Share

4. Masalah menuju hari pernikahan

“Ca, maaf, Fitting baju hari ini, aku enggak bisa. Tapi kamu tenang aja, aku udah hubungin pihak butiknya, untuk Resechedule.”

Suara Alvian di sebrang sana mampu melunturkan senyum Chava. Chava pikir Alvian menelponnya untuk memberitahu bahwa dia akan menjemput Chava untuk Fitting baju pernikahan, namun ternyata bukan.

“Loh, kenapa? Abang kita kan udah punya rencana hari ini tuh kita akan Fitting baju. Aku udah dandan dan udah siap, Bang. Masa enggak jadi sih?!” Jawab Chava meminta penjelasan pada calon suaminya.

“Aku ada kerjaan, penting banget. Benar – benar aku enggak bisa buat ninggalin kerjaan ini.”

Chava tertawa gusar, “Lagi – lagi kerjaan! Pekerjaan kamu tuh, emang lebih penting ya dari pernikahan kita?” Sarkas Chava dengan nada bicara yang mulai meroket ke atas, hatinya seperti tertusuk oleh jarum.

“Enggak gitu, Ca. Aku-“

Tut Tut Tut

Belum sempat Chava mendengarkan jawaban Alvian, Chava terlebih dahulu mematikan panggilan teleponnya, tidak mau mendengarkan alasan dari Pria tersebut. Chava melemparkan ponselnya tersebut ke atas ranjang. Pembuluh darah tampak tegang di lehernya, dadanya naik turun, air matanya menggenang.

“SIALAN!!!” teriak Chava, kali ini Chava tidak bisa menghentikan air mata yang mulai membasahi pipinya.

Alvian benar – benar sangat menyebalkan, bisa – bisanya dia lebih memprioritaskan pekerjaannya di banding dirinya. Chava merasa saingannya sekarang adalah pekerjaan Alvian.

Pernikahan adalah hal yang sakral, karenanya untuk menuju ke hari yang indah itu, banyak sekali ujiannya. Chava pikir itu hanya mitos belaka untuk menakut-nakuti Chava, namun ternyata Chava sedang mengalami hal tersebut.

Semakin dekat dengan hari indah tersebut, maka semakin sering Chava bertengkar dengan Alvian. Belum lagi drama menuju hari pernikahan itu sangat banyak.

Pintu kamar Chava terbuka, menampilkan Garalen — kakak Chava. “Kenapa kamu teriak – teriak? Bukannya kamu mau pergi sama Aim buat fitting baju?” tanya Gara khawatir, apalagi melihat kondisi adiknya yang sedang menangis.

Gara berjalan mendekati adiknya tersebut, lalu ikut duduk di samping adik kesayangannya itu, “Ada apa?”

Pertanyaan Gara mampu membuat isakan tangis Chava semakin menjadi - jadi. Gara lupa, jika Chava sedang menangis atau sedang sedih, tidak boleh di tanya lebih dulu, karena akan membuat Chava semakin menangis.

“Ututu adek abang yang cantik, jangan nangis.” Gara membawa Chava ke dadanya dan mendekap sang adik, mengelus lembut rambut panjang milik Chava.

Gara cukup tahu mengenai adik perempuannya itu, karena selama bertahun – tahun Gara tinggal hanya berdua dengan Chava. Dari dulu orang tua mereka, sering berpindah - pindah tempat karena pekerjaan Ayahnya, di saat orang tuanya berpindah tempat lagi menjadi ke tempat kelahiran mereka – Bandung.

Gara dan Chava memutuskan untuk menetap di Jakarta, karena mereka sudah lelah jika harus pindah rumah dan pindah sekolah lagi, setelah negosiasi yang cukup panjang, akhirnya hanya orang tua mereka dan adik laki – lakinya saja yang pindah ke Bandung.

Apalagi sekarang Gara di amanat kan oleh Ayahnya untuk mengurus perusahaan Ayahnya yang ada disini dan Chava pula ikut bekerja di perusahaan Ayahnya.

“Aim sialan! Aku kesal sama Aim!!!” umpat Chava di sela – sela isak tangisannya, Chava meluapkan tangisan itu di dekapan Gara, bahkan baju Gara mulai basah oleh air mata Chava.

“Sst gak boleh ngumpat begitu sama calon suami.” Sebagai abang yang baik, tentu Gara tidak suka dengan umpatan Chava kepada Alvian.

“Biarin. Dia tega batalin fitting baju hari ini! Dia lebih mentingin kerjaan di banding pernikahannya dengan aku. Lihat?” Chava melepaskan pelukannya dan menunjukan wajah cantiknya yang kini dandannya mulai berantakan karena menangis.

“ Aku udah effort banget dandan dari satu jam yang lalu demi dia, aku udah bayangin hari ini akan gimana? Aku gak suka kalau udah siap gini, tiba – tiba aja orang tersebut batalin janji, apalagi itu demi pekerjaan dia!”

Gara menganggukan kepalanya, mengerti alasan mengapa adiknya ini menangis sebrutal itu. Sebenarnya bukan hal yang baru jika Chava dan Alvian bertengkar, karena dari dulu mereka selalu bertengkar. Gara sudah tidak heran lagi.

“Ca, mungkin pekerjaan Aim kali ini benar – benar gak bisa dia tinggalin sampai batalin janji. Kamu kayak gak tau siapa Aim aja, Ca.” Jelas Gara juga mengenal Alvian, bahkan lebih dulu dari Chava mengenal Alvian.

Gara mengenal Alvian karena pernah membuat satu projek bersama, Gara yang dulu sudah pusing mencari tim untuk projek kuliahnya akhirnya bertemu dengan Alvian yang merupakan adik tingkat Gara.

Alvian dengan kegigihannya dan sifat pekerja kerasnya berhasil membantu Gara menyelesaikan projek tersebut. Tentu Gara tahu juga bagaimana sifat Alvian? Sedikit bicara, banyak bergeraknya.

Gara juga merestui Alvian bersama Chava, karena Gara yakin bahwa Alvian akan menjadi suami yang baik untuk Chava. Firasat Gara itu tidak pernah salah.

“Kok kamu malah belain Aim sih? Yang adek kamu itu, aku. Bukan Aim!” Sentak Chava. Matanya menatap Gara dengan tajam, Chava merasa kakaknya itu membela Alvian yang bersalah.

“Astaga Dek, aku gak bela dia. Tapi kan bisa aja pekerjaan itu penting banget buat dia, sampai ingkarin janjinya sama kamu. Ini kan baru kali pertama dia ingkar janji selama proses menuju pernikahan kalian. “

“Tuh itu artinya dia benar – benar lagi sibuk Ca. Kalau pekerjaan ini gak terlalu penting buat dia Dek, dia pasti akan nepatin janji. Dia juga mungkin gak mau sebenarnya batalin janji sama kamu, cuman karena kepepet ya jadi gitu.” Gara mencoba menjelaskan kembali pada adiknya dengan nada yang rendah.

“Kamu sama Aim itu sama aja. Sama – sama gila dengan pekerjaan! Maka dari itu kamu belain Aim kan? Kalian berdua gak bisa ngerti sama perasaan aku.”

Mendengar jawaban Chava, Gara hanya bisa menghela napasnya. Adiknya ini sangat keras kepala seperti dirinya. Jika melihat Chava, maka Gara merasa melihat dirinya versi perempuan, sangat mirip.

Memang Gara akui dia juga gila kerja sama seperti Alvian, namun ucapannya pada Chava tadi bukan bermaksud untuk bela Alvian. Gara mengerti perasaan Chava, tapi Gara juga mengerti posisi Alvian. Gara memijat kepalanya yang mulai pening menghadapi adiknya.

“Kamu jahat banget malah belain Aim-“ ucap Chava yang memotong kalimatnya karena tidak kuat untuk menahan tangisnya lagi. Chava berhambur memeluk Gara kembali, lalu melanjutkan tangisannya yang tadi sempat terjeda.

Hati Chava masih berdenyut nyeri gara – gara kejadian ini, dadanya juga sesak, bahkan air matanya yang berharga itu, tidak bisa Chava hentikan.

Jika sudah seperti ini, Gara tidak bisa melakukan apa – apa. Bicara lagi juga percuma, mungkin akan memperburuk suasana. Sambil memeluk Chava, Gara membuka ponselnya dan memfoto Chava yang sedang menangis dipelukannya, lalu mengirim foto tersebut pada Alvian, dengan disertai kalimat

“Minta maaf yang benar kamu sama adek aku. Adek aku nangis brutal gara – gara kamu.” Begitu kira – kira isi pesannya yang ia kirim pada Alvian.

Gara mencium pucuk kepala Chava, meski adiknya ini sangat menyebalkan, tapi Gara berharap pernikahan Chava dan Alvian berjalan dengan baik, tidak seperti pernikahannya yang gagal. Gara ingin adiknya bahagia dan kebahagiaan adiknya ada pada Alvian Mahesa.

**

Bersambung …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status