Jantung Salsa berdetak lebih cepat, bahkan rasanya seperti mau loncat ke luar angkasa. Salsa tidak menyangka jika pria yang kini statusnya sebagai suaminya itu bisa melakukan hal di luar dugaan. Ia pikir jika Dewa tidak akan berani berbuat hal seperti itu, tetapi dugaannya meleset. Salsa bergegas bangkit tapi niatnya terhenti saat Dewa menarik tubuhnya hingga kembali jatuh di dekapan pria berlesung pipi itu.
"Mau kemana, hem?" tanya Dewa, ia meletakkan dagunya di pundak Salsa.
"Om jangan .... "
"Jangan apa? Jika aku ingin melakukannya, pasti sudah kulakukan. Tapi aku ingin melakukannya jika kamu benar-benar sudah siap." Dewa memotong ucapan Salsa, setelah itu ia beranjak dari ranjang dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi.
Salsa masih diam setelah mendengar penuturan Dewa, ia pikir jika suaminya itu tipe pria pemaksa, tetapi dugaannya itu salah. Salsa memegangi dadanya yang masih berdetak kencang tak karuan, ini adalah pertama kalinya ia di cium. Dan orang pertama yang menciumnya adalah suaminya sendiri.
"Om-om itu sudah mengambil ciuman pertamaku, aaaaa." Salsa berteriak sembari menghentakkan kakinya di atas ranjang.
"Salsa, tolong ambilkan aku handuk. Aku lupa tidak bawa," teriak Dewa dari dalam kamar mandi.
"Ambil aja sendiri," balas Salsa dengan berteriak pula.
"Ok, jadi kalau kamu siap lihat tubuh .... "
"Iya, iya aku ambilin. Di mana handuknya," potong Salsa dengan cepat.
"Di almari," teriak Dewa dari dalam kamar mandi, dalam hati pria itu tersenyum.
Salsa beranjak dari tempat tidur dengan terus mengoceh tak jelas, tak lupa ia juga menghentak-hentakkan kakinya. Wanita cantik itu membuka almari yang berada di kiri ranjang. Salsa cukup terkejut setelah melihat isi lemari tersebut, banyak handuk tersusun rapi. Dengan cepat Salsa mengambil satu handuk dan segera menutup almari tersebut.
Setelah itu ia beranjak menuju kamar mandi untuk memberikan handuk itu."Om, ini handuknya," teriak Salsa, ia berdiri membelakangi pintu kamar mandi.
"Mana, kamu kurang mundur," ucap Dewa, seraya mengeluarkan kepalanya.
"Ini, buruan." Salsa berjalan mundur dua langkah.
"Salsa kurang .... " belum sempat Dewa melanjutkan ucapannya, Salsa lebih dulu melempar handuk tersebut dan berlari naik ke atas ranjang.
"Astaga, Salsa," teriak Dewa saat handuk tersebut mengenai wajahnya.
Tiga puluh menit telah berlalu, kini Dewa tengah bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Saat ini pria berkemeja putih itu tengah berdiri di depan cermin sembari memasang dasi di lehernya. Sementara Salsa berjalan mondar-mandir tak jelas, hal ini membuat Dewa merasa heran dengan tingkah istri kecilnya itu.
"Kamu ngapain mondar-mandir kaya setrikaan gitu, kurang kerjaan banget," ucap Dewa seraya memakai jasanya.
"Om mau kemana?" tanya Salsa.
"Mau ke kantor lah, memangnya kenapa," jawab Dewa.
"Kalau, Om pergi, aku sendirian dong," sahut Salsa, bibirnya yang mungil itu seketika mengerucut.
"Salsa, ada yang mau aku omongin sama kamu. Duduk sini," ucap Dewa seraya berjalan menuju sofa.
"Salsa, sebelumnya aku minta maaf. Kalau untuk sementara waktu kita rahasiakan pernikahan ini dulu. Karena aku butuh waktu yang tepat untuk bicara dengan kakek dan mamaku," terangnya, Dewa berharap semoga Salsa mau mengerti.
Salsa terdiam sejenak. "Baik, Om. Aku nggak keberatan kok."
"Oya, nanti aku akan ganti uang yang sudah .... "
"Jangan pikirkan uang yang sudah terpakai. Aku tidak akan meminta ganti, bahkan aku akan memberinya lagi. Karena sekarang kamu adalah tanggung jawabku," potong Dewa dengan cepat.
"Om serius." Salsa menatap netra hitam milik suaminya.
"Apa aku terlihat sedang bercanda." Dewa memajukan wajahnya, kini wajah keduanya hanya berjarak beberapa centi saja.
"Om, kebiasaan cari ...." ucapan Salsa terhenti, saat benda kenyal milik Dewa menempel tepat di bibir ranumnya.
Mata Salsa melotot, lagi-lagi Dewa mencuri kesempatan untuk bisa menyentuh bibirnya itu. Dewa tersenyum saat melihat ekspresi wajah sang istri, bahkan wajah Salsa seketika bersemu merah. Dewa melepas bibirnya lalu bangkit dari duduknya, pria berjas itu berjalan menuju nakas untuk mengambil ponselnya. Sementara Salsa masih diam dengan detak jantung yang tidak karuan.
"Aku ke kantor dulu, kamu tetap di sini dan jangan kemana-mana," titah Dewa.
"I-iya, Om," sahut Salsa gugup.
"Kalau kamu lapar, di kulkas masih ada makanan tinggal kamu panasin aja," ucap Dewa.
Salsa menganggukkan kepalanya. "Iya, Om."
"Ya sudah aku pergi sekarang." Setelah berpamitan, Dewa beranjak keluar dari apartemen miliknya itu.
***
Mobil BMW i8 berwarna putih kini sudah berhenti di pelataran kantor. Selang beberapa menit seorang pria dengan balutan jas berwarna hitam keluar dari mobil mewah tersebut. Sebelum kakinya melangkah masuk ke gedung bertingkat itu, pria tersebut membenarkan jasnya terlebih dahulu. Selepas itu pria yang tak lain adalah Dewa bergegas berjalan masuk ke gedung megah itu.
Sepanjang ia berjalan, banyak karyawan yang menyapanya, sementara Dewa hanya tersenyum serta menganggukkan kepalanya dengan sopan. Saat Dewa tengah berjalan untuk menuju ke ruangannya, tiba-tiba terdengar suara yang memanggil namanya. Seketika Dewa menghentikan langkahnya dan menoleh ke sumber suara tersebut, suara yang sudah tidak asing baginya.
"Mama ngapain di sini?" tanya Dewa.
"Ada yang perlu, mama bicarakan. Ini soal Viola," ujar Sinta. Ibunda Dewa.
"Sekarang kamu ikut, mama." Sinta menarik tangan Dewa dan membawanya keluar dari gedung tersebut.
"Kita mau kemana, Ma. Dewa hari ini ada meeting," protesnya. Jujur Dewa kurang suka dengan sikap ibunya yang selalu memaksa.
"Meetingnya nanti siang, kamu pikir mama tidak tahu," ucap Sinta.
Alhasil Dewa hanya menurut, keduanya kini tengah berjalan menuju resto yang ada di seberang kantor milik Dewa. Kini ibu dan anak tersebut sudah berada di dalam resto, keduanya duduk saling berhadapan. Dewa nampak malas jika yang akan mereka bicarakan soal Viola, wanita yang telah dijodohkan dengan dirinya.
"Apa yang mau, katakan. Dewa tidak punya banyak waktu," ucap Dewa.
"Besok Viola pulang ke Indonesia, terus .... "
"Terus, Dewa harus bilang 'wow' gitu. Atau harus .... "
"Diem, mama itu belum selesai bicara. Kamu tuh ya, kebiasaan banget suka memotong pembicaraan orang tua," potong Sinta dengan cepat, ini bukan untuk pertama kalinya. Namun hampir berkali-kali, Dewa berbuat seperti itu.
"Kalau, Mama cuma ingin membicarakan tentang Viola, lebih baik kapan-kapan saja. Dewa masih ada urusan yang lebih .... " ucapan Dewa terhenti saat melihat jika orang di sekelilingnya tengah menatapnya dengan tatapan aneh.
"Lebih baik sekarang, Mama pulang. Dewa harus kerja, Ma." Dewa bangkit dari duduknya, ia beranjak keluar dari resto tersebut.
Sinta mendengkus kesal. "Anak itu tidak pernah berubah, keras kepala dan susah untuk diatur."
Setelah itu Sinta memutuskan untuk pulang, rasanya otaknya mau pecah setiap kali berdebat dengan putranya itu. Mereka memang jarang akur, keduanya sering berdebat karena selalu berbeda pendapat. Dulu Dewa memang sangat penurut, saat usianya masih remaja. Namun sekarang, pria berlesung pipi itu, sangat sulit untuk dikendalikan. Maka tak jarang jika mereka sering bertengkar.
***
Di apartemen Salsa nampak tengah membereskan kamar. Tidak terlalu berantakan sih, hanya saja ia bosan jika harus duduk dan duduk tanpa ada kegiatan apapun. Selepas membereskan kamar, kini wanita dengan balutan kaos lengan pendek dan celana di atas lutut bergegas menuju dapur. Perutnya sejak tadi sudah demo untuk minta diisi, setibanya di dapur Salsa segera membuka kulkas.
"Kok kosong sih, cuma ada telur sama buah doang. Katanya ada makanan," ucap Salsa setelah memuka kulkas tersebut.
Setelah itu Salsa kembali menutup pintu kulkas tersebut. Ia nampak kagum dengan keadaan dapur, meski Dewa seorang pria tetapi dapurnya bersih dan juga rapi. Salsa berjalan menuju almari yang berada di dapur tersebut, saat dibuka hanya ada mie instan. Berhubung perut sudah tidak bisa diajak kompromi lagi, dengan terpaksa Salsa memilih untuk merebus mie tersebut.
Hanya butuh lima belas menit kini Salsa sudah bisa menikmati mie yang baru saja ia masak. Salsa berjalan menuju sofa, ia menjatuhkan bobotnya tak lupa kembali menyalakan televisi. Salsa menikmati mie instan tersebut sembari menonton acara kesukaannya, yaitu Upin Ipin, terdengar sangat lucu memang. Namun itu adalah kenyataan, meski usia Salsa sudah sembilan belas tahun, tetapi ia masih suka menonton acara anak-anak.
"Ah, bosen juga nggak ngapa-ngapain. Mana baru jam dua lagi," ucap Salsa seraya merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
Salsa menatap langit-langit kamar yang bercat putih, pikirannya menerawang entah kemana. Tiba-tiba saja ia teringat akan almarhumah ibunya, andai saja ibunya masih ada mungkin beliau bisa merasakan apa yang kini Salsa rasakan. Ia tidak pernah menyangka jika dirinya akan menikah dengan konglomerat seperti Dewa. Namun ia masih merasa heran, kenapa pernikahan mereka harus disembunyikan.
"Apa mungkin, om Dewa sudah punya istri. Makanya dia minta untuk merahasiakan pernikahan ini," ucap Salsa tiba-tiba, lalu bangkit dari tidurnya.
"Kalau benar, om Dewa sudah punya istri ... astaga, om Dewa sama saja dong seperti ... aaa, sial banget sih hidup aku, andai saja ibu masih ada, mungkin kehidupanku tidak akan seperti ini." Salsa menundukkan kepalanya, ia merasa sedih saat ingat dengan kehidupan yang ia jalani.
***
Pukul delapan malam Dewa baru sampai di apartemennya, pria berlesung pipi itu bergegas masuk ke dalam. Setibanya di dalam ia tidak melihat Salsa, entah di mana istrinya itu. Dewa berjalan menuju ke kamar terlihat jika sang istri baru saja selesai mandi. Handuk berwarna putih masih melekat di tubuh mungil istrinya itu. Jujur, Dewa sangat tergoda dengan tubuh mulus Salsa.
"Salsa, kamu .... "
"Aaaaa. Dasar, Om mesum. Kenapa masuk kamar nggak bilang-bilang." Salsa menjerit sekencang mungkin seraya melempar pakaian yang hendak ia pakai.
"Salsa, kamu bisa .... "
"Om pasti mau ngintip iya kan. Dasar, Om-om mesum," potong Salsa dengan cepat.
Dewa berjalan menghampiri Salsa dengan tatapan mata yang tajam. Hal ini membuat wanita berambut panjang itu merasa ngeri, nyalinya seketika menciut. Bahkan Salsa memundurkan langkahnya saat Dewa semakin mendekat. Pria beralis tebal itu mengendurkan dasinya dengan tatapan mesum yang membuat Salsa ingin berlari.
"Jangan dibiasakan berteriak seperti itu. Kalau orang lain mendengarnya, nanti dikira aku ngapa-ngapain kamu, paham." Dewa menarik wajahnya lalu tersenyum nakal. Ia sangat suka melihat istrinya ketakutan dan tegang seperti itu.
"Cepat pakai bajumu, sebelum aku membuatmu berteriak kenikmatan." Dewa menutupi dada Salsa menggunakan baju yang ia pegang. Karena hal itu sangat menggoda imannya.
Melihat tatapan Dewa yang nakal itu, dengan cepat Salsa berlari masuk ke dalam kamar mandi. Sementara itu, Dewa memilih untuk merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Badannya terasa pegal semua, lelah dan letih sudah menguasai tubuhnya. Selepas memakai pakaian, Salsa keluar dan melihat suaminya sudah memejamkan matanya. Mungkin karena efek lelah yang membuat pria berlesung pipi itu cepat masuk ke dalam alam mimpi.
"Pasti dia sangat kelelahan." Salsa membenarkan posisi kaki suaminya itu. Tak lupa ia juga melepas sepatu yang masih menempel di kaki Dewa.
Setelah itu, Salsa Keluar dari kamar dan berjalan menuju dapur. Ia kembali membuka kulkas, dan isinya masih sama seperti siang tadi. Hanya ada buah dan telur, perut lapar ia juga kasihan jika suaminya belum makan. Alhasil Salsa memutuskan untuk membuat telur ceplok. Salsa mengambil dua butir telur, setelah itu ia beranjak menuju kompor.
Selang beberapa menit, tiba-tiba terdengar teriakkan Salsa dari arah dapur, Dewa terbangun dari tidurnya karena terkejut dan kaget mendengar teriakkan istrinya itu. Seketika Dewa bangkit dari tidurnya dan berlari menuju sumber suara tersebut. Setibanya di dapur, Dewa melihat jika Salsa tengah berdiri tak jauh dari kompor seraya menutupi kedua telinganya.
"Salsa, kamu kenapa." Dewa menarik tubuh istrinya ke dalam dekapannya. Ia merengkuh tubuh mungil istrinya dengan begitu erat.
Diam, Salsa sama sekali tidak menjawab pertanyaan dari suaminya itu. Yang dapat Dewa dengar hanya isakan tangis sang istri. Mendengar itu, Dewa semakin erat memeluk tubuh mungil Salsa. Dewa mencoba menenangkan sang istri, berharap semoga Salsa bisa merasa lebih tenang.
"Salsa, sebenarnya ada apa, hem?" tanya Dewa, ia melepas pelukannya dan menatap wajah pucat sang istri.
"Aku cuma mau buat telur ceplok untuk makan malam kita. Tapi tadi ... minyaknya kepanasan jadi aku kaget, aku takut karena dulu .... " Salsa menghentikan ucapannya, bibirnya bergetar serta bulir bening itu kembali luruh.
Melihat itu Dewa kembali merengkuh tubuh mungil Salsa. "Ya sudah, lain kali hati-hati ya. Tapi kamu bisa masak 'kan."
Salsa hanya menggelengkan kepalanya, hal ini membuat Dewa harus extra sabar. Ia merasa heran, jaman sekarang memang kebanyakan wanita tidak pintar di dapur. Kebanyakan wanita sekarang hanya pintar di ranjang, dan satu lagi. Yaitu pintar nguras ATM suami, dan mungkin Salsa adalah salah satu dari mereka. Namun melihat penampilannya, sepertinya istrinya itu bukan tipe istri yang boros.
Hari demi hari telah berganti, bahkan Minggu pun sudah berlalu. Pernikahan Dewa dan Salsa baru genap satu Minggu, dan selama seminggu ini wanita berambut panjang itu hanya menghabiskan waktunya di apartemen. Salsa sudah merasa bosan, dan hari ini ia ingin meminta izin untuk keluar dan menghirup udara di luar sana."Om, nanti aku mau keluar. Aku bosan di sini terus," ujar Salsa seraya memakaikan dasi di leher suaminya itu."Mau keluar kemana? Apa nanti nggak nyasar, hem?" tanya Dewa, jujur ia merasa khawatir jika istrinya itu keluar dari apartemennya. Karena memang Salsa belum begitu paham dengan kota Jakarta."Jalan-jalan lah, suntuk tahu di sini terus," jawab Salsa."Ok, tapi jangan jauh-jauh. Kamu belum hafal kota Jakarta, kalau kamu nyasar aku juga yang repot." Dewa pasrah, ia hanya bisa berpesan agar istri kecilnya itu untuk berhati-hati."Iya, Om tidak perlu khawatir." Salsa berjalan untuk mengambil jas. Tak lupa ia memakaikannya di tubuh kekar sua
Pukul lima sore Salsa mulai mengerjapkan matanya, perlahan kelompok matanya terbuka sempurna. Salsa mengedarkan pandangannya, ia menangkap sosok pria yang tak lain adalah Dewa, suaminya. Terlihat jika pria berkemeja navy itu tengah duduk di sofa dengan, matanya fokus pada layar leptop yang ada di pangkuannya.Perlahan Salsa bangkit dan duduk, ia melihat jika Dewa benar-benar sibuk dengan leptop yang berada di pangkuannya itu. Salsa teringat akan kejadian siang tadi, di mana Sinta yang tak lain ibu mertuanya itu sudah habis-habisan memaki dan menghinanya. Tak terasa air mata yang sedari tadi ia tahan kini luruh juga. Dewa yang menyadari sang istri sudah bangun, dengan segera ia bangkit dari duduknya."Salsa kamu sudah bangun?" tanya Dewa seraya berjalan menghampiri sang istri."Sudah, Om." Salsa mengangguk lalu dengan cepat menghapus air matanya.Dewa duduk di sebelah istrinya itu, sementara Salsa nampak gelisah. Wanita bermata teduh itu masih memikirkan kejad
Hari telah berganti, pukul enam pagi Dewa sudah siap dengan baju kantornya. Sementara Salsa terlihat tengah membuat kopi untuk sang suami. Selesai menyeduh kopi, wanita berambut panjang itu berjalan menghampiri Dewa yang tengah sibuk memasang dasi di lehernya. Salsa menyodorkan secangkir kopi capuccino yang masih mengebul."Kopinya, Om," ucap Salsa."Terima kasih." Dewa menerima kopi tersebut.Perlahan Dewa mulai menyeruput kopi panas tersebut, tetapi belum sempat meneguknya. Tiba-tiba Dewa menyemburkan kopi itu, Salsa yang berdiri di sebelahnya terlonjak kaget. Wanita dengan balutan kaos lengan pendek dan celana di atas lutut itu merasa heran. Apakah kopi yang Salsa buat tidak enak, sampai-sampai Dewa menyemburkannya."Kopinya tidak enak ya, Om?" tanya Salsa."Salsa, kamu buat kopi pakek apa sih. Kok rasanya asin," ujar Dewa dengan menahan amarahnya. Pria berjas hitam itu mengambil tisu untuk
Setelah menemukan kemejanya, Dewa segera mengangkat panggilan video dari ibunya itu. Pria berlesung pipi itu menutup telinganya saat ibunya yang berada di seberang sana tengah ngomel tidak jelas. Malas rasanya jika harus mendengar omelan sang ibu. Itu sebabnya Dewa memilih untuk menutup telinganya.[ Dewa, kamu dengerin mama ngomong apa nggak ][ Iya, Mamaku Sayang yang paling cantik ][ Mama mau lihat, apa ada orang selain kamu di situ ][ Nggak ada lah, Ma. Dewa kan sendirian ][ Kamu nggak lagi bohongin, Mama kan ][ Enggak, Ma ][ Ya sudah, udah malam mama mau tidur ][ Lah siapa suruh malam-malam pake acara video call segala ][ Kamu tuh ya .... ]Belum sempat Sinta melanjutkan ucapannya, Dewa lebih dulu mematikan sambungan video tersebut. Dewa melempar benda pipih miliknya itu, lalu ia merebahkan tubuhnya
Tidak terasa sebulan telah berlalu, selama sebulan ini Salsa bekerja di restoran milik Sinta, ibunda Dewa sekaligus ibu mertuanya. Selama ini Dewa tidak tahu jika istrinya bekerja di restoran milik ibunya, tetapi pria beralis tebal itu mulai merasa curiga. Pasalnya ia sering mendapati Salsa pulang larut malam. Jika ditanya, istrinya selalu beralasan pergi ke rumah temannya.Seperti malam ini, pukul sembilan Dewa sudah tiba di apartemen, tetapi sang istri belum. Saat ini Salsa masih ada dalam perjalanan pulang, jalanan macet yang membuat Salsa kerap kali pulang terlambat. Sementara itu, Dewa terlihat gelisah, karena istrinya belum juga sampai. Beberapa kali ia menelponnya, tetapi nomor tidak aktif."Salsa, kamu di mana sih. Udah malam belum juga pulang," gumam Dewa dengan kepanikan yang sudah menguasai dirinya.Selang beberapa menit, pintu apartemennya terbuka, seketika Dewa mengalihkan pandangannya. Terlihat seorang wanita dengan balutan kaos berwarna putih dan
Waktu menunjukkan pukul tiga sore, perlahan Salsa membuka kelopak matanya. Seketika terpejam kembali saat cahaya matahari masuk ke dalam kamar melalui jendela kaca. Perlahan Salsa mengerjapkan matanya untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina. Setelah cukup lama, Salsa memutuskan untuk bangkit, rasanya tulang belulangnya remuk semua. Dewa benar-benar sudah membuat tubuh Salsa seperti habis dipukuli.Salsa menoleh ke samping kiri, terlihat jika suami mesumnya itu masih berenang di alam mimpi. Ingin rasanya ia membangunkannya, tetapi tidak tega, lagi pula ini sudah sore tidak mungkin Dewa pergi ke kantor lagi. Selepas itu, Salsa memutuskan untuk beranjak dari dari tempat tidur, ia ingin berendam di air agar tubuhnya kembali fresh.Selang dua puluh menit, Salsa keluar dengan memakai handuk kimono. Wanita berambut panjang itu berjalan menuju almari untuk mengambil pakaian. Selepas itu, Salsa segera memakai pakaiannya sebelum sang suami terbangun. Setelah berpamitan, Sal
Salsa menyeka air matanya saat melihat suaminya, ia tidak ingin jika Dewa tahu tentang apa yang terjadi tadi di toilet. Salsa bisa saja mengadukan itu semua, tapi ia bukan tipe orang yang suka mengadu. Sementara itu, Dewa langsung menghampiri sang istri dengan perasaan panik. Ia tidak suka melihat wanitanya menangis."Salsa, ada apa? Kenapa kamu menangis?" tanya Dewa dengan panik, untung saja tidak ada orang lain selain mereka berdua."Eng-enggak, aku nggak nangis. Tadi habis cuci muka, makanya basah," dustanya. Salsa tidak ingin memperpanjang masalah tersebut.Dewa mengernyitkan keningnya. "Beneran kamu ... tapi matamu merah.""Oh, ini ... katanya, Om ada meeting." Salsa sengaja mengalihkan pembicaraan.Dewa menepuk jidatnya sendiri. "Oh, iya aku sampai lupa. Sekarang kamu ikut aku ke ruangan."Dewa melangkahkan kakinya dengan diikuti oleh Salsa. Wanita berambut panjang itu sedikit kewalahan mengikuti langkah suaminya, bahkan Salsa hampir saja te
Dua Minggu sudah kejadian itu berlalu, tetapi Salsa dan Dewa masih saja saling diam. Keduanya terlihat enggan dan canggung saat bertatap muka, bahkan Salsa sering menghindar jika berhadapan dengan sang suami. Hari ini Salsa sengaja datang ke kantor lebih awal, bahkan wanita itu memilih untuk naik taksi dibandingkan berangkat bersama dengan suaminya.Setibanya di kantor, Salsa bergegas untuk masuk ke ruangan. Ia ingat jika ada banyak berkas yang harus ia periksa sebelum diserahkan pada Dewa. Salsa berjalan menuju lantai empat puluh di mana ruangan Dewa berada. Namun langkahnya terhenti saat ada suara yang memanggilnya. Dengan terpaksa Salsa menghentikan langkahnya dan menoleh ke sumber suara tersebut."Bu Sinta. Mati aku," batin Salsa saat melihat jika ibu mertuanya itu yang sudah memanggilnya."Ikut aku." Sinta menarik tangan Salsa dan membawanya ke toilet."Jadi benar, kamu bekerja di sini?!" tanya Sinta dengan menahan amarahnya."I-iya, maaf kala