LOGINTatapan itu, seolah merobek seluruh dada Langit. Bukan karena Arumi yang terus memaksanya untuk menjawab, tapi karena sebuah kenyataan yang terus ia sembunyikan selama ini dari istrinya itu. “Om … jangan diem, dong. Dijawab …,” desak Arumi lagi. “Nanti terlambat, Arumi.” Langit kembali membuat alasan. “Enggak. Arumi masuk kuliahnya jam sepuluh, Om.” “Saya yang terlambat. Sebab ada meeting dengan para manajer departemen pagi ini. Lain kali saja ya kita bahasanya?” Langit melihat kepada jam tangan mewahnya. Jelas saja bibir Arumi langsung maju dua centimeter. Sebab ia merasa jika Langit seperti mengulur-ulur waktu dalam menjawab pertanyaannya. “Selalu aja gitu kalau diajak ngomong,” dumalnya kesal. Setelah sarapan, mereka pun segera bersiap-siap untuk berangkat. Udara di luar sudah lebih cerah dari hari sebelumnya. Awan mendung yang kemarin menggantung di atas sana, sekarang sudah berganti dengan awan putih yang tersenyum manis. Namun, tidak dengan bibir Arumi. Sebab saat
Seperti soal matematika yang rumit, Langit begitu sulit untuk menjawab pertanyaan Arumi. Hanya jari-jari tangannya yang mengepal dalam kebisuan. Tempat tidur itu, yang biasanya menjadi pelabuhan rasa aman bagi mereka, kini terasa seperti lapangan ranjau yang siap meledak. “Kenapa kamu bertanya seperti itu, Arumi?” tak menjawab, Langit justru melempar pertanyaan lain. “Arum cuma mau Om Langit jujur sama Arum. Kayak Om minta Arum buat jujur sama Om. Tolong, kalau Om tau sesuatu tentang Mama, kasih tau Arumi.” Tatapan Arumi penuh tuntutan dan pengharapan. Yang semakin membuat Langit menjadi begitu merasa bersalah dan tak tenang hati. “Om … please ….” Tangannya kini sudah berada pada punggung tangan Langit. Merengek seperti anak kecil yang sedang minta uang jajan pada ayahnya. “Masih pukul empat Arumi, sebaiknya kamu lanjut tidur, ya? Besok kita bicarakan lagi.” Langit menyentuh kedua lengan Arumi. Niatnya ingin membaringkan kembali tubuh istrinya, tapi justru penolakan yang ia dap
Udara serasa membeku, dan waktu terpilin menjadi sebatang jarum yang menghujam tepat di ulu hati. Suara desahan yang tercekat itu, seolah mengoyak setiap janji suci dan memusnahkan fondasi kepercayaan yang selama ini ia bangun. Berusaha untuk tidak percaya, tapi penampakan di depan mata terlalu nyata untuk diabaikan. Kedua tangannya mengepal di samping paha. Bukan karena marah, tapi lebih kepada menahan rasa sakit yang kentara. “Om Langit …?” lirihnya pelan, nyaris tenggelam oleh suara detak jarum jam di dinding kamar. Langit yang tampak tengah bergerak maju mundur di atas Andini, mendadak berhenti dan menoleh. Anehnya, tak ada ekspresi nanap yang ia tunjukkan. Semuanya tampak datar dan biasa saja. “Om Langit, a—apa ini?” tanya Arumi terbata. Suaranya benar-benar seperti tertahan di tenggorokannya. Seperti ada sesuatu yang mencekik lehernya. “Yah … seperti yang kamu lihat,” jawab Langit terlalu biasa. “I—iya … Arumi tahu apa yang sedang Om Langit lakukan, tapi … kenapa?”
Arumi menelan ludah berat. Peringatan Langit barusan seperti tiupan terompet kematian. Yang membuat bulu kuduknya berdiri dan merinding. Ia hanya berharap, dengan segenap kekuatan, bahwa getaran halus pada suara dan tangannya tidak sampai tertangkap. "Ya, Om. Arum nggak akan pernah bohongi Om Langit." "Janji?" tanya Langit lagi. "Ja—janji, Om." Langit tersenyum. "Bagus," ucapnya seraya mengusap pucuk kepala Arumi. "Sekarang kita tidur ya? Sudah mau pukul dua belas." "Ya, Om." Arumi lekas berbalik dan jalan ke arah kamar. Namun entah mengapa, sepanjang jalan menuju kamar, perasaan tidak tenang sama sekali. Seperti ada sesuatu yang tertahan di dadanya. Sesuatu yang ingin ia ungkapkan tapi bibirnya terasa berat untuk digerakkan. Hingga mereka tiba di kamar. Langit pun langsung mengajak Arumi untuk menyikat gigi berdua. Setelah itu, lanjut membaringkan tubuh di ranjang. "Arumi ...," lirih Langit. "Ya Om." "Tidak ada apapun yang kamu sembunyikan dari saya, kan?" ti
"Nonton," jawab Langit. "Nggak, Om. Mendadak ngantuk. Capek juga." "Oh, ya sudah. Kamu tidur saja ya." Langit bangkit dan segera berlalu keluar kamar. Entah apa yang akan dia lakukan. Namun sikapnya itu berhasil memancing kembali rasa penasaran Arumi. Dari balik selimut, dua bola mata indah itu tampak bergerak ke kiri dan ke kanan secara bergantian. Tak lama, bedcover pun tersingkap. Arumi bangkit dan langsung turun dari atas ranjang. 'Om Langit mau ke mana sih?' tanya Arumi dalam hati. Dia langsung berjalan, mengendap-endap seperti maling. Segera menarik handle pintu secara perlahan. Lalu melangkah keluar kamar dengan hati-hati. Dari arah pintu kamar, Arumi langsung menuju ruang tengah. Namun ternyata Langit tidak ada di sana. Terpaksa, ia pun kembali mengayun langkah menuju ke ruang tamu. Akan tetapi, tiba di sana, Langit juga tak ada. Pria dewasa itu benar-benar hilang seperti hantu. Padahal keluar kamar baru beberapa detik. Dan, di saat Arumi sedang mencari
Langit bergeming. Dengan mata mereka yang saling mengunci. Seolah memutus semua urusan dunia luar. Dalam diam yang penuh makna itu, ia dapat membaca seluruh hasrat istrinya. Bukan sekadar kepuasan, melainkan rasa rindu yang berulang. "Kamu mau lagi?" tanya Langit. Ia tak mau kalau sampai salah dalam mendengar. Sebab ini bukan sekedar kepuasan semata, tapi harus ada kerelaan antar kedua belah pihak. "Eum ... mau nonton lagi, maksudnya." Langit tergelak. Ternyata apa yang ia pikirkan salah telak. Arumi bukan meminta mereka untuk kembali beradegan ranjang, melainkan kembali ke ruang nonton. "Kok Om ketawa, sih? Mang ada yang lucu ya sama permintaan Arum?" "Tidak. Saya pikir tadi kamu minta apa. Saya salah paham ternyata," jelas Langit. Sisa tawa tadi masih terlihat di wajah tampannya. "Emangnya, Om mikir apa?" tanya Arumi. Kedua tangannya sudah mulai menjelajah ke mana-mana. Jemarinya yang lembut mulai memainkan garis rahang yang tegas dan simetris itu. Lalu turun ke bahu







