Share

Chapter 4

Pukul lima sore Salsa mulai mengerjapkan matanya, perlahan kelompok matanya terbuka sempurna. Salsa mengedarkan pandangannya, ia menangkap sosok pria yang tak lain adalah Dewa, suaminya. Terlihat jika pria berkemeja navy itu tengah duduk di sofa dengan, matanya fokus pada layar leptop yang ada di pangkuannya.

Perlahan Salsa bangkit dan duduk, ia melihat jika Dewa benar-benar sibuk dengan leptop yang berada di pangkuannya itu. Salsa teringat akan kejadian siang tadi, di mana Sinta yang tak lain ibu mertuanya itu sudah habis-habisan memaki dan menghinanya. Tak terasa air mata yang sedari tadi ia tahan kini luruh juga. Dewa yang menyadari sang istri sudah bangun, dengan segera ia bangkit dari duduknya.

"Salsa kamu sudah bangun?" tanya Dewa seraya berjalan menghampiri sang istri.

"Sudah, Om." Salsa mengangguk lalu dengan cepat menghapus air matanya.

Dewa duduk di sebelah istrinya itu, sementara Salsa nampak gelisah. Wanita bermata teduh itu masih memikirkan kejadian saat berada di resto. Dewa merasa heran dengan istrinya yang terlihat aneh itu. Tidak biasanya Salsa diam seperti itu, pria berkemeja navy itu terus memperhatikan raut wajah Salsa yang terlihat gusar itu.

"Salsa, kamu baik-baik saja kan?" tanya Dewa, tangan besarnya meraih jemari mungil sang istri.

"Ah, aku nggak apa-apa kok, Om. Aku hanya lelah saja," kilahnya. Tidak mungkin Salsa menceritakan yang sesungguhnya.

"Ya sudah, oh iya sebenarnya hari ini aku mau ke rumah mama. Mama ngajakin aku untuk makan malam, tapi sepertinya aku batalkan saja. Aku khawatir dengan keadaanmu yang seperti sekarang ini," ungkap Dewa. Jujur ia benar-benar khawatir dengan keadaan istrinya itu.

"Om Dewa perhatian banget, tapi setelah dia tahu yang sebenarnya. Pasti, om Dewa akan membenciku," batin Salsa dengan raut wajah sedih.

"Om pergi saja, aku nggak apa-apa kok. Aku hanya lelah dan ingin istirahat saja," ujar Salsa. Ia ingin jika Dewa tetap pergi ke rumah orang tuanya.

"Beneran kamu nggak apa-apa aku tinggal sendirian?" tanya Dewa untuk memastikan.

Salsa mengangguk. "Iya, Om. Aku nggak apa-apa kok."

"Ya sudah, kamu hati-hati ya. Aku nggak lama kok, jangan lupa buburnya di makan," ucap Dewa memperingati.

"Iya, Om." Salsa tersenyum, dan dibalas dengan kecupan mesra di bibir ranumnya oleh Dewa.

Setelah itu Dewa beranjak keluar dari kamar, jujur ia merasa tidak tenang saat harus meninggalkan Salsa sendirian di apartemen miliknya. Dewa berjalan menuju basemen untuk mengambil mobilnya. Setibanya di sana, pria dengan balutan kemeja berwarna putih dan dibalut dengan blazer berwarna biru tua bergegas masuk ke dalam mobil. Setelah itu Dewa melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi.

***

Mobil BMW i8 berwarna putih berhenti di pelataran rumah mewah berlantai dua. Selepas itu, seorang pria berlesung pipi keluar dari mobil mewah tersebut. Siapa lagi kalau bukan Dewa, ia berjalan masuk ke dalam rumah ibunya. Setibanya di dalam Dewa bergegas menuju ruang makan di mana ibu serta kakeknya sudah menunggu.

Dewa menghentikan langkahnya saat melihat bukan hanya ibu dan kakeknya yang berada di ruang makan. Melainkan, ada Viola dan kedua orang tuanya. Jujur, Dewa merasa malas saat melihat wanita itu. Pantas saja perasaannya tidak enak, ternyata ibunya sudah merencanakan semua ini. Sinta sengaja menyuruh putranya datang karena ada maksud tertentu.

"Dewa, ayo duduk. Kami sudah lumutan nungguin kamu," ujar Sinta. Sementara Dewa hanya menyunggingkan senyumnya.

Dewa berjalan menghampiri mereka, lalu menarik kursi dan duduk tepat di sebelah Viola. Wanita berhidung mancung itu tersenyum saat melihat pria idamannya duduk di dekatnya. Sementara Dewa hanya tersenyum tipis, pikiran pria itu tertinggal di apartemen. Dalam benak Dewa hanya ada Salsa, andai ia tahu akan seperti ini, pasti ia memilih untuk tetap bersama sang istri.

"Nak Dewa, bagaimana perusahaan yang kamu kelola sekarang?" tanya Rudy ayah Viola.

"Alhamdulillah lancar, Om. Saat ini ada empat  pembangunan yang sedang berjalan, salah satunya ada pusat perbelanjaan di Bandung," jawab Dewa.

"Wah, ini namanya calon menantu idaman. Iya kan, Jeng," puji Rianti, ibunda Viola.

Sinta tersenyum. "Iya, jadi nggak sabar melihat mereka menikah."

Uhuk, uhuk, Dewa terbatuk-batuk saat mendengar pembicaraan dua ibu-ibu yang berada di hadapannya. Ini yang Dewa tidak suka dengan sifat ibunya, yaitu suka maksa. Sejak SMP Sinta dan Surya kakeknya selalu menentukan apa yang akan Dewa lakukan. Bosan, itu yang ia rasakan, hidup tidak bebas tidak seperti teman-temannya.

"Dewa, kamu kenapa?" tanya Surya.

"Keselek, Kek," jawab Dewa, ia mengambil segelas air putih lalu meneguknya.

"Belum makan udah keselek," ucap Surya, sementara Rudy hanya tersenyum.

Setelah itu, mereka segera memulai ritual makan malam bersama. Meski sedang menyantap makanan mewah yang sudah Sinta suguhkan. Namun pikiran Dewa selalu tertuju pada Salsa, entah sedang apa gadis itu sekarang. Ingin rasanya Dewa berkata jujur pada ibu dan kakeknya kalau dirinya telah menikah. Akan tetapi, ia takut waktunya kurang tepat, terlebih jika kakeknya memiliki riwayat penyakit jantung. 

"Dewa, kamu kenapa? Aku perhatiin dari tadi seperti tidak fokus?" tanya Viola. Wanita berhidung mancung itu menatap pria yang duduk di sebelahnya.

"Ah, enggak apa-apa kok," elaknya. Tidak mungkin Dewa menceritakan yang sesungguhnya.

"Mungkin, Dewa sedang memikirkan seperti apa resepsi pernikahan kalian nanti," celetuk Sinta. Hal ini membuat Dewa tersedak, dengan cepat pria berlesung pipi itu meraih gelas untuk minum.

"Maksud, Mama apa?" tanya Dewa dengan penuh selidik.

"Sudah-sudah, kita bahas saja kapan tepatnya kalian berdua bertunangan," sela Surya. Hal itu membuat Dewa membulatkan matanya.

"Maksud, Kakek .... "

"Iya, itu lebih baik. Dewa, mama sama kakek ingin kalian berdua segera bertunangan. Dengan begitu .... "

"Maaf. Tapi, Dewa tidak bisa." Dewa memotong ucapan ibunya. Hal itu membuat senyum Viola memudar.

"Apa-apaan ini, Dewa kami sudah mempersiapkan semua ini. Kita tinggal mencari waktu dan hari yang tepat saja!" seru Surya. Pria berusia yang usianya hampir seabad itu menatap tajam ke arah cucunya.

Usia memang sudah tua, tetapi jiwanya masih muda. Surya juga merupakan tipe pria yang keras, apa yang sudah menjadi keputusannya, mau tidak mau harus dituruti. Maka tidak heran jika cucu dan kakek ini sering adu mulut karena perbedaan pendapat. 

"Nak Dewa tidak mau bertunangan dengan putri kami, Viola?" tanya Rudy. Seketika Dewa mengalihkan pandangannya ke arah pria berkemeja kotak-kotak itu.

"Dewa, bukannya kita sudah sepakat untuk .... "

"Sepakat untuk apa? Viola, aku sudah sering bilang sama kamu kalau selama ini aku cuma menganggapmu sebagai seorang sahabat, tidak lebih dari itu," potong Dewa dengan cepat, seketika mata Viola berkaca-kaca.

"Kakek tidak mau tahu, kalian berdua akan tetap bertunangan," sergah Surya dengan suara lebih tinggi.

"Kalau begitu, Kakek aja yang tunangan sama Viola. Aku sudah punya is ... pilihan sendiri." Dewa meletakkan garpu dan sendok yang ia pegang dengan sedikit kasar.

"Maaf, aku masih banyak urusan, permisi." Dewa bangkit dari duduknya dan beranjak pergi.

"Dasar cucu kurang ajar. Apa ini yang kami ajarkan padamu, tidak sopan dengan orang tua. Dewa! Mau kemana kamu, kakek belum selesai bicara! Dewa." Surya terus berteriak memanggil cucunya itu. Namun Dewa sama sekali tidak merespon.

"Sinta, lihat kelakuan anakmu itu! Bikin malu saja!" bentak Surya, seraya memegangi dadanya.

"Ayah, sabar ya. Jangan terbawa emosi, besok biar Sinta yang urus anak itu." Sinta mencoba menenangkan ayahnya itu.

"Viola, Jeng. Maafkan kelakuan, Dewa ya. Nanti biar .... "

"Iya tidak apa-apa, mungkin Dewa butuh waktu untuk berpikir," potong Rianti dengan sopan, ia tersenyum meski dalam hatinya merasa dongkol.

Kini Dewa sudah ada dalam perjalanan pulang. Pria beralis tebal itu tak henti-hentinya mengumpat kesal, ia benar-benar tidak habis pikir jika ibu dan kakeknya terus kekeh untuk melakukan perjodohan itu. Dewa pernah menolaknya dengan sopan, mereka tetap memaksa dirinya untuk bertunangan dengan Viola. Wanita yang selama ini Dewa anggap sebagai seorang sahabat, lebih dari itu.

***

Pukul sepuluh malam Dewa baru tiba di apartemen, pria beralis tebal itu segera masuk ke dalam kamar. Dewa melepas blazer yang melekat di tubuhnya, lalu melemparkannya ke sofa. Ia berjalan mendekat ke arah ranjang, terlihat jika sang istri sudah terlelap dalam mimpi indahnya. Dewa duduk seraya memandangi wajah ayu Salsa, bahkan bayangan saat ia mengganti baju Salsa masih tersimpan di memori otaknya.

"Salsa, kita memang menikah karena terpaksa. Dan mungkin lebih tepatnya, aku sudah terjebak pernikahan denganmu. Meski rasa cinta belum sepenuhnya tumbuh, tetapi aku yakin kamu adalah wanita yang dikirim Tuhan untukku. Dan kamu yang akan menjadi ibu dari anak-anakku." Dewa membelai lembut wajah istrinya itu.

Dewa mendekatkan wajahnya, pria berkemeja putih itu hendak mencium bibir ranum sang istri. Namun hal tak terduga terjadi, tiba-tiba saja mata Salsa terbuka. Seketika Salsa membulatkan matanya, bahkan wanita itu hendak berteriak jika Dewa tidak cepat membungkam mulut istrinya itu dengan bibirnya. Bahkan jemari Dewa menelusup ke sela-sela jari Salsa agar ia lebih leluasa. 

Setelah cukup lama, Dewa melepas benda kenyal tersebut. Napas Salsa terengah-engah, pasalnya wanita berambut panjang itu tidak tahu cara erespon apa yang sang suami lakukan. Meski begitu, Dewa sangat menikmatinya, ia tidak peduli jika istrinya itu tidak pandai melakukannya. Itu artinya jika Salsa jauh lebih baik dari wanita lain. Karena wanita seperti Salsa sangat sulit ditemukan. 

"Aku ingin hakku malam ini juga," pinta Dewa, sementara Salsa masih terdiam. 

"Jika aku menurutinya, apa aku tidak berdosa. Aku takut jika kami bersaudara, itu artinya hubungan kami .... " batin Salsa tiba-tiba terpotong saat Dewa kembali menyambar benda kenyal milik istrinya itu. 

Cukup lama Dewa melakukannya, hingga akhirnya Salsa dapat merespon dan menikmati apa yang sang suami lakukan. Lama-lama Salsa terbuai oleh sentuhan demi sentuhan yang Dewa berikan, desahan pelan yang keluar dari mulut istrinya itu membuat hasrat Dewa naik. Dewa tidak sabar ingin cepat menuntaskannya, mendayu di samudera cinta, agar dapat mencapai kenikmatan bersama. 

"Apa kamu sudah siap?" tanya Dewa. Seakan terhipnotis, Salsa langsung menganggukkan kepalanya.

Dewa tersenyum lalu kembali memcumbu mesra sang istri. Tangannya bergerak untuk melepas kancing kemejanya satu persatu. Setelah terlepas, Dewa membuka kemeja tersebut lalu ia lemparkan ke sembarang arah. Salsa meneguk salivanya sendiri saat melihat tubuh kekar sang suami. Dada bidangnya, serta  perutnya yang seperti roti sobek itu membuat Salsa tidak bisa berhenti memandanginya. 

Kini tubuh kedua sudah polos tanpa sehelai benang, dan Dewa sudah bersiap-siap untuk berolahraga agar bisa mencetak goal. Salsa terlihat ngeri saat sang suami akan memulai olahraga malamnya, ini adalah untuk yang pertama kakinya ia bersentuhan dengan seorang pria. Tinggal di desa dan jauh dari perkotaan membuat wanita berambut panjang itu kurang berpengalaman. 

"Om, sakit apa tidak?" tanya Salsa. 

"Enggak kok, paling seperti digigit semut," jawab Dewa. 

"Sakit dong, Om. Soalnya waktu kecil aku pernah digigit semut, bekas gigitannya bengkak," balas Salsa. 

Dewa menghela napas. "Mungkin kamu disengat lebah, tapi kamu ngiranya digigit semut."

"Beneran semut, Om. Masa, Om .... " ucapan Salsa terhenti saat Dewa membungkam mulutnya dengan benda kenyal milik suaminya itu. 

Tanpa menunggu lama lagi, Dewa langsung memulainya, ia tidak ingin mendengar apapun dari mulut istrinya itu. Perlahan jerami Salsa meremas seprai kuat-kuat saat Dewa tengah memulai olahraga malamnya. Tak terasa cairan bening itu menetes dari sudut mata Salsa. Entah bahagia atau apa yang kini ia rasakan, lantaran ia belum tahu siapa Dewa yang sesungguhnya. Rasanya campur aduk, ada rasa bahagia karena Salsa telah memberikan apa yang sangat berharga dalam hidupnya itu pada pria yang telah menghalalkannya. 

Namun ada rasa sedih, jika mereka terbukti bersaudara, karena Salsa belum tahu pasti kebenarannya. Namun untuk saat ini ia tidak ingin memikirkan hal tersebut. Salsa ingin menikmati kenikmatan yang tidak ada tandingannya. Dewa cukup puas dengan apa yang ia dapat untuk malam ini, ia berharap semoga benih yang ia tanam bisa cepat berbuah. Dengan begitu tidak ada yang bisa memisahkan mereka, meski itu kakeknya sendiri. 

Dewa berbaring di samping sang istri, tak lupa ia mengecup lembut kening Salsa. "Terima kasih, kamu telah menjaganya dengan baik. Dan kamu telah memberikannya pada pria yang telah sah menjadi suamimu."

"Sama-sama, Om." Salsa menganggukkan kepalanya. Rasanya tulang belulang Salsa remuk semua, pasalnya entah berapa kali Dewa mencetak goal.

"Ya Tuhan, semoga apa yang kami lakukan tidak salah," batin Salsa. Ia takut jika mereka benar-benar bersaudara. 

"Om, sekarang jam berapa?" tanya Salsa. 

Dewa melirik jam yang berada di atas nakas. "Jam tiga pagi, memangnya kenapa."

"Olahraganya sudah kan, Om. Aku capek, tubuhku rasanya remuk," ucap Salsa. Kepolosannya membuat Dewa merasa gemas. 

"Kalau lagi, memangnya kamu masih kuat?" tanya Dewa, dan dibalas dengan gelengan kepala oleh Salsa. 

"Ya sudah, sekarang kita tidur saja. Besok pagi aku ada meeting. Jadi harus bangun cepet." Dewa menarik tubuh mungil Salsa dalam dekapannya. 

Kini tubuh polos keduanya hanya terbungkus oleh selimut tebal. Salsa merasa sangat nyaman ada dalam dekapan sang suami, sementara Dewa semakin erat menedekap tubuh mungil istrinya itu. Ia tidak peduli dengan kisah selanjutnya yang akan terjadi di antara mereka berdua, jika ibu serta kakeknya mengetahui pernikahan tersebut. Yang jelas, saat ini dunia terasa milik berdua, yang lain hanya mengontrak

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status