anak kita nanti. Kamu akan jadi ibu yang sangat terbaik untuk anak kita nanti, mereka akan sangat beruntung punya ibu kayak kamu. Tentang anak, udah clear kan, Ca?”

Chava bisa bernapas lega sekarang mendengar jawaban Alvian yang santai, tidak seperti pikiran – pikiran buruknya. "Iya, udah. Eh sebenarnya ada lagi yang mau aku tanyakan." Ucap Chava, merasa sedang di berikan kesempatan untuk bertanya.

"Apa?" Jawab Alvian yang mulai penasaran.

"Kalau udah nikah nanti, aku boleh kerja enggak?" Tanya Chava. “Abang, kalau boleh jujur lagi ya, aku kalau jadi ibu rumah tangga aja, pasti akan bosan. Apalagi kamu kan selalu sibuk sama kerjaan, aku pasti akan kesepian.”

“Nah, kalau aku kerja kan, aku jadi punya kegiatan, ya meskipun kerjanya di perusahaan Papa aku.” Chava melanjutkan perkataannya, sebelum Alvian menjawab.

"Boleh." Jawab Alvian dengan cepat, seperti tidak memikirkan hal itu terlebih dahulu.

Tak lama pria itu melanjutkan, "Sebenarnya aku sangat sanggup untuk nafkahin kamu, cuman ya seperti apa kata kamu, kamu pasti akan bosan kalau jadi ibu rumah tangga aja, apalagi aku kan gak mungkin ada di rumah terus. Kamu boleh kerja Ca, tapi kamu harus tetap mau terima uang dari aku."

"Iya, pastinya! Mana mungkin aku tolak uang dari kamu. Katanya sih ya, harta suami itu harta istri, tapi kalau harta istri ya milik istri aja. Keberatan gak kamu kalau aku begitu?"

"Enggak keberatan. Aku setuju." Alvian selalu menyetuji apapun yang Chava ucapkan. Bukan maksud untuk menyenangkan Chava, namun Alvian benar – benar setuju atas apapun yang Chava bilang.

“Satu lagi deh, aku mau tanya!” Ucap Chava dengan mata berbinar – binar dan penuh semangat.

“Iya, apa Tuan Putri?”

Sebelum melanjutkan pertanyaannya, Chava terlebih dahulu tersipu malu mendengar panggilan kesayangan dari Alvian. Padahal sudah beberapa kali Chava di panggil seperti itu, namun rasanya kupu – kupu yang terbang di perutnya tidak bisa tertahan.

“Menurut kamu, pekerjaan rumah tangga itu, tugas bersama atau hanya tugas seorang istri?” Chava meyakini kali ini Alvian pasti akan kebingungan menjawab.

“Yaelah, Ca. Yang kayak gini di tanyain, udah pasti tugas bersama lah. Aku kan nikahin kamu bukan untuk jadiin kamu pembantu atau jadiin kamu pengurus aku, aku butuh istri Ca, bukan pembantu.”

***

Bersambung …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status