Alvian datang ke rumah Chava pukul enam sore, setelah berhasil melaksanakan pekerjaannya, dia segera bergegas pergi ke rumah Chava.
Apalagi pesan dari Gara yang menampilkan foto Chava yang sedang menangis tadi, membuat seharian ini Alvian tidak fokus, kepalanya di penuhi oleh Chava.Disini lah Alvian sekarang, di sebelah Chava yang kini sedang tertidur di kamarnya. Alvian menatap nanar Chava, hati Alvian teriris melihat bekas air mata yang masih ada di pipi Chava, bahkan mata Chava yang indah terlihat sembab sekarang. Alvian benar – benar merasa bersalah.Kata Gara, adik Gara itu menangis cukup lama bahkan sampai mogok untuk makan, katanya Chava baru bisa berhenti menangis karena ketiduran. Alvian mengelus lembut rambut hitam milik Chava, lalu mengelus pipi yang selalu Gara kagumi ketika tersenyum itu.“Ca … ” lirih Alvian memanggil nama Chava, bertujuan untuk membangunkan Wanita nya. Alvian sudah tidak sabar untuk meluruskan kesalah pahaman ini.Yang dipanggil mulai membuka matanya secara perlahan. Dapat Alvian lihat Chava yang sedang mengerjap – ngerjapkan matanya sambal melihat Alvian, mungkin Chava sedang memastikan bahwa yang ada di hadapannya kini adalah tunangannya. Menggemaskan, rasanya Alvian ingin mengecup Chava.“Hai, Ca?” sapa Alvian masih dengan nada yang lembut.Chava menghempaskan tangan Alvian yang sedang mengelus lembut pipi Chava. Chava bahkan kini bangkit dari posisi berbaringnya.“Ngapain kamu disini huh?!” ujar Chava dengan tatapan mata yang menyala – nyala dan lubang hidungnya lebar, seperti ingin menerkam Alvian.Alvian mengerti bahwa Wanitanya sedang marah hingga merespon Alvian seperti itu, Alvian sudah biasa. “Aku minta maaf, Ca.” Dia berkata dengan nada bicara yang terdengar tulus.“Gak usah minta maaf! Sana pergi, kerjaan kamu lebih penting daripada aku kan? Sana kerja aja. Gak usah pikirin aku. Kalau bisa nikah aja kamu sama kerjaan kamu, gak usah nikah sama aku! Batalin aja.” Sarkas Chava pada Alvian.Kemarahan Chava seakan menganti suasana di ruangan yang tidak terlalu besar ini, bahkan pendingin udara pun, tidak akan bisa mendinginkan dan Alvian pun tidak yakin bisa menyelesaikan ini dengan baik.“Sorry. I’m really sorry, Chava. Aku nyesel, karena aku udah batalin janji aku demi pekerjaan.” Kata Alvian yang tidak berhenti meminta maaf pada Chava.Matanya memandang penuh harap, suaranya dia buat serendah mungkin. Alvian akan terus meminta maaf sampai Chava memaafkannya, Alvian tidak akan menyerah.“TELAT! Hari ini enggak akan pernah bisa di ulang lagi. Aku males sama kamu. Kamu tuh kayak mau gak mau nikahin aku, tahu gak? Setiap kita bahas pernikahan kita, kamu keliatan males, gak ada semangatnya.”“Aku tahu Abang, hanya aku yang cinta kamu dan sangat senang akan pernikahan ini, tapi kamu enggak usah kayak begitu. Kalau emang kamu belum siap nikah sama aku atau kamu enggak mau nikah sama aku, lebih baik kita batalin aja.” Lanjut Chava lagi.Dahi Alvian mengeryit, matanya mulai menyala-nyala. “Apaan sih Ca? Ngaco. Aku gak mau batalin pernikahan ini.” Ujarnya benar – benar tidak setuju dengan perkataan Chava terhadap dirinya yang tidak semangat akan pernikahan ini.Alvian sangat semangat untuk meminang Chava sebagai istrinya. Alvian tidak terima di tuduh seperti ini. Di tambah lagi Chava membahas soal pembatalan pernikahan, Alvian benar – benar tidak terima.“Ngaco apa? Emang itu nyatanya kan? Kamu emang gak serius buat nikah sama aku, maka kamu seenaknya aja!” Tuduh Chava pada Alvian lagi dan lagi.“AKU SERIUS UNTUK NIKAH SAMA KAMU, CA!” Teriak Alvian pada perkataan Chava. Dadanya naik turun, bahkan buku – buku jarinya berwarna putih.Mendengar bentakan dari Alvian, Chava merapatkan bibirnya. Matanya mulai memanas, air mata mulai menggenang di mata indahnya. Hatinya seperti serpihan kaca yang pecah, berkeping – keping seakan tidak bisa dibentuk kembali.Alvian melihat tunangannya tersebut, tatapan mata yang menyala – nyala itu perlahan berubah menjadi sendu. Dia mengigit bibirnya kemudian menghirup udara dalam – dalam dan mengeluarkannya melalui mulutnya. “Ca maaf, aku gak maksud untuk-““Keluar. Keluar dari sini, sekarang!” Ucap Chava memotong pembicaraan Alvian. Alvian bisa melihat tatapan Chava yang dingin dan tajam pada dirinya, bahkan air matanya mulai mengalir ke pipinya.“Ca, maaf, aku-““AKU BILANG KELUAR, YA KELUAR AIM!” Teriak Chava pada Alvian. Pembuluh darah tampak tegang di lehernya.Bahkan Chava menarik tubuh Alvian serta menyeretnya untuk keluar dari kamarnya. Setelah berhasil membuat Alvian keluar kamar, Chava menutup dan mengunci pintu itu.Alvian hanya bisa membuang napasnya dengan kasar. Seharusnya Alvian bisa mengontrol emosinya dan tidak membentak Chava.Seharian ini Alvian sangat lelah, kepalanya bahkan berdenyut nyeri karena Alvian mengisi perutnya hanya saat pagi saja, mungkin ini alasan Alvian mudah tersulut emosi.Sedangkan Chava, tubuhnya merosot ke lantai, menyandarkan kepalanya yang mulai pusing tersebut ke pintu. Meski kepalanya sudah sakit, Chava tetap terisak, mengeluarkan segala sesak di hatinya. Chava merasa hatinya di tusuk – tusuk oleh pedang.Chava menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya, bermaksud agar Alvian tidak mendengar isakannya. Namun hal itu tentu tidak berhasil, karena Alvian bisa mendengar tangisan Chava yang pilu.Alvian duduk membelakangi pintu kamar Chava. Tangannya dia tempelkan di pintu tersebut. “Ca, Chava, Maaf … ” Bibirnya bergetar, namun tak henti memanggil Chava nya.“Pergi, Abang. Let me alone!” Usir Chava pada Alvian di balik pintu. Chava benar – benar ingin sendirian sekarang.“Enggak. Aku gak mau.”Chava tidak ingin bicara lagi, sekeras apapun Chava berusaha mengusir Alvian, Alvian tidak akan pergi di situasi seperti ini. Bahkan tubuhnya sudah mulai melemah karena menangis hampir seharian ini.Kepala Chava semakin sakit, apalagi pikiran-pikiran yang buruk pada pernikahannya mulai melayang – layang di kepala. Chava hanya ingin menikah dengan orang yang dia cintai, namun mengapa untuk menuju kesana sangat sulit?***Bersambung …Tangisan Chava sudah berhenti, namun baik Chava dan Alvian masih tidak ingin berganti posisi, mereka setia dengan posisi saling membelakangi pintu. Hening, hanya suara denting jam dinding saja yang terdengar kini. Masing – masing dari mereka sibuk dengan pemikiran – pemikiran yang kini seperti berkecamuk di benaknya. “Ca, kamu tahu kan bahwa aku adalah orang yang selalu merencanakan masa depan? Bahkan ingin menikahi kamu pun, itu sudah aku rencanakan dari dulu.” Suara Alvian memecahkan keheningan. Detik demi detik terus berjalan, namun telinga Alvian tidak mendengar tunangannya itu merespon perkataan Alvian. Alvian tersenyum palsu, dia menarik napas dalam – dalam, mengerti bahwa Chava masih marah kepada dirinya. “Pekerjaan ku tadi, ada hubungannya dengan rencana yang udah aku buat. Pak Hartono — calon investor perusahaan aku. Tiba – tiba aja dia ubah jadwal pertemuan aku dan dia, yang seharusnya dua hari lagi, menjadi sekarang.” Mulut Alvian tidak henti – hentinya mengeluarkan suar
“Saya terima nikahnya Chava Lyra Pradikta Binti Wirawan Pradikta, dengan mas kawin tersebut, di bayar tunai!” “Saksi Sah?” “SAH!” Jawaban dari para manusia – manusia yang dengan senang hati hadir di pernikahan Chava dan Alvian, menandakan bahwa kini Chava dan Alvian sudah resmi menjadi pasangan suami – istri. Alvian menghembuskan napas lega, keringat dingin sedari tadi seakan lenyap begitu saja. Alvian menengadahkan telapak tangannya, mengucapkan kalimat Syukur atas kelancaran ijabnya, lalu mengusapkan ke wajahnya yang tampan. Alvian bahkan menghapal kalimat ijab itu sudah dari satu minggu yang lalu, wajar saja jika Alvian berhasil mengucapkan dalam satu tarikan napas. “Alhamdulillah Aim, sekarang kamu udah jadi adik ipar aku, baik – baik kamu sama aku!” Teriak Garalen di tengah – tengah para tamu. Alvian hanya menanggapinya dengan senyuman. Alvian melirik pembawa acara, bahkan dia mengigit bibirnya, dia tidak sabar menunggu acara selanjutnya, yaitu dimana Alvian akan menyambut C
“Damn! Kenapa isi koper aku, bajunya kurang bahan semua?!” Mata Chava terbuka lebar, mulutnya terbuka sedikit. Chava sungguh terkejut melihat isi koper miliknya, tiba – tiba saja berubah. Padahal Chava masih sangat jelas memasukan pakaian – pakaian yang aman ke koper miliknya. Chava tidak ingin menyerah, dia terus menerus memeriksa baju – baju yang ada disana, namun hasilnya nihil, tetap sama seperti semula. Matanya kini tertarik pada selembar kertas yang kini terselip di salah satu baju. Dia mengambil kertas tersebut, membuka secara perlahan. “Kejutan! Selamat menikmati malam pertama! Semoga cepat – cepat kasih aku keponakan yang lucu – lucu. Aunty Binar dan Joya, selalu menanti.” Chava tersenyum miris melihat tulisan dari kertas tersebut. Ternyata semua ini ulah sahabat – sahabatnya. Chava menyugar rambutnya, merasa frustasi memikirkan baju apakah yang akan dia pakai. “Argh! Awas aja ya kak Binar dan Joya, aku akan balas kalian!” Ancam Chava pada kedua sahabatnya itu. Tok Tok
Mata Chava berbinar – binar, mulutnya bahkan terbuka sedikit, dia tidak henti – hentinya memandang takjub pemandangan yang dia lihat dari balkon Vila yang Alvian sewa .Air laut yang berwarna biru seakan menggoda Chava untuk berenang kesana, apalagi di tambah dengan langit yang cerah disertai burung – burung yang beterbangan kesana kemari.“Abang, makasih banyak udah bawa aku honeymoon disini!” jerit Chava pada Alvian yang baru saja selesai meletakan koper.“Enggak usah heboh, kamu kan sering ke Bali.”“Ih beda tahu! Kalau ke Bali nya sama kamu, jadi lebih indah.” Ujar Chava dengan mengedipkan sebelah matanya pada Alvian.“Dasar!”Tubuh Chava bergetar karena mentertawakan Alvian. Namun yang Chava ucapkan benar – benar kenyataan, bukan hanya godaan untuk Alvian. Tempat ini benar – benar lebih indah ketika datang kesini bersama Alvian.“Sini deh abang?” Chava menjulurkan tangannya pada Alvian, lalu di balas oleh Alvian dan kemudian mengenggam tangannya.Chava membawa Alvian keluar dari
“Hallo, kakak ipar? Ada apa menelpon?”Suara Mario di seberang sana membuat Chava memutar bola matanya. Bahkan suara Mario terdengar biasa saja, padahal Mario adalah penyebab kekacauan ini — karena telepon dari Mario beberapa hari lalu, membuat alvian menjadi sibuk bekerja ketika berbulan madu.“Enggak usah so manis, deh!” ketus Chava. Tujuan Chava menelpon Mario untuk protes.“Aku ada salah apa sama kamu? Perasaan aku enggak buat salah apa – apa.” Jawab Mario binggung.“Enggak punya gimana? Jelas – jelas kamu udah bikin kesalahan fatal!” Chava meneriaki Mario.Napas Chava bahkan tersenggal – senggal sekarang, dia benar – benar sudah muak.“Hah? Kesalahan apa?”“Kalau kamu enggak telepon Alvian beberapa hari lalu, Alvian pasti gak akan sibuk sama kerjaannya. Mario, ini abang kamu tuh sama aku lagi honeymoon. Bisa – bisanya kamu hubungin dia!”“Loh?”Chava dapat mendengar suara tawa Mario di speaker ponselnya. Mario bukannya meminta maaf malah mentertawakan Chava.Chava mengepalkan ta
“Ca, kamu serius mau pulang?”Chava menghentikan kegiatan melipat pakaiannya ketika mendengar suara Alvian di belakang.“Iya.” Jawab Chava tanpa menoleh pada Alvian.Chava sudah malas berada disini, maka dari itu setelah berdebat dengan Alvian beberapa jam lalu, Chava memutuskan untuk kembali ke rumah saja. Suaminya itu bahkan baru menyusul Chava setelah berjam – jam.Jika Alvian datang lebih awal, mungkin Chava akan memikirkan ulang untuk pulang sekarang. Namun Alvian datang disaat Chava sudah enggan untuk memikirkan ulang kepulangannya.Terdengar suara langkah kaki yang mendekat ke arah Chava. “Ca, i’m really sorry. Please, forgive me. Kita masih bisa ada disini, untuk bulan madu kita, enggak perlu pulang.”“Enggak mau. Aku lebih baik pulang daripada disini terus sama kamu yang sibuk kerja. Toh, apa bedanya di Bali dan di Jakarta? Sama aja.”Chava mulai melanjutkan kegiatannya lagi, pakaian - pakaian yang sudah selesai dia lipat, dia masukan ke koper.Chava mulai menata pakaian yang
“Gimana Honeymoon kalian? Seru?”Chava menoleh pada ibunya yang kini memandang Chava dan Alvian dengan tatapan yang melebar, seakan tidak sabar mendengar jawaban dari mereka.Mulut Chava melengkung membentuk senyuman, matanya bahkan berbinar – binar.“Seru banget, Ma!” ucap Chava dengan nada yang seakan memancarkan kebahagiaan. Sedangkan Alvian tersenyum simpul.Ibunya kini tersenyum semakin lebar, merasakan kebahagiaan yang di ucapkan oleh anak perempuannya. Tidak sia – sia ibunya mengundang anak dan menantunya yang baru saja pulang dari honeymoon untuk makan malam bersama.“Kalau emang seru, kenapa kalian pulang lebih awal? Bukannya kalian seharusnya satu minggu ada disana ya?” Tanya Gara, yang membuat Chava dan Alvian meneguk ludahnya.Pasangan suami-istri itu terlihat kebingungan, namun keduanya berusaha menyembunyikan hal itu. Padahal tangan Chava yang berada di bawah meja mengepal dan Alvian yang tubuhnya mulai keringatan.Alvian melirik Chava, dia mengerti bahwa istrinya tidak
Chava tidak akan menyangka bahwa dia dan Alvian benar – benar bukan termasuk pasangan pengantin baru yang sedang di mabuk cinta. Pernikahannya baru saja berjalan satu minggu, namun Chava merasa tidak ada kehangatan seperti pasangan pengantin baru yang lain.Bahkan rumah yang tidak terlalu besar ini, Chava benar – benar merasakan kesepian. Padahal dia tinggal dengan Alvian. Dingin, sesak, suasana di rumah ini.“Aku pulang.” Suara Alvian kini terdengar memasuki telinga Chava.Chava yang sedang menonton sebuah film di Televisi nya, melirik Alvian yang kini sudah berdiri di hadapannya. Chava pikir Alvian akan mengatakan sesuatu, namun nyatanya setelah pandangan mata mereka bertemu, Alvian membawa langkahnya menuju kamar.Chava menggigit bibir bawahnya, pandangannya kini memburam akibat air yang berada di pelupuk matanya. Chava menengadahkan kepalanya ke atas, berusaha mencegah air tersebut untuk keluar dari matanya.“Enggak. Aku enggak boleh nangis.” Ujarnya yang kini mengibas – ibaskan