Tangisan Chava sudah berhenti, namun baik Chava dan Alvian masih tidak ingin berganti posisi, mereka setia dengan posisi saling membelakangi pintu. Hening, hanya suara denting jam dinding saja yang terdengar kini. Masing – masing dari mereka sibuk dengan pemikiran – pemikiran yang kini seperti berkecamuk di benaknya.
“Ca, kamu tahu kan bahwa aku adalah orang yang selalu merencanakan masa depan? Bahkan ingin menikahi kamu pun, itu sudah aku rencanakan dari dulu.” Suara Alvian memecahkan keheningan.Detik demi detik terus berjalan, namun telinga Alvian tidak mendengar tunangannya itu merespon perkataan Alvian. Alvian tersenyum palsu, dia menarik napas dalam – dalam, mengerti bahwa Chava masih marah kepada dirinya.“Pekerjaan ku tadi, ada hubungannya dengan rencana yang udah aku buat. Pak Hartono — calon investor perusahaan aku. Tiba – tiba aja dia ubah jadwal pertemuan aku dan dia, yang seharusnya dua hari lagi, menjadi sekarang.”Mulut Alvian tidak henti – hentinya mengeluarkan suara. Alvian tahu, meski di balik pintu sana, Chava tidak merespon perkataannya, tapi Chava pasti mendengarkan.Maka dari itu Alvian tidak akan berhenti bicara untuk meluruskan kesalah pahaman.“Pembicaraan aku dengan beliau benar – benar penting dan jika aku berhasil meyakinkan beliau untuk jadi investor, maka udah aku pastikan keuangan perusahaan akan stabil. Bukan aku serakah, Ca. Tapi aku beneran butuh keuangan perusahaan stabil, apalagi sebentar lagi aku udah enggak hidup sendirian. Aku akan menikah dengan kamu.”“Aku harus menafkahi kamu, menambah tabungan lagi untuk kita kedepannya dan aku juga udah mulai mempersiapkan biaya untuk Pendidikan anak kita nanti. Aku gak mau kelak nanti istri aku dan anak – anak kita kekurangan biaya untuk hidup, seperti aku dulu, Ca.”Ada rasa sesak kini menghingapi relung hati nya. Ingatan Alvian kini berputar pada puluhan tahun lalu, di saat dia mengalami kekacauan besar di hidupnya.“Dulu, ketika Mama dan Papa bercerai, aku hidup kesusahan, Ca. Untuk makan pun, kita susah, dan aku enggak mau hal itu terulang serta terjadi ke istri dan anak aku.”Alvian tersenyum getir, dia menghirup udara dalam – dalam, lalu mengeluarkan secara perlahan. Alvian berusaha mengurangi rasa sesaknya itu.“Aku berhasil, Ca. Pak Hartono mau jadi investor di perusahaan aku.” ucap Alvian, lagi dan lagi.Meski Alvian tidak fokus seharian ini, namun dewi fortuna ternyata berpihak padanya.“Aku tahu, Ca, hari ini gak akan pernah bisa terulang lagi. Aku minta maaf, aku benar – benar menyesal.”“Maaf karena udah mengingkari janji, maaf karena udah buat kamu bad mood, maaf udah enggak sengaja bentak kamu, maaf buat kamu sakit dan aku sangat minta maaf karena udah membuat kamu menangis.”Kesalahan – kesalahan Alvian hari ini dia akui sangat banyak. Jika Alvian bisa memutar waktu, dia pasti akan memilih untuk menepati janjinya. Alvian tidak akan pernah menyangka bahwa dia dan Chava akan bertengkar sehebat ini.Alvian menundukan kepalanya, lagi dan lagi dia menghirup udara dalam – dalam. Chava bahkan masih enggan untuk berbicara, padahal Alvian dengan jelas bisa mengdengar suara napas Chava.“Aku beneran sangat semangat untuk menikahi kamu. Aku enggak mau pernikahan ini batal. Ca, jangan ba-“CeklekBelum sempat Alvian menyelesaikan pembicaraanya, pintu yang sedari tadi Alvian punggungi terbuka lebar. Alvian membalikan badannya.Dia melihat Chava berada di ambang pintu dengan dress floral yang di kenakan sudah terlihat berantakan, matanya yang sembab kini terlihat memandang dia dengan sendu.“Ca-“Chava mendekati Alvian, kemudian mengulurkan tangannya. “Ayo kita makan, abang?” suara yang Alvian tunggu, kini terdengar.Alvian menatap nanar ke arah tangan Chava yang terulur padanya. “Ayo? Aku lapar.” Ajak Chava lagi kepada Alvian seperti sebuah perintah.Alvian meraih tangan Chava yang terulur padanya, kemudian dia bangun dari duduknya. Chava mengenggam tangan Alvian lalu melangkahkan kakinya menuju dapur.Alvian hanya mengekori Chava dari belakang, tatapan matanya tak henti – hentinya memandangi Chava dengan sendu. Alvian bahkan tidak sadar bahwa kini dirinya dan Chava sudah berada di dapur.“Aku masak dulu, kamu duduk aja disana.” Perintah perempuan itu pada Alvian.Alvian tidak menuruti perintah Chava, karena ketika Chava berbalik, Alvian terlebih dahulu memeluk Chava dari belakang. Alvian mencium rambut Chava yang wangi itu, lalu menempelkan dagunya pada bahu tunangannya itu. Seketika rasa lelah Alvian lenyap, hanya dengan memeluk tubuh Chava.“Chava, please, maafin aku … “ lirih Alvian.Berbeda dengan beberapa menit lalu, Chava terlihat menganggukan kepalanya, “Iya, Abang. Maafin aku juga.” ujarnya kemudian mengelus lengan Alvian.Seberapa banyak pun kesalahan Alvian, Chava pasti akan memaafkannya. Dengan memaafkan Alvian, seharusnya Alvian sudah tahu betapa besar cintanya Chava pada dirinya. Alvian selalu berhasil meluluhkan hati Chava.“Widih, ada yang baru baikan nih?” teriakan Gara mampu membuat calon pengantin ini membelalakan matanya, pasalnya saat Chava dan Alvian datang ke dapur tadi, tidak ada siapa – siapa disana.Alvian membalikan tubuhnya dengan otomatis Chava pun ikut berbalik karena Alvian masih belum melepaskan pelukannya. Disana mereka melihat Gara memasuki dapur dengan menenteng kantong plastik di kedua tangannya.“Nah gini dong pasangan yang mau kawin tuh, mesra – mesraan, bukan marah – marahan kayak tadi.” Sindir Gara pada pasangan tersebut.“Bacot, bang!” seru Chava yang kini menatap nyalang pada Gara.“Adek abang ini, galak banget ah. Kalian berdua pasti pada lapar kan? Tenang aja, Abang Gara udah belikan makanan untuk kalian. Ada Pizza, spaghetti, dan pasta. Tinggal makan aja.” Gara memamerkan kantung plastik yang ada di kedua tangannya dengan mengangkat tinggi – tinggi.Tadi saat mereka betengkar, Gara memilih keluar rumah untuk memberikan privasi kepada mereka berdua. Sebenarnya membeli makanan pun itu hanya untuk alasan Gara saja, agar alasan yang sebenarnya tidak diketahui.“Ayolah, makan? Mari kita menuju ke meja makan!” ajak Gara pada adik dan calon adik iparnya itu. Gara membalikan badannya.Belum sempat Gara berjalan, seakan teringat sesuatu, Gara mengurungkan langkahnya itu dan berucap, “kalau mau makan, jangan lupa di lepasin dulu pelukannya, ya?”Gara benar – benar membuat pipi pasangan itu memerah, meskipun Gara tidak melihat ekspresi keduanya, Gara tetap tertawa lepas dan kini berjalan meninggalkan mereka.Alvian dengan cepat melepaskan pelukannya pada tubuh Chava. Memeluk Chava sangat nyaman, hingga dia lupa untuk melepaskan. Chava membalikan tubuhnya, kini mereka saling bertatapan dengan canggung.Pipi Chava dan Alvian masih memerah gara – gara perkataan Garalen tadi, bahkan Chava kini menggigit bibir bawahnya. Namun tak lama sudut bibir mereka terangkat, kemudian mereka saling tertawa, mentertawakan kebodohan mereka.“Yuk kita makan? Sebelum Gara bawel lagi.” Giliran Alvian mengenggam tangan Chava.“Ayo!” ujar Chava yang membalas genggaman tangan Alvian.Mereka berjalan beriringan menuju meja makan yang dimana disana sudah ada Gara yang menunggunya. Sambil berjalan bersama, mereka saling bercanda satu sama lain. Gara yang melihatnya pun ikut tersenyum melihat kedua calon pengantin itu.***Bersambung ...“Saya terima nikahnya Chava Lyra Pradikta Binti Wirawan Pradikta, dengan mas kawin tersebut, di bayar tunai!” “Saksi Sah?” “SAH!” Jawaban dari para manusia – manusia yang dengan senang hati hadir di pernikahan Chava dan Alvian, menandakan bahwa kini Chava dan Alvian sudah resmi menjadi pasangan suami – istri. Alvian menghembuskan napas lega, keringat dingin sedari tadi seakan lenyap begitu saja. Alvian menengadahkan telapak tangannya, mengucapkan kalimat Syukur atas kelancaran ijabnya, lalu mengusapkan ke wajahnya yang tampan. Alvian bahkan menghapal kalimat ijab itu sudah dari satu minggu yang lalu, wajar saja jika Alvian berhasil mengucapkan dalam satu tarikan napas. “Alhamdulillah Aim, sekarang kamu udah jadi adik ipar aku, baik – baik kamu sama aku!” Teriak Garalen di tengah – tengah para tamu. Alvian hanya menanggapinya dengan senyuman. Alvian melirik pembawa acara, bahkan dia mengigit bibirnya, dia tidak sabar menunggu acara selanjutnya, yaitu dimana Alvian akan menyambut C
“Damn! Kenapa isi koper aku, bajunya kurang bahan semua?!” Mata Chava terbuka lebar, mulutnya terbuka sedikit. Chava sungguh terkejut melihat isi koper miliknya, tiba – tiba saja berubah. Padahal Chava masih sangat jelas memasukan pakaian – pakaian yang aman ke koper miliknya. Chava tidak ingin menyerah, dia terus menerus memeriksa baju – baju yang ada disana, namun hasilnya nihil, tetap sama seperti semula. Matanya kini tertarik pada selembar kertas yang kini terselip di salah satu baju. Dia mengambil kertas tersebut, membuka secara perlahan. “Kejutan! Selamat menikmati malam pertama! Semoga cepat – cepat kasih aku keponakan yang lucu – lucu. Aunty Binar dan Joya, selalu menanti.” Chava tersenyum miris melihat tulisan dari kertas tersebut. Ternyata semua ini ulah sahabat – sahabatnya. Chava menyugar rambutnya, merasa frustasi memikirkan baju apakah yang akan dia pakai. “Argh! Awas aja ya kak Binar dan Joya, aku akan balas kalian!” Ancam Chava pada kedua sahabatnya itu. Tok Tok
Mata Chava berbinar – binar, mulutnya bahkan terbuka sedikit, dia tidak henti – hentinya memandang takjub pemandangan yang dia lihat dari balkon Vila yang Alvian sewa .Air laut yang berwarna biru seakan menggoda Chava untuk berenang kesana, apalagi di tambah dengan langit yang cerah disertai burung – burung yang beterbangan kesana kemari.“Abang, makasih banyak udah bawa aku honeymoon disini!” jerit Chava pada Alvian yang baru saja selesai meletakan koper.“Enggak usah heboh, kamu kan sering ke Bali.”“Ih beda tahu! Kalau ke Bali nya sama kamu, jadi lebih indah.” Ujar Chava dengan mengedipkan sebelah matanya pada Alvian.“Dasar!”Tubuh Chava bergetar karena mentertawakan Alvian. Namun yang Chava ucapkan benar – benar kenyataan, bukan hanya godaan untuk Alvian. Tempat ini benar – benar lebih indah ketika datang kesini bersama Alvian.“Sini deh abang?” Chava menjulurkan tangannya pada Alvian, lalu di balas oleh Alvian dan kemudian mengenggam tangannya.Chava membawa Alvian keluar dari
“Hallo, kakak ipar? Ada apa menelpon?”Suara Mario di seberang sana membuat Chava memutar bola matanya. Bahkan suara Mario terdengar biasa saja, padahal Mario adalah penyebab kekacauan ini — karena telepon dari Mario beberapa hari lalu, membuat alvian menjadi sibuk bekerja ketika berbulan madu.“Enggak usah so manis, deh!” ketus Chava. Tujuan Chava menelpon Mario untuk protes.“Aku ada salah apa sama kamu? Perasaan aku enggak buat salah apa – apa.” Jawab Mario binggung.“Enggak punya gimana? Jelas – jelas kamu udah bikin kesalahan fatal!” Chava meneriaki Mario.Napas Chava bahkan tersenggal – senggal sekarang, dia benar – benar sudah muak.“Hah? Kesalahan apa?”“Kalau kamu enggak telepon Alvian beberapa hari lalu, Alvian pasti gak akan sibuk sama kerjaannya. Mario, ini abang kamu tuh sama aku lagi honeymoon. Bisa – bisanya kamu hubungin dia!”“Loh?”Chava dapat mendengar suara tawa Mario di speaker ponselnya. Mario bukannya meminta maaf malah mentertawakan Chava.Chava mengepalkan ta
“Ca, kamu serius mau pulang?”Chava menghentikan kegiatan melipat pakaiannya ketika mendengar suara Alvian di belakang.“Iya.” Jawab Chava tanpa menoleh pada Alvian.Chava sudah malas berada disini, maka dari itu setelah berdebat dengan Alvian beberapa jam lalu, Chava memutuskan untuk kembali ke rumah saja. Suaminya itu bahkan baru menyusul Chava setelah berjam – jam.Jika Alvian datang lebih awal, mungkin Chava akan memikirkan ulang untuk pulang sekarang. Namun Alvian datang disaat Chava sudah enggan untuk memikirkan ulang kepulangannya.Terdengar suara langkah kaki yang mendekat ke arah Chava. “Ca, i’m really sorry. Please, forgive me. Kita masih bisa ada disini, untuk bulan madu kita, enggak perlu pulang.”“Enggak mau. Aku lebih baik pulang daripada disini terus sama kamu yang sibuk kerja. Toh, apa bedanya di Bali dan di Jakarta? Sama aja.”Chava mulai melanjutkan kegiatannya lagi, pakaian - pakaian yang sudah selesai dia lipat, dia masukan ke koper.Chava mulai menata pakaian yang
“Gimana Honeymoon kalian? Seru?”Chava menoleh pada ibunya yang kini memandang Chava dan Alvian dengan tatapan yang melebar, seakan tidak sabar mendengar jawaban dari mereka.Mulut Chava melengkung membentuk senyuman, matanya bahkan berbinar – binar.“Seru banget, Ma!” ucap Chava dengan nada yang seakan memancarkan kebahagiaan. Sedangkan Alvian tersenyum simpul.Ibunya kini tersenyum semakin lebar, merasakan kebahagiaan yang di ucapkan oleh anak perempuannya. Tidak sia – sia ibunya mengundang anak dan menantunya yang baru saja pulang dari honeymoon untuk makan malam bersama.“Kalau emang seru, kenapa kalian pulang lebih awal? Bukannya kalian seharusnya satu minggu ada disana ya?” Tanya Gara, yang membuat Chava dan Alvian meneguk ludahnya.Pasangan suami-istri itu terlihat kebingungan, namun keduanya berusaha menyembunyikan hal itu. Padahal tangan Chava yang berada di bawah meja mengepal dan Alvian yang tubuhnya mulai keringatan.Alvian melirik Chava, dia mengerti bahwa istrinya tidak
Chava tidak akan menyangka bahwa dia dan Alvian benar – benar bukan termasuk pasangan pengantin baru yang sedang di mabuk cinta. Pernikahannya baru saja berjalan satu minggu, namun Chava merasa tidak ada kehangatan seperti pasangan pengantin baru yang lain.Bahkan rumah yang tidak terlalu besar ini, Chava benar – benar merasakan kesepian. Padahal dia tinggal dengan Alvian. Dingin, sesak, suasana di rumah ini.“Aku pulang.” Suara Alvian kini terdengar memasuki telinga Chava.Chava yang sedang menonton sebuah film di Televisi nya, melirik Alvian yang kini sudah berdiri di hadapannya. Chava pikir Alvian akan mengatakan sesuatu, namun nyatanya setelah pandangan mata mereka bertemu, Alvian membawa langkahnya menuju kamar.Chava menggigit bibir bawahnya, pandangannya kini memburam akibat air yang berada di pelupuk matanya. Chava menengadahkan kepalanya ke atas, berusaha mencegah air tersebut untuk keluar dari matanya.“Enggak. Aku enggak boleh nangis.” Ujarnya yang kini mengibas – ibaskan
Lewat tengah malam, Alvian baru saja sampai ke rumah miliknya dan Chava. Pekerjaan Alvian semakin menumpuk, rasanya Alvian bisa – bisa sesak karena pekerjaan ini.Bahkan Alvian belum baikan dengan Chava. Dia memilih untuk memberikan Chava jarak, agar emosi Chava mereda dulu.Omong – omong mengingat Chava, Alvian baru sadar bahwa rumahnya gelap gulita seperti tidak berpenghuni. Alvian memasuki kamarnya, dahinya mengeryit saat melihat tidak ada siapa – siapa disana.“Ca?” ucapnya memanggil sang istri, dengan membuka pintu kamar mandi.Tetap saja Alvian tidak menemukan Chava. Alvian meraih ponselnya yang berada di saku celananya, bermaksud untuk menghubungi Chava.Namun sebelum Alvian menghubungi Chava, ponselnya terlebih dahulu menunjukan ada panggilan masuk dari Eros — suami Joya.“Hallo?” sapa Eros pada Alvian yang kini mengangkat teleponnya.“Ada apa?” ucap Alvian tanpa basa – basi, dia juga merasa bingung karena tiba – tiba saja Eros menghubunginya.“Bang Ian, ini Chava mabuk berat