Bram menjemput Laras sepulang kuliah. Sejak saat kejadian itu Bram tidak membiarkan istrinya pergi sendirian. Meski Rere telah mati dan tidak akan ada lagi yang mengganggunya, tapi Bram masih tidak mau membiarkan Laras pergi dan pulang kuliah sendirian.
"Kak, kita mau ke mana?"Laras heran saat Bram melajukan mobilnya bukan pada jalan arah ke rumah mereka.Bram tersenyum dengan menggenggam erat tangan istrinya. Bukan hanya menggenggam saja, Bram sekarang hobi memberi kecupan manis pada punggung tangan Laras."Ikut saja! Nanti juga kamu akan tau, Sayang.""Kak, kenapa ada rahasia? Bukankah suami istri tidak boleh ada rahasia?" Laras cemberut."Bukan rahasia, Sayang. Ini namanya sebuah kejutan." Bram mencium kembali tangan Laras."Kejutan? Kejutan apa, Kak?" Laras penasaran. Mendengar kata kejutan, bola mata Laras berbinar. Dia paling suka bila Bram memberinya kejutan karena kejutan yang Bram berikan selalu saja mampu membuatnya bahagia dan terharu."KKehamilan Laras merupakan berita membahagiakan bagi Bram dan keluarga Grey. Saat Bram mengatakan bila Laras telah hamil dan saat ini usia kehamilannya sudah memasuki usia 24 minggu, maka kabar suka cita ini langsung tersebar ke seluruh perusahaan Bram.Selama kehamilan Laras, Bram selalu menjadi suami SIAGA, siap, antar, jaga. Seluruh keinginan Laras selalu saja dituruti, bahkan bila istrinya tidak mau makan, Bram akan memaksa dan mencari cara agar istrinya mau makan.Bram tidak melarang Laras untuk tetap bekerja, hanya saja Bram menempatkan pekerjaan istrinya berdampingan dengannya. Bram ingin setiap saat bisa menemani Laras. Meski istrinya itu termasuk wanita yang mandiri, tapi tetap saja Laras membutuhkan dirinya. Laras sendiri tidak mau terlalu mandiri, dia tetap menghargai Bram sebagai suami dan bisa menempatkan diri di mana dia bisa bermanja dan di mana dia harus mandiri.“Sayang, sekarang kamu mau makan apa?” tanya Bram saat mereka dalam perjalanan pulang.“Ak
Laras terus merintih menahan sakit dan memanggil Bram. Suaminya itu langsung berjalan di sisi kepalanya memegang tangan dan memberikan dukungan pada Laras."Kak, sakit!" rintih Laras sudah tidak tahan lagi menahan rasa sakit dan mulas pada perutnya."Kamu kuat, Sayang," ucap Bram mengusap wajah Laras."Ya, aku pasti kuat, tapi jangan tinggalin aku, Kak!"Bram tersenyum. "Tidak, Sayang. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sedetik pun."Bram menemani Laras dalam proses persalinan. Dia selalu berada di samping istrinya dan selalu memberikan sentuhan dan kecupan yang membuat Laras lebih nyaman saat menghadapai rasa sakit dan mulas dalam perutnya. Grey dan Soya yang mendapatkan kabar dari Joy tentang persalinan Laras langsung menuju rumah sakit. Mereka menunggu dengan cemas, sedangkan di dalam ruang bersalin Laras sedang bertaruh nyawa melahirkan anak bagi Bram dan Bram selalu setia berada di sampingnya hingga terdengar suara tangis bayi yang menggema dan memu
Seorang gadis dengan pakaian sederhana dan tas ransel di punggungnya berdiri di tengah keramaian terminal kota. Menatap ke segala arah seolah sedang menunggu seseorang. Seorang pria melongok kepala ke arah gadis itu. "Apa kamu yang bernama Laras?" tanya pria itu. Laras melihat pria tersebut dengan rasa ragu, "Kamu siapa?" "Aku, Bram. Rere menyuruhku untuk menjemputmu." Laras masih ragu dengan ucapan pria itu, "Tapi kak Rere tidak bilang kalau menyuruh orang lain untuk menjemput aku. Dia bilang, dia sendiri yang akan datang dan menjemput aku," ucap gadis itu polos. "Dia sedang ada pemotretan. Bagaimana, kamu mau ikut denganku atau mau menunggunya datang? Mungkin bulan depan dia baru datang," ucap pria itu kesal. "Tunggu! Aku akan menelponnya." "Tidak ada waktu! Kalau mau pergi, sekarang masuklah! Tapi kalau tidak, aku akan meninggalkanmu." Laras melihat pria itu sekali lagi, sepertinya pria itu tidak berbohong. Laras masuk ke dalam mobil belakang pengemudi. "Kamu ki
Aroma harum yang dihasilkan dari nasi goreng buatan Laras sungguh menggoda. Aromanya menyebar hampir ke seluruh ruangan hingga tercium oleh hidung pria yang sedang santai menikmati acara TV."Wangi banget bau masakannya membuat perutku lapar, keroncongan," ucap pria itu menghirup aroma masakan cukup dalam dan beberapa kali mengulanginya.Sementara di meja makan, Laras dengan senyum mengembang di bibir sedang menikmati nasi goreng hasil olahan tangannya sendiri. Dengan senyum di bibir, gadis itu masih enggan menyuap karena ingin menikmati aroma harumnya."Akhirnya terisi juga nih perut. Hemm ... sedap sekali! Aku akan menikmatinya. Selamat makan cacing-cacing dalam perutku." Laras mencium nasi yang ada di piring."Apa kamu tidak mau membaginya untukku?" Bram tiba-tiba muncul dan mengagetkan Laras dari arah belakang. Wajah dan tatapannya masih saja dingin, padahal dia bertanya dan berharap gadis yang ada di hadapannya itu membagi masakan yang membuat perutnya keroncongan."Kak Bram!" L
Pagi-pagi Laras sudah terbangun dan bergegas menuju dapur untuk membuat sarapan. Bangun pagi dan membuat sarapan sudah menjadi kebiasaan gadis itu selama tinggal bersama orang tuanya."Emmm, nyenyak sekali tidurku. Ternyata enak ya, tidur di tempat orang kaya. Kasurnya empuk, pantas saja mereka berlomba-lomba menjadi orang kaya. Eh, aku juga mau." Laras seperti orang mimpi di pagi hari, ngomong sendiri, senyum sendiri dan tertawa sendiri sembari menutup mulutnya menggunakan dua tangan.Bunda Laras selalu mengajarkan putrinya untuk hidup mandiri. Semenjak ayah kandungnya meninggal dalam kecelakaan, Laras memang dituntut untuk mandiri. Waktu itu umurnya baru sepuluh tahun, tapi dia harus membantu bundanya bekerja mencari uang untuk biaya hidup.Laras tidak pernah mengeluh meski hidupnya susah. Hasil dari ketekunan dirinya dan bunda, akhirnya mereka bisa mendirikan toko kelontongan. Meski hanya kecil, dari hasil penjualan sembako cukup untuk biaya hidup dan sekolah untuk Laras.Laras ter
'Sebenarnya apa yang terjadi pada keluarga mereka? Kenapa mereka malah berdebat sendiri?' Bram masih setia memperhatikan dua wanita yang sedang berbicara masalah keluarga mereka. Pria itu baru mengetahui tentang keluarga istrinya. Selama ini Rere tidak pernah menceritakan tentang keluarganya.Bram juga baru mengetahui kalau ternyata Laras adalah saudara tiri istrinya. Dia juga baru mengetahui kalau bunda Rere ternyata bukan ibu kandungnya."Kak, kenapa Kakak tidak memberitahu kami tentang pernikahan kalian?" ucap Laras melihat Rere berganti pada Bram."Itu bukan urusanmu!" Sekali lagi Rere menunjukkan rasa tidak suka karena Laras mempertanyakan tentang pernikahannya dengan Bram."Tapi ayah pasti akan marah kalau tau Kakak sudah menikah tanpa memberitahunya." Laras masih saja penasaran dengan pernikahan Rere dan Bram."Jangan pernah beritahu ayah! Atau kamu akan tau akibatnya." Rere mengeluarkan ancaman pada Laras karena adik tirinya itu masih saja berbicara tentang pernikahan mereka.
Laras berjalan santai di tengah keramaian taman kota. Hari ini dia ingin menyegarkan otaknya setelah berdebat lumayan panjang dengan Rere. Langkahnya terhenti di sebuah bangku panjang yang terletak di bawah pohon rindang. Laras duduk dengan satu kaki berpangku pada satu kaki lainnya dan matanya diedarkan ke setiap sudut taman."Ramai, ya. Coba di desa ada taman seperti ini, pasti enak setiap sore bisa duduk santai," gumam Laras sembari menikmati udara segar.Mata Laras terhenti pada sepasang kekasih yang sedang bermesraan di bangku seberang tempatnya duduk. Laras tersenyum senang melihat tingkah mereka yang romantis."Apa seperti itu ya, kalau orang pacaran?" Senyumnya mengembang ketika melihat sang pria menggenggam erat tangan sang wanita dengan satu tangan membelai lembut rambut yang tergerai indah terbawa angin.Maklum, selama ini dia belum pernah merasakan pacaran. Laras memang belum pernah merasakan punya pacar. Dia tidak pernah memikirkan hal itu karena dia sibuk membantu bundan
Setelah mandi dan membersihkan diri, Bram membaringkan tubuhnya di kasur dengan kepala bersandar pada sandaran tempat tidur. Rere mendekatinya dan berbaring di sampingnya dengan menyandarkan kepala pada dada Bram yang lapang.Tangan Rere mulai membelai dada suaminya dan memainkan jemarinya yang lentik."Sayang, besok aku ada pemotretan, kemungkinan aku tidak akan pulang selama dua hari." Rere bersuara sangat lembut ketika dia merayu agar Bram tidak marah."Apa pemotretannya di luar kota sehingga kamu tidak bisa pulang?" tanya Bram dengan nada sedikit sinis karena kesal."Dalam kota sih, tapi jadwalnya sampai larut malam. Kalau harus pulang pergi akan memakan waktu dan lelah, makanya lebih baik aku tidur di hotel saja.""Kenapa tidak kamu tinggalkan pekerjaanmu itu dan bekerjalah di perusahaanku? Kalau hanya memenuhi kebutuhanmu sehari-hari saja aku masih mampu. Untuk biaya kuliah Laras, aku juga bisa mencukupinya," ucap Bram penuh penekanan."Ini bukan masalah uang, Bram!" Rere mulai