Share

6. Baikan

Tangisan Chava sudah berhenti, namun baik Chava dan Alvian masih tidak ingin berganti posisi, mereka setia dengan posisi saling membelakangi pintu. Hening, hanya suara denting jam dinding saja yang terdengar kini. Masing – masing dari mereka sibuk dengan pemikiran – pemikiran yang kini seperti berkecamuk di benaknya.

“Ca, kamu tahu kan bahwa aku adalah orang yang selalu merencanakan masa depan? Bahkan ingin menikahi kamu pun, itu sudah aku rencanakan dari dulu.” Suara Alvian memecahkan keheningan.

Detik demi detik terus berjalan, namun telinga Alvian tidak mendengar tunangannya itu merespon perkataan Alvian. Alvian tersenyum palsu, dia menarik napas dalam – dalam, mengerti bahwa Chava masih marah kepada dirinya.

“Pekerjaan ku tadi, ada hubungannya dengan rencana yang udah aku buat. Pak Hartono — calon investor perusahaan aku. Tiba – tiba aja dia ubah jadwal pertemuan aku dan dia, yang seharusnya dua hari lagi, menjadi sekarang.”

Mulut Alvian tidak henti – hentinya mengeluarkan suara. Alvian tahu, meski di balik pintu sana, Chava tidak merespon perkataannya, tapi Chava pasti mendengarkan.

Maka dari itu Alvian tidak akan berhenti bicara untuk meluruskan kesalah pahaman.

“Pembicaraan aku dengan beliau benar – benar penting dan jika aku berhasil meyakinkan beliau untuk jadi investor, maka udah aku pastikan keuangan perusahaan akan stabil. Bukan aku serakah, Ca. Tapi aku beneran butuh keuangan perusahaan stabil, apalagi sebentar lagi aku udah enggak hidup sendirian. Aku akan menikah dengan kamu.”

“Aku harus menafkahi kamu, menambah tabungan lagi untuk kita kedepannya dan aku juga udah mulai mempersiapkan biaya untuk Pendidikan anak kita nanti. Aku gak mau kelak nanti istri aku dan anak – anak kita kekurangan biaya untuk hidup, seperti aku dulu, Ca.”

Ada rasa sesak kini menghingapi relung hati nya. Ingatan Alvian kini berputar pada puluhan tahun lalu, di saat dia mengalami kekacauan besar di hidupnya.

“Dulu, ketika Mama dan Papa bercerai, aku hidup kesusahan, Ca. Untuk makan pun, kita susah, dan aku enggak mau hal itu terulang serta terjadi ke istri dan anak aku.”

Alvian tersenyum getir, dia menghirup udara dalam – dalam, lalu mengeluarkan secara perlahan. Alvian berusaha mengurangi rasa sesaknya itu.

“Aku berhasil, Ca. Pak Hartono mau jadi investor di perusahaan aku.” ucap Alvian, lagi dan lagi.

Meski Alvian tidak fokus seharian ini, namun dewi fortuna ternyata berpihak padanya.

“Aku tahu, Ca, hari ini gak akan pernah bisa terulang lagi. Aku minta maaf, aku benar – benar menyesal.”

“Maaf karena udah mengingkari janji, maaf karena udah buat kamu bad mood, maaf udah enggak sengaja bentak kamu, maaf buat kamu sakit dan aku sangat minta maaf karena udah membuat kamu menangis.”

Kesalahan – kesalahan Alvian hari ini dia akui sangat banyak. Jika Alvian bisa memutar waktu, dia pasti akan memilih untuk menepati janjinya. Alvian tidak akan pernah menyangka bahwa dia dan Chava akan bertengkar sehebat ini.

Alvian menundukan kepalanya, lagi dan lagi dia menghirup udara dalam – dalam. Chava bahkan masih enggan untuk berbicara, padahal Alvian dengan jelas bisa mengdengar suara napas Chava.

“Aku beneran sangat semangat untuk menikahi kamu. Aku enggak mau pernikahan ini batal. Ca, jangan ba-“

Ceklek

Belum sempat Alvian menyelesaikan pembicaraanya, pintu yang sedari tadi Alvian punggungi terbuka lebar. Alvian membalikan badannya.

Dia melihat Chava berada di ambang pintu dengan dress floral yang di kenakan sudah terlihat berantakan, matanya yang sembab kini terlihat memandang dia dengan sendu.

“Ca-“

Chava mendekati Alvian, kemudian mengulurkan tangannya. “Ayo kita makan, abang?” suara yang Alvian tunggu, kini terdengar.

Alvian menatap nanar ke arah tangan Chava yang terulur padanya. “Ayo? Aku lapar.” Ajak Chava lagi kepada Alvian seperti sebuah perintah.

Alvian meraih tangan Chava yang terulur padanya, kemudian dia bangun dari duduknya. Chava mengenggam tangan Alvian lalu melangkahkan kakinya menuju dapur.

Alvian hanya mengekori Chava dari belakang, tatapan matanya tak henti – hentinya memandangi Chava dengan sendu. Alvian bahkan tidak sadar bahwa kini dirinya dan Chava sudah berada di dapur.

“Aku masak dulu, kamu duduk aja disana.” Perintah perempuan itu pada Alvian.

Alvian tidak menuruti perintah Chava, karena ketika Chava berbalik, Alvian terlebih dahulu memeluk Chava dari belakang. Alvian mencium rambut Chava yang wangi itu, lalu menempelkan dagunya pada bahu tunangannya itu. Seketika rasa lelah Alvian lenyap, hanya dengan memeluk tubuh Chava.

“Chava, please, maafin aku … “ lirih Alvian.

Berbeda dengan beberapa menit lalu, Chava terlihat menganggukan kepalanya, “Iya, Abang. Maafin aku juga.” ujarnya kemudian mengelus lengan Alvian.

Seberapa banyak pun kesalahan Alvian, Chava pasti akan memaafkannya. Dengan memaafkan Alvian, seharusnya Alvian sudah tahu betapa besar cintanya Chava pada dirinya. Alvian selalu berhasil meluluhkan hati Chava.

“Widih, ada yang baru baikan nih?” teriakan Gara mampu membuat calon pengantin ini membelalakan matanya, pasalnya saat Chava dan Alvian datang ke dapur tadi, tidak ada siapa – siapa disana.

Alvian membalikan tubuhnya dengan otomatis Chava pun ikut berbalik karena Alvian masih belum melepaskan pelukannya. Disana mereka melihat Gara memasuki dapur dengan menenteng kantong plastik di kedua tangannya.

“Nah gini dong pasangan yang mau kawin tuh, mesra – mesraan, bukan marah – marahan kayak tadi.” Sindir Gara pada pasangan tersebut.

“Bacot, bang!” seru Chava yang kini menatap nyalang pada Gara.

“Adek abang ini, galak banget ah. Kalian berdua pasti pada lapar kan? Tenang aja, Abang Gara udah belikan makanan untuk kalian. Ada Pizza, spaghetti, dan pasta. Tinggal makan aja.” Gara memamerkan kantung plastik yang ada di kedua tangannya dengan mengangkat tinggi – tinggi.

Tadi saat mereka betengkar, Gara memilih keluar rumah untuk memberikan privasi kepada mereka berdua. Sebenarnya membeli makanan pun itu hanya untuk alasan Gara saja, agar alasan yang sebenarnya tidak diketahui.

“Ayolah, makan? Mari kita menuju ke meja makan!” ajak Gara pada adik dan calon adik iparnya itu. Gara membalikan badannya.

Belum sempat Gara berjalan, seakan teringat sesuatu, Gara mengurungkan langkahnya itu dan berucap, “kalau mau makan, jangan lupa di lepasin dulu pelukannya, ya?”

Gara benar – benar membuat pipi pasangan itu memerah, meskipun Gara tidak melihat ekspresi keduanya, Gara tetap tertawa lepas dan kini berjalan meninggalkan mereka.

Alvian dengan cepat melepaskan pelukannya pada tubuh Chava. Memeluk Chava sangat nyaman, hingga dia lupa untuk melepaskan. Chava membalikan tubuhnya, kini mereka saling bertatapan dengan canggung.

Pipi Chava dan Alvian masih memerah gara – gara perkataan Garalen tadi, bahkan Chava kini menggigit bibir bawahnya. Namun tak lama sudut bibir mereka terangkat, kemudian mereka saling tertawa, mentertawakan kebodohan mereka.

“Yuk kita makan? Sebelum Gara bawel lagi.” Giliran Alvian mengenggam tangan Chava.

“Ayo!” ujar Chava yang membalas genggaman tangan Alvian.

Mereka berjalan beriringan menuju meja makan yang dimana disana sudah ada Gara yang menunggunya. Sambil berjalan bersama, mereka saling bercanda satu sama lain. Gara yang melihatnya pun ikut tersenyum melihat kedua calon pengantin itu.

***

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status