Share

5. Pertengkaran

Alvian datang ke rumah Chava pukul enam sore, setelah berhasil melaksanakan pekerjaannya, dia segera bergegas pergi ke rumah Chava.

Apalagi pesan dari Gara yang menampilkan foto Chava yang sedang menangis tadi, membuat seharian ini Alvian tidak fokus, kepalanya di penuhi oleh Chava.

Disini lah Alvian sekarang, di sebelah Chava yang kini sedang tertidur di kamarnya. Alvian menatap nanar Chava, hati Alvian teriris melihat bekas air mata yang masih ada di pipi Chava, bahkan mata Chava yang indah terlihat sembab sekarang. Alvian benar – benar merasa bersalah.

Kata Gara, adik Gara itu menangis cukup lama bahkan sampai mogok untuk makan, katanya Chava baru bisa berhenti menangis karena ketiduran. Alvian mengelus lembut rambut hitam milik Chava, lalu mengelus pipi yang selalu Gara kagumi ketika tersenyum itu.

“Ca … ” lirih Alvian memanggil nama Chava, bertujuan untuk membangunkan Wanita nya. Alvian sudah tidak sabar untuk meluruskan kesalah pahaman ini.

Yang dipanggil mulai membuka matanya secara perlahan. Dapat Alvian lihat Chava yang sedang mengerjap – ngerjapkan matanya sambal melihat Alvian, mungkin Chava sedang memastikan bahwa yang ada di hadapannya kini adalah tunangannya. Menggemaskan, rasanya Alvian ingin mengecup Chava.

“Hai, Ca?” sapa Alvian masih dengan nada yang lembut.

Chava menghempaskan tangan Alvian yang sedang mengelus lembut pipi Chava. Chava bahkan kini bangkit dari posisi berbaringnya.

“Ngapain kamu disini huh?!” ujar Chava dengan tatapan mata yang menyala – nyala dan lubang hidungnya lebar, seperti ingin menerkam Alvian.

Alvian mengerti bahwa Wanitanya sedang marah hingga merespon Alvian seperti itu, Alvian sudah biasa. “Aku minta maaf, Ca.” Dia berkata dengan nada bicara yang terdengar tulus.

“Gak usah minta maaf! Sana pergi, kerjaan kamu lebih penting daripada aku kan? Sana kerja aja. Gak usah pikirin aku. Kalau bisa nikah aja kamu sama kerjaan kamu, gak usah nikah sama aku! Batalin aja.” Sarkas Chava pada Alvian.

Kemarahan Chava seakan menganti suasana di ruangan yang tidak terlalu besar ini, bahkan pendingin udara pun, tidak akan bisa mendinginkan dan Alvian pun tidak yakin bisa menyelesaikan ini dengan baik.

“Sorry. I’m really sorry, Chava. Aku nyesel, karena aku udah batalin janji aku demi pekerjaan.” Kata Alvian yang tidak berhenti meminta maaf pada Chava.

Matanya memandang penuh harap, suaranya dia buat serendah mungkin. Alvian akan terus meminta maaf sampai Chava memaafkannya, Alvian tidak akan menyerah.

“TELAT! Hari ini enggak akan pernah bisa di ulang lagi. Aku males sama kamu. Kamu tuh kayak mau gak mau nikahin aku, tahu gak? Setiap kita bahas pernikahan kita, kamu keliatan males, gak ada semangatnya.”

“Aku tahu Abang, hanya aku yang cinta kamu dan sangat senang akan pernikahan ini, tapi kamu enggak usah kayak begitu. Kalau emang kamu belum siap nikah sama aku atau kamu enggak mau nikah sama aku, lebih baik kita batalin aja.” Lanjut Chava lagi.

Dahi Alvian mengeryit, matanya mulai menyala-nyala. “Apaan sih Ca? Ngaco. Aku gak mau batalin pernikahan ini.” Ujarnya benar – benar tidak setuju dengan perkataan Chava terhadap dirinya yang tidak semangat akan pernikahan ini.

Alvian sangat semangat untuk meminang Chava sebagai istrinya. Alvian tidak terima di tuduh seperti ini. Di tambah lagi Chava membahas soal pembatalan pernikahan, Alvian benar – benar tidak terima.

“Ngaco apa? Emang itu nyatanya kan? Kamu emang gak serius buat nikah sama aku, maka kamu seenaknya aja!” Tuduh Chava pada Alvian lagi dan lagi.

“AKU SERIUS UNTUK NIKAH SAMA KAMU, CA!” Teriak Alvian pada perkataan Chava. Dadanya naik turun, bahkan buku – buku jarinya berwarna putih.

Mendengar bentakan dari Alvian, Chava merapatkan bibirnya. Matanya mulai memanas, air mata mulai menggenang di mata indahnya. Hatinya seperti serpihan kaca yang pecah, berkeping – keping seakan tidak bisa dibentuk kembali.

Alvian melihat tunangannya tersebut, tatapan mata yang menyala – nyala itu perlahan berubah menjadi sendu. Dia mengigit bibirnya kemudian menghirup udara dalam – dalam dan mengeluarkannya melalui mulutnya. “Ca maaf, aku gak maksud untuk-“

“Keluar. Keluar dari sini, sekarang!” Ucap Chava memotong pembicaraan Alvian. Alvian bisa melihat tatapan Chava yang dingin dan tajam pada dirinya, bahkan air matanya mulai mengalir ke pipinya.

“Ca, maaf, aku-“

“AKU BILANG KELUAR, YA KELUAR AIM!” Teriak Chava pada Alvian. Pembuluh darah tampak tegang di lehernya.

Bahkan Chava menarik tubuh Alvian serta menyeretnya untuk keluar dari kamarnya. Setelah berhasil membuat Alvian keluar kamar, Chava menutup dan mengunci pintu itu.

Alvian hanya bisa membuang napasnya dengan kasar. Seharusnya Alvian bisa mengontrol emosinya dan tidak membentak Chava.

Seharian ini Alvian sangat lelah, kepalanya bahkan berdenyut nyeri karena Alvian mengisi perutnya hanya saat pagi saja, mungkin ini alasan Alvian mudah tersulut emosi.

Sedangkan Chava, tubuhnya merosot ke lantai, menyandarkan kepalanya yang mulai pusing tersebut ke pintu. Meski kepalanya sudah sakit, Chava tetap terisak, mengeluarkan segala sesak di hatinya. Chava merasa hatinya di tusuk – tusuk oleh pedang.

Chava menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya, bermaksud agar Alvian tidak mendengar isakannya. Namun hal itu tentu tidak berhasil, karena Alvian bisa mendengar tangisan Chava yang pilu.

Alvian duduk membelakangi pintu kamar Chava. Tangannya dia tempelkan di pintu tersebut. “Ca, Chava, Maaf … ” Bibirnya bergetar, namun tak henti memanggil Chava nya.

“Pergi, Abang. Let me alone!” Usir Chava pada Alvian di balik pintu. Chava benar – benar ingin sendirian sekarang.

“Enggak. Aku gak mau.”

Chava tidak ingin bicara lagi, sekeras apapun Chava berusaha mengusir Alvian, Alvian tidak akan pergi di situasi seperti ini. Bahkan tubuhnya sudah mulai melemah karena menangis hampir seharian ini.

Kepala Chava semakin sakit, apalagi pikiran-pikiran yang buruk pada pernikahannya mulai melayang – layang di kepala. Chava hanya ingin menikah dengan orang yang dia cintai, namun mengapa untuk menuju kesana sangat sulit?

***

Bersambung …

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status