Hari demi hari telah berganti, bahkan Minggu pun sudah berlalu. Pernikahan Dewa dan Salsa baru genap satu Minggu, dan selama seminggu ini wanita berambut panjang itu hanya menghabiskan waktunya di apartemen. Salsa sudah merasa bosan, dan hari ini ia ingin meminta izin untuk keluar dan menghirup udara di luar sana.
"Om, nanti aku mau keluar. Aku bosan di sini terus," ujar Salsa seraya memakaikan dasi di leher suaminya itu.
"Mau keluar kemana? Apa nanti nggak nyasar, hem?" tanya Dewa, jujur ia merasa khawatir jika istrinya itu keluar dari apartemennya. Karena memang Salsa belum begitu paham dengan kota Jakarta.
"Jalan-jalan lah, suntuk tahu di sini terus," jawab Salsa.
"Ok, tapi jangan jauh-jauh. Kamu belum hafal kota Jakarta, kalau kamu nyasar aku juga yang repot." Dewa pasrah, ia hanya bisa berpesan agar istri kecilnya itu untuk berhati-hati.
"Iya, Om tidak perlu khawatir." Salsa berjalan untuk mengambil jas. Tak lupa ia memakaikannya di tubuh kekar suaminya.
"Salsa aku berangkat sekarang ya. Jangan lupa handphone sama ATM kamu bawa. Ingat, jangan jauh-jauh." Dewa mencium kening sang istri, lalu mengacak rambut panjangnya.
"Iya, Om. Aku ingat, udah sana pergi nanti telat." Salsa mencium punggung tangan Dewa.
Dewa tersenyum, lalu dengan cepat ia menyambar benda kenyal milik istrinya itu. Pria berlesung pipi itu, mengecupnya dengan lembut. Sementara Salsa hanya diam dengan detak jantung yang seakan ingin loncat. Ini bukan untuk pertama kalinya, tetapi sampai detik ini Salsa masih merasa gugup. Setelah itu Dewa bergegas keluar dari apartemennya dan segera meluncur ke kantor.
Setelah Dewa pergi, Salsa akan membereskan apartemen tersebut. Sekarang Salsa mulai terbiasa dengan pekerjaan itu, yaitu pekerjaan seorang istri. Hanya saja untuk urusan memasak ia masih belum pandai. Meski begitu Dewa tidak pernah protes, ia sangat sabar untuk mengajari sedikit demi sedikit agar istrinya itu bisa memasak.
"Aku pakai baju yang mana ya," ucap Salsa seraya memilik deretan baju mahalnya yang tersusun rapi di almari.
Jujur, Salsa kagum dengan suaminya itu, Dewa tidak segan-segan untuk membelikan baju-baju bermerek dan termahal untuk sang istri. Bukan hanya baju, semua keperluan Salsa, selalu terpenuhi. Bahkan kartu ATM selalu Dewa isi dengan nominal yang tidak sedikit. Kehidupan Salsa sekarang seperti seorang Cinderella, rasanya seperti mimpi. Namun semua itu adalah kenyataan.
"Lebih baik aku pakai ini saja." Salsa mengambil dress dengan panjang selutut.
Dress brokat dengan warna hitam melekat sempurna di tubuh mungil Salsa. Wanita berambut panjang itu memutar tubuhnya di depan cermin. Setelah dirasa pas, Salsa segera bersiap-siap untuk pergi. Ia selalu tampil natural, meski Dewa sudah membelikan dirinya alat makeup, tetapi Salsa belum pernah menyentuh apa lagi memakainya.
***
Di kantor, Dewa nampak tengah sibuk dengan tumpukan berkas di hadapannya. Sesekali pria beralis tebal itu meregangkan ototnya agar terasa lebih rileks. Ia juga sering mengecek ponselnya, takut ada pesan atau panggilan dari sang istri. Jujur, Dewa merasa tidak tenang, lantaran Salsa pergi sendiri tanpa ada yang menemani.
"Kira-kira Salsa lagi ngapain, ya." Dewa tersenyum membayangkan wajah cantik istrinya yang selalu bersemu merah saat ia menciumnya.
Tiba-tiba saja pintu ruangan terbuka, terlihat seorang perempuan setengah abad berjalan masuk ke dalam. Meski usianya sudah lima puluh tahun, tetapi penampilannya selalu modis. Perempuan itu tak lain adalah Sinta, ibunda Dewa. Sinta merupakan perempuan sosialita yang selalu mengutamakan penampilan. Maka tak jarang jika pergi berbelanja bisa menghabiskan sampai puluhan juga, terkadang lebih.
"Tumben, Mama ke sini. Ada apa lagi, Ma?" tanya Dewa. Ia menoleh sekilas lalu kembali fokus pada berkas di hadapannya.
"Ada yang mau, mama sampaikan," jawab Sinta. Perempuan itu berjalan menuju sofa, lalu menjatuhkan bobotnya di sana.
Dewa menghentikan aktivitasnya, ia meregangkan ototnya terlebih dahulu. Setelah itu pria berlesung pipi itu bangkit dari duduknya dan melangkahkan kakinya menghampiri sang ibu. Dewa duduk tepat di samping Sinta, sementara perempuan setengah abad itu tengah sibuk membolak-balik majalah yang berada di atas meja.
"Apa yang mau, Mama sampaika?" tanya Dewa. Jujur, ia merasa penasaran.
"Nanti kamu datang ke rumah ya, kita makan malam bersama. Sudah lama kita tidak makan bareng, kamu juga lama nggak datang ke rumah," terang Sinta. Memang sudah ada sebulan Dewa belum pernah berkunjung ke rumah ibunya.
"Dewa sibuk terus, Ma. Jadi Dewa belum sempat datang ke rumah," ujar Dewa.
"Iya, mama tahu. Nanti malam kamu datang ya, kakek juga sering nanyain kamu," pinta Sinta. Berharap semoga nanti putranya mau datang.
"Insya Allah, Ma." Dewa manganggukan kepalanya.
"Ya sudah, mama pergi dulu ya. Ada janji sama temen," ucap Sinta berpamitan.
"Dasar, udah tua aja masih suka ngumpul sama temen-temen. Sekalian aja nyari brondong," batin Dewa.
"Mama pergi dulu ya." Sinta bangkit dari duduknya.
"Iya, Ma. Hati-hati di jalan," ucap Dewa.
Setelah Sinta pergi, Dewa kembali ke meja kerjanya. Pria beralis tebal itu menjatuhkan bobotnya di sana, tumpukan berkas masih setia menunggunya. Dewa menghembuskan napasnya sebelum ia akan memulai aktivitasnya lagi. Namun sebelum itu ia akan mengirim pesan untuk sang istri, ia ingin tahu sedang apa Salsa saat ini.
@Dewa
[ Hey bocil lagi ngapain sekarang, udah pulang apa belum ]Dewa meletakkan ponselnya di atas meja, ia tersenyum setelah mengirim pesan tersebut. Cukup lama Dewa menunggu balasan dari sang istri, ada rasa cemas dan gelisah juga saat Salsa belum juga membalas pesan darinya. Dan detik berikutnya, ponsel Dewa berdering, dengan cepat ia meraihnya dan membuka pesan tersebut.
@Salsa
[ Aku bukan bocil, Om. Aku lagi di restoran, lagi makan siang. Om udah makan apa belum ]@Dewa
[ Belum, makan yang banyak ya. Biar badanmu itu berisi ]@Salsa
[ Nggak mau, kalau gendut jelek ]@Dewa
[ Kata siapa, kamu cantik kok. Tapi sayang .... ]@Salsa
[ Sayang kenapa, Om ]@Dewa
[ Nggak papa, nanti setelah makan siang langsung pulang ya. Hari ini aku pulang cepat ]@Salsa
[ Iya, setelah ini aku pulang ]@Dewa
[ Ok, hati-hati di jalan ya ]@Salsa
[ Iya, Om ]Setelah itu Dewa meletakkan ponselnya di atas meja, ia harus kembali bekerja lantaran hari ini Dewa harus pulang lebih awal. Dewa tahu, pasti ada maksud tertentu kenapa tiba-tiba ibunya mengundang dirinya untuk makan malam bersama. Hal ini pasti menyangkut dengan Viola, karena ia tahu jika wanita blasteran Indo-Jerman itu sudah berada di Indonesia.
***
Di sebuah restoran, Salsa baru saja selesai menyantap makan siangnya. Selepas itu ia segera bangkit dan beranjak untuk membayar makanan yang telah ia pesan tadi. Selesai membayar, wanita dengan dress brokat lengan pendek itu bergegas untuk keluar dari resto tersebut. Namun saat hendak keluar, ia tidak sengaja menabrak seorang perempuan yang usianya sekitar lima puluh tahunan.
"Maaf, aku nggak sengaja," ucap Salsa dengan rasa bersalah.
"Lain kali kalau berjalan itu hati-hati," ucap perempuan tersebut. Namun tiba-tiba, perempuan itu terdiam saat melihat wajah wanita yang menabraknya itu.
"Maya." Perempuan itu menyipitkan matanya.
Salsa mengernyitkan keningnya. "Maaf, Ibu kenal dengan almarhumah ibu saya."
Seketika perempuan setengah abad itu menatap tajam ke arah Salsa. Bahkan tanpa rasa kasihan, perempuan tersebut menarik pergelangan tangan Salsa dan membawanya keluar dari resto tersebut. Salsa cutup terkejut dengan apa yang perempuan itu lakukan. Perempuan itu tak lain adalah Sinta, ibunda Dewa sekalian ibu mertua Salsa.
"Kamu pasti Salsa kan?! Anak dari wanita rendahan itu?" tanya Sinta dengan senyum sinisnya.
"Da-dari mana .... "
"Aku tidak akan lupa siapa kamu dan ibumu itu, mengerti!" bentak Sinta.
"Siapa perempuan ini, kenapa dia kenal dengan almarhumah ibu," batin Salsa.
"Di mana wanita rendahan itu." Sinta menatap tajam ke arah Salsa.
"Maksudnya .... "
"Di mana, Maya. Wanita rendahan yang sudah merebut suami orang." Sinta memotong ucapan Salsa.
Deg, jantung Salsa terasa ingin copot, kata-kata yang keluar dari mulut Sinta sangatlah pedas. Ingin sekali Salsa mencubit mulut lancang itu, tetapi ia sadar jika perempuan itu usianya jauh lebih tua darinya. Salsa mencoba menahan amarahnya yang sedari tadi sudah berkobar. Kayaknya api yang terhempas oleh angin, akan semakin membara.
"Ibu saya bukan .... "
"Bukan apa?! Kamu pikir aku tidak tahu kalau dia yang sudah merebut suamiku. Dia yang sudah membuat Dewa putraku kehilangan sosok seorang ayah. Ini semua terjadi semua gara-gara Maya, ibumu." Lagi-lagi Sinta kembali memotong ucapan Salsa.
Bagai tersambar petir di siang bolong, pernyataan yang Sinta ucapkan begitu menyakitkan. Dan satu lagi, Sinta menyebut nama Dewa, mungkinkah Dewa suaminya Salsa. Jika benar, sama saja sudah masuk ke dalam lingkaran masalah. Ia tahu bagaimana permasalahan yang almarhumah ibunya hadapi, hingga akhirnya Maya, ibunya meninggal.
"Ibuku tidak .... "
"Jangan pernah kamu membela wanita hina itu. Sekali hina, sampai kapanpun akan tetap hina, mengerti." Sinta memotong ucapan Salsa.
"Kebetulan kita ketemu, sudah lama aku mencarimu dan juga ibumu itu. Ibumu harus mengembalikan perhiasan yang sudah dia ambil. Serta uang yang juga diambilnya dulu," lanjutnya. Sinta menatap tajam pada wanita yang kini berdiri di hadapannya itu.
"Ibu saya tidak pernah mengambil perhiasan ataupun uang. Perhiasan dan uang yang ibuku punya itu semua pemberian ayah," jelas Salsa. Terdengar jika suara Salsa bergetar.
"Kamu pikir ayahmu itu siapa hah! Dia itu suamiku! Ayah Dewa, putraku." Sinta mendorong tubuh Salsa hingga jatuh tersungkur.
"Dasar, anak pelakor! Apa yang, Mas Bram kasih semua itu milikku, jadi kamu harus menggantinya, mengerti!" seru Sinta dengan penuh amarah.
"Jika benar ayah itu adalah ayah om Dewa. Jadi aku dan .... " batin Salsa.
"Berapa yang harus aku ganti. Aku pasti akan menggantinya, berapapun itu." Salsa bangkit dan menatap tajam ke arah perempuan yang berdiri di hadapannya itu. Ia tidak peduli dengan orang-orang di sekitarnya yang sedari tadi melihatnya.
"Apa kamu sanggup. Semuanya menjadi sepuluh miliar. Kamu sanggup menggantinya." Sinta mengangkat dagu Salsa, agar gadis itu mau mendongak dan menatap wajahnya.
"Baik, aku akan menggantinya," ucap Salsa dengan sungguh-sungguh. Meski ia tidak tahu harus mencari kemana uang sebanyak itu.
"Aku tidak ingin kamu menggantinya dengan uang, tetapi aku ingin kamu menggantinya dengan tenagamu, mengerti." Sinta melepas dagu Salsa dengan kasar.
Salsa mengerutkan keningnya. "Maksudnya."
"Kamu besok datang ke sini. Bekerja di sini sampai jumlah gajimu cukup untuk mengganti uang tersebut." Sinta melempar kartu nama pada Salsa dengan kasar.
"Ingat, selama kamu bekerja. Jangan pernah kamu mengharapkan gaji, mengerti." Sinta berlalu dari hadapan Salsa, bahkan perempuan itu dengan sengaja menabrak bahu kiri Salsa.
"Kenyataan apa ini, tidak mungkin aku dan om Dewa saudara. Ini pasti salah, ini pasti tidak benar," ucap Salsa seraya melangkahkan kakinya di jalan yang cukup ramai dengan kendaraan yang berlalu-lalang.
Salsa berjalan dengan tatapan mata yang kosong, ia mendongak ke atas menatap langit yang mulai menghitam. Langit seakan mengerti kesedihan yang kini Salsa rasakan. Ia pikir setelah lepas dari budhe Mira dan tuan Hendra bisa membuat hidupnya tenang. Namun ternyata salah, justru sekarang Salsa telah masuk ke dalam lingkaran masalah yang akan sangat sulit ia taklukkan.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, dan saat ini Dewa sudah tiba di apartemen miliknya. Pria berlesung pipi itu tengah berjalan mondar-mandir layaknya setrika. Sesekali Dewa menelpon nomor Salsa, tetapi tidak ada jawaban, rasa khawatir dan gelisah mulai melanda pria berusia tiga puluh tahun itu. Jujur, Dewa sangat khawatir dengan istri kecilnya itu.
Nampak hujan di luar cukup deras, rasa khawatir semakin melanda pria berlesung pipi itu. Selang beberapa menit terdengar pintu apartemennya terbuka, dengan segera Dewa berjalan menuju pintu tersebut. Nampak Salsa berjalan masuk ke dalam dengan keadaan basah kuyup. Bahkan bibir mungilnya tampak pucat.
"Salsa, kamu dari mana .... " ucapan Dewa terhenti saat melihat tubuh istrinya jatuh ke lantai.
"Salsa." Dewa berlari menangkap tubuh mungil istrinya itu. Ia mencoba menepuk-nepuk pipi Salsa, tetapi tidak ada respon. Tubuhnya terasa sangat dingin.
Dengan panik Dewa mengangkat tubuh Salsa masuk ke dalam kamar. Ia membaringkan tubuh mungil Salsa di atas ranjang, setelah itu Dewa berlari mengambil handuk untuk mengeringkan tubuh istrinya itu. Tak lupa ia juga mengambil baju ganti, tak peduli jika Dewa melepas baju basah wanitanya itu. Toh dia juga suaminya.
Lima tahun telah berlalu, kehidupan rumah tangga Dewa dan Salsa semakin membaik dan harmonis. Bahkan kini mereka akan kembali di karunia bayi kembar lagi, saat ini Salsa tengah hamil sembilan bulan. Mereka tinggal menunggu waktunya kapan bayi kembar akan lahir, dan itu adalah masa-masa yang tengah Dewa dan Salsa nanti-nantikan.Salsa merasa tenang karena sudah tidak ada lagi pengganggu. Alina dinyatakan meninggal saat kejadian dulu, di mana tubuh wanita itu tertabrak oleh truk. Sejak saat itu, Salsa merasa hidupnya tenang dan juga nyaman. Sementara itu, Vira menjalani kehidupannya dengan Sinta, ia tidak merasa kesepian lagi, kasih sayang yang Vira dambakan, kini telah ia dapatkan."Mas, kok aku tiba-tiba pengen nyium Reno ya," ucap Salsa tiba-tiba. Saat ini ia dan Dewa tengah duduk santai di taman samping rumah."Jangan sembarangan kamu, kalau minta jangan yang aneh-aneh ngapa. Masa ngidam pengen nyium Re
Tidak terasa air matanya jatuh tanpa meminta izin. Bahkan ponsel di tangannya ikut jatuh, marah dan kecewa menjadi satu. Tega-teganya orang yang sangat ia percaya berhianat. Salsa tidak pernah menyangka kalau Dewa bisa berbuat hal serendah itu."Kamu tega, Mas. Kamu bilang mau ke kantor, tapi nyatanya ... sudah cukup aku bertahan, aku tidak sanggup lagi," lirihnya, Salsa menyeka air matanya, lalu memandangi si kembar yang tengah tertidur.Selang berapa menit, terdengar suara deru mobil, sudah dapat dipastikan jika itu adalah Dewa. Dan benar saja, tidak butuh waktu lama pintu kamar terbuka. Terlihat Dewa masuk ke dalam, bahkan pria berlesung pipi itu langsung memeluk tubuh Salsa dari belakang. Namun Salsa hanya diam, bahkan langsung melepas pelukan suaminya itu."Sayang kamu kenapa?" tanya Dewa, kedua alisnya saling bertautan, heran."Tidak usah pura-pura tidak tahu," jawab Salsa. Hatinya terasa sakit dengan foto yang ia terim
Kini Salsa sudah tiba di depan ruang rawat Dewa, saat hendak masuk terdengar samar-samar orang bicara dari dalam. Salsa berpikir jika ayahnya sudah sampai, untuk memastikan, Salsa membuka pintu ruangan tersebut. Seketika mata Salsa membulat sempurna saat melihat bukan ayahnya yang berada di dalam, melainkan wanita yang telah lama menghilang, dan sekarang dia kembali lagi."Mau apa kamu kembali lagi, lebih baik sekarang kamu pergi dari sini!" bentak Salsa. Ia tidak menyangka kalau perempuan itu kembali lagi, perempuan yang sudah banyak membuat rumah tangga Salsa dan Dewa berantakan."Apa kamu lupa kalau aku adalah calon istri, Dewa." Dengan santainya perempuan itu berjalan menghampiri Salsa, dia adalah Alina. Perempuan berhati iblis yang sudah mencelakai Salsa."Sayang, kamu benar kan akan menikahiku?" tanya Alina seraya berjalan menghampiri Dewa yang masih duduk di atas brangkar."Iya." Dewa menganggukan kepalanya."Aku ngga
Seketika Salsa dan Bram terkejut mendengar ucapan Vira. Bahkan, dunia serasa berhenti berputar, persendian Salsa terasa lemas seketika. Ia tidak menyangka kalau Vira akan memakai kesempatan ini demi keuntungannya sendiri."Kamu sudah gila! Kamu pikir kamu siapa hah!" bentak Salsa, ia benar-benar geram dengan apa yang Vira ucapkan."Jangan mentang-mentang kamu anak, Mama Sinta. Jadi bisa seenaknya seperti ini, iya." Salsa menatap tajam wanita yang berdiri di sebelah Sinta."Silahkan kamu mau teriak atau apa, aku tidak peduli. Nyawa suamimu ada di tanganku," ujar Vira dengan santai."Kamu bukan Tuhan, jadi kamu tidak bisa menentukannya," sahut Salsa. Seketika Vira menatap tajam ke arah Salsa."Sudah, jangan bertengkar lagi. Salsa, mama minta maaf, jika keputusan mama ini salah. Namun demi kebaikan Dewa, tolong .... ""Enggak, Ma. Aku nggak mau pisah sama, mas Dewa. Bagaimana dengan anak-anak nanti," potong Salsa,
Kini Dewa dan Salsa sudah berada di rumah sakit, Dewa langsung mendapat penanganan oleh dokter. Bahkan saat ini pria berlesung pipi itu berada di ruang ICU, kondisinya kritis. Benturan di kepala yang keras membuat Dewa mengalami pendarahan di otak, bahkan saat ini ia membutuhkan donor darah. Namun, sampai sekarang belum ada darah yang cocok.Berbeda dengan Salsa, luka yang ia alami memang tak separah suaminya. Namun, Salsa harus rela kehilangan calon anaknya yang masih dalam kandungan. Akibat benturan yang keras membuatnya keguguran, saat ini Salsa sudah sadarkan diri bahkan ia tengah menemani suaminya yang tergeletak tak berdaya, dengan beberapa alat medis menempel di badan.Sinta, dan Bram sudah ada di rumah sakit, bahkan Arman yang mendengar kabar itu seketika terbang ke Indonesia. Arman memang sosok ayah yang sangat peduli dengan anaknya. Mereka hanya bisa berdo'a semoga Dewa bisa secepatnya mendapatkan donor darah. Arman memang bisa mendonorkan darahny
Kakek Surya menghembuskan napas terakhirnya, lantaran terkena serangan jantung. Dewa tidak menyangka kalau kakeknya akan pergi dengan cara seperti itu. Begitu juga dengan Sinta. Ia merasa bersalah, karena masalah yang ia ciptakan, menjadi akhir hidup seseorang yang sangat ia sayangi.Jenazah sudah dimandikan, bahkan sudah dikafani dan dishalatkan. Kini mereka tengah menunggu kabar dari makam, apakah sudah selesai membuat makam atau belum. Banyak tetangga, kerabat bahkan teman-teman kakek Surya yang datang. Pengusaha dan para pejabat pun saling berdatangan, terlebih kematian yang mendadak membuat mereka tidak percaya.Dewa duduk tepat di samping kepala almarhum kakek Surya, ia merasa sedih dengan kematian kakeknya yang mendadak itu. Sementara Sinta duduk berseberangan dengan putranya, ia tak kalah sedih, bahkan air matanya terus mengalir. Selang sepuluh menit, Salsa datang bersama dengan Bram. Wanita hamil itu bergegas masuk ke dalam dan duduk di sebelah sua
Sementara telepon itu masih saja berbunyi, Vira terus meminta tolong pada Dewa, dengan suara tangisannya yang begitu memekakan telinga. Sementara Dewa bingung harus berbuat apa. Di sisi lain ia merasa kasihan, tetapi ia juga tidak mau bertengkar lagi dengan istrinya."Kalau dia lebih penting, silahkan pergi. Tapi jika aku lebih penting, tetap di sini," ujar Salsa. Bukannya mau egois, tapi ia istrinya. Seharusnya Dewa lebih mementingkan istri dari pada orang lain.Dewa menghela napas, ia bingung harus berbuat apa. Tidak mungkin ia memaksa pergi, bisa-bisa nanti istrinya tidak mengizinkan dirinya untuk bertemu dengan si kembar dan sang istri. Dewa menoleh Salsa yang masih memunggunginya, sementara ponselnya masih saja berbunyi.[Maaf, saya tidak bisa. Saya sedang ..... ]Terdengar jika Vira berteriak memanggil kakaknya, bahkan suara tangisannya semakin kencang. Dewa benar-benar merasa tidak tega, ia bingung harus berbuat apa. Mana yang har
Satu minggu telah berlalu, dan selama seminggu ini Salsa tinggal di rumah Bram, bersama dengan si kembar. Sementara Dewa, memilih untuk mengalah, dan setiap dari kantor, ia selalu menyempatkan diri untuk berunjuk ke rumah ayahnya, menemui istri dan anak-anak. Rasanya sehari saja tidak melihat mereka, sudah seperti satu bulan.Lalu, untuk masalah ibunya dan Vira, Dewa masih mencari informasi tentang hubungan mereka berdua. Dewa berharap semoga ibunya tidak menyembunyikan apapun dari dirinya. Sudah cukup dulu Sinta menyembunyikan siapa ayah kandung Dewa. Kali ini, ia tidak ingin ada rahasia lagi yang tersembunyi antara mereka.Sementara itu, Vira juga masih bekerja di kantor Dewa, memang jika diperhatikan, ada yang tidak beres dengan wanita itu. Namun, Dewa akan tetap mempertahankannya, sampai rahasia tentang Vira terkuak. Dan apa hubungannya dengan Sinta, sejak Dewa memergoki kedua wanita itu di rumah sakit, pria berlesung pipi itu menyuruh orang kepercayaan
Keduanya masih beradu pandang, tetapi tiba-tiba ponsel wanita itu berdering. Dengan cepat ia bangkit dan beranjak dari tempat tersebut. Sementara Sinta masih memandangi punggung wanita itu yang kini menghilang di balik dinding."Ya, Allah. Gadis itu ... apa mungkin dia ... tidak mungkin, dia pasti hanya mirip," gumam Sinta, ia pun memilih untuk beranjak pergi. Pikiran Sinta kacau, sudah tua kali ia bertemu gadis itu.Di dalam ruangan, Bram tengah menemani putrinya. Salsa terus merengek meminta pulang, padahal dokter belum mengijinkan. Dan yang membuat Bram berpikir dua kali adalah, Salsa meminta pulang ke rumahnya, bukan ke rumahnya sendiri."Yah, boleh ya. Salsa ingin menenangkan pikiran, Salsa akan membawa si kembar juga," bujuknya. Salsa terus berusaha membujuk ayahnya agar mengijinkan dirinya untuk pulang ke rumahnya.Bram menghembuskan napasnya. "Baiklah, terserah kamu saja, tapi kamu harus izin dulu sama Dewa. Karena bagaiman