“Paman …?” panggil Sherin. Suaranya terdengar sedikit bergetar.Arnold terdiam cukup lama, membuat dada gadis itu semakin sesak oleh keheningan yang mencekam. Sorot matanya yang tajam tak kunjung beralih dari wajah Sherin, seolah tengah menimbang sesuatu yang berat.Ketika akhirnya pria itu bereaksi, hanya seulas senyum samar yang muncul di bibirnya—senyum yang sama sekali tidak menenangkan, justru membuat Sherin semakin gelisah.“Kenapa kamu bertanya seperti itu? Apa sekarang kamu tertarik padaku?” goda Arnold. Suaranya terdengar santai, menghapuskan ketegangan yang tercipta di udara.Kening Sherin mengerut, tampak kaget dengan pertanyaan konyol pria itu. Padahal ia berharap pria itu merasa tersudutkan dengan interogasinya, tetapi situasi malah berbalik padanya.“Jangan bercanda!” sergah Sherin, mencoba menutupi gugupnya. “Aku cuma─”“Kalau suka, bilang saja. Tidak usah malu,” potong Arnold, kembali menggodanya. Tawa kecil meluncur dari bibirnya, seakan menikmati kegugupan yang ditun
“Pergilah mandi dan ganti pakaianmu.”Sherin yang sedang melamun sontak terperanjat mendengar suara Arnold. Pria itu sudah berpakaian rapi, berdiri tegak di depannya sambil menyodorkan setelan yang ia kenakan kemarin.Ia sempat mengira bajunya tertinggal di ruang ganti kelab, tetapi ternyata Arnold telah membawakannya.Meskipun masih meragukan cerita Arnold mengenai telepon yang diterimanya dari pihak kelab, Sherin tidak dapat memungkiri bahwa pria itu telah berjasa mengeluarkannya dari kelab itu.Andai saja Arnold tidak datang semalam, ia tidak berani membayangkan akhir yang terjadi padanya sekarang.“Aku tidak ada baju ganti lain,” imbuh Arnold. Suaranya terdengar dingin, seakan ingin menyembunyikan kepeduliannya. Seringai kecil mengukir bibirnya saat ia melanjutkan, “Kalau kamu tetap mau cosplay seperti kucing jalanan juga tidak masalah kok.”Sherin memanyunkan bibirnya. Sindiran Arnold menyadarkan betapa memalukannya penampilannya saat ini. Dengan wajah memerah, menahan malu, ia s
“Kucing nakal, mau sampai kapan kamu melihatku seperti itu?”Sherin tersentak mendengar sindiran tajam Arnold. Instingnya membuatnya cepat memalingkan pandangan.“Lihat … air liurmu sampai menetes. Jorok sekali,” cibiran pria itu membuat Sherin refleks mengusap bibirnya. Namun, ternyata Arnold hanya bercanda.Sherin pun mendeliknya dengan tajam, berharap Arnold menyadari kesalahannya. Sayangnya, sorot mata tajamnya justru membuat pria itu menahan senyum, seolah menikmati reaksi Sherin.Rona merah di pipi Sherin dan alis yang mengernyit, membuat Arnold membayangkan kemiripan gadis itu dengan seekor kucing kecil yang sedang marah—imut dan menggemaskan.“Kenapa Paman ada di sini?”Pertanyaan Sherin membuyarkan lamunan Arnold. Satu alis tebal pria itu menukik tajam.Sebelum menjawab, Arnold menegakkan tubuh Sherin terlebih dahulu, lalu perlahan melepaskan rangkulannya dari pinggang rampingnya.“Apa aneh kalau aku ada di rumahku sendiri?” Suara rendah Arnold yang datar mengagetkan gadis it
“Haish! berisik sekali!”Sherin mengerang kesal, berguling di ranjang sambil menutupi telinganya dengan bantal. Ia masih sangat mengantuk, tetapi dering ponsel di sisi tempat tidur memaksanya terjaga.Dengan enggan, gadis itu menegakkan tubuhnya. Namun, dering ponsel telah berhenti dan di saat yang bersamaan kepalanya berdenyut hebat karena ia bangkit terlalu tergesa-gesa.“Akh!” Gadis itu merintih pelan, duduk sambil memegangi kedua sisi kepalanya.Selain kepalanya yang berat, ia juga merasakan sakit di sekujur tubuhnya terutama punggungnya seperti habis dihantam batu yang sangat besar.Dengan susah payah, Sherin membuka matanya yang terasa malas. Pemandangan pertama yang tertangkap membuatnya tertegun. Ruangan yang ditempatinya saat ini bukan kamarnya sendiri, bukan juga ruangan kelab yang penuh lampu kelap-kelip.Ruang tidur dengan dominasi biru muda ini sangat sederhana, tidak terlalu luas tetapi terasa hangat dan nyaman. Tirai tipis masih menutupi jendela, dan aroma kayu bercampu
“Bos, saya menemukan handphone ini di lantai,” lapor salah seorang pengawal Arnold, menyerahkan gawai yang ditemukannya kepada majikannya.Arnold mengerutkan keningnya. Ia mengenal gawai tersebut. Benda berlayar pipih yang retak itu adalah milik istrinya, Sherin.‘Dasar gadis ceroboh,’ gumam Arnold di dalam hati.Namun, detik berikutnya, senyuman pria itu perlahan memudar tatkala jemarinya tidak sengaja menekan tombol “play” sehingga rekaman suara yang diambil Sherin sebelumnya kembali menyala.Mata Arnold berkilat tajam, lalu ia menoleh ke arah Sophia yang juga tampak terkejut dengan rekaman pengakuan Bernard yang diputar tersebut.“Jadi selama ini dia menjadikan kelab kita sebagai tempat transaksi kotornya?” gumam Sophia tak percaya.Padahal selama ini ia sudah meminta para karyawan kelabnya untuk memata-matai Bernard, tetapi tidak seorang pun melaporkan hal itu padanya.Seakan memahami keterkejutannya, Arnold berkata, “Cari tahu apa yang terjadi. Selidiki siapa saja yang biasa mela
Bernard masih berusaha membela diri. “Sa-saya hanya menakut-nakutinya saja, King. Saya tidak bermaksud—”Ucapannya terhenti oleh cengkeraman Arnold di lehernya. Jemari kokoh pria itu menekan kuat hingga suara Bernard berubah menjadi desahan tercekik.“Apa kamu meremehkanku, Tuan Murray?” Suara Arnold terdengar rendah dan dingin, tetapi tetap terukur, menyiratkan kemarahannya yang tertahan. “Kamu pikir aku cukup bodoh untuk percaya dengan alasan konyolmu itu?”Tatapan Arnold sangat menusuk, seperti pisau yang siap menghujam pria tambun itu. Kata demi kata yang meluncur dari bibirnya menciptakan ketegangan yang membekukan udara.“Sekarang jawab,” bisik Arnold, menekan cengkeramannya sedikit lebih keras, “Kesalahan apa yang dilakukan gadis itu sampai Anda merasa berhak menghakiminya, Tuan Murray?”Bernard meneguk salivanya dengan kasar. Tubuhnya bergetar semakin hebat.“Tidak punya alasan?” Alis Arnold menukik tajam.“Tidak, K-King … Saya─”Alih-alih memberi kesempatan bicara, Arnold jus