Share

6. Tugas Dadakan

Hampir saja Resta muntah mendengar ucapan penuh percaya diri bosnya. Naksir pria itu bilang? Perlu pertapa tahunan buat naksir sama pria seperti Gyan. Wanita di dunia ini bakal terkecoh dengan paras malaikat dan mata birunya, tapi kalau sudah tahu aslinya Resta yakin seratus persen siapa pun ogah berdekatan dengan anak presdir itu. Resta berani taruhan.

Menanggapi ucapan asal Gyan, Resta memilih memalingkan muka ke layar komputer lagi. Memutuskan tidak ingin berurusan dengan pria itu. Apalagi sekarang masih pagi. Tidak baik untuk kesehatan mental. Tapi...

"Ikut ke ruangan saya," ucap Gyan yang sontak membuat Resta mendongak.

"Saya, Pak?"

"Ya iya. Memang siapa lagi?" delik Gyan dengan mata yang hampir keluar dari rongganya.

Bibir Resta manyun seketika. Pagi indah yang dia harapkan buyar. Ini pasti gara-gara gosip pagi yang Joana sebar. Dengan gerakan ogah-ogahan Resta keluar dari rongga antara meja dan kursi. Mengikuti langkah Gyan yang sudah lebih dulu berjalan menuju ruangannya.

Meja sekretaris kosong saat Resta melewatinya. Tanpa mengetuk pintu, Resta mendorong bilah kayu berpelitur itu dengan pelan. Mata Resta langsung menangkap keberadaan Gyan yang tengah menyangkolkan jas di hanging stand sebelum beringsut ke kursi kebesarannya.

"Hari ini kamu menggantikan tugas Sella," ucap Gyan langsung sembari membuka laptop.

Resta yang baru sampai ke tengah ruangan melongo sejenak, sebelum suaranya menyembur. "Memang Sella ke mana, Pak?"

"Opname. Keracunan makanan."

Ada ekspresi terkejut yang Resta tunjukkan meskipun hanya sebentar. "Apa dia baik-baik saja, Pak?"

"Nggak tau. Belum jenguk." Telunjuk Gyan mengarah ke sebuah tab yang ada di meja. "Gunakan tab itu untuk mencatat hal-hal penting termasuk jadwal saya."

Untuk beberapa lama Resta bingung dengan kening berkerut dalam. Dia tak percaya kalau bosnya bisa seenaknya begini mengalihkan tugas secara mendadak. Belum juga konek dengan tetek bengek keuangan sekarang disuruh jadi sekretaris? Resta sadar dirinya pintar, tapi tidak begini juga.

"Maaf sebelumnya, Pak." Resta menginterupsi. Kata-kata protes sudah dia siapkan di pangkal tenggorokan dan siap dimuntahkan. "Kenapa saya yang harus menggantikan tugas Sella? Tentang keuangan ini saja saya masih belajar. Bagaimana bisa saya menghandle tugas sekretaris?"

"Memangnya kenapa?" Gyan meninggalkan kegiatannya dan menatap Resta lurus-lurus. "Bukannya kamu dikenal sebagai karyawan yang cerdas? Dua kali menyabet the best marketer of the year. Masa urusan begini saja nggak bisa kamu tangani."

Boleh tidak sih maki-maki atasan di depan orangnya langsung? Resta menarik napas panjang berusaha menghalau emosinya yang sudah menyebar ke hampir setengah aliran darah.

"Bapak Gyan yang terhormat. Keahlian saya itu marketing. Bapak sudah seenaknya mindahin saya ke divisi ini dan sekarang pun dengan seenaknya menyuruh saya menghandle tugas sekretaris Bapak. Itu sih namanya Bapak mau bunuh saya pelan-pelan." Sebisa mungkin Resta menekan nada suaranya agar tidak meninggi. Bahkan dia menarik dua sudut bibir sampai pipinya terdorong ke atas.

"Bukannya kamu bilang mau melakukan apa saja agar saya tidak melaporkan kamu ke pihak berwajib dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan?"

Mata Resta terpejam sesaat menahan geram. Lagi-lagi ancaman sialan itu membuatnya tak berkutik. Dengan kedongkolan yang luar biasa, Resta beranjak mendekati meja kerja Gyan dan menyambar sebuah tab yang tergeletak di sana.

"Baik, Bapak. Sekarang apa tugas pertama saya?" tanya Resta putus asa.

"Kalau dari awal kamu nurut dan bilang iya, waktu saya tidak akan terbuang sia-sia."

Resta berusaha menulikan diri. Dia tidak ingin mendengar apa pun yang keluar dari mulut bos gila itu. Tangannya sudah sibuk menggulir tab membuka file-file di sana.

"Saya belum sarapan."

Alis Resta naik sebelah. Ya terus?

"Tolong buatkan saya sarapan," lanjut lelaki itu lagi.

Apa tugas sekretaris juga menyiapkan sarapan bosnya? Sumpah Resta baru tahu.

"Bapak mau sarapan apa?" tanya Resta masih berusaha menahan kedongkolan.

Tanpa menoleh dari layar laptop Gyan menyahut, "Seperti biasa?"

Seperti biasa itu apa? Ya Tuhan! Resta ingin sekali menangis. Memangnya dia tahu kebiasaan sarapan pria itu?

Kembali wanita 25 tahun itu menarik napas panjang. "Iya yang biasa itu apa? Saya kan belum pernah menyiapkan sarapan buat Bapak."

Kalimat Resta berhasil membuat Gyan mengalihkan pandang dari layar laptop. "Kamu bisa buat sarapan saya di pantry itu. Teh panas dengan 5 gram gula kristal dan beberapa keping biskuit yang ada di rak pantry."

Resta membuang napas. Dan tanpa pikir panjang bergeser ke pantry yang ada di sudut lain ruangan. Pantry dengan mini bar yang sejak awal datang sudah mengundang perhatian wanita itu. Resta tidak menyangka kalau pantry direktur keuangan selengkap ini. Sangat berbeda dengan pantry milik bosnya di marketing. Ada banyak jenis teh ketika dia membuka drawer. Resta mengambil salah satunya. Jenis teh yang Resta sama sekali tidak tahu mereknya. Sepertinya dia juga belum pernah lihat teh itu nangkring di supermarket tempat dia belanja bulanan.

Ketika diseduh wangi tehnya menguar. Enak dan menenangkan. Resta mengambil satu sachet gula kristal dan menyobek ujungnya. Saat akan menuang gula ke cangkir teh dia baru ingat kalau Gyan menginginkan gula hanya 5 gram saja. Masalahnya, 5 gram itu sebanyak apa? Ya kali Resta mesti bawa timbangan warung dekat kos-kosannya?

"Pak, gula 5 gram itu sebanyak apa?" tanya Resta dengan nada polos.

Pertanyaan itu berhasil meraih decakkan lidah Gyan. "Di situ ada sendok ukur kalau kamu tidak bisa mengira-ngira."

Sendok ukur? Bola mata Resta mencelang dan langsung mencari letak sendok ukur itu berada. Namun, setengah mati dia mencari sendok itu tidak ketemu.

"Resta, sudah belum? Saya tidak bisa kalau telat sarapan."

Ahelah! Resta merutuk dalam hati. Ditaruh di mana sendok itu pula?

"Bentar, Pak! Sendok ukurnya belum ketemu!" seru Resta seraya berjongkok di depan lemari dapur sambil mengaduk-aduk isinya. Di tengah usahanya mencari sendok sambil mendumel, ekor matanya menangkap dua ujung sepatu yang sangat mengkilat. Refleks dia menoleh dan secara otomatis bola mata Resta bergerak dari ujung sepatu itu naik secara perlahan hingga tatapannya jatuh tepat ke wajah tampan dengan ekspresi masam.

"Kamu sebenarnya nyari apa? Sendok ukur itu dari tadi menggantung di situ. Mata segede jengkol masa tidak bisa melihat?"

Resta mengerjap. Tatapannya langsung mengikuti arah telunjuk Gyan. Dia nyengir saat melihat satu rangkai sendok ukur warna warni ada di rak gantung dekat dengan rak gelas kaca bertangkai panjang.

"Saya kan baru masuk ke pantry ini, Pak. Jadi wajar kalau tidak tahu," kilah Resta seraya beringsut berdiri. Dia baru saja akan mengambil benda itu saat Gyan tiba-tiba meraih cangkir teh yang sudah tersedia di meja pantry. "Pak, gulanya?"

"Nggak usah," jawab Gyan malas sambil bergeser ke bar stool. "Kamu siapkan biskuit saya."

Tidak lama Resta menyajikan biskuit yang Gyan mau. Bentuk biskuit itu aneh seperti marie regal. Kening Resta sampai mengeriting melihat Gyan begitu menikmati makan biskuit tersebut. Persis anak balita. Tepat ketika Gyan makan keping terakhir, ketukan dari pintu ruangan terdengar.

Gyan tersenyum miring sebelum memasukkan potongan terakhir biskuit ke mulut. Tangannya dengan pelan meraih cangkir teh. Setelah meminum isi cangkir itu dengan hati-hati lantaran masih agak panas, pria itu meminta Resta untuk membuka pintu ruangan.

Saat Resta kembali bersama dengan seorang pria yang dia kenal sebagai kepala bagian keuangan, Gyan sudah duduk di kursinya kembali. Pria itu dengan tenang mengenakan kacamata transparan yang Resta yakin hanya dipakai saat sedang bekerja saja. Tamu itu dipersilakan duduk begitu sampai di depan meja direktur, lantas Resta kembali menekuri tab berniat mengecek jadwal Gyan hari ini.

"Jadi, Pak Jamet. Anda mau ganti rugi plus hengkang dari perusahaan ini atau kasus Anda saya perkarakan?"

Resta yang sedang membaca deretan jadwal sang direktur kontan mengangkat wajah. Lalu secara berganti menatap Gyan yang tersenyum miring dan tamunya yang kini berwajah pucat pasi.

Kali ini apa? Kenapa pria itu gemar sekali menyeret orang ke jalur hukum?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status