“Ca, maaf, Fitting baju hari ini, aku enggak bisa. Tapi kamu tenang aja, aku udah hubungin pihak butiknya, untuk Resechedule.”
Suara Alvian di sebrang sana mampu melunturkan senyum Chava. Chava pikir Alvian menelponnya untuk memberitahu bahwa dia akan menjemput Chava untuk Fitting baju pernikahan, namun ternyata bukan.“Loh, kenapa? Abang kita kan udah punya rencana hari ini tuh kita akan Fitting baju. Aku udah dandan dan udah siap, Bang. Masa enggak jadi sih?!” Jawab Chava meminta penjelasan pada calon suaminya.“Aku ada kerjaan, penting banget. Benar – benar aku enggak bisa buat ninggalin kerjaan ini.”Chava tertawa gusar, “Lagi – lagi kerjaan! Pekerjaan kamu tuh, emang lebih penting ya dari pernikahan kita?” Sarkas Chava dengan nada bicara yang mulai meroket ke atas, hatinya seperti tertusuk oleh jarum.“Enggak gitu, Ca. Aku-“Tut Tut TutBelum sempat Chava mendengarkan jawaban Alvian, Chava terlebih dahulu mematikan panggilan teleponnya, tidak mau mendengarkan alasan dari Pria tersebut. Chava melemparkan ponselnya tersebut ke atas ranjang. Pembuluh darah tampak tegang di lehernya, dadanya naik turun, air matanya menggenang.“SIALAN!!!” teriak Chava, kali ini Chava tidak bisa menghentikan air mata yang mulai membasahi pipinya.Alvian benar – benar sangat menyebalkan, bisa – bisanya dia lebih memprioritaskan pekerjaannya di banding dirinya. Chava merasa saingannya sekarang adalah pekerjaan Alvian.Pernikahan adalah hal yang sakral, karenanya untuk menuju ke hari yang indah itu, banyak sekali ujiannya. Chava pikir itu hanya mitos belaka untuk menakut-nakuti Chava, namun ternyata Chava sedang mengalami hal tersebut.Semakin dekat dengan hari indah tersebut, maka semakin sering Chava bertengkar dengan Alvian. Belum lagi drama menuju hari pernikahan itu sangat banyak.Pintu kamar Chava terbuka, menampilkan Garalen — kakak Chava. “Kenapa kamu teriak – teriak? Bukannya kamu mau pergi sama Aim buat fitting baju?” tanya Gara khawatir, apalagi melihat kondisi adiknya yang sedang menangis.Gara berjalan mendekati adiknya tersebut, lalu ikut duduk di samping adik kesayangannya itu, “Ada apa?”Pertanyaan Gara mampu membuat isakan tangis Chava semakin menjadi - jadi. Gara lupa, jika Chava sedang menangis atau sedang sedih, tidak boleh di tanya lebih dulu, karena akan membuat Chava semakin menangis.“Ututu adek abang yang cantik, jangan nangis.” Gara membawa Chava ke dadanya dan mendekap sang adik, mengelus lembut rambut panjang milik Chava.Gara cukup tahu mengenai adik perempuannya itu, karena selama bertahun – tahun Gara tinggal hanya berdua dengan Chava. Dari dulu orang tua mereka, sering berpindah - pindah tempat karena pekerjaan Ayahnya, di saat orang tuanya berpindah tempat lagi menjadi ke tempat kelahiran mereka – Bandung.Gara dan Chava memutuskan untuk menetap di Jakarta, karena mereka sudah lelah jika harus pindah rumah dan pindah sekolah lagi, setelah negosiasi yang cukup panjang, akhirnya hanya orang tua mereka dan adik laki – lakinya saja yang pindah ke Bandung.Apalagi sekarang Gara di amanat kan oleh Ayahnya untuk mengurus perusahaan Ayahnya yang ada disini dan Chava pula ikut bekerja di perusahaan Ayahnya.“Aim sialan! Aku kesal sama Aim!!!” umpat Chava di sela – sela isak tangisannya, Chava meluapkan tangisan itu di dekapan Gara, bahkan baju Gara mulai basah oleh air mata Chava.“Sst gak boleh ngumpat begitu sama calon suami.” Sebagai abang yang baik, tentu Gara tidak suka dengan umpatan Chava kepada Alvian.“Biarin. Dia tega batalin fitting baju hari ini! Dia lebih mentingin kerjaan di banding pernikahannya dengan aku. Lihat?” Chava melepaskan pelukannya dan menunjukan wajah cantiknya yang kini dandannya mulai berantakan karena menangis.“ Aku udah effort banget dandan dari satu jam yang lalu demi dia, aku udah bayangin hari ini akan gimana? Aku gak suka kalau udah siap gini, tiba – tiba aja orang tersebut batalin janji, apalagi itu demi pekerjaan dia!”Gara menganggukan kepalanya, mengerti alasan mengapa adiknya ini menangis sebrutal itu. Sebenarnya bukan hal yang baru jika Chava dan Alvian bertengkar, karena dari dulu mereka selalu bertengkar. Gara sudah tidak heran lagi.“Ca, mungkin pekerjaan Aim kali ini benar – benar gak bisa dia tinggalin sampai batalin janji. Kamu kayak gak tau siapa Aim aja, Ca.” Jelas Gara juga mengenal Alvian, bahkan lebih dulu dari Chava mengenal Alvian.Gara mengenal Alvian karena pernah membuat satu projek bersama, Gara yang dulu sudah pusing mencari tim untuk projek kuliahnya akhirnya bertemu dengan Alvian yang merupakan adik tingkat Gara.Alvian dengan kegigihannya dan sifat pekerja kerasnya berhasil membantu Gara menyelesaikan projek tersebut. Tentu Gara tahu juga bagaimana sifat Alvian? Sedikit bicara, banyak bergeraknya.Gara juga merestui Alvian bersama Chava, karena Gara yakin bahwa Alvian akan menjadi suami yang baik untuk Chava. Firasat Gara itu tidak pernah salah.“Kok kamu malah belain Aim sih? Yang adek kamu itu, aku. Bukan Aim!” Sentak Chava. Matanya menatap Gara dengan tajam, Chava merasa kakaknya itu membela Alvian yang bersalah.“Astaga Dek, aku gak bela dia. Tapi kan bisa aja pekerjaan itu penting banget buat dia, sampai ingkarin janjinya sama kamu. Ini kan baru kali pertama dia ingkar janji selama proses menuju pernikahan kalian. ““Tuh itu artinya dia benar – benar lagi sibuk Ca. Kalau pekerjaan ini gak terlalu penting buat dia Dek, dia pasti akan nepatin janji. Dia juga mungkin gak mau sebenarnya batalin janji sama kamu, cuman karena kepepet ya jadi gitu.” Gara mencoba menjelaskan kembali pada adiknya dengan nada yang rendah.“Kamu sama Aim itu sama aja. Sama – sama gila dengan pekerjaan! Maka dari itu kamu belain Aim kan? Kalian berdua gak bisa ngerti sama perasaan aku.”Mendengar jawaban Chava, Gara hanya bisa menghela napasnya. Adiknya ini sangat keras kepala seperti dirinya. Jika melihat Chava, maka Gara merasa melihat dirinya versi perempuan, sangat mirip.Memang Gara akui dia juga gila kerja sama seperti Alvian, namun ucapannya pada Chava tadi bukan bermaksud untuk bela Alvian. Gara mengerti perasaan Chava, tapi Gara juga mengerti posisi Alvian. Gara memijat kepalanya yang mulai pening menghadapi adiknya.“Kamu jahat banget malah belain Aim-“ ucap Chava yang memotong kalimatnya karena tidak kuat untuk menahan tangisnya lagi. Chava berhambur memeluk Gara kembali, lalu melanjutkan tangisannya yang tadi sempat terjeda.Hati Chava masih berdenyut nyeri gara – gara kejadian ini, dadanya juga sesak, bahkan air matanya yang berharga itu, tidak bisa Chava hentikan.Jika sudah seperti ini, Gara tidak bisa melakukan apa – apa. Bicara lagi juga percuma, mungkin akan memperburuk suasana. Sambil memeluk Chava, Gara membuka ponselnya dan memfoto Chava yang sedang menangis dipelukannya, lalu mengirim foto tersebut pada Alvian, dengan disertai kalimat“Minta maaf yang benar kamu sama adek aku. Adek aku nangis brutal gara – gara kamu.” Begitu kira – kira isi pesannya yang ia kirim pada Alvian.Gara mencium pucuk kepala Chava, meski adiknya ini sangat menyebalkan, tapi Gara berharap pernikahan Chava dan Alvian berjalan dengan baik, tidak seperti pernikahannya yang gagal. Gara ingin adiknya bahagia dan kebahagiaan adiknya ada pada Alvian Mahesa.**Bersambung …Alvian datang ke rumah Chava pukul enam sore, setelah berhasil melaksanakan pekerjaannya, dia segera bergegas pergi ke rumah Chava. Apalagi pesan dari Gara yang menampilkan foto Chava yang sedang menangis tadi, membuat seharian ini Alvian tidak fokus, kepalanya di penuhi oleh Chava. Disini lah Alvian sekarang, di sebelah Chava yang kini sedang tertidur di kamarnya. Alvian menatap nanar Chava, hati Alvian teriris melihat bekas air mata yang masih ada di pipi Chava, bahkan mata Chava yang indah terlihat sembab sekarang. Alvian benar – benar merasa bersalah. Kata Gara, adik Gara itu menangis cukup lama bahkan sampai mogok untuk makan, katanya Chava baru bisa berhenti menangis karena ketiduran. Alvian mengelus lembut rambut hitam milik Chava, lalu mengelus pipi yang selalu Gara kagumi ketika tersenyum itu. “Ca … ” lirih Alvian memanggil nama Chava, bertujuan untuk membangunkan Wanita nya. Alvian sudah tidak sabar untuk meluruskan kesalah pahaman ini. Yang dipanggil mulai membuka mata
Tangisan Chava sudah berhenti, namun baik Chava dan Alvian masih tidak ingin berganti posisi, mereka setia dengan posisi saling membelakangi pintu. Hening, hanya suara denting jam dinding saja yang terdengar kini. Masing – masing dari mereka sibuk dengan pemikiran – pemikiran yang kini seperti berkecamuk di benaknya. “Ca, kamu tahu kan bahwa aku adalah orang yang selalu merencanakan masa depan? Bahkan ingin menikahi kamu pun, itu sudah aku rencanakan dari dulu.” Suara Alvian memecahkan keheningan. Detik demi detik terus berjalan, namun telinga Alvian tidak mendengar tunangannya itu merespon perkataan Alvian. Alvian tersenyum palsu, dia menarik napas dalam – dalam, mengerti bahwa Chava masih marah kepada dirinya. “Pekerjaan ku tadi, ada hubungannya dengan rencana yang udah aku buat. Pak Hartono — calon investor perusahaan aku. Tiba – tiba aja dia ubah jadwal pertemuan aku dan dia, yang seharusnya dua hari lagi, menjadi sekarang.” Mulut Alvian tidak henti – hentinya mengeluarkan suar
“Saya terima nikahnya Chava Lyra Pradikta Binti Wirawan Pradikta, dengan mas kawin tersebut, di bayar tunai!” “Saksi Sah?” “SAH!” Jawaban dari para manusia – manusia yang dengan senang hati hadir di pernikahan Chava dan Alvian, menandakan bahwa kini Chava dan Alvian sudah resmi menjadi pasangan suami – istri. Alvian menghembuskan napas lega, keringat dingin sedari tadi seakan lenyap begitu saja. Alvian menengadahkan telapak tangannya, mengucapkan kalimat Syukur atas kelancaran ijabnya, lalu mengusapkan ke wajahnya yang tampan. Alvian bahkan menghapal kalimat ijab itu sudah dari satu minggu yang lalu, wajar saja jika Alvian berhasil mengucapkan dalam satu tarikan napas. “Alhamdulillah Aim, sekarang kamu udah jadi adik ipar aku, baik – baik kamu sama aku!” Teriak Garalen di tengah – tengah para tamu. Alvian hanya menanggapinya dengan senyuman. Alvian melirik pembawa acara, bahkan dia mengigit bibirnya, dia tidak sabar menunggu acara selanjutnya, yaitu dimana Alvian akan menyambut C
“Damn! Kenapa isi koper aku, bajunya kurang bahan semua?!” Mata Chava terbuka lebar, mulutnya terbuka sedikit. Chava sungguh terkejut melihat isi koper miliknya, tiba – tiba saja berubah. Padahal Chava masih sangat jelas memasukan pakaian – pakaian yang aman ke koper miliknya. Chava tidak ingin menyerah, dia terus menerus memeriksa baju – baju yang ada disana, namun hasilnya nihil, tetap sama seperti semula. Matanya kini tertarik pada selembar kertas yang kini terselip di salah satu baju. Dia mengambil kertas tersebut, membuka secara perlahan. “Kejutan! Selamat menikmati malam pertama! Semoga cepat – cepat kasih aku keponakan yang lucu – lucu. Aunty Binar dan Joya, selalu menanti.” Chava tersenyum miris melihat tulisan dari kertas tersebut. Ternyata semua ini ulah sahabat – sahabatnya. Chava menyugar rambutnya, merasa frustasi memikirkan baju apakah yang akan dia pakai. “Argh! Awas aja ya kak Binar dan Joya, aku akan balas kalian!” Ancam Chava pada kedua sahabatnya itu. Tok Tok
Mata Chava berbinar – binar, mulutnya bahkan terbuka sedikit, dia tidak henti – hentinya memandang takjub pemandangan yang dia lihat dari balkon Vila yang Alvian sewa .Air laut yang berwarna biru seakan menggoda Chava untuk berenang kesana, apalagi di tambah dengan langit yang cerah disertai burung – burung yang beterbangan kesana kemari.“Abang, makasih banyak udah bawa aku honeymoon disini!” jerit Chava pada Alvian yang baru saja selesai meletakan koper.“Enggak usah heboh, kamu kan sering ke Bali.”“Ih beda tahu! Kalau ke Bali nya sama kamu, jadi lebih indah.” Ujar Chava dengan mengedipkan sebelah matanya pada Alvian.“Dasar!”Tubuh Chava bergetar karena mentertawakan Alvian. Namun yang Chava ucapkan benar – benar kenyataan, bukan hanya godaan untuk Alvian. Tempat ini benar – benar lebih indah ketika datang kesini bersama Alvian.“Sini deh abang?” Chava menjulurkan tangannya pada Alvian, lalu di balas oleh Alvian dan kemudian mengenggam tangannya.Chava membawa Alvian keluar dari
“Hallo, kakak ipar? Ada apa menelpon?”Suara Mario di seberang sana membuat Chava memutar bola matanya. Bahkan suara Mario terdengar biasa saja, padahal Mario adalah penyebab kekacauan ini — karena telepon dari Mario beberapa hari lalu, membuat alvian menjadi sibuk bekerja ketika berbulan madu.“Enggak usah so manis, deh!” ketus Chava. Tujuan Chava menelpon Mario untuk protes.“Aku ada salah apa sama kamu? Perasaan aku enggak buat salah apa – apa.” Jawab Mario binggung.“Enggak punya gimana? Jelas – jelas kamu udah bikin kesalahan fatal!” Chava meneriaki Mario.Napas Chava bahkan tersenggal – senggal sekarang, dia benar – benar sudah muak.“Hah? Kesalahan apa?”“Kalau kamu enggak telepon Alvian beberapa hari lalu, Alvian pasti gak akan sibuk sama kerjaannya. Mario, ini abang kamu tuh sama aku lagi honeymoon. Bisa – bisanya kamu hubungin dia!”“Loh?”Chava dapat mendengar suara tawa Mario di speaker ponselnya. Mario bukannya meminta maaf malah mentertawakan Chava.Chava mengepalkan ta
“Ca, kamu serius mau pulang?”Chava menghentikan kegiatan melipat pakaiannya ketika mendengar suara Alvian di belakang.“Iya.” Jawab Chava tanpa menoleh pada Alvian.Chava sudah malas berada disini, maka dari itu setelah berdebat dengan Alvian beberapa jam lalu, Chava memutuskan untuk kembali ke rumah saja. Suaminya itu bahkan baru menyusul Chava setelah berjam – jam.Jika Alvian datang lebih awal, mungkin Chava akan memikirkan ulang untuk pulang sekarang. Namun Alvian datang disaat Chava sudah enggan untuk memikirkan ulang kepulangannya.Terdengar suara langkah kaki yang mendekat ke arah Chava. “Ca, i’m really sorry. Please, forgive me. Kita masih bisa ada disini, untuk bulan madu kita, enggak perlu pulang.”“Enggak mau. Aku lebih baik pulang daripada disini terus sama kamu yang sibuk kerja. Toh, apa bedanya di Bali dan di Jakarta? Sama aja.”Chava mulai melanjutkan kegiatannya lagi, pakaian - pakaian yang sudah selesai dia lipat, dia masukan ke koper.Chava mulai menata pakaian yang
“Gimana Honeymoon kalian? Seru?”Chava menoleh pada ibunya yang kini memandang Chava dan Alvian dengan tatapan yang melebar, seakan tidak sabar mendengar jawaban dari mereka.Mulut Chava melengkung membentuk senyuman, matanya bahkan berbinar – binar.“Seru banget, Ma!” ucap Chava dengan nada yang seakan memancarkan kebahagiaan. Sedangkan Alvian tersenyum simpul.Ibunya kini tersenyum semakin lebar, merasakan kebahagiaan yang di ucapkan oleh anak perempuannya. Tidak sia – sia ibunya mengundang anak dan menantunya yang baru saja pulang dari honeymoon untuk makan malam bersama.“Kalau emang seru, kenapa kalian pulang lebih awal? Bukannya kalian seharusnya satu minggu ada disana ya?” Tanya Gara, yang membuat Chava dan Alvian meneguk ludahnya.Pasangan suami-istri itu terlihat kebingungan, namun keduanya berusaha menyembunyikan hal itu. Padahal tangan Chava yang berada di bawah meja mengepal dan Alvian yang tubuhnya mulai keringatan.Alvian melirik Chava, dia mengerti bahwa istrinya tidak