Share

Bukan Aku, Tapi Dia

Baru kali ini Santi dipanggil oleh bosnya. Dia sangat khawatir sekali dengan apa yang akan dia dapatkan nanti. Bisa saja dia mendapatkan masalah karena bos yang memanggilnya adalah pria dingin yang selalu menjaga sikapnya, garis batas antara bos dan karyawan akan sangat terasa sekali jika berhadapan dengan Axton. 

Wajahnya yang tegas terlihat tampan, para wanita akan terpesona dengan wajah itu tapi mereka kemudian akan menangis setelahnya. 

“Apa hubunganmu dengan wanita tadi?” 

Pertanyaan yang sangat mengejutkan membuat kening Santi mengerut secara langsung. Dia menatap Axton dengan bibir yang terbuka kecil. Dia ... apa tidak salah dengar sama sekali?

“Kau mendengarku, kan?” ucap Axton dengan tegas membuat Santi gelagapan. 

“A-ah! Ya, Presdir. Saya mendengar dengan baik.” Santi kembali memikirkan kembali secara perlahan wanita mana yang dibicarakan. Satu-satunya wanita yang dia temui yang dia pikirkan hanyalah Geva. 

“Maksud Presdir itu wanita hamil yang mendatangiku, kan?” tanyanya agar semakin yakin.

“Ya,” balas Axtom menggerakan sedikit matanya. 

Dia merasa ini menyebalkan. Keadaan yang sungguh membuatnya kecewa sendiri. Dia memang menyukai akhirnya dia bertemu dengan sosok yang ingin dia temui, tapi kenapa keadaannya seperti ini? 

“Dia adalah teman saya, Presdir.” 

“Teman?”

“Ya, Geva teman saya, Presdir. Dia datang ke sini untuk memberikan dokumen saya yang tertinggal di rumah. Saya merasa bersalah sekali karena saya melupakan dokumen yang harus saya bawa hari ini, dia jadi harus berjalan jauh menaiki bus untuk ke sini.” 

Axton mencerna semua ucapan Santi dengan sangat cepat sekali, dia melihat ke arah Santi. Tajam, dan sedikit menakutkan padahal itu adalah tatapan yang sedang menganalisa apa yang sebenarnya terjadi. 

“Dia tinggal di rumahmu?” 

Pertanyaan itu keluar karena dia merasakan kejanggalan. 

“Ya, Presdir. Dia belum mendapatkan rumah untuk ditinggali.” 

Axton tetap tenang, dia mengontrol ekspresinya dan terus melihat Santi yang berdiri di depannya. 

“Kenapa kau mengurusnya? Apa suaminya itu saudaramu?” tanya Axton untuk memancing kebenaran yang sedang terjadi sekarang. 

Mata Santi menjadi tajam, dia melihat Axton seakan-akan inhin langsung memarahinya. 

“Maaf, Presdir. Tapi saya tidak sudi mempunyai saudara seperti mantan suami Geva. Dia adalah yang terburuk.”

Santi dengan tegas mengatakannya, dia mengoceh banyak hal yang akhirnya membuat Axton mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, sepanjang penjelasan dari Santi itu, dia benar-benar merasakan kekesalan yang luar biasa. 

Selesai penjelasan tersebut, Santi keluar dari ruangan Axton dengan wajah yang masih kebingungan. 

“Kenapa aku menerima hal itu begitu saja?” tanya Santi di dalam hatinya, ucapan dari Axton sudah membuatnya begitu terkejut. 

Hal seperti ini tidak mungkin terjadi, tapi ini mungkin adalah sebuah pilihan yang baik. 

Santi berjalan dengan lunglai ke mejanya, dia berhasil duduk di kursinya dan merilekskan tubuhnya untuk beberapa saat. 

“Aaa, Santi ... kau gila juga. Menerima permintaan bosmu begitu saja.” Santi menghembuskan napas sambil menggigit bibirnya. 

***

Di ruangannya, Axton memejamkan matanya. Apa yang dia rasakan itu masih terasa dengan begitu jelas. Di mana sentuhan dari Geva telah membuatnya selamat dari kematian yang datang padanya. 

Dia baru saja meminta Santi membawanya ke rumah dan bertemu dengan Geva suatu saat nanti. Meminta Santi untuk mengatakan kalau dia adalah sepupu Santi. Ada dorongan besar dalam dirinya untuk melakukan itu, aneh sekali karena bukan mirip seperti dirinya. 

“Bagaimana bisa orang sebaikmu malah mendapatkan pria yang sangat tidak bermoral seperti itu?” tanya Axton masih memejamkan matanya. 

Rasanya, di dalam dadanya sendiri tercabik-cabik dengan begitu kejam. Dia merasakan sakit yang dialami Geva yang telah menjadi wanita tidak berdaya. 

“Geva ... namamu indah walaupun kau mengalami kesedihan yang besar seperti ini. Tapi aku tetap saja tidak bisa melupakanmu, hanya dalam sekali lihat saja aku tahu kalau itu adalah kau.”

Axton kembali mengingat saat dia melihat Geva dengan perutnya yang membesar, kehamilan yang entah kenapa membuatnya merasa tersakiti. Dia meremas tangannya dengan sangat erat, dia tidak tahu bagaimana bisa dia merasakan perasaan seperti ini. 

“Kali ini biarkan aku menjadi malaikatmu, seperti apa yang kau lakukan dulu. Ini adalah cara Tuhan agar aku bisa membalasmu, Malaikatku.” 

Axton membuka matanya, dia lalu memperbaiki posisi duduk ya dan memperhatikan sekitarnya. Semua mungkin saja tidak bisa dia dapatkan jika tidak ada Geva. 

***

Dengan kesulitan Geva terus berjalan dan hampir saja tiba di rumah Santi, dengan membawa perut yang besar itu membuat langkah kakinya menjadi sangat berat sekali. Tapi dia tidak mengeluh sama sekali. 

“Lho, kau masih berkeliaran di sini?” Suara yang sangat merendahkan itu terdengar. Geva sangat tahu suara menyebalkan itu milik siapa, dia tidak menyukainya dan selalu membenci itu entah sampai kapan dia akan membencinya. 

“Kau mengabaikanku?” tanya wanita itu kembali. Dia jelas tidak terima jika Geva—wanita yang telah dia tendang dari rumah ini bisa hidup bahagia. 

Geva berhenti dan melihatnya. Indah sedang memandangnya dengan tatapan mata yang begitu rendah. Dia menyeringai dan menunjukkan ketidaksukaannya pada Geva. 

“Kau berkeliaran di sini karena masih mengharapkan bisa kembali dengan Damas? Atau kau malah ingin mengandalkan anakmu untuk mengemis pada Damas?” Injak mengangkat kakinya yang terekspos karena dia menggunakan rok pendek berwarna merah. Dia menggunakan kakinya untuk menunjuk perut Geva yang langsung ditepis dengan Geva. 

“Jaga mulutmu, Wanita murahan. Aku tidak mengharapkan kembali lagi dengan Damas. Kau telan sendiri saja sampai kau muak.” 

Geva kemudian kembali melangkahkan kakinya, tapi ucapannya telah membuat Indah begitu marah hingga langkah kaki selanjutnya dihalangi oleh Indah. 

“Aku tidak percaya denganmu. Orang yang tidak mempunyai apa pun sepertimu ini pastinya akan berusaha untuk mendapatkan apa yang orang lain dapatkan.”

Seketika Geva menyeringai mendengar ucapan Indah yang telah membuatnya mual. 

“Apa kau tidak salah mengatakan hal itu padaku? Kan yang merebut milik orang lain adalah kau. Bukan aku?” 

Plak!

Indah menampar Geva yang mengatakan hal itu, tatapan matanya begitu tajam. Dia seolah siap untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sini, tapi Geva yang telah kehilangan hampir semuanya ini merasa sangat kesal dan kemudian kembali menampar Indah yang ada di depannya. 

“Apa yang kau lakukan? Kau ini sungguh tidak tahu malu sekali!” Indah berteriak dan berniat menjambak rambut Geva, sebelum itu terjadi, suara seseorang terdengar. 

“Apa yang kau lakukan di sini?! Berhenti mengganggu rumah tangga orang lain!” Lina muncul dan langsung menunjuk Geva dengan jari telunjuknya. Wajahnya masih begitu menyebalkan seperti sebelumnya, membuat Geva akhirnya menghembuskan napasnya dari mulut. 

“Berhentilah membuat drama, aku melewati jalan ini karena akan masuk ke rumah Mbak Santi dan itu tidak ada urusan sama kalian berdua.” 

Geva akhirnya melewati mereka berdua dengan tatapan mata yang penuh benci, dia berhenti sejenak sebelum masuk melewati pagar rumah Santi. 

“Yang merebut dan wanita murahan itu adalah Indah, dan yang tidak tahu malu adalah keluargamu. Apa yang kau nikmati sekarang, akan kuambil lagi lalu kau akan mengemis di kakiku.” 

Geva akhirnya masuk ke dalam pagar, dia tidak ingin mendengar ucapan dari orang-orang yang seperti racun itu lagi. 

“Dasar sialan! Kemari kau!” 

Lina tidak terima mendengar hal itu, dia berteriak dan Geva mengabaikannya. Dia masuk ke dalam rumah Santi dan mengunci dirinya di dalam sambil menangis dengan tubuh gemetar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status