Walau beberapa kali kupanggil, Andika tetap tidak menghiraukanku. Dia malah mempercepat langkahnya.
Dengan sedikit ngos-ngosan, aku berusaha untuk mengejarnya.Ketika sampai di lobi kantor, kulihat Ningrum mengernyitkan kening, kedua matanya setengah melotot menatapku.
Sementara aku berhenti sambil mengatur nafas."Ranti, kamu habis dikejar setan?" tanya Ningrum penasaran.
"Nanti akan aku ceritakan ... kamu lihat Andika, ga?" tanyaku sambil mengelap kening yang berkeringat.
"Dia ke sana ...." Ningrum menunjuk dengan dagunya.
"Ok, sampai nanti."
Sebelum Ningrum menyelesaikan kalimatnya, aku buru-buru memotong ucapannya dan berlalu meninggalkan dirinya yang masih terbengong.
Sekilas, aku melihat Andika berbicara dengan seorang securiti yang sedang berjaga.
Kupercepat langkahku menuju ke arahnya.Namun sebelum aku sampai, kulihat Zen menghampiri Andika.Kakiku terasa lemas, sekaligus was-was, jika mereka berdua akan melakukan
Aku masih memikirkan ucapan Ningrum di kantor tadi.Tidak semua yang terlihat baik adalah baik.Terlebih jika hal itu menyangkut dan berkaitan dengan Zen.Bagaimanapun, aku adalah korban dari seorang pria yang pernah kuanggap baik.Bahkan ketika sampai di rumah pun, ucapan Ningrum masih terngiang, juga tatapan penuh luka dari mata Zen, saat dia menatapku sesaat sebelum keluar dari ruang kerjaku."Non, di panggil Mama."Mbak Ucik yang sudah berdiri di depan pintu kamar mengagetkanku."Iya, Mbak. Bentar lagi Ranti turun," jawabku tanpa beranjak dari tempat tidur.Bagiku, hari libur adalah hari kebebasan.Dengan malas, aku bangkit dari tempat tidur dan mengambil tali rambut untuk mengikat rambut yang awut-awutan.Hari kebebasan, termasuk bebas dari menyisir rambut.Sesampai di ruang makan, aku begitu terkejut melihat sosok pria yang tidak asing bagiku, yang sudah sekian lama tidak berkumpul dengan kami."Mas Bagus ...." teriakku sam
Bisa berkumpul kembali dengan mas Bagus membuatku merasa senang, karena aku tidak perlu lagi menelepon atau mengirimkan pesan ketika membutuhkan bantuan darinya.Namun kakakku itu sekarang sedikit berbeda, jika sebelumnya mas Bagus selalu terbuka tentang apapun, sekarang menjadi lebih tertutup.Bahkan ketika aku mencoba mencari tahu tentang kekasih barunya, dia terkesan enggan untuk bercerita.Apakah ini karena memang maa Bagus belum begitu mengenal sosok wanita tersebut, karena memang belum pernah bertemu?Semoga saja itu yang menjadi alasan.Karena, aku merindukan kakakku yang dulu."Kok belum berangkat ke Kantor?"Mas Bagus muncul di belakang sambil mengacak rambutku.Aku yang tengah menikmati sarapan pagi, menoleh sambil melotot ke arahnya."Mas Bagus kebiasaan, rambutku kusut lagi deh," sungutku."Wuidih ... biasanya juga berantakan, bukan?""Itu dulu Mas ...." protesku sambil memajukan bibir sebagai ungkapan ptotes.A
"Oh, jadi mas Bagus sudah punya pacar, ya?" Ujar Ningrum, sambil memalingkan wajahnya.Berusaha menyembunyikan kilatan luka di matanya.Melihat Ningrum seperti ini, membuatku merasa bersalah. Aku tahu, sudah sejak lama dia menyukai mas Bagus. Namun, mas Bagus selalu memperlakukannya seperti layaknya seorang adik.Andai saja Ningrum menjadi saudaraku dengan menjadi istri mas Bagus, dia akan menajdi saudara ipar yang baik.Secara, aku sudah mengenalnya cukup lama, dan dia juga, sahabat yang mendampingiku di kala aku terjatuh.Kenapa aku tidak pernah berpikir untuk menjodohkannya dengan mas Bagus? Dan kenapa pikiran itu baru muncul sekarang, disaat mas Bagus sedang dekat dengan orang lain?Pikiran dan ide tentang mas Bagus dan Ningrum datang silih berganti, berlarian dalam pikiran. "Baiklah, aku akan mencoba membuat kalian dekat." Aku bergumam dalam hati."Ranti, aku permisi dulu. Ada pekerjaan yang harus kukerjakan."Ningrum membalikkan tubuhnya, be
"Ningrum, kamu serius?" tanyaku lagi.Mencoba mencari keseriusan di matanya."Apa aku terlihat seperti sedang bercanda, Ranti?" Ningrum balik bertanya padaku. Ada keseriusan dari sorot matanya.Aku mendesah, menarik nafas beberapa kali, lalu kuembuskan dengan kasar.Persoalan ini benar-benar membuatku frustasi.Dan aku harus mencari jalan keluar serta menemukan teka-teki di balik semua ini semua."Baiklah, Ningrum. Aku percaya padamu. Tolong bantu aku, untuk mengungkap ada apa di balik semua ini."Aku menepuk bahu Ningrum sambil melihat ke luar, dimana Adele berada. Sepintas, tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan darinya. Semua biasa-biasa.Setalah sedikit memberi bocoran padaku, tentang apa yang akan dia lakukan, Ningrum keluar dari ruanganku.Aku duduk terpekur sendirian, sembari mengingat satu persatu yang pernah terjadi padaku.Tentang Zen, Andika, juga Aprillia, istri Zen.Apa kabar Aprillia sekarang? Sudah lama seka
Kuhela nafas dalam, ada rasa lega begitu mengetahui siapa pengirim pesan tersebut.Yang tak lain adalah Andika.Lalu, jari jemariku bergerak cepat di atas keypad untuk mengetik pesan balasan"Baiklah, kabari aku kalau sudah sampai."Tulisku dalam pesan balasan untuk Andika.Sambil menunggu pesan balasan berikutnya, aku memainkan ponsel di tanganku, sambil berpikir, apakah aku akan memberitahukan kepada Andika tentang pesan-pesan misterius tersebut atau menyimpannya untuk sementara waktu.Drttt ... drrtt..Sebuah pesan dari Andika kembali kuterima."Ranti, aku sudah berada di bawah. Mau turun atau aku jemput ke atas?" tanya Andika dalam pesannya."Aku akan turun."Setelah mengirim pesan balasan, aku bergegas keluar dari ruanganku.Kusambar tas yang kuletakkan di atas meja lalu melangkah cepat keluar.Ketika melintas di depan meja Adele, aku sengaja melirik dengan ekor mataku.Melihatku keluar, Adele buru-buru berdiri s
Dengan pelan, Zen menarik salah satu kursi di depan kami, lalu dengan sedikit canggung, dia duduk berhadapan dengan kami.Aku sedikit menahan nafas ketika Zen menatapku.Rasa tidak enak hati dan ingin secepatnya menghabiskan sisa makanan dan pergi meninggalkan tempat ini.Zen sepertinya benar-benar mengikuti gerak gerikku.Karena, dia akan selalu muncul di hadapanku setiap kali aku bertemu dengan Andika, atau teman-temanku yang lain.Sepertinya, dia memang akan melakukan niatnya untuk bisa kembali bersamaku."Kalian sudah selesai, ya?" tanya Zen membuka percakapan, sambil melihat sekilas ke piring kami, yang memang hanya menyisakan sedikit makanan di sana.Sebenarnya bukan menyisakan, namun kami belum sempat menghabiskan dan Zen keburu datang."Begitulah, karena tiba-tiba saja nafsu makanku menghilang."Andika menjawab, sambil menyuput jus yang tinggal setengah di dalam gelasnya.Sekilas, aku menangkap raut kesal di wajah Zen saa
"Miranti, Andika?" ucapnya pelan.Aku dan Andika berpandangan sesaat, lalu kami secara bersamaan berkata."Ningrum?"Setelah beberapa saat dibuat terkejut, spontan tawaku langsung meledak."Jadi, teman kencan Mas Bayu itu Ningrum?" tanyaku di sela-sela tawa.Mas Bagus ikut tertawa, sementara Ningrum menutup wajahnya dengan kedua tangannya."Sejak kapan kalian kencan online dan saling kenal?" tanyaku lagi setelah tawaku reda."Sejak sebulan yang lalu, kami kencan online. Dan baru tahu hari ini kalau ternyata yang aku kencani adalah Ningrum."Mas Bagus menjawab pertanyaan, mendengar jawaban dari kakakku itu, kembali tawaku meledak. Aku tidak bisa membayangkan, reaksi pertama mereka pada saat tahu siapa yang mereka kencani selama ini."Kalian menggunakan akun palsu, ya?" tanyaku sambil mengedip-kedipkan mata ke arah Ningrum yang masih menyembunyikan wajah di balik kedua tangannya."Iya, iya ... kami
Double date malam ini, memberiku sebuah kejutan dan juga pelajaran.Kejutannya adalah, wanita yang di kencani oleh mas Bagus selama ini ternyata adalah Ningrum.Aku yakin, baik mas Bagus maupun Ningrum juga tidak menyangka jika pasangan kencannya adalah oranf yang sudah lama mereka kenal.Sementara pelajaran yang kupetik adalah, perjuangan tidak akan menghianati hasil.Hal itu sudah dibuktikan oleh Ningrum dan mas Bagus.Mereka berjuang untuk mendapatkan pasangan yang baik, dan keduanya di pertemukan walau dalam kesempatan yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.Kini, hanya aku yang masih tertinggal.Masih terbelenggu dan terkungkung oleh trauma kelam masa silam.Walau aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk mencoba menyembuhkan dan melawan rasa ketakutan yang muncul dari dalam diriku, namun tetap saja, selalu terbersit rasa ketakutan dari dalam diriku sendiri.Bukan karena aku tidak bisa atau belum mampu melepaskan Zen atau meneri