Happy reading
"Mas, jangan bersikap acuh kepadaku, aku tak suka." "Siapa yang acuh padamu." "Sikapmu saat ini membuatku tak nyaman." Satria mendekati Shafira. "Aku hanya tak yakin kamu berubah," jelas Satria pada istrinya. "Apa maksudmu mas?" "Ya, kamu masih mencurigaiku," ucap Satria mulai merasakan emosi di dalam diri. Entah mengapa, dirinya masih kecewa dengan sang istri meski Shafira sudah meminta maaf. "Ya Allah mas, aku sudah minta maaf padamu dan aku telah menutup semua rasa kecurigaanku mas. Disaat aku minta maaf padamu, aku sudah bertekad membesarkan hatiku, semua ini demi anak anakku." Satria tersenyum seperti mengejek, tak percaya dengan apa yang dikatakan Shafira. "Benarkah?" "Benar mas, demi Allah," jawab Shafira yakin dengan ucapannya. "Kalau begitu, mulai sekarang kamu jangan ngatur aku mengenai Thika." "A- apa maksudmu mas?" "Ya intinya aku hanya menolong Thika, tak lebih. Jika kamu masih mencurigai aku ada apa apa sama dia, kamu salah besar." Shafira terdiam, tak bisa
Shafira berusaha melupakan rasa penasaran akan nama Ade di kontak WA Satria namun setiap kali duduk berdua, Satria seolah mengacuhkan Sfafira. Dirinya sibuk chat an dengan Ade. Bahkan Satria tak mempunyai rasa bersalah dengan nyamannya chat di samping istrinya Shafira. Siang ini Lila ada main kerumah. Dirinya merasa khawatir dengan kondisi Shafira. "Bagaimana Shaf, apa sudah kelar masalah kalian? Sudah bicara dari hati ke hati?" Shafira menggeleng, jujur saja terlalu berat menjalani kehidupan seperti ini, dimana Shafira harus tetap tersenyum sementara hatinya ingin menangis menuntut kejelasan rumah tangganya. "Loh kenapa begitu?" "Kami sudah membicarakannya mbak, aku sudah menjelaskan apa yang mengganjal di hatiku." "Lalu?" "Ya, seperti ini kehidupan rumah tangga kami mbak, terasa hambar." Lila menggeleng, tak percaya jika masalahnya akan serumit ini. "Intinya, mas Satria tak bisa berhenti berhubungan dengan Thika meski aku melarangnya. Dia minta aku percaya padanya mbak dan a
Satria pulang dan langsung tidur, dirinya sungguh kesal pada Shafira karena chat hal yang tak penting. Sudah berkali kali dijelaskan namun istrinya tetap mencurigai dirinya. Satria sungguh lelah menjelaskan pada Shafira, disaat matanya terpejam ponsel Satria bergetar dan ada notifikasi chat dari Ade : mas sudah tidur???? Shafira semakin kesal, antara benci dan emosi. Bisa bisanya Thika chat suaminya pada jam 03.00 pagi. Atau Satria yang chat terlebih dahulu? Tak terasa air mata sudah menetes di pipi. 'Ya Allah kuatkanlah aku ya Allah,' batin Shafira memohon kekuatan dari sang Pencipta. Hari ini ada acara nikahan saudara Satria dan Shafira pamit untuk pergi kesana dari pagi. Usia kehamilan yang ke 35 minggu membuat Shafira hanya membantu sekedarnya. Kebetulan Mira libur sekolah dan memilih untuk berdiam diri di rumah. Shafira mendapatkan kabar terbaru dari Mira. {Ma, nggak ada mama di rumah, papa sibuk chat an sama kontak bernama Ade.} Shafira terkejut melihat isi pesan anaknya
"Diam Shafira!?" Satria merasa sangat malu karena istrinya berani menjawab semua perkataannya. Tak hanya itu, Shafira terkesan berani kepada Satria suaminya. "Duduk!?" perintah Satria. Shafira duduk dengan kesal, memalingkan wajah dari dua tamunya. "Mbak Shafira perkenalkan aku Hartini," ucap tamu wanita sambil mengulurkan tangan, berniat untuk berjabat tangan dengan Shafira namun hanya menyalami angin karena Shafira tak menyambut uluran tangan tersebut. "Aku tahu." Satria melihat tingkah ketus sang istri tak terima dan menyeret Shafira ke kamar. "Lep- pas mas, jangan menyeretku di depan anak anak," ucap Shafira tak suka. Mila dan Mira belum tidur sehingga mereka tahu jika ayahnya berbuat kasar pada ibunya. "Pa, kasihan mama kesakitan," ucap Mila sontak membuat Satria melepas tangan Shafira. "Aku kasih tahu kamu Shafira, mereka temanku smp, jadi aku harap kamu bisa menghargai mereka yang rela bertamu kesini." Shafira tersenyum mengejek, "dari cara bertamu saja sudah terlihat
Malam ini, Satria mengajak Shafira berkunjung ke rumah Lila. Setelah mendengar jika Lila sakit, Shafira ingin sekali menemui sahabatnya namun tak berani mengatakan keinginannya kepada Satria. Tak ada angin dan hujan, Shafira tiba tiba diajak sang suami keluar rumah menjenguk Lila. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Shafira dan Satria masuk rumah Lila dan disambut bahagia oleh Yudha suaminya. "Dimana mbak Lila?" tanya Shafira karena tak menemukan sahabatnya di ruang tamu. "Dia sedang istirahat." "Owh, begitu." Shafira berbincang bincang dengan Yudha sedangkan Satria memilih duduk menyendiri di beranda sambil sibuk chat an. Merasa tak nyaman hanya berdua di ruang tamu dengan Yudha, Shafira memutuskan untuk mengajak Satria masuk rumah. Bukankah sangat aneh jika mereka hanya berdua di ruang tamu meski Yudha tak duduk berdampingan melainkan Yudha sibuk membuatkan kopi untuk Satria. Yudha lulusan kuliah jurusan tata boga jadi dia lebih mahir dalam urusan perdapuran dari pada Lila
"Photo berdua?" Shafira terkejut mendengar pertanyaan Yudha. Lila juga tak kalah terkejut mendengar kenyataan sang suami mengetahui tentang photo tersebut dan tak menceritakannya. "Kamu kok nggak cerita sih mas?" tanya Lila pada Yudha. Yudha terdiam tak mampu berkata sedangkan Shafira sibuk menelisik kebohongan di mata suaminya. "Satria, kamu itu sungguh keterlaluan! Kenapa harus photo berdua dengannya? Jelas jelas kalian itu bukan muhrim. Kalau begini, ya tentu saja Shafira marah," ucap Lilla merasa geram dengan tindakan Satria. "Bahkan jika aku jadi Shafira, aku akan menanyakan langsung, tak seperti ini. Shafira baru bertanya saat aku menyuruhnya mengeluarkan unek uneknya. Apa kamu tahu, memendam masalah itu sangatlah sakit. Mental kita yang menanggungnya. Bagaimana jika mental kita tidak kuat? Yang ada kegilaan bisa terjadi," jelas Lila. Lila sungguh sosok wanita yang dewasa diumurnya yang terbilang muda. Dirinya hanya terpaut 5 tahun dari Shafira. Usia tak bisa dijadikan pat
Shafira terdiam, mencoba menuruti ucapan Satria. Jika biasanya Satria akan memeluknya, kali ini tidak. Shafira begitu kecewa, membaringkan tubuh dan memejamkan mata. Tiba tiba Satria ikut tidur di sampingnya. Jika biasanya tidur di spring bad bawah, kali ini dia tidur di samping Shafira. "Shafira aku menginginkannya. Apakah kamu tidak mau?" Seperti disambar petir saja, hati Shafira sangat kacau dan nano nano. Di satu sisi dia begitu merindukan rasa itu, rasa dimana tak lagi didapatkan satu bulan ini. Namun di sisi lain, mendengar sang suami meminta haknya, Shafira sama sekali tak bergairah. Entahlah rasanya sudah hambar, tak nafsu ataupun menggebu gebu. Melihat sang istri tak menanggapi membuat Satria bingung. Dia begitu menginginkan sang istri namun Shafira hanya diam saja. Apakah istrinya itu tak mau dijamah? "Apa kamu tak mau Shafira?" tanya Satria lagi. Sebagai seorang istri bukankah berdosa jika tak mau melayani sang suami di atas ranjang? Shafira selalu memegang teguh kajia
[Urus saja sendiri. Itu urusanmu bukan urusanku.] [Apa!?] Shafira sungguh tak habis pikir Satria bisa lepas dari tanggung jawabnya. Bukankah mengantar pergi ke desa kelahiran adalah tugas dan tanggung jawab Satria sebagai suami?! Satria selalu menuruti keinginan Shafira namun tidak untuk kali ini dan hal itu membuat Safira begitu kecewa. Adakah hal yang lebih penting dari keluarga? Ada, saat ini yang lebih penting di hidup Satria adalah menolong Thika meski menyakiti istrinya Shafira. {Mas kamu kok gitu sih. Kamu kan suamiku, makanya aku meminta kamu mengantarku tapi kok gak enak banget balasan pesanmu.} {Loh aku kan sudah bilang jika aku gak mau ikut campur urusanmu dengan saudara saudaramu.} Shafira sungguh geram membaca pesan Satria. Dirinya punya suami tapi seperti janda saja. Disaat dirinya benar benar butuh Satria sebagai pendamping hidupnya, suaminya itu malah tak ada mendukungnya. {Baiklah kalau begitu aku berangkat ke surabaya sendiri saja.} {Terserah kamu saja.}