Share

3. Pindah Divisi

Dengan wajah tertekuk Resta berjalan seraya memeluk boks berisi perlengkapan kerjanya. Hari ini dia resmi menjadi salah satu staf divisi finansial di bawah kepemimpinan Gyan Jagland yang naudzubillah nyebelin itu.

Sampai di titik ini Resta sudah berusaha agar dirinya tidak dipindahkan. Mulai dari membujuk Sella, sektretaris Gyan agar mau membantunya bicara ke atasan sampai dia rela menungguin Gyan muncul di lobi. Namun, hasilnya nihil.

"Sampai bertemu besok di divisi finansial."

Itu ucapan Gyan sebelum Resta mengungkapkan keberatannya untuk ke sekian kali. Lalu pria itu bergegas pergi, tanpa menghiraukan Resta yang pasang muka memelas.

Dan pagi ini dengan sangat terpaksa heels lima senti yang dia kenakan mengetuk lantai 12 di mana sarang singa itu berada.

Salah seorang staf administrasi menunjukkan kubikel baru untuk Resta dengan wajah riang. Seolah memberi ucapan selamat datang di neraka kepada Resta.

"Selamat bergabung. Untuk pekerjaan biasanya akan kamu terima by email," ucap staf yang Resta tahu bernama Nurma.

Resta hanya meringis dan mengangguk sebelum masuk kubikel. Dengan lesu dia menata perlengkapan kerja ke meja. Beberapa kali dia menghela napas panjang seolah ada beban berat yang sedang dia pikul.

Semua barang hampir selesai dia atur ulang saat sebuah suara layaknya halilintar menggelegar di tengah workstation. Resta yang tak bersemangat refleks menegakkan punggung. Wajahnya terangkat dan langsung menemukan iblis—eh maksudnya Gyan mengamuk di sana.

"Bagaimana bisa staf yang bekerja tahunan di Perusahaan ini melakukan kesalahan sefatal ini? Kalian tau berapa kerugian perusahaan karena perbuatan kalian?!"

Astaga, jantung Resta rasanya sudah melorot ke dengkul ketika suara Gyan kembali menggelegar. Mengomeli tiga staf di depannya yang berdiri dengan kepala serempak menunduk.

Mata Resta mengerjap pelan. Dan karena terkejut jantungnya berdebar lebih kencang daripada biasanya. Dia melihat Gyan memukul-mukul dokumen yang dibawa dengan punggung tangan sambil terus menyerocos seperti petasan imlek.

Pemandangan itu seketika membuat kepala Resta pening. Sumpah, dia ingin kabur saja dan kembali ke divisi marketing yang meskipun stafnya pada gila, tapi vibesnya tidak semenyeramkan di sini.

Resta menoleh saat seseorang menepuk bahunya pelan.

Nurma tersenyum padanya. "Mereka pantas kok kena omel. Tukang manipulasi data," katanya tanpa Resta tanya.

"Apa tiap hari gue bakal liat yang kayak gini?" tanya Resta sedikit meremang. Nyalinya mendadak menciut.

"Hanya kalau ada yang bikin kesalahan sih. Lo nggak usah takut kalau memang nggak merasa bikin salah. So, bekerjalah dengan serius dan benar."

Resta tersenyum kecut. Bagaimana dia bisa bekerja dengan benar sementara pengalaman di bidang keuangan dia nol besar?

Resta menghela napas panjang sebelum berbalik lagi menghadap—

"Astaga!" Resta terlonjak kaget ketika tiba-tiba muka ngeselin Gyan sudah ada di hadapannya. Sontak dia menyentuh dadanya, menyelamatkan jantungnya yang nyaris melompat keluar.

Muka Gyan pagi ini lebih menyeramkan dari setan kuburan. Dia menatap tajam Resta.

"Masih pagi tapi kamu sudah menghela napas panjang."

"Bapak juga masih pagi tapi sudah ngomel."

Ups! Refleks Resta menutup mulutnya rapat-rapat. Mampus, kemampuan mengerem mulutnya kenapa sepayah ini sih?

Gyan langsung mendelik. Alisnya yang tebal mengeriting. "Ke ruangan saya," perintahnya lantas pergi.

Mati aku! runtuk Resta dalam hati. Dia pasti bakal kena bantai seperti kemarin. Dengan sangat terpaksa Resta berdiri keluar dari kubikel. Sempat dia lihat Nurma memberinya semangat dengan kepalan tangan. Sama sekali tidak membantu.

Hawa dingin langsung menyerbu ketika Resta kembali menjejakkan kaki di ruangan serba eksklusif yang letaknya paling ujung lorong lantai 12 ini. Kakinya melangkah dengan gaya dibuat setegar mungkin ketika Gyan kembali memanggil.

"Ada apa, Pak?" tanya Resta tanpa ekspresi. Dia tidak mau Gyan melihat wajahnya yang terintimidasi. Sebisa mungkin Resta membuat wajahnya tetap terlihat rileks.

"Tidak ada toleransi meskipun kamu baru di divisi ini. Semua staf sama, bekerja sesuai job desk masing-masing. Saya ingin kamu cepat memahami dan saya tidak mau mendengar keluhan apa pun. Saya paling nggak suka dengan staf lamban apalagi sampai melakukan kesalahan seperti tiga orang bodoh di luar tadi."

Resta meneguk ludah. Ucapan panjang Gyan isinya cuma bahan intimidasi. Resta yang biasanya suka tantangan kali ini tidak tertarik sama sekali.

"Iya, Pak." Sebisa mungkin Resta bersikap biasa saja. Berusaha tampak tidak terpengaruh.

Resta pikir setelah ucapan bos itu diaminkan, dia bakal disuruh langsung pergi, tapi ternyata itu belum selesai. Yang menyebalkan, pria itu sama sekali tidak menyuruhnya duduk, persis seperti hari kemarin.

"Tiga bulan." Gyan melipat tangan ke dada. Mata birunya yang tajam lurus menatap Resta.

Apanya yang tiga bulan?

"Saya beri kamu waktu tiga bulan. Layak atau tidaknya kamu lanjut bekerja di sini ditentukan oleh waktu tiga bulan itu," lanjutnya seraya menarik sedikit sudut bibirnya.

"Maksudnya, Pak?" Kening Resta berkerut dalam.

"Sudah jelas kan? Kalau dalam waktu 3 bulan kerjaan kamu kacau, tidak sesuai standar, dan sering melakukan kesalahan, saya tidak akan segan menendangmu dari perusahaan ini."

Resta sedikit terkesiap. Tiga tahun dia bergabung di Blue Jagland dan selama itu pula dia tidak pernah mendapat masalah apa pun soal pekerjaan. Bahkan direktur marketing sering memuji pekerjaannya. Bagaimana mungkin pria itu dengan seenaknya mengabaikan waktu tiga tahun itu?

"Maaf, Pak. Saya keberatan," tukas Resta langsung, merasa tak terima diperlakukan seperti anak baru lagi. "Saya di sini sudah tiga tahun. Bapak bisa cek bagaimana performa kerja saya selama ini. Sangat tidak adil kalau bapak memutuskan layak atau tidaknya saya bekerja di sini dengan waktu yang bapak berikan, sementara keahlian saya jelas-jelas bukan di sini."

Gyan mengangkat alis. "Saya sudah cek performa kamu. Dan saya hargai itu, makanya saya berbaik hati memberi kamu waktu untuk belajar. Kalau orang lain tidak peduli dari divisi mana berasal, dia harus bisa segera mengikuti ritme kerja di divisi ini. Tidak ada bantahan itu sudah aturan di sini."

Aturan yang pria itu bikin sendiri maksudnya?!

Rasanya Resta ingin mengumpat saja. Pria ini benar-benar membuatnya kesal setengah mati. Kalau tidak ingat keluarga yang masih membutuhkannya, Resta akan dengan senang hati melenggang pergi. Karena dia tahu pasti, waktu tiga bulan itu hanya akal-akalan Gyan saja untuk menendangnya dari perusahaan ini.

"Gue pengin kasih dia racun!" seru Resta sambil menangis di depan Joana, temannya dari divisi marketing yang tengah menatapnya prihatin.

Saat ini keduanya tengah makan siang bersama di tempat yang sudah dipastikan tidak akan terjamah oleh Gyan. Warung soto kaki lima di belakang gedung kantor. Sekelas direktur macam Gyan mana mungkin menyambangi tempat makan gerobakan begini?

"Sabar ya. Gue yakin lo bisa. Lo pinter, cuma ngitung-ngitung duit gue yakin lo bisa," ucap Joana menenangkan sahabatnya itu. Tangannya kembali mengangsurkan kotak tisu yang isinya hampir habis untuk menyeka air mata Resta. Semoga tukang soto tidak mengamuk.

"Ngitung duit pala lo. Wujud duitnya aja gue kagak tau. Sumpah ya, kalau bukan karena lagi jadi tulang punggung keluarga, gue mending cari kerjaan lain."

"Jangan gegabah. Gaji lo di sini udah lumayan. Lagi pula lo mau cari kerjaan di mana lagi? Susah cari kerja sekarang tuh. Ibarat kata baru beberapa menit lo tanda tangan resign, yang gantiin posisi lo udah ngantri sampai gedung MPR DPR. Sesusah itu, Res."

Resta makin menangis kencang. Kenapa nasibnya jadi begini sih?

"Hwaaaa! Dasar direktur sialan!"

"Siapa yang sialan?"

Suara berat itu membuat kedua wanita itu terhenyak. Bahkan Resta sontak berhenti menangis. Sementara Joana refleks menggumamkan kata 'mampus' dengan wajah menegang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status