BAGIAN 44
POV INDRI
KUPEGANG KARTU AS-MU!
“Jadi … kamu tidak setuju ya, In?” tanya Mama dengan suara lirih.
“Terserah Mama saja. Silakan pakai hati nurani Mama sebagai orangtua.” Aku mendengus. Bangkit dari kursi dan buru-buru menyambar tangan Mama.
“Aku pulang, Ma. Pekerjaan di rumah masih banyak yang menumpuk.”
“Makasih, In, buat lauknya.” Hanya itu yang Mama katakan. Padahal, dia tahu aku sedang merajuk. Orangtua macam apa dia?
“Iya. Sama-sama. Riri mungkin seharusnya bisa lebih sering ke sini, Ma. Jangan hanya tahunya minta bagian warisan saja.” Geram sekali, akhirnya keluar juga u
BAGIAN 45POV INDRITERTANGKAP BASAH “Ayo, Wil. Kita buntuti mereka,” kataku kepada Wilda sembari buru-buru keluar dari mobil setelah Hendra dan Nadia berjalan menjauh dari parkiran menuju ke pintu masuk mall. “Jadi, itu siapa, sih?” tanya Wilda kebingungan. “Dia suami iparku. Adik bungsunya Bang Tama. Tapi yang cewek itu bukan iparku. Melainkan simpanannya.” “Hah?” Muka Wilda berubah merah. Dia kaget. Matanya sampai membelalak besar. “Udah, ayo keluar. Nanti kita kehilangan jejak mereka!” Cepat aku membuka pintu mobil milik Wilda dan merapatkan jaket jins yang kukenakan. Tak lupa, sebuah kac
BAGIAN46HANCUR LEBUR “Nggak ada apa-apa kok, Mbak,” jawabku kepada Mbak Indri. Entah mengapa, aku jadi enggan untuk menceritakan hal ini ke ipar nomor satuku tersebut. Mbak Indri yang siang itu mengenakan stelan piyama rumahan berbahan katun dengan warna pastel bermotif abstrak tersebut memicingkan matanya. Dia mengibaskan rambut panjangnya yang diberi bando kain berwarna senada dengan piyama. “Yakin nggak ada apa-apa, Ri? Tapi, aku kok mikirnya kamu lagi ada sesuatu, ya?” Pertanyaan Mbak Indri yang kedengarannya penuh selidik itu sontak membuatku tertegun. Dia kan, selama ini tidak pernah mau peduli kepadaku. Aku datang ke sini dia seperti kerap menghindar. Jarang mau mengajak ngobrol atau bercengkrama lama
47TERJUNGKALNYA PENGKHIANAT Taksi yang kupesan untuk memulangkan Alexa, nyatanya tak pernah melakukan tugas tersebut. Mobil putih yang dikendarai seorang sopir pria bertubuh kekar itu malah membawa Papa yang pingsan menuju rumah sakit terdekat. Aku dan Mama saling beradu tangis di dalam mobil. Kami terus merapalkan doa dan harapan agar Papa bisa diselamatkan. Hatiku yang telah hancur lebur tak terkirakan ini pun terus meminta kepada Allah agar Papa tetap hidup serta panjang umur. Mobil yang kupesan memang cepat sekali jalannya. Tak sampai tujuh menit, kami telah sampai di depan pintu IGD rumah sakit umum daerah yang siang itu tampak ramai sekali orang yang duduk di bangku depannya. Aku agak resah. Takut bila ruang IGD penuh oleh pasien. “Kuat ya, Pa. Kita sudah sampai IGD,
48POV TAMAKUPILIH JALAN TERAKHIR Raung ambulans masih terngiang-ngiang di telinga. Bahkan hingga jenazah Papa sudah selesai dimakamkan di pemakaman keluarga yang lokasinya tak jauh dari rumah. Perasaan nelangsa begitu melekat di jiwa maupun raga. Aku memang hampir kepala lima, tetapi kehilangan seorang ayah bukanlah hal mudah bagiku. Terlebih, Papa adalah sosok pria baik yang penyayang. Dekat dengan keluarga dan selalu mengorbankan apa pun demi kami anak-anaknya. Trauma kehilangan itu tentu membuatku begitu sangat terguncang. Saat malam tiba dan semakin beranjak larut, kekosongan hati ini semakin nyata adanya. Apalagi ketika aku telah masuk ke kamar dan hanya berdua saja dengan Indri yang sedari siang tak kuajak berbicara sepatah kata pun. Jangankan bertukar kalimat, memandangnya pun aku begitu sakit. Ya, hatiku benar-benar hancur
BAGIAN49PENGAKUAN SANG IPAR “Ri, maafkan aku jika selama ini mungkin sikapku membuat kamu ataupun Mama tidak suka.” Mbak Sherly, perempuan 37 tahun yang memiliki seorang putri remaja itu membuka percakapan saat kami hanya berdua di ruang tengah. Tak ada siapa pun selain kami di sini. Semua orang telah berangkat ke peraduan dan jatuh lelap dalam mimpi-mimpi mereka. Termasuk Mama. Aku bersyukur bahwa beliau akhirnya bisa beristirahat setelah hampir seharian hanya menangis dan berkali-kali jatuh pingsan. Aku mengulas senyum kepada wanita di hadapanku tersebut. Bukan senyum bahagia, melainkan penuh getir. Enam belas tahun dia menikah dengan Bang Edo, baru kali inilah iparku tersebut mau berkomunikasi seintens sekarang. Dia bahkan tak sungkan buat menggenggam jemari ini erat.&n
BAGIAN 50MAAF DARI MAMA“Minta maaf kamu! Cepat! Cium kaki mamaku!”Teriakan itu membuat aku yang tertidur di kasur lantai tepat di bawah ranjang Mama, langsung bangkit dan membelalakkan mata besar-besar. Aku kaget bukan kepalang. Rasanya, aku baru saja terlelap beberapa jam lamanya setelah berbicara ngalor-ngidul bersama Mbak Sherly.“Ri, suara apa itu?” Mama ikut terbangun. Beliau yang tertidur di tepi ranjang sebelah kiri, langsung terduduk.Kutatap wajah beliau dari keremangan. Mata tua Mama masih terlihat sembab. Wajahnya juga tampak kuyu dan masih mengantuk.“Tolong! Siapa pun tolong aku! Suamiku sudah gila!” Pekikkan itu makin membuat kami terperanjat. Aku bersipandang dengan Mama. Mata kami sama-sama menaruh ketakutan.“Ri, itu suara Indri dan Tama sepertinya!” Mama turun dari tempat tidur. Berdiri dan terlihat agak oleng. Secepat kilat aku bangkit dari kasur tipis
BAGIAN 51BENCI “T-tapi … M-ma a-aku nggak mau jadi j-jan-da ….” Kulihat, Mbak Indri menggeleng. Perempuan itu langsung meremas kepalanya dengan kedua tangan. Menarik-narik rambut seperti orang depresi yang sudah tak mampu buat menanggung beban pikiran. “Itu sudah risiko dari perselingkuhan, In. Mama juga sudah tak ingin menjadikanmu menantu lagi. Kita sudahi hubungan kekeluargaan kita sampai di sini. Tama akan segera memulangkanmu ke rumah orangtuamu, In. Titip pesan pada keluargamu semua.” Mama menepuk-nepuk pundak Mbak Indri. Perempuan tua itu lalu berdiri dan terlihat meneteskan air mata sedihnya. “Bawa dia pergi sekarang juga, Tama. Mama sudah tak sanggup lagi kalau harus menatapnya berlama-lama. Bayangan itu sedikit banyak muncul
BAGIAN 52AKU SADAR Aku terdiam sesaat. Membuang muka demi tak menatap kedua bola mata hitam milik Alexa yang tadi telah berkaca-kaca. Hatiku bakal semakin hancur bila memandangnya. Aku memang tak setega itu. “Bun … Alexa … s-salah apa?” Pertanyaan itu kembali menyeruak. Tangan kecilnya kini menggenggam jemari kiriku. Aku kian tersentak. Bingung menjawab apa. Sementara hati kecilku sudah gerimis dan sebentar lagi badai akan datang menyelimuti. Duhai, Alexa. Maafkan aku, Nak. Mungkin aku bukanlah bunda yang baik untukmu. Kutarik napas perlahan sembari berusaha tak menitikkan air mata. Setelah agak tenang, aku pun jongkok. Kutatap wajah Alexa yang mendung dan kini telah dihujani air mata. &ldquo