“Saya terima nikahnya Chava Lyra Pradikta Binti Wirawan Pradikta, dengan mas kawin tersebut, di bayar tunai!”
“Saksi Sah?”
“SAH!”
Jawaban dari para manusia – manusia yang dengan senang hati hadir di pernikahan Chava dan Alvian, menandakan bahwa kini Chava dan Alvian sudah resmi menjadi pasangan suami – istri. Alvian menghembuskan napas lega, keringat dingin sedari tadi seakan lenyap begitu saja.
Alvian menengadahkan telapak tangannya, mengucapkan kalimat Syukur atas kelancaran ijabnya, lalu mengusapkan ke wajahnya yang tampan. Alvian bahkan menghapal kalimat ijab itu sudah dari satu minggu yang lalu, wajar saja jika Alvian berhasil mengucapkan dalam satu tarikan napas.
“Alhamdulillah Aim, sekarang kamu udah jadi adik ipar aku, baik – baik kamu sama aku!” Teriak Garalen di tengah – tengah para tamu.
Alvian hanya menanggapinya dengan senyuman. Alvian melirik pembawa acara, bahkan dia mengigit bibirnya, dia tidak sabar menunggu acara selanjutnya, yaitu dimana Alvian akan menyambut Chava yang datang padanya. Jangan salahkan Alvian jika Alvian ingin buru – buru melihat Chava, karena Alvian tidak bertemu Chava selama satu minggu ini dengan alasan di pingit.
“Baik, Bapak dan Ibu karena acara ijab kabul sudah terlaksanakan dengan lancar dan baik. Lalu melihat situasi pengantin Pria yang sudah tidak sabar ingin bertemu dengan pengantin Wanita, maka kita akan lanjutkan ke acara berikutnya yaitu menyambut datangnya sang mempelai pengantin Wanita … “
“Untuk Mas Alvian, silahkan berdiri di venue, untuk menyambut sang istri. Lalu untuk para hadirin silahkan berdiri.”
Alvian berdiri dari duduknya dan kini melangkahkan kakinya menuju tempat yang di perintahkan oleh pembawa acara. Sedangkan para tamu pun ikut berdiri seolah menunggu kehadiran Chava.
“Mari kita sambut sang pengantin Wanita, istri dari Alvian Mahesa, Chava Lyra Pradikta … “
Alvian menarik udara ke dalam rongga dadanya dan mengeluarkan secara perlahan, rasa gugup yang tadi sudah hilang kini datang kembali, apalagi ketika melihat pintu yang sedari tadi tertutup mulai terbuka secara perlahan.
Alunan musik yang indah mulai terdengar, Alvian seperti melihat cahaya ketika pintu terbuka, tak lama keluar Chava dari pintu tersebut. Napas Alvian tercekat, jantungnya berdetak sangat kencang sekali, tatapan matanya tak henti – henti melihat istrinya di depan sana.
“Mas Alvian, ini adalah Mbak Chava, istri Mas Alvian, bidadari surganya Mas Alvian. Teman hidupnya Mas Alvian. Yang akan menemani Mas Alvian, seumur hidup.”
Entah kenapa perkataan – perkataan dari pembawa acara itu membuat mata Alvian mengembun, bibirnya bahkan bergetar. Chava yang kini sudah resmi menjadi istrinya, terlihat sangat cantik dengan kebaya berwarna putih dengan siger sunda di kepalanya. Waktu seperti berjalan lambat, bahkan air mata Alvian jatuh perlahan ke pipinya.
“Mbak Chava, langkah demi langkah yang Mbak Chava jalani sekarang akan membawa Mbak Chava ke kehidupan yang baru bersama Mas Alvian, suami Mbak. Pria yang selama ini Mbak Chava cintai menunggu disini.”
Tak kalah dengan Alvian, dari mulai pintu terbuka, mata Chava sudah basah oleh air mata kebahagiaan. Dia berjalan bukan pada Alvian yang selama ini menganggap dia sebagai adiknya, tapi kini Chava berjalan pada kehidupannya yang baru, pada suami nya yang selama ini dia cintai dengan sepenuh hati.
Bahu Chava bergetar, kakinya seakan lemas, Pria yang selama ini selalu ada menemani setiap suka dan dukanya kini sudah menjadi milik Chava. Kenangan – kenangan bersama Alvian seakan berputar sekarang, seiring dengan musik yang mengalun indah.
“Silahkan Mbak Chava, mencium punggung tangan suaminya.”
Chava bahkan tidak sadar bahwa kini dia sudah berada di hadapan Alvian. Chava dapat melihat air mata yang mengalir pada pipi Alvian. Chava mengambil satu tangan Alvian, lalu mencium punggung tangan Alvian, tentu dengan air mata yang tak dapat di hentikan.
Sedangkan Alvian mengelus rambut Chava. Bibirnya seakan tertutup rapat, dia tidak bisa mengutarakan bagaimana perasaan bahagianya sekarang. Tanpa menunggu perintah dari pembaca acara, setelah Chava mencium punggung tangannya, dia menangkup pipi Chava dengan kedua tangannya.
Kemudian mendekatkan bibirnya pada kening Chava, mencium dengan penuh rasa sayang Chava. Sudut bibir Chava terangkat, tersenyum dengan pipi yang kemerahan.
“Woy Aim, jangan curi start duluan! Belum di suruh sama MC nya!” lagi – lagi Garalen berteriak, seakan menghidupkan suasana.
Selesai mencium kening Chava, Alvian menatap Chava penuh haru, tak lupa menghapus jejak air mata nya yang sedari tadi mengalir.
“Hai, istri ku yang cantik, selamat datang di kehidupan kita yang baru.” Ujar Alvian, menyambut kehadiran Chava.
Chava tersenyum hingga menampilkan deretan giginya. “Hai juga, suami aku yang ganteng. Terima kasih sudah menyambut istri mu yang cantik ini. Aku enggak sabar untuk menjalani kehidupan bersama kamu selamanya.”
“Tentu, aku juga.”
Lagi – lagi tanpa menunggu intruksi dari sang pembawa acara, Alvian menarik pelan pinggang Chava untuk lebih mendekat padanya. Di tatapnya mata Chava yang indah itu, lalu mengelus pipi Chava yang lebih merona karena tersipu malu. Kemudian Alvian mendekatkan bibirnya pada bibir Chava, lalu menciumnya.
Mata Chava terbuka lebar, terkejut dengan perilaku Alvian. Benar saja perkataan Alvian yang akan melanjutkan ciumannya setelah Sah menjadi suami – istri, dia lakukan sekarang, di hadapan banyak orang.
“Aim, kamu tuh benar – benar ya! Nanti malam aja ciumannya, duh. Tolong hargai yang jomblo!” Suara Garalen kembali terdengar, dengan nada yang tinggi.
“Mantap Bang Aim! Cepat – cepat kasih Dylan, keponakan sebelas!” Teriak Dylan — adik Garalen dan Chava yang kini semangat melihat adegan tersebut.
Dunia milik berdua, yang lain mengontrak. Kata – kata itu sepertinya sangat cocok untuk mengambarkan Chava dan Alvian. Meski Garalen dan Dylan berteriak, mereka seakan tuli, tidak mendengarkan. Bahkan yang mereka rasakan sekarang, disini hanya ada mereka berdua.
Hari ini, akan selalu mereka kenang sebagai hari terindah di sepanjang hidup mereka. Awal kehidupan yang baru, di mulai dari sekarang. Mereka berharap, mereka masih bisa berpegangan tangan dengan kuat, menghadapi ujian pernikahan yang akan datang.
***
Bersambung ...
Hallo? Terima kasih sudah membaca cerita ini. Saya harap kalian suka dengan cerita saya!
Alvian menghela napas panjang sambil berbaring di sofa di ruang TV, menatap langit-langit dengan pikiran yang melayang-layang. Apa sebenarnya kesalahan yang telah ia lakukan pada Chava? Seharian ini, Chava menghindarinya, tak mau bicara sedikit pun. Ia bahkan melarang Alvian masuk ke kamar, membuatnya terpaksa tidur di ruang TV.Alvian sudah mencoba berbagai cara untuk meluluhkan hati Chava. Berkali-kali ia meminta maaf, meski ia sendiri tak merasa telah melakukan kesalahan yang cukup serius untuk membuat Chava marah. Namun, tetap saja Chava tak memberi respons.“Ting!”Ponselnya tiba-tiba berbunyi, memecah keheningan. Ia meraih ponsel yang terletak di sampingnya dan membaca pesan yang baru saja masuk. Mata Alvian terbelalak. Pesan dari Chava itu langsung membuatnya bergegas.[ Cepat masuk ke kamar, kalau lima menit kamu enggak masuk, aku akan kunci lagi! ]Tanpa pikir panjang, Alvian segera melompat dari sofa dan berlari menuju kamar. Benar saja, pintu kamar yang tadinya terkunci kin
“Geli banget deh aku!” jerit Joya, begitu masuk ke dalam ruangan. Suaranya melengking, membuat Chava dan Binar langsung mengerutkan dahi. Joya baru tiba, tapi sudah menghebohkan suasana. Wajahnya menahan geli sekaligus ngeri, bahkan bahunya ikut bergidik.“Kenapa?” Binar bertanya, penasaran.Joya duduk di depan mereka, menarik napas sebelum mengeluarkan ponselnya. “Nih, lihat,” katanya sambil menunjuk layar ponselnya yang menampilkan foto Gavin, mantan pacar Chava, bersama seorang pria.Sekilas, foto itu terlihat biasa saja, hanya dua orang yang duduk bersama. Namun, ketika Chava dan Binar melihat caption foto itu, mereka langsung mengerti mengapa Joya sampai merinding. Tertulis dengan jelas: "My beloved, Gavin."Joya menarik kembali ponselnya, lalu menggeleng pelan sambil menghela napas. “Si Gavin, setelah putus dari kamu, jadi aneh banget kelakuannya. Masa pacaran sama sejenisnya, sih?”Faktanya, Chava memang sudah tahu soal ini sejak lama, bahkan kabar ini sempat membantunya untuk
Gavin melangkah keluar dari ruangan Alvian, berusaha tetap tenang meski hatinya bergolak. Situasi semakin tidak nyaman, dan yang lebih menghantam perasaannya adalah pengakuan mantan kekasihnya, Chava, bahwa ia telah menikah dengan Alvian. Meskipun Gavin sudah tahu hal ini lewat unggahan media sosial teman Chava, mendengarnya langsung dari mulut Chava menimbulkan rasa sakit yang mendalam.Sejenak, Gavin menyesali keputusannya di masa lalu. Seandainya saja ia bisa memperlakukan Chava dengan lebih baik, mungkin cincin yang melingkar di jari manis Chava adalah cincin dari dirinya, bukan dari Alvian. Ia tak menyangka akan bertemu kembali dengan Chava dalam kondisi seperti ini.Saat Gavin mengetahui kerja sama yang datang dari perusahaan milik Alvian, Gavin langsung menyetujuinya. Gavin bahkan berani menunjukan wajahnya pada Alvian, padahal orang – orang yang pernah bekerja sama dengan dia tidak pernah ada yang tahu wajah Gavin. Gavin juga sengaja menyamarkan namanya.Hal tersebut dia lakuk
Hari ini hari pertama Alvian bekerja sama dengan Gavin, mereka akan bertemu. Pertemuan ini adalah awal dari rencana pembangunan kantor baru Alvian, namun rasa gelisah menguasai hatinya. Alvian merasa enggan, bahkan sedikit malas, untuk bertatap muka apalagi berbicara dengan Gavin.Namun, demi Chava, Alvian tahu ia harus melakukannya. Ia bertekad menyingkirkan perasaannya demi keprofesionalan dia.Saat pintu ruangannya terbuka, Alvian melihat Mario masuk lebih dulu, diikuti oleh Gavin di belakangnya. "Pak Alvian, ini Pak Gavin," kata Mario, mencoba mencairkan suasana dengan sapaan formal yang terdengar datar.Alvian bangkit dari kursinya, mengulurkan tangan dengan sikap profesional meskipun hatinya terasa berat. Ia sadar, bagaimanapun, Gavin adalah tamunya, dan sebagai tuan rumah, ia harus menunjukkan sikap yang baik. Dalam hatinya, ada perasaan campur aduk—rasa tidak nyaman yang tak bisa ia abaikan.Gavin menyambut uluran tangan Alvian dengan senyuman lebar, membuat suasana seakan-ak
Sepulang dari kantor, Alvian sama sekali tidak membuka mulut, suaranya pun tidak Chava dengar. Wajah Alvian memang terlihat sudah biasa saja, tidak menunjukan ekspresi marah seperti saat di Kantor tadi. Maka dari itu Chava simpulkan, suaminya masih kesal padanya.Chava melingkarkan kedua tangannya dari arah belakang pada dada Alvian yang sedang menyesap rokok elektronik di Rooftop rumahnya. Dia juga menempelkan kepalanya pada punggung Alvian. Alvian yang tiba – tiba saja dipeluk, membuat Alvian terkejut, namun tidak membuat dia berbalik untuk melihat Chava.“Masuk, Ca. Aku lagi ngerokok.” Akhirnya Alvian mengeluarkan suara hanya untuk memperingatkan Chava.Alvian jika ingin merokok, dia akan merokok di Rooftop ataupun ditempat lain yang tidak ada Chava. Karena Alvian tidak ingin membuat Chava terbatuk – batuk menghirup asap rokok.“Enggak mau,” tolak Chava, dia memang sengaja menyusul Alvian ke Rooftop untuk membujuk Alvian. Dia bahkan menahan agar dia tidak batuk saat asap rokok itu
Alvian sudah menjalankan rutinitas harian seperti biasanya, setelah mengetahui kondisi Chava mulai membaik. Bahkan istrinya itu sudah pulang ke rumah dua hari lalu. Hanya saja Dokter memberikan pesan pada Alvian, agar tetap mengawasi Chava.Tadinya Alvian menolak untuk pergi bekerja, dia berencana akan mengambil cuti kembali karena kondisi Chava. Namun Chava menolak, dia menyuruh Alvian untuk pergi bekerja, karena Chava tahu Alvian sudah banyak sekali tidak hadir. Meski perusahaan itu milik Alvian, tapi Chava ingin Alvian pula menepati peraturan yang dia buat.“Bos, apa kamu tahu siapa arsitek yang akan mendesain pembangunan kantor baru, kamu?” Tanya Mario yang kini sedang duduk diseberang Alvian.“Tidak, saya hanya tahu bahwa nama dia Alend.” Ucap Alvian yang tidak mengalihkan perhatian matanya saat Mario bertanya.Memang Alvian berencana untuk membangun kantor baru yang lebih luas dari kantornya sekarang. Alvian akan lebih banyak merekrut karyawan, apalagi penjualan dari usaha pakai
Perlahan demi perlahan kelopak mata Chava mulai terbuka, hal pertama yang dia lihat adalah langit – langit ruangan yang sama sekali dia tidak kenali. Chava mengeryitkan dahi, mencoba mengingat hal yang terjadi.Terakhir kali dirinya sedang berbelanja bersama Alvian, kemudian dia menyuruh Alvian untuk ke mobil terlebih dahulu karena dia akan membawa kue Red velvet yang sudah dia pesan, ketika dia selesai membawa kue dia tidak sengaja menabrak seseorang. Seseorang itu adalah Gavin, mantan kekasihnya.Mendadak rasa takut itu mulai muncul kembali, tubuh Chava kembali menegang akan tetapi kini dia merasakan punggung tangan sebelah kirinya hangat.“Tenang, Sayang.” Suara Alvian kini terdengar merdu di telinga Chava, bagai melodi indah yang menenangkan.Chava menolehkan kepalanya, kini dia dapat melihat Alvian yang sedang duduk disampingnya dan mengembangkan senyuman. Pakaian Suaminya itu bahkan masih sama seperti terakhir kali dia pakai. Meski Alvian tersenyum, Chava bisa melihat tatapan p
“Bang ian, Teh Ca kenapa? Kok bisa sampai masuk Rumah sakit?!”Alvian terperanjat kaget, tidak ada angin tidak ada hujan, tiba – tiba saja dikejutkan oleh suara adik iparnya yang baru saja memasuki ruangan Chava dengan tergesa – gesa. Bahkan adik iparnya itu, tidak berbasa – basi mengetuk pintu terlebih dahulu.“Ssst, jangan berisik!” Peringat Alvian pada Dylan, Chava masih belum bangun, dia tidak ingin istrinya itu terbangun karena terpaksa. “Ayo kita ngobrol di luar?” Lanjut Alvian kemudian beranjak dari duduknya, menghampiri Dylan yang masih berdiri dengan napas yang tersenggal – senggal.“Yaudah, ayo!” Ucap Dylan menyetujui Alvian.Alvian mengikuti langkah Dylan yang keluar terlebih dahulu. Tidak ada Gara, maka ada Dylan yang sifatnya sangat sama dengan teman dekatnya itu. Bahkan ketika dia mengabari Dylan lewat sambungan telepon, adik iparnya itu terdengar sangat panik.Chava memang beruntung soal keluarga, dia memiliki tiga orang Pria yang melindunginya, ada Papanya, Gara dan D
Chava dan Alvian sudah beres melakukan belanja bulanan, mereka membeli beberapa kebutuhan untuk satu bulan ke depan. Kegiatan ini sungguh menjadi kegiatan yang selama ini Chava inginkan, maka dari itu Chava sangat bersemangat. Alvian juga tidak banyak mendebat dan tidak banyak keinginan, dia lebih menurut apa yang Chava mau.Kini Chava sedang mengambil Kue red velvet di salah satu toko roti langganan dia, Chava juga sudah menyuruh Suaminya untuk menunggu di mobil, karena merasa kasihan jika Alvian harus membawa barang belanjaan di Mall sebesar ini.“Ini ya, Mbak, Cake red velvet ukuran mediumnya. Terima kasih telah berbelanja disini.” Ucap Sang kasir yang kemudian memberikan kue red velvet kesukaan Chava.Dengan antusias Chava menerima kue itu, mencium baunya saja sudah bisa membuat Chava merasa tidak sabar untuk memakan kue itu, “iya, Terima kasih kembali.” Jawab Chava.Chava mulai berjalan keluar dari Toko roti itu, bahkan Chava tidak melihat jalan dengan benar, pandangannya sibuk m