Baru saja Safira ingin bilang ke Gilang kalau dia mau menerima ajakannya untuk jalan. Namun urung. Safira rasa waktunya tidak pas. Safira juga merasa sikap Gilang agak berbeda belakangan ini, entah karena apa? Atau mungkin hanya perasaannya saja?
Safira lalu melemparkan pandangan ke luar kelas, para siswa nampak berlalu-lalang bersamaan dengan Evan yang masuk ke kelas.
"Lo tadi ngapain, sih? Lama banget lagi. Muka lo kenapa kusut gitu?" Safira langsung melemparkan pertanyaan beruntun tatkala lelaki itu meletakkan tas di bangkunya. Wajah Evan memang tampak kusut seperti sedang memikirkan masalah. "Lo ada masalah?" tanya Safira lagi. Tubuhnya berbalik menghadap Evan yang duduk di belakangnya.
"Iya. Gue emang lagi ada masalah," sahut Evan.
"Cerita aja ke gue." Safira tersenyum menatap Evan yang justru terdiam. Evan memang ada masalah dengan Fajar dan Tino, tapi dia tidak mau menceritakannya pada Safira. Safira tak boleh tahu masalahnya yang menyang
Safira termenung menatap tembok kamarnya. Pikirannya dipenuhi berbagai praduga tentang apa yang dia lihat di parkiran tadi siang. Masih terekam jelas di ingatannya, Gilang memboncengi seorang cewek menuju ke luar gerbang sekolah. Dan cewek itu sama dengan yang memanggilnya tadi pagi. Dugaan Safira bahwa cewek itu ada hubungannya dengan perubahan sikap Gilang jadi semakin kuat. Benak Safira bertanya-tanya. Siapa cewek itu? Apakah cewek itu pacarnya? Perasaan Safira seketika mencelos membayangi pertanyaan terakhir itu. Tapi, kalau dipikir-pikir rasanya tak mungkin Gilang mempunyai pacar secepat itu. Selama ini dia juga tak pernah melihat Gilang dekat dengan perempuan mana pun. Lantas siapa cewek yang diboncenginya itu? Apakah keluarganya? Atau teman biasa? Sungguh praduga-praduga tentang Gilang memenuhi otaknya sejak dia pulang sekolah tadi. Safira tak bisa berhenti memikirkan lelaki itu. "Apa aku tanya Gilang aja kali, ya? Dari pada pen
"Jadi bener cewek itu bukan pacar lo?" Safira bertanya memastikan pengakuan Gilang di chat tempo hari. Gadis itu menatap Gilang yang berdiri di sampingnya penuh selidik. Gilang mengangguk tanpa ragu. "Masak gue bohong." Safira lalu tertunduk, "hmm baguslah," gumamnya pelan sembari tersenyum. Namun, masih terdengar oleh Gilang. Gilang mengernyit, "bilang apa barusan?" "Ha?" Safira mengangkat kepalanya, menatap Gilang. "Bilang apa?" "Barusan lo bilang bagus. Bagus apanya?" Safira tertegun. "Oh... Ya bagus. M-maksud gue..." Safira tiba-tiba menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Maksud gue bagus kalau lo nggak punya pacar karena kan biar fokus sama sekolah aja dulu gitu. Nggak boleh pacaran." Gadis itu lalu menyeringai menampakan barisan giginya yang rapi. Dia berjalan di sisi lelaki itu yang terus melangkah, mereka berjalan berdampingan di koridor yang ramai. Gilang hanya tersenyum dalam hati sesekali melirik Safira yang ju
Hari-hari terus berlalu dan anehnya Gilang merasa perasaannya ke Safira semakin hari, berubah.Dia mulai menyukai gadis itu. Dan dia sadar perasaan ini real perasaan sayang. Bukan sekadar mempermainkan. Dia sadar, dia telah terjebak dengan perasaannya sendiri. Gilang semakin yakin dengan perasaannya terhadap Safira yang dia rasa semakin hari kian besar. Tiada hari yang dia lewati tanpa membalas pesan gadis itu jika gadis itu menghubunginya lebih dulu. Bahkan saat dia sedang bersama kekasihnya sekali pun. Seperti saat ini. Viona dan Gilang tengah bermalam minggu di kafe sekaligus merayakan hubungan mereka yang sudah memasuki satu bulan. Dan seharusnya malam ini menjadi malam yang sangat istimewa. Tapi Viona tidak merasakan suasana romantis layaknya jalan bersama pacar karena sejak tadi Gilang sibuk dengan ponselnya dan hanya menanggapi ocehannya sesekali. Viona kesal melihatnya. Dia curiga kalau Gilang sibuk menghubungi kakak tingkatnya itu. Maka keti
Gilang: Fir, GUE SAYANG SAMA LO FIRR!! Dahi Safira berkerut samar menatap layar ponselnya yang menampilkan laman chat aplikasi berwarna hijau. Ada banyak pesan dari Gilang yang belum dia baca dan pesan terakhir yang terpampang di layar ponselnya membuatnya bertanya-tanya. Apa maksud pesan itu? Cepat-cepat dia mengklik pesan tersebut seiring dengan jantungnya yang berdegup kencang. Safira semakin terkesiap begitu mendapati rentetan pesan dari Gilang dan pesan terakhir dari lelaki itu menyatakan perasaan terhadapnya. Safira memegangi dadanya bagian kirinya sambil matanya tak lepas dari menatap pesan terakhir itu. Jadi selama ini Gilang menyukainya? Tanpa sadar gadis itu tersenyum samar. Dia sungguh tak menyangka. Dia pun segera mengetikkan balasan. Safira: Masya Allah... Hanya kata itu yang bisa Safira kirimkan. Nyatanya dia tak mampu berkata-kata. Tak tahu harus mengatakan apa lagi. Wajahnya tak bisa berhenti tersenyum. Gadi
"Jadi gimana? Kamu mau, kan, jadi pacar aku?" Safira membeku mendengar pernyataan dari lelaki yang ada di hadapannya kini. Jantungnya berdebar tak keruan. Tangannya yang digenggam oleh lelaki itu terasa berair karena keringat. Rasanya dia tak percaya lelaki di hadapannya kini baru saja menyatakan perasaan suka terhadapnya. Semua terjadi begitu mendadak. Berkali-kali dia menggigit bibir bagian dalamnya. Memastikan kalau ini nyata, bukan mimpi. "Fir..." Panggil lelaki itu lagi menyadarkan lamunannya. "Ha...eng...gue..." Safira tampak gelagapan. "Jawab aja. Kamu mau atau nggak?" tanya lelaki itu lagi. Matanya menatap sayu mata Safira yang kebingungan. Sumpah, Safira tak tahu harus bersikap bagaimana. Takut tindakannya salah. Seandainya dia tahu bakal seperti ini pasti dia sudah menyiapkan jawabannya jauh-jauh hari atau meminta pendapat Riri dulu. "Gue bingung, Gilang," jawab Safira akhirnya. Gadis itu meringis.
Gilang: Terima kasih, ya, Sayang udah nerima aku. Lagi, Gilang mengucapkan terima kasih melalui chat aplikasi berwarna hijau. Safira yang tengah berbaring bersiap untuk tidur mengulum senyum. Biasanya sepulang dari bepergian dia langsung tidur. Namun, kali ini akan ada perubahan dari kebiasannya. Sebelum benar-benar tidur Safira harus chatingan dengan seseorang dulu. Dan sepertinya dia akan sering melakukannya. Safira mengetikkan balasan. Safira: sama2 Gilang. Gilang: sekarang kamu lagi apa? Safira: lagi mau tidur. Gilang: udah makan malam? Kalau mau tidur jangan lupa cuci muka sama kaki dulu biar bersih dan enak pas tidurnya. Safira tersenyum simpul membaca pesan itu. Safira: iya, udah cuci muka sama kaki, kok. Tapi nggak makan lagi. Aku nggak laper. Udah mau tidur juga. Gilang: Ya, udah kalau emang mau tidur. Aku juga mau tidur sekarang. Good night, Sayang. Safira: Good Night juga Gilang
Tak lama kemudian, bel tanda masuk berbunyi. Jam istirahat telah habis. Para siswa yang sibuk bercengkrama di luar bergegas masuk ke kelas bersamaan dengan guru yang mengajar hari ini masuk ke kelas. Termasuk Evan. Pelajaran matematika pun dimulai dan berlangsung seperti biasa. Di sela belajarnya, Evan mengingat kejadian seminggu lalu. Ketika dia mengangkat telepon dari Tino yang tetiba menghubunginya. "Ya ada apa?" tanya Evan ketika sambungan telah terhubung. "Lo masih marah sama gue?" Terdengar suara Tino menyahut di seberang. Evan tak menyahut. "Maafin gue, ya? Kemarin gue kebawa emosi hingga gue kelepasan ngomong buat akhirin hubungan kita," kata Tino. "Gue nggak bermaksud buat nyakitin lo dan mutusin hubungan kita." Dari suaranya, Evan bisa merasakan perasaan bersalah Tino. Evan sebenarnya juga tak menyangka kalau Tino akan menghubunginya lagi setelah pertengkaran itu. Apa maksudnya semua ini? Apakah Tino akan meng
Seperti rencana kemarin, di minggu pagi yang cerah ini Gilang mengajak Safira jalan-jalan. Mereka mengunjungi salah satu tempat makan terbaik di Jakarta."Kamu harus cobain masakan di sini, enak banget," kata Gilang sambil memandangi hidangan yang tersaji di hadapannya dan Safira. Aroma makanan menguar di udara. Ada dua piring nasi putih, seekor ayam bakar, sepiring tempe bacem, beberapa potong ikan goreng, dan semangkok sayur asam. Begitu menggugah selera. Safira hanya manggut-manggut, bersamaan dengan perutnya yang tetiba berbunyi membuat Gilang yang duduk di sampingnya menahan senyum. Safira juga. Dari pagi gadis itu memang belum makan. "Perutnya udah kode, tuh. Tunggu apa lagi? Buruan makan," ajak Gilang yang akan mengambil sendok dan garpu yang tersedia di meja. "Iya," Safira pun mulai mengambil sedikit lauk-pauk dan sayuran di piringnya lalu melahapnya. "Gimana? Enak, kan?" tanya Gilang di sela makannya. Safira hanya menganggu