Makanan sudah terhidang sempurna di atas meja. Laras dengan cekatan merapikan alat masak yang tadi mereka gunakan."Biarkan saja dulu, sebaiknya kita makan dulu baru nanti dibereskan!" ucap Soya melarang saat Laras membereskan dan merapikan alat yang mereka gunakan untuk masak."Ga' apa-apa, Tante. Sambil nunggu kak Bram turun.""Bagaimana kalau kamu panggil saja dia di kamarnya?""Maksud Tante aku harus ke kamar kak Bram?" Wajah Laras dihiasi dengan bola mata yang bulat. Dia tertegun dan sedikit kaget mendengar Soya memintanya ke kamar Bram dan memanggil kakak iparnya itu."Kenapa? Apa kamu keberatan?" Soya menatap lekat Laras dengan tatapan penuh harap agar Laras mau melakukannya."Ah, tidak, Tante. Kalau begitu biar aku panggil kak Bram."Laras merasa tidak enak hati untuk menolak permintaan mama Bram, tapi dia juga merasa kaku untuk memanggil Bram di kamarnya.Meski dipenuhi dengan trasa gugup, Laras akhirnya pergi ke kamar Bram juga. Masih disel
Sejak bertemu dengan Laras, Soya sering mengunjungi dan menginap di rumah Bram. Dia merasa senang dan nyaman bila bersama Laras, bahkan berharap Laras menjadi menantunya.Bram bukan tidak senang mamanya s ering mengunjunginya dan menginap di rumahnya, hanya saja dia merasa salah tingkah setiap kali Soya membicarakan hal yang menjurus pada perjodohan dirinya dengan Laras. Tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya bila dia sudah menikah dan Laras adalah adik iparnya. Bisa-bisa Bram kena semprot dan Soyta marah besar.Hari ini Soya datang tanpa memberitau Bram atau pun Laras. Saat ini Bram tidak ada di rumah, begitu pula dengan Laras, dia masih kuliah. Soya menunggu kedatangan mereka dengan kegiatan memasak untuk makan malam bersama.Pintu rumah terbuka dan seorang wanita dengan pakaian sexy masuk tanpa permisi. Rere masuk ke dalam rumah tanpa memberi salam, bahkan dia tidak tahu kalau mama Bram ada di rumahnya."Hey! Siapa kamu?" tanya Soya ketika melihat Rere menai
Makan telah usai dan mereka bercengkerama bersama. "Malam ini mama akan menginap di sini." Mata Rere langsung terbuka lebar, begitu pula dengan Bram. Apa yang dikatakan oleh wanita itu membuat kedua orang itu gelisah. Tentu saja gelisah, bila mamanya menginap di sana pasti mereka tidak akan bisa bebas. "Ma, lain kali lagi saja ya," ucap Bram menolak secara halus. Bukan hanya Rere yang gelisah, Bram juga gelisah. Pernikahan mereka tanpa diketahui oleh orang tuanya, kalau malam ini mamanya menginap, artinya mereka harus melakukan sandiwara agar tidak menimbulkan kecurigaan. "Apa kamu mengusir mama?" Ada nada kesal, marah dan kecewa dalam ucapannya. "Bukan begitu, Ma." Bram tidak bisa memberi alasan lagi. Kali ini dia tidak bisa menolak kemauan mamanya. "Kamar di rumah ini hanya ada tiga, Ma. Ada Laras dan juga ada Rere di sini." Bram kembali memberi alasan agar mamanya tidak menginap. "Biarkan Rere tidur sama Laras! Bukannya mereka bersaudara? Atau mama saja yang tidur sama Laras
Soya mendekati dan merangkul pundak Laras. Wanita itu bisa merasakan kepedihan hati Laras."Kita bercerai saja! Aku tidak mau lagi hidup bersama wanita sepertimu." Suara Bram terdengar dingin, namun sangat merasuk dan menusuk setiap hati yang mendengarnya, kecuali Soya. Mama Bram itu jelas tidak memiliki rasa sakit, melainkan malah senang mendengarnya.Mata Rere membulat sempurna. Dia kaget mendengar putusan yang dikatakan oleh Bram."Sayang, kamu tidak bisa melakukan itu. Aku mencintaimu."Rere meraih tangan Bram dan terus membujuknya untuk tidak melakukan perceraian itu. Wajahanya sendu mengisyaratkan kesedihan."Tapi aku sudah tidak mencintaimu lagi." Sekali lagi suara Bram masih terdengar dingin tanpa kompromi dan terkesan tidak ingin mendengarkan rayuan Rere.Karena sikap Bram ini, wajah sedih dan memelas Rere seketika berubah menjadi marah, lalu dengan tatapan penuh kebencian dia menatap tajam Laras."Kenapa Bram? Apa karena wanita itu?" ucap Rere mengangkat dan menunjukkan tanga
Laras sudah bangun pagi ini, rumah itu masih terlihat sepi. Hanya Laras yang sudah sibuk di dapur untuk membuat sarapan yang lainnya masih terlelap dalam mimpi indah. "Laras, kamu sudah bangun?" sapa Bram yang baru turun dari tangga. "Sudah, Kak. Kakak mau aku buatkan kopi?" Laras menoleh dan memberikan satu senyuman untuk menyapa Bram. "Boleh, tapi aku mau mandi dan bersiap dulu. Hari ini aku ada rapat pagi di kantor." Bram menatapnya lekat membalas senyuman Laras. "Baik, Kak." Bram kembali berjalan menaiki anak tangga dan bersiap-siap. Sedangkan Laras masih sibuk dengan rutinitasnya. Setelah selesai dan semua beres, Laras masuk ke dalam kamar dan bersiap untuk kuliah. Laras keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi dan beberapa buku dalam tangannya. Dia telah siap untuk melakukan rutinitas hariannya, kuliah. Mereka duduk di meja makan sambil menikmati sarapan pagi. "Kak, apa kak Rere tidak ikut kita sarapan?" Laras heran kenapa Rere tidak ada bersama mereka. Laras mengarahkan
Saat keluar dari ruang belajar, Pits sudah menunggu Laras di depan pintu."Pits?" Laras heran dan bingung melihat Pits."Kita pulang bareng." Pits segera meraih tangan Laras dan menggandengnya tanpa meminta izin terlebih dahulu. Dia juga tidak peduli dengan setiap mata yang melihat."Pits, jangan lepaskan!" Laras berusaha menepis tangan Pits, tetapi pria itu malah semakin erat menggenggamnya dan membaawanya berjalan.Pits juga meminta Laras segera naik ke atas motornya."Begini!" Pits menuntut tangan Laras melingkari pinggangnya.Laras memeluk erat pinggang pria di depannya, sebenarnya dia tidak ingin melakukan itu tapi Pits memaksanya. Laras merasa canggung, selama ini dia tidak dekat dengan pria itu. Pits melajukan motornya dengan santai, pria itu ingin menikmati kebersamaannya dengan Laras. "Bagaimana kalau kita makan dulu?" ucap Pits dari motornya. "Terserah kamu," ucap Laras pasrah. Pits menghentikan motornya di depan rumah makan sederhana
Hubungan antara Laras dan Pits semakin dekat, hal itu membuat Bram merasa gundah. Pria itu menjadi urung-uringan setiap hari, baik di kantor maupun di rumah. Tidak jarang Laras pun terkena imbasnya. Seperti pagi ini, Laras sudah menyiapkan sarapan dan membereskan rumah. Gadis itu sudah bersiap untuk berangkat kuliah. Saat melintasi Bram, Laras enggan untuk menyapanya karena beberapa hari ini Bram selalu cuek padanya. "Aku akan mengantarmu," ucap Bram tiba-tiba. "Tapi aku sudah dijemput Pits, Kak." "Tidak ada bantahan!" Bram menarik tangan Laras dan membawanya masuk ke dalam mobil. Sebelum masuk, Bram melihat ke arah Pits dengan wajah marah. Pits membalas pandangan mata Bram dengan tajam pula. Bram berjalan menghampiri pria dengan kuda besinya. "Mulai sekarang aku yang akan antar jemput Laras. Terima kasih selama ini kamu sudah menjaganya," ucap Bram penuh penekanan. "Jangan memaksakan kehendak Anda, Tuan! Laras tidak menyukaimu, dia lebih
Seperti biasa pagi ini Laras bersiap untuk ke kampus. dia berjalan ke luar kamarnya. Saat dia berjalan hendak keluar rumah, Bram sudah mengikutinya dari belakang dan langsung memeluk pinggang rampingnya. Laras seketika terkejut dan berbalik memukulnya dengan buku yang dia bawa. "Dasar kurang ajar!" ucap Laras sambil memukul keras. "Ampun!" teriak Bram sambil melindungi kepalanya dengan tangan. "Kak Bram?" Laras berhenti memukul. Laras kesal dan kaget karena Bram tiba-tiba memeluknya. "Kamu galak banget." Bram mengusap bagian tubuhnya yang menjadi sasaran empuk pukulan Laras. "Lagian Kakak main peluk saja. Aku kaget Kak." Laras tersipu malu. "Maaf. Berarti aku berhasil donk sudah membuat kejutan untukmu." Bram masih saja menggoda Laras dengan kedipan matanya yang genit. "Apaan sih, Kakak ini?" ucap Laras malu. Pipinya serta merta langsung merona membuat Bram semakin gemas dan mencubitnya. "Sakit, Kak." Laras menepis tangan Bram