Se connecterKabur dari resepsi pernikahan, menikah dengan pria asing, lalu jatuh cinta padanya? Demi menyelamatkan galeri seni peninggalan mendiang ibunya, Sherin Scarlet nekat menikahi pria asing yang bahkan tak ia ketahui namanya. Ia tidak pernah menyangka suami dadakannya itu bukanlah pria sembarangan. Sebuah pernikahan kontrak yang semula hanyalah pelarian, berubah menjadi permainan takdir penuh rahasia dan menjerumuskannya ke dalam pelukan pria dengan sejuta pesona berbahaya yang mengguncang hidup dan hatinya. Saat masa lalu mulai terbongkar, dan cinta tumbuh di antara kebohongan .... Mampukah Sherin bertahan, atau justru terseret ke dalam permainan takdir yang tidak pernah ia bayangkan? Genre : Romansa Tag : wanita kuat, identitas tersembunyi, bos/CEO, perbedaan usia, nikah kilat, nikah kontrak, diam-diam perhatian, dewasa, drama, pernikahan dadakan, pengantin kabur
Voir plus“Sayang … lebih cepat. Ah!”
Suara manja penuh desahan, terdengar jelas dari balik pintu ruang tunggu mempelai pria. Setiap kata yang menembus telinga Sherin Scarlet seperti anak panah beracun yang membuatnya terdiam kaku di luar pintu ruangan tersebut.
Gaun pengantin putih gading yang semula begitu ia banggakan kini terasa seperti jerat yang melilit tubuhnya. Sesak dan .... menyakitkan.
Tetes demi tetes air mata jatuh tanpa ampun dari mata hijau zamrud Sherin. Ia menahan napas, menahan tangis yang mendesak keluar, menahan amarah yang mendidih di dadanya, bahkan saat jantungnya nyaris remuk oleh kenyataan yang tersaji di depan matanya.
Melalui celah pintu yang tidak tertutup rapat, Sherin bisa melihat bayangan dua tubuh yang berpadu dalam hasrat.
Salah satunya adalah adik tirinya─Paula Scarlet. Gadis itu setengah duduk di meja rias dengan menyingkap tinggi gaun bridesmaid-nya, memperlihatkan pahanya yang terbuka lebar.
Sementara sosok yang lainnya adalah seorang pria muda yang tengah asyik menghunjam tubuh adik tirinya itu dengan brutal dan tanpa dosa. Pria itu bukanlah orang asing, melainkan adalah Marco Langdon─pria yang, dalam hitungan menit, seharusnya berdiri di pelaminan bersama Sherin.
Menyaksikan pengkhianatan tersebut, dunia Sherin runtuh dalam sekejap. Seluruh rencana bahagia yang telah ia siapkan dengan penuh harapan dan cinta sudah tidak lagi berarti.
Desahan Paula menggema dari balik ruangan—seperti pisau yang mengiris hati Sherin berkali-kali. Ingin rasanya ia mendobrak pintu itu dan melabrak keduanya. Namun langkahnya tertahan ketika suara Paula terdengar di sela kenikmatan, “Marco, siapa yang lebih kamu cintai? Aku atau Kak Sherin?”
Sherin terdiam, napasnya tertahan. Meski ia tahu jawabannya, bagian dalam dirinya masih menggantungkan harapan kecil bahwa Marco mungkin menyadari kesalahannya. Sayangnya, harapan itu langsung musnah begitu jawaban Marco terdengar.
“Tentu saja kamu, Sayang. Kamu tahu kan, aku cuma terpaksa menikahinya. Sherin terlalu membosankan.”
Diiringi tawa kecil, pria itu melanjutkan, “Gadis sok suci itu ... siapa yang mau? Aku rasa dia bahkan tidak tahu bagaimana caranya memuaskan pria.”
Sherin membeku. Kata-kata itu menyakitinya lebih dalam daripada adegan tak senonoh yang baru saja disaksikannya.
‘Terpaksa menikahiku? Bukankah kamu sendiri yang mengejar dan bersimpuh menyatakan cinta lebih dulu?!’
Sherin tertawa getir dalam hati. Betapa pintarnya Marco memutarbalikkan kenyataan.
Siapa yang mengatakan Sherin tidak tahu cara memuaskan pria? Apa salahnya menjaga kehormatan hingga pernikahan?
Lagipula Marco selalu berkata bahwa ia siap untuk menunggu hingga malam pertama mereka. Tapi, sekarang …?
Sherin pun menyadari kebodohannya yang percaya dengan ucapan manis dan perhatian palsu pria itu selama ini.
“Kalau begitu, kenapa kamu masih mau menikahinya?” Suara manja yang sarat dengan kecemburuan dari Paula kembali terdengar.
“Karena dia masih berguna untukku, Sayang,” jawab Marco dengan santai.
Sherin mengerutkan keningnya. Namun, sebelum ia sempat memahami maksud ucapan tersebut, suara Marco kembali terdengar.
“Tenang saja. Begitu aku dapat hak pengelolaan penuh atas Clover, aku akan menceraikannya.”
Sherin terhenyak. ‘Ternyata dia ….’
Clover adalah galeri seni milik keluarga Scarlet. Lebih tepatnya, merupakan warisan peninggalan satu-satunya dari ibu kandung Sherin.
Berdasarkan surat wasiat dari mendiang sang ibu, Sherin baru mendapatkan hak penuh atas galeri jika ia sudah menikah. Tidak pernah terbesit sedikit pun di dalam benaknya jika Marco menginginkan harta berharganya itu.
‘Kamu ingin mengambil Clover dariku?’
Kemarahan menyala pada sepasang mata Sherin yang basah. Gadis itu mengepalkan kedua tangannya dengan erat, lalu kembali bergumam di dalam hati, ‘Aku tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi, Marco!’
Sherin menghapus air mata dengan satu gerakan kasar, mendongakkan kepala dengan dagu terangkat, lalu berjalan meninggalkan tempat itu dengan tekad penuh untuk membalas pengkhianatan yang didapatkannya!
***
Detik-detik mengikrarkan janji suci pun tiba. Gaun putih Sherin menyapu lantai aula, diiringi alunan musik lembut yang terdengar sumbang di telinganya. Tamu-tamu berdiri dan memandang kagum saat ia melangkah anggun menuju ke pelaminan.
Marco menunggu dengan penuh senyuman seakan-akan tidak ada dosa yang telah dilakukannya. Ia menyambut Sherin dengan uluran tangan, tapi Sherin hanya melewatinya tanpa menyentuhnya.
Marco terheran-heran. Namun, demi menjaga citra baiknya, ia tetap menebar senyum palsu dan berlagak tenang. Ia mengira Sherin hanya gugup atau kelelahan saja.
Sang pemuka agama mulai membacakan janji suci pernikahan. Suasana di dalam aula menjadi hening dan khidmat.
Marco menjawab dengan lantang atas kesediaannya menerima Sherin sebagai istrinya. Suara tepuk tangan yang meriah pun menggema di dalam ruangan.
Namun, tepat giliran Sherin menjawab kesediaannya, gadis itu hanya diam. Kebingungan dan kegelisahan pun menyebar di seluruh aula.
Marco pun melirik calon istrinya itu dan berbisik, “Sayang, jangan bercanda. Semua orang sedang menunggumu.”
Sherin menoleh dan tersenyum sinis. Satu detik kemudian, suaranya menggema di seluruh aula. “Saya … TIDAK bersedia!”
Seisi aula bergemuruh hebat atas kejutan yang mereka dengar. Sementara, Marco terpaku selama beberapa detik, tetapi kemudian ia mencoba memastikan keadaan gadis itu dengan penuh perhatian. “Sayang, kamu kenapa? Apa kamu sakit atau─?”
“Cukup, Marco Langdon. Hentikan sandiwaramu.” Sherin menyela dengan dingin dan tajam.
Marco terperangah. Sebelum ia sempat merespon, Sherin melanjutkan, “Aku sudah tahu semua kepalsuanmu dan hal ‘baik’ apa yang sudah kamu lakukan dengan Paula di belakangku.”
Gema suara Sherin memantul di seluruh ruangan. Para tamu saling berpandangan dan berbisik. Beberapa bahkan sudah mulai merekam dengan ponsel mereka, tak ingin melewatkan momen tersebut.
Marco tersenyum kikuk. “Sayang─”
“Kalian berdua adalah pasangan paling hina dan menjijikkan,” Sherin kembali menyela, tidak memberikan kesempatan bagi pria itu untuk membela diri.
Wajah Marco memucat. Begitu juga dengan Paula yang berdiri tidak jauh dari pelaminan.
Namun, Paula tiba-tiba terisak dan berkata, “Kak Sherin, aku tahu selama ini kamu selalu marah kalau Kak Marco berbicara denganku. Padahal Kak Marco hanya ingin tahu segalanya tentangmu dariku. Tidak seharusnya kamu berpikiran buruk dan memfitnah kami seperti ini hanya karena rasa cemburumu.”
Ibu Paula─Penelope Smith ikut memperkeruh suasana dan menyudutkan Sherin. “Kenapa kamu selalu seperti ini, Sherin? Apa belum cukup kamu menindas Paula selama ini?”
Sherin tertawa getir. “Lucu. Selama ini siapa yang menindas siapa?”
Padahal Sherin-lah yang selalu mengalami penindasan dari Penelope dan putrinya. Semenjak ibu kandungnya tiada, tidak ada satu hari pun di mana Sherin menerima perlakuan yang pantas sebagai putri sulung keluarga Scarlet. Keduanya selalu memfitnahnya dan membuat dirinya dianggap sebagai gadis pemberontak yang sulit diatur.
“Sherin, cukup! Apa kamu ingin menghancurkan wajah keluarga kita baru kamu puas?” David Scarlet, ayah kandung Sherin membentak putri sulungnya itu dengan keras.
“Minta maaf pada Paula dan Marco,” lanjut David dengan wajah menahan malu atas kekacauan yang terjadi.
Sherin menatap ayahnya tak percaya. “Meminta maaf?” ulangnya, tersenyum pahit.
“Lihatlah siapa yang seharusnya meminta maaf di sini, Papa!” seru Sherin seraya menunjuk ke arah layar yang ada di belakangnya.
Rekaman adegan ‘mesra’ Paula dan Marco yang terjadi di ruang tunggu sebelumnya ditampilkan pada layar tersebut.
Tubuh David limbung dan terduduk syok di kursinya. Paula menangis histeris, sedangkan Penelope berusaha menghalangi adegan yang dipertontonkan, “Matikan layarnya!” jeritnya, panik.
Suasana menjadi sangat gaduh. Umpatan kasar dan komentar buruk pun meluncur dari bibir para tamu dan kedua keluarga besar.
Sherin pun tersenyum lebar dengan penuh kemenangan. Tanpa mempedulikan kekacauan yang diciptakannya, ia berjalan turun dari pelaminan.
Namun, Marco bergegas menarik lengannya. “Sherin, kita harus bicara!”
“Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Bajingan!” tukas Sherin seraya melempar buket bunga yang remuk di tangannya ke wajah Marco.
Pria itu pun melepaskan cekalannya karena buket bunga tersebut mengenai matanya. Tanpa membuang waktu, Sherin pun berlari, melemparkan wedding veil dan sepatu yang menghambat langkahnya.
‘Semua sudah berakhir,’ batin Sherin. Dadanya terasa lega sekaligus perih. Air mata pun berlinang deras di pipinya, tetapi ia tidak menyesali keputusan yang telah diambilnya.
Akan tetapi, Marco ternyata tidak membiarkannya pergi begitu saja. “Hentikan dia!” teriak pria itu, mengerahkan seluruh pengawalnya untuk membawanya kembali.
“Gila?” Alih-alih merasa tersinggung dengan kata itu, Ryan malah terkekeh geli.“Mungkin kamu benar," desisnya seraya mengulas seringai kecil di bibirnya. "Sayangnya, di dunia ini tidak ada obat yang dapat menyembuhkan kegilaanku selain … pertumpahan darah."Suara Ryan terdengar lebih dingin dan menekan. Namun, Arnold masih bergeming. Ia hanya menghela napas panjang, memutar gelas kristalnya dengan santai. Siapa pun yang mendengar ucapan Ryan mungkin akan mengira pria itu benar-benar kehilangan kewarasannya. Akan tetapi, Arnold yang sudah mengenalnya cukup lama, tidak sedikit pun terkejut mendengar pernyataan itu.Arnold sudah terlalu sering menyaksikan sisi tergelap Ryan. Bukan karena pria itu haus darah, melainkan karena ada kepuasan aneh yang Ryan rasakan setiap kali melihat pertumpahan darah di sekitarnya—seolah kekerasan membuatnya merasa lebih hidup.Padahal Arnold sempat percaya, setelah bertahun-tahun terapi, Ryan sudah bisa mengendalikan emosinya. Namun, melihat sorot mata
"Kamu sudah temukan mata-mata itu?" selidik Arnold tanpa basa-basi.Ryan tersenyum miring. “Mantan hostess yang terbunuh waktu itu adalah salah satunya. Dia adalah kaki tangan mereka,” jawab Ryan atas informasi yang ia temukan.Sudut bibir Arnold ikut terangkat naik, tetapi ia tidak berkomentar apa pun."Gadis itu adalah perantara transaksi Benard Murray dengan Shadow Eagle. Karena Bernard tertangkap, gadis itu akhirnya dibungkam untuk menutupi jejak," lanjut Ryan.Arnold masih terdiam. Hanya ada ketenangan dingin di wajahnya, sementara pikirannya bergerak cepat, menyusun potongan teka-teki yang berserakan di pikirannya. Awalnya, dari informasi yang ia dapatkan dari Sophia, Arnold sempat tidak memahami mengapa Clara sampai harus dibunuh sekeji itu, bahkan tubuhnya dimutilasi agar dapat menyamarkan jejaknya.Namun, sekarang, dengan informasi tambahan yang diberikan Ryan, potongan puzzle yang membingungkannya mulai terhubung.“Hanya itu?” Arnold mengangkat satu alisnya, suaranya terden
“Tuan … Fang?”Oliver terperangah, menatap sosok yang tidak lain adalah ketua Black Fang, Ryan Fang.Kepalan tangannya yang tadi hampir melayang seketika melonggar. Cengkeramannya pada kerah Ryan pun langsung dilepas. “Kenapa Anda—”“Memangnya aneh kalau aku muncul di sini?” potong Ryan santai, seolah ia sedang masuk ke mobil miliknya sendiri tadi.“Ma-maafkan saya, Tuan Fang,” gumam Oliver dengan suara terdengar gugup.Perlahan ia menunduk dengan wajah bersalah, menyadari tindakan tidak sopannya kepada pria itu. “Tadi saya pikir Anda bagian dari komplotan pembunuh bayaran yang kemarin.”“Wah, tega sekali kamu, Oliver.” Ryan berdecak malas sambil merapikan kerahnya sendiri. “Memangnya wajah tampanku ini seperti pembunuh apa?”Oliver buru-buru menggeleng. “Bukan begitu, Tuan Fang. Tapi─”“Yang salah itu kamu sendiri,” potong Arnold, melirik sahabatnya dengan tajam, lalu kembali mengalihkan pandangannya lurus ke depan. “Siapa suruh kamu menyelinap seperti pencuri, Ryan?”Ryan mendengus p
Tiga hari kemudian. Berkat perawatan intensif dan pengawasan yang ketat dari para tim medis profesional, kondisi Arnold pulih jauh lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Ia sudah bisa kembali berjalan normal dan menjalankan aktivitas seperti biasa. Kemarin Arnold sudah diperbolehkan pulang. Dan, hari ini, sepulang dari kantor, ia ingin pergi menjenguk istri kecilnya yang masih dirawat di rumah sakit.“Letakkan saja laporannya di mejaku. Besok baru saya tinjau,” ucap Arnold tanpa menoleh.Jari-jarinya masih mengetuk layar ponsel ketika Oliver masuk membawa setumpuk berkas yang harus ditandatangani. Oliver meletakkan dokumen-dokumen tersebut dengan rapi, lalu mengamati atasannya yang telah beranjak dari kursi dan menyambar mantel panjangnya."Anda sudah mau pulang, Tuan Muda?" tanya Oliver, merasa sedikit lega. Ia sempat khawatir atasannya itu akan memaksakan diri bekerja hingga larut.Arnold hanya mengangguk sambil mengenakan mantelnya. "Memang seharusnya Anda pulang beristirahat, T
“Tidak ada apa-apa. Semalam Sherin ingin menyelamatkanku dari kebakaran itu, tapi malah dia yang ….”Arnold sengaja menggantungkan kalimatnya, membiarkan ibunya menafsirkan sendiri maksudnya. Ia terpaksa membohongi ibunya, bukan karena tidak percaya, tetapi tidak ingin menambah kekhawatiran ibunya.Apalagi masalah penyerangan itu masih belum menemukan titik terang. Ia tidak ingin melibatkan ibunya ke dalam bahaya bersamanya.“Kamu ini …,” Beatrice mendesah panjang, menatap putranya tajam namun penuh kecewa, “sebagai suami, bukannya melindunginya dengan baik, kamu malah membuat dia yang harus melindungi kamu.”Arnold terdiam. Tidak ada bantahan yang bisa ia ucapkan, karena perkataan itu benar adanya. Ia sudah gagal menjadi seorang suami.Tatapan sendu Beatrice kembali tertuju kepada Sherin. “Gadis bodoh yang malang, cepatlah sadar dan pukullah anak sialan ini karena sudah membuatmu menjadi seperti ini,” gumamnya lirih.“Ma, sebenarnya aku ini anak kandungmu atau bukan?” keluh Arnold, be
“Jadi waktu Mama tahu kalau menantu Mama akan datang ke acara gala amal J-Charity, Mama langsung meminta undangan dari salah satu kenalan Mama,” lanjut Beatrice, nada suaranya terdengar santai seakan tidak merasa bersalah sedikit pun. Rahang Arnold mengatup rapat. Ia tidak tahu harus mulai berkomentar dari mana. Yang jelas, Arnold benar-benar tidak menduga ibunya ada di sana sejak awal. "Tapi, bagaimana Mama bisa tahu aku yang mana?" selidik Arnold, masih meragukan pengakuan ibunya. Padahal ia sudah menyamar sebaik mungkin, memakai topeng agar tidak dikenali oleh orang dekatnya. Bahkan, ia berhasil mengecoh Sherin meskipun sebelumnya gadis itu sempat mencurigainya. "Apa ...," Pandangan Arnold kembali bergeser kepada Oliver, lalu dengan suara dipenuhi curiga, ia melanjutkan, "apa dia yang memberitahu Mama?" Oliver sontak menggeleng. Sebelum ia sempat membuka mulut, Beatrice telah menyambar lebih dulu. “Jangan salahkan Oliver. Mama tidak butuh bantuan siapa pun untuk mengenali
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Commentaires