Pagi-pagi sekali sekali aku dan Reza sudah kembali ke rumah. Aku bersiap untuk pergi ke kantor, dan Reza pun bersiap untuk pergi ke kliniknya.“Al, ingat ya nanti kita harus pergi ke acara reuniku. Kamu harus ikut,” ujar Reza disela sarapan kita.“Tidak bisa janji, Za. Akan banyak pekerjaan hari ini. Apalagi kemarin aku tidak masuk kerja, pastinya pekerjaanku akan sangat menumpuk, mungkin aku akan lembur,” kataku menjelaskan.“Lembur kerja, apa lembur tidur di atas rooftop?”Aku berhenti mengunyah saat Reza bertanya. Aku menyimpan sendok dan garpu di atas piring. Kedua tangan aku lipat di atas meja dengan mata melihat ke arah Reza.“Kamu tahu waktu itu aku berada di atas rooftop?”Reza mengangguk.“Kamu tahu aku tidur?” tanyaku lagi, dan Reza kembali mengangguk.“Kamu datang ke sana, dan melihatnya sendiri?”“Iya, aku tahu kamu di sana, tahu kamu tidur di sana, dan tahu kalau dirimu ditemani oleh seorang pria yang setia menjagamu,” ucapnya dengan menyimpan sendok yang sedari tadi dia
“Aletta tunggu, Al!”Tidak aku pedulikan Reza yang terus berteriak memanggilku. Yang aku inginkan adalah pergi sejauh mungkin. Mengubur semua rasa yang telah tumbuh untuk Reza. Baru kemarin dia membisikkan kata cinta di telingaku, dan kini dia sudah menyakitiku.Jadi ini alasan dia ingin aku datang menghadiri pesta reuninya. Bukan untuk memperkenalkanku pada semua kawannya, tapi ingin menunjukkan bahwa dia telah berhasil menipuku.Mengatakan cinta padahal dia ingin aku terluka. Mengatakan rindu, padahal nyatanya semua palsu. Sayang yang dia katakan mampu membuatku candu, tapi pada akhirnya candu itu membunuhku.Aku mengusap pipiku yang basah karena air mata. Aku berlari ke parkiran dan mencari di mana mobilku berada.“Pak, Pak Ari buka!” Aku berteriak dengan menggedor kaca mobil, tapi rupanya Pak Ari tertidur dan tidak bisa mendengar teriakanku.“Al, tunggu!” Reza memegang pergelangan tanganku.“Lepas.” Aku menepis tangan Reza dengan kasar. Rasanya aku muak berhadapan dengan pria muna
Tidak ada kata balasan lagi dari luar. Mungkin dia lelah dan akhirnya pergi? Itu lebih baik. Entah berapa lama aku berada di dalam kamar mandi. Rasanya air hangat pun sudah tidak menghangatkan tubuhku. Aku mulai kedinginan dan sebentar lagi akan menggigil. Aku membuka bajuku dan memakai kimono handuk yang aku bawa. Aku keluar dari kamar mandi dengan mata yang memerah karena menangis. “Al, kamu kedinginan, Sayang?” Rupanya dia masih berada di sini. Pakaian yang basah tadi, sudah dia tanggalkan dan menggantinya dengan yang kering. Reza menghampiriku hendak merangkul tubuhku. Namun, dengan cepat aku menghindar dan menjauh darinya. “Sudah aku bilang, pergi dari sini,” kataku penuh dengan penekanan. “Aku akan menjelaskan semuanya, Al. Aku tidak mau kamu salah paham. Apa yang kamu lihat, tidak seperti yang kamu bayangkan. Wanita tadi bukan Lolita, dia Dokter Lita temanku.” “Cukup! Aku tidak mau mendengarnya lagi. Pergi, atau aku akan berteriak sekencang mungkin.” Aku menatap mata Rez
Aku bangkit dari dudukku dan berlari ke depan.“Thalita!!”Aku mengembuskan napas kasar saat sudah tidak ada lagi mobilku di sana. Mereka benar-benar meninggalkanku. Aku kembali ke meja makan, rupanya Reza sudah bersiap untuk pergi ke klinik.“Ayo berangkat, biar aku yang mengantarmu ke kantor,” ajak Reza. Aku melihatnya sebentar lalu kembali fokus pada ponsel.“Aku tidak ingin pergi ke kantor. Berangkat saja,” kataku tanpa menoleh.Reza mendesah, “Gara-gara tidak ingin satu mobil denganku, kamu lebih memilih untuk tidak pergi ke kantor, Al? Kamu kekanak-kanakan, Aletta.”Setelah berucap, Reza bangkit dan pergi. Aku menatap kepergiannya dengan menekuk wajah. Dia tidak lagi membujukku, apa dia benar-benar sudah lelah menghadapiku?“Bu, tidak baik mendiamkan masalah, masalah itu harus dihadapi, bukan ditinggal pergi. Selesaikan dengan bicara dari hati ke hati.”Aku mendongak melihat Bi Wati yang sedang membereskan piring bekas makanku.“Bibi tahu dari mana, saya dan suami saya sedang pu
Tanpa kata lagi, aku pun duduk di kursi yang ditunjuk oleh wanita muda tadi.“Ibu, Ibu Aletta ingin bertemu Bapak?” tanya seorang lelaki yang baru saja masuk.“Iya,” kataku dengan senyum ke arahnya. Dia adalah Dimas, supir ambulan di sini. Dia mengenaliku karena dulu dia yang membawa almarhum suamiku ke rumah sakit.“Mbak Lani, ini Ibu Aletta, istrinya Dokter Reza,” ujar Dimas pada si resepsionis.“Oh, maaf Ibu, saya tidak tahu kalau Ibu istrinya Dokter Reza. Mari, Bu saya antar ke ruangan Bapak,” ujarnya tidak enak. Dia keluar dari mejanya dan menghampiriku.Aku pun mengikuti langkahnya yang membawaku ke ruangan Reza. Setelah sampai di depan ruangan suamiku, Lani pamit untuk kembali ke tempat kerjanya.Aku membuka perlahan pintu dan masuk ke dalam. Kursi dan meja kerjanya kosong, Reza tidak ada di sana. Tapi aku bisa mendengar suara seseorang dari balik tirai penyekat.Dadaku bergemuruh saat telingaku menangkap ada suara seorang perempuan juga di balik tirai itu.“Kamu, kok waktu itu
“Permisi,” ucap seorang pria yang masuk ke dalam ruangan. Kami semua melihat ke arah pria paruh baya itu. Dia tercengang saat tatapan kami beradu. Dia kan ....“Ibu Aletta ada di sini? Maaf, saya lancang telah masuk tanpa mengetuk pintu,” ujar pria itu membungkukkan badan.Dia adalah Pak Handi—salah satu satpam di kantorku. Yang aku herankan ialah, kenapa dia datang ke sini?“Tidak apa-apa. Apa Pak Handi sakit?” tanyaku pada pria tua itu.“Oh, tidak, Bu. Saya kemari ingin menjemput Lita, dia anak saya. Maaf, saya tidak bisa masuk kerja karena harus mengantarkan anak saya berobat dulu,” ujar Pak Handi menjelaskan.“Tidak apa-apa, saya mengerti, Pak.” Aku memberikan senyum ramah kepada karyawanku ini.Aku melihat Lita yang wajahnya berubah tidak suka saat Pak Handi datang, apalagi Pak Handi berkata begitu sopan padaku. Ternyata wanita angkuh di sampingku ini adalah anak dari karyawanku. Aku kira dia anak pengusaha atau konglomerat, karena sikap dan penampilannya yang jauh dari kata sede
“Kau memanggilku?” tanyaku dengan bersidekap dada.“Apa ada orang lain di sini selain aku dan dirimu?” Lita balik bertanya.“Aku tidak punya urusan denganmu, aku harus pergi untuk mengurus hal yang lebih penting,” kataku hendak melangkah. Namun, Lita menahan lenganku.“Apa yang kamu inginkan dariku?”“Aku ingin kau berpisah dari Reza. Dia adalah milikku,” ucapnya dengan percaya diri.Aku tertawa sumbang mendengar kata yang keluar dari bibirnya. Aku tidak habis pikir, entah di mana letak rasa malunya wanita itu.“Kamu tidak salah bicara ‘kan? Harusnya kata-kata itu untuk dirimu sendiri. Aku adalah istri dari Reza, aku dan dia terikat ikatan suci. Seharusnya, kamulah yang pergi menjauh dari hidup Reza, dia itu milikku,” sentakku di depan wajahnya.“Kamu hanya istri di atas kertas. Reza hanya kamu jadikan pelampiasan atas kematian suamimu. Dia tidak benar-benar mencintaimu. Dia hanya mencintaiku. Kamu tidak tahu, ‘kan kalau dulu aku dan Reza adalah pasangan kekasih yang serasi.”Tidak so
Saat ini aku sedang berbelanja bahan makanan yang akan aku masak nanti. Rencananya, aku akan memasak makan siang untuk Reza. Meskipun, sudah tidak akan jadi kejutan lagi karena sudah ketahuan, tapi itu tidak mengurungkan niatku untuk membuatkan hidangan makan siang yang spesial untuknya.Setelah kurasa semuanya bahan dan bumbu lengkap, aku menyudahi belanjaku dan membayarnya di kasir. Aku keluar dari mini market dan berjalan ke arah apartemen Reza lagi. Namun, saat aku melewati sebuah toko pakaian, aku berhenti sejenak dan mengangguk-anggukkan kepala.Aku pun masuk ke dalam toko itu setelah sebelumnya menitipkan belanjaan sayur pada satpam penjaga toko.Untuk apa aku masuk ke toko pakaian? Tentu saja jawabannya untuk membeli baju. Karena apa? Karena jika masak nanti, bajuku akan kecipratan minyak dan bumbu dapur lainnya. Itu akan membuat tubuhku menjadi bau asap yang berkolaborasi dengan bau bumbu juga keringat.Jangan dibayangkan baunya tubuhku akan seperti apa, karena aku pun enggan