Hari telah berganti, pukul enam pagi Dewa sudah siap dengan baju kantornya. Sementara Salsa terlihat tengah membuat kopi untuk sang suami. Selesai menyeduh kopi, wanita berambut panjang itu berjalan menghampiri Dewa yang tengah sibuk memasang dasi di lehernya. Salsa menyodorkan secangkir kopi capuccino yang masih mengebul.
"Kopinya, Om," ucap Salsa.
"Terima kasih." Dewa menerima kopi tersebut.
Perlahan Dewa mulai menyeruput kopi panas tersebut, tetapi belum sempat meneguknya. Tiba-tiba Dewa menyemburkan kopi itu, Salsa yang berdiri di sebelahnya terlonjak kaget. Wanita dengan balutan kaos lengan pendek dan celana di atas lutut itu merasa heran. Apakah kopi yang Salsa buat tidak enak, sampai-sampai Dewa menyemburkannya.
"Kopinya tidak enak ya, Om?" tanya Salsa.
"Salsa, kamu buat kopi pakek apa sih. Kok rasanya asin," ujar Dewa dengan menahan amarahnya. Pria berjas hitam itu mengambil tisu untuk mengelap mulutnya.
Salsa terdiam sejenak. "Kalau asin, berarti itu rasa garam, Om."
"Sejak kapan buat kopi pake garam?!" tanya Dewa dengan suara yang sedikit tinggi.
Salsa hanya tersenyum. "Aku pikir tadi gula, Om. Nggak tahunya garam."
"Huft. Sabar, Dewa ini adalah pilihanmu. Mau tidak mau kamu harus menerima konsekuensinya karena menikahi gadis polos seperti dia," gumam Dewa seraya mengelus dadanya.
"Dada, Om sakit ya." Dengan polosnya Salsa memegang dada bidang suaminya itu. Bahkan Salsa menempelkan telinganya di depan dada Dewa, terdengar jelas degup jantung pria berlesung pipi itu.
"Kok jantung, Om .... "
"Minggir, aku bisa telat. Dan ini semua gara-gara kamu, buat kopi aja nggak bisa." Dewa mendorong pelan tubuh mungil istrinya itu. Jujur, ia merasa jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya saat berdekatan dengan sang istri.
Salsa hanya diam dengan terus memperhatikan sang suami. Sementara itu Dewa tengah sibuk memakai sepatutnya, pria berlesung pipi itu akan berangkat ke kantor lebih awal, lantaran pagi ini akan ada meeting. Dan mungkin untuk hari ini Dewa akan lebih banyak menghabiskan waktu di luar.
"Aku berangkat sekarang ya, ingat jangan keluar tanpa meminta izin dariku," ucap Dewa seraya merapikan jasnya.
"Iya, Om," sahut Salsa.
"Aku pergi dulu." Dewa mencium kening Salsa.
"Iya, Om hati-hati di jalan." Tak lupa Salsa mencium punggung tangan suaminya itu.
Dewa bergegas keluar dari apartemennya itu, setelah sang suami pergi. Kali ini tinggal Salsa bersiap-siap untuk pergi. Terpaksa ia tidak menceritakan tentang masalah almarhumah ibunya. Salsa rajut kalau hal itu akan menjadi masalah untuk dirinya dan juga sang suami. Selesai bersiap-siap wanita dengan balutan kemeja berwarna putih serta rok hitam selutut bergegas untuk pergi.
Salsa kini sudah berada di jalan raya, ia tengah berdiri di pinggir jalan untuk menunggu taksi yang ia pesan. Cukup lama Salsa menunggu, sesekali ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya itu. Dan jam sudah menunjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh menit.
***
Mobil BMW i8 berwarna putih berhenti di pelataran kantor. Selang beberapa menit, pemilik mobil tersebut yang tak lain adalah Dewa bergegas keluar. Sebelum melangkahkan kakinya, Dewa terlebih dahulu merapikan jasnya. Selepas itu pria berlesung pipi itu beranjak masuk ke dalam gedung bertingkat yang megah itu. Banyak karyawan yang menyapanya, sementara Dewa hanya tersenyum dan mengangguk.
"Maaf, Tuan. Tuan Rendra sudah menunggu anda di ruang meeting," ucap Winda salah satu pegawai di kantor Dewa.
"Oh, iya. Cepat sekali, ya sudah kita langsung ke ruang meeting." Dewa mempercepat langkahnya dengan diikuti oleh Winda.
Dewa dan Winda sudah tiba di ruang meeting, pria berlesung pipi itu segera berjalan menuju kursinya, begitu juga dengan Winda. Setelah semuanya hadir, meeting pun akan segera di mulai. Selama meeting berlangsung, Dewa sama sekali tidak bisa fokus. Pikirannya selalu tertuju pada istrinya yang konyol itu, meski begitu tetapi entah kenapa Dewa lebih menyukai wanita seperti Salsa.
Dewa merasa nyaman berada di samping Salsa, walaupun mereka menikah karena terpaksa tetapi ada rasa dan kesan tersendiri atas pernikahan yang mereka jalani itu. Salsa memang wanita polos, dan itu yang membuat Dewa sangat menyukainya. Karena Salsa masih bersih belum terkontaminasi dengan pergaulan dan budaya dari luar sana.
***
Sementara itu, saat ini Salsa sudah tiba di alamat yang Sinta berikan. Pikirannya campur aduk, tetapi ia bertekad untuk bisa melunasi hutang almarhumah ibunya itu. Meski ia tahu, jika uang serta perhiasan yang ibunya miliki semua pemberian dari sang ayah. Namun, ia tidak ingin terkena masalah yang lebih berat lagi. Salsa sudah sangat paham dengan trik orang berada.
"Mulai sekarang kamu akan bekerja di resto ini. Jangan pernah macam-macam, mengerti," ucap Sinta. Ia sengaja memperkerjakan Salsa di resto miliknya itu.
"Jadi saya .... "
"Ganti pakaianmu, dan cepat bekerja," potong Sinta dengan cepat, seraya melempar baju ganti pada Salsa.
"Buruan sana." Sinta mendorong tubuh Salsa dengan sedikit kasar.
Salsa berjalan ke belakang menuju kamar mandi untuk mengganti pakaiannya dengan seragam yang Sinta berikan. Salsa bergidik ngeri saat seragam tersebut sudah melekat di tubuhnya yang mungil itu. Kemeja ketat berwarna putih, serta rok mini berwarna hitam yang berada di atas lutut. Ia merasa risih memakai pakaian yang mini seperti itu. Namun jika tidak, bisa-bisa Sinta menelannya hidup-hidup.
"Ibu, aku janji. Aku akan segera melunasi hutang ini. Meski sebenarnya ini bukan hutang, tetapi aku tidak punya pilihan lain." Salsa memejamkan matanya sejenak.
Jujur, Salsa merasa ini tidak adil, tetapi ia baru tahu jika ayahnya memiliki seorang istri selain almarhumah ibunya. Salsa tidak menyangka jika, Bram---ayahnya telah memiliki seorang istri, sebelum menikahi almarhumah ibunya. Sekarang ia bingung sendiri, karena sudah hampir dua tahun, Bram tidak pernah mengunjungi dirinya.
"Jika ayah tahu, apa ayah akan membelaku. Atau justru ayah .... "
"Cepat keluar, di luar banyak pelanggan." Seseorang menggedor pintu kamar mandi membuat Salsa terlonjak kaget.
"Iya, sebentar lagi aku keluar," ucap Salsa dari dalam. Ia bergegas untuk keluar, ia tidak mau jika sampai Sinta tahu.
Dengan terpaksa, Salsa keluar dari kamar mandi. Rasanya tidak percaya diri saat ia melangkahkan kakinya menuju ke depan. Salsa berjalan ke arah dapur untuk membawa pesanan makanan dari para pelanggan. Sesekali ia melirik teman kerjanya, mereka terlihat nyaman saat mengenakan seragam kerja tersebut. Namun tidak dengan Salsa, ia benar-benar tidak merasa nyaman.
***
Pukul tujuh malam, Salsa baru tiba di apartemen. Ia bernapas lega lantaran Dewa belum pulang, iya kali ini Salsa bisa selamat tapi tidak tahu untuk ke depannya. Setelah mengganti pakaian, wanita berambut panjang itu segera menyiapkan makan malam untuk sang suami. Meski hanya bisa membuat nasi goreng, tetapi Dewa tidak pernah menolaknya.
"Untung, om Dewa belum pulang." Salsa menghela napas setelah selesai menyiapkan makan malam.
"Maafkan aku ya, om. Aku tidak bisa menceritakan tentang masalah ini. Aku juga masih harus mencari kebenarannya," gumam Salsa.
Selepas itu, Salsa memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Namun belum sempat masuk ke dalam kamar mandi, tiba-tiba pintu apartemennya di ketuk. Salsa merasa heran, mungkinkah ada tamu. Karena jika Dewa yang pulang, pasti akan langsung masuk. Cukup lama Salsa terdiam, setelah itu ia memutuskan untuk membuka pintu apartemennya.
"Kenapa nggak langsung masuk aja sih, om. Biasanya juga .... " ucapan Salsa terhenti saat melihat seorang wanita dengan baju kurang bahan sudah berdiri di depan pintu.
"Maaf .... "
"Kamu siapa?" tanya wanita tersebut.
"Kok malah dia yang tanya sih, seharusnya kan aku yang tanya. Nih orang aneh banget, aku kerjain batu tahu rasa," batin Salsa.
"Aku Salsa, Tante sendiri siapa." Salsa mengulurkan tangannya, tetapi wanita itu menepisnya.
"Sial, dia pikir aku tante-tante apa," batin wanita tersebut. Terlihat jelas jika wanita itu tengah menahan emosinya.
"Mana Dewa, aku ke sini mau ketemu sama dia. Bukan sama pembantu seperti kamu," ujar wanita itu dengan tatapan sinis.
"Apa, dia bilang aku pembantu. Enak aja, dasar tante-tante pake baju aja kurang bahan seperti itu," batin Salsa. Hatinya merasa dongkol saat wanita itu mengira jika ditanya seorang pembantu.
"Om Dewa belum pulang, paling sebentar lagi. Masuk dulu, Tante mending nunggu di dalam aja." Salsa mempersilahkan wanita itu untuk masuk ke dalam.
Dengan perasaan dongkol wanita dengan baju kurang bahan itu masuk ke dalam. Salsa terus memperhatikan wanita itu yang usianya mungkin tak jauh dari Dewa. Namun penampilannya membuat Salsa bergidik ngeri, dress berwarna biru dengan belahan dada yang sedikit terbuka. Mungkin seperti itu gaya fashion orang-orang berada seperti wanita tersebut. Yang namanya saja Salsa tidak tahu, serta maksud dan tujuannya apa.
"Aku buatkan minum dulu ya," ujar Salsa, dan dibalas dengan anggukan kecil oleh wanita itu.
Seleng beberapa menit, Salsa keluar dengan membawa nampan berisi segelas air putih. Ia menyodorkan gelas tersebut pada wanita yang tengah duduk di sofa. Wanita itu mendongak dan menatap tajam ke arah Salsa. Sementara Salsa hanya tersenyum, dan hal itu membuat heran wanita tersebut.
"Silahkan diminum, Tante," ujar Salsa.
Tanpa merasa curiga wanita itu meneguk minuman yang Salsa berikan. Belum sempat meneguknya, tiba-tiba wanita itu menyemburkan minuman tersebut. Entah apa penyebabnya sehingga air minum yang Salsa bawa ia semburkan. Sementara Salsa menahan tawanya dalam hati, mungkin ini semua hasil dari perbuatannya.
"Heh, kamu kasih aku minum apa?! Kenapa rasanya asin!" bentak wanita itu dengan kasar.
"Hah, yang benar saja. Tante itu air putih, mana ada air putih rasanya asin," alibinya. Salsa mencoba untuk menyangkalnya.
"Kamu coba sendiri kalau nggak percaya." Wanita itu memberikan minuman tersebut pada Salsa.
"Ya udah sini." Salsa menerimanya, lalu meminum air tersebut. Detik berikutnya, Salsa melakukan apa yang wanita itu lakukan, yaitu menyemburkan minuman tersebut.
"Aaaaa, dasar beg* kenapa muka saya yang kamu sembur!" teriak wanita itu saat Salsa menyemburkan minuman itu tepat di wajah wanita tersebut.
"Maaf, Tante nggak sengaja. Habisnya asin banget," ujar Salsa sembari cengengesan.
"Dasar pembantu kurang ajar!" teriaknya lalu bangkit dan berlalu dari hadapan Salsa.
Wanita itu pergi dengan perasaan dongkol, sementara Salsa tertawa puas karena berhasil mengerjainya. Selepas wanita itu pergi, tiba-tiba Dewa sampai. Pria beralis tebal itu berjalan masuk ke dalam dan mendapati sang istri yang tengah senyum-senyum sendiri sembari memegang gelas. Dewa merasa heran dengan istrinya itu, ia pun berjalan mendekatinya.
"Kamu ngapain senyum-senyum gitu. Obatnya habis ya," ujar Dewa dengan menatap aneh sang istri.
"Om udah pulang. Ish sembarangan banget kalau ngomong. Om pikir aku gila apa," ujar Salsa dengan cemberut.
"Habisnya, ngapain senyum-senyum begitu," ucap Dewa lalu menjatuhkan bobotnya di sofa.
Salsa ikut duduk di samping Dewa, setelah itu ia menceritakan kejadian yang baru saja terjadi. Salsa bercerita tentang kedatangan wanita aneh itu, ia juga menceritakan jika dirinya telah berhasil mengerjai tamu tak diundang itu. Dewa tertawa mendengar cerita sang istri, ia tidak menyangka jika kelakuan Salsa benar-benar sudah kelewat batas. Namun ia merasa penasaran dengan wanita yang baru saja datang.
"Seneng bisa ngerjain orang?" tanya Dewa dan dibalas dengan anggukan semangat dari Salsa. Sementara Dewa hanya menggelengkan kepalanya.
"Salah dia sendiri, udah ngatain aku pembantu. Aku kan bukan pembantu, tapi aku .... "
"Istri seorang CEO di perusahaan terbesar di kota ini," potong Dewa, lalu mengecup sekilas benda kenyal milik sang istri.
"Om tuh kebiasaan .... " ucapan Salsa kembali terpotong, lantaran Dewa kembali menyambar benda kenyal tersebut.
Kali ini Dewa menarik tubuh sang istri dan menekan tengkuknya agar bisa memperdalam. Tangan kanannya bergerak melepas kancing kemejanya satu persatu, sementara Salsa hanya bisa pasrah dan menikmati apa yang sang suami berikan. Napas Dewa semakin memburu, ia melempar kemejanya yang sudah terlepas.
Sementara Salsa menelan salivanya sendiri saat melihat tubuh kekar sang suami. Dewa kembali menyerang sang istri, hingga Salsa terbuai dengan apa yang suaminya berikan. Dewa merebahkan tubuh istrinya di sofa. Namun tiba-tiba, aktivitasnya terhenti saat mendengar suara handphone yang berbunyi. Keduanya saling menatap, lalu Dewa bangkit dan meraih benda pipih miliknya itu.
"Mama." Dewa terkejut saat melihat sebuah panggilan video dari ibunya.
"Ada apa, Om?" tanya Salsa, dengan menautkan alisnya, ia merasa heran dengan sikap suaminya yang tiba-tiba berubah panik.
"Mama video call, cepet kamu ngumpet. Bajuku mana." Dengan panik Dewa menyuruh Salsa untuk sembunyi, sementara ia mencari kemejanya yang dilemparkannya tadi.
Lima tahun telah berlalu, kehidupan rumah tangga Dewa dan Salsa semakin membaik dan harmonis. Bahkan kini mereka akan kembali di karunia bayi kembar lagi, saat ini Salsa tengah hamil sembilan bulan. Mereka tinggal menunggu waktunya kapan bayi kembar akan lahir, dan itu adalah masa-masa yang tengah Dewa dan Salsa nanti-nantikan.Salsa merasa tenang karena sudah tidak ada lagi pengganggu. Alina dinyatakan meninggal saat kejadian dulu, di mana tubuh wanita itu tertabrak oleh truk. Sejak saat itu, Salsa merasa hidupnya tenang dan juga nyaman. Sementara itu, Vira menjalani kehidupannya dengan Sinta, ia tidak merasa kesepian lagi, kasih sayang yang Vira dambakan, kini telah ia dapatkan."Mas, kok aku tiba-tiba pengen nyium Reno ya," ucap Salsa tiba-tiba. Saat ini ia dan Dewa tengah duduk santai di taman samping rumah."Jangan sembarangan kamu, kalau minta jangan yang aneh-aneh ngapa. Masa ngidam pengen nyium Re
Tidak terasa air matanya jatuh tanpa meminta izin. Bahkan ponsel di tangannya ikut jatuh, marah dan kecewa menjadi satu. Tega-teganya orang yang sangat ia percaya berhianat. Salsa tidak pernah menyangka kalau Dewa bisa berbuat hal serendah itu."Kamu tega, Mas. Kamu bilang mau ke kantor, tapi nyatanya ... sudah cukup aku bertahan, aku tidak sanggup lagi," lirihnya, Salsa menyeka air matanya, lalu memandangi si kembar yang tengah tertidur.Selang berapa menit, terdengar suara deru mobil, sudah dapat dipastikan jika itu adalah Dewa. Dan benar saja, tidak butuh waktu lama pintu kamar terbuka. Terlihat Dewa masuk ke dalam, bahkan pria berlesung pipi itu langsung memeluk tubuh Salsa dari belakang. Namun Salsa hanya diam, bahkan langsung melepas pelukan suaminya itu."Sayang kamu kenapa?" tanya Dewa, kedua alisnya saling bertautan, heran."Tidak usah pura-pura tidak tahu," jawab Salsa. Hatinya terasa sakit dengan foto yang ia terim
Kini Salsa sudah tiba di depan ruang rawat Dewa, saat hendak masuk terdengar samar-samar orang bicara dari dalam. Salsa berpikir jika ayahnya sudah sampai, untuk memastikan, Salsa membuka pintu ruangan tersebut. Seketika mata Salsa membulat sempurna saat melihat bukan ayahnya yang berada di dalam, melainkan wanita yang telah lama menghilang, dan sekarang dia kembali lagi."Mau apa kamu kembali lagi, lebih baik sekarang kamu pergi dari sini!" bentak Salsa. Ia tidak menyangka kalau perempuan itu kembali lagi, perempuan yang sudah banyak membuat rumah tangga Salsa dan Dewa berantakan."Apa kamu lupa kalau aku adalah calon istri, Dewa." Dengan santainya perempuan itu berjalan menghampiri Salsa, dia adalah Alina. Perempuan berhati iblis yang sudah mencelakai Salsa."Sayang, kamu benar kan akan menikahiku?" tanya Alina seraya berjalan menghampiri Dewa yang masih duduk di atas brangkar."Iya." Dewa menganggukan kepalanya."Aku ngga
Seketika Salsa dan Bram terkejut mendengar ucapan Vira. Bahkan, dunia serasa berhenti berputar, persendian Salsa terasa lemas seketika. Ia tidak menyangka kalau Vira akan memakai kesempatan ini demi keuntungannya sendiri."Kamu sudah gila! Kamu pikir kamu siapa hah!" bentak Salsa, ia benar-benar geram dengan apa yang Vira ucapkan."Jangan mentang-mentang kamu anak, Mama Sinta. Jadi bisa seenaknya seperti ini, iya." Salsa menatap tajam wanita yang berdiri di sebelah Sinta."Silahkan kamu mau teriak atau apa, aku tidak peduli. Nyawa suamimu ada di tanganku," ujar Vira dengan santai."Kamu bukan Tuhan, jadi kamu tidak bisa menentukannya," sahut Salsa. Seketika Vira menatap tajam ke arah Salsa."Sudah, jangan bertengkar lagi. Salsa, mama minta maaf, jika keputusan mama ini salah. Namun demi kebaikan Dewa, tolong .... ""Enggak, Ma. Aku nggak mau pisah sama, mas Dewa. Bagaimana dengan anak-anak nanti," potong Salsa,
Kini Dewa dan Salsa sudah berada di rumah sakit, Dewa langsung mendapat penanganan oleh dokter. Bahkan saat ini pria berlesung pipi itu berada di ruang ICU, kondisinya kritis. Benturan di kepala yang keras membuat Dewa mengalami pendarahan di otak, bahkan saat ini ia membutuhkan donor darah. Namun, sampai sekarang belum ada darah yang cocok.Berbeda dengan Salsa, luka yang ia alami memang tak separah suaminya. Namun, Salsa harus rela kehilangan calon anaknya yang masih dalam kandungan. Akibat benturan yang keras membuatnya keguguran, saat ini Salsa sudah sadarkan diri bahkan ia tengah menemani suaminya yang tergeletak tak berdaya, dengan beberapa alat medis menempel di badan.Sinta, dan Bram sudah ada di rumah sakit, bahkan Arman yang mendengar kabar itu seketika terbang ke Indonesia. Arman memang sosok ayah yang sangat peduli dengan anaknya. Mereka hanya bisa berdo'a semoga Dewa bisa secepatnya mendapatkan donor darah. Arman memang bisa mendonorkan darahny
Kakek Surya menghembuskan napas terakhirnya, lantaran terkena serangan jantung. Dewa tidak menyangka kalau kakeknya akan pergi dengan cara seperti itu. Begitu juga dengan Sinta. Ia merasa bersalah, karena masalah yang ia ciptakan, menjadi akhir hidup seseorang yang sangat ia sayangi.Jenazah sudah dimandikan, bahkan sudah dikafani dan dishalatkan. Kini mereka tengah menunggu kabar dari makam, apakah sudah selesai membuat makam atau belum. Banyak tetangga, kerabat bahkan teman-teman kakek Surya yang datang. Pengusaha dan para pejabat pun saling berdatangan, terlebih kematian yang mendadak membuat mereka tidak percaya.Dewa duduk tepat di samping kepala almarhum kakek Surya, ia merasa sedih dengan kematian kakeknya yang mendadak itu. Sementara Sinta duduk berseberangan dengan putranya, ia tak kalah sedih, bahkan air matanya terus mengalir. Selang sepuluh menit, Salsa datang bersama dengan Bram. Wanita hamil itu bergegas masuk ke dalam dan duduk di sebelah sua
Sementara telepon itu masih saja berbunyi, Vira terus meminta tolong pada Dewa, dengan suara tangisannya yang begitu memekakan telinga. Sementara Dewa bingung harus berbuat apa. Di sisi lain ia merasa kasihan, tetapi ia juga tidak mau bertengkar lagi dengan istrinya."Kalau dia lebih penting, silahkan pergi. Tapi jika aku lebih penting, tetap di sini," ujar Salsa. Bukannya mau egois, tapi ia istrinya. Seharusnya Dewa lebih mementingkan istri dari pada orang lain.Dewa menghela napas, ia bingung harus berbuat apa. Tidak mungkin ia memaksa pergi, bisa-bisa nanti istrinya tidak mengizinkan dirinya untuk bertemu dengan si kembar dan sang istri. Dewa menoleh Salsa yang masih memunggunginya, sementara ponselnya masih saja berbunyi.[Maaf, saya tidak bisa. Saya sedang ..... ]Terdengar jika Vira berteriak memanggil kakaknya, bahkan suara tangisannya semakin kencang. Dewa benar-benar merasa tidak tega, ia bingung harus berbuat apa. Mana yang har
Satu minggu telah berlalu, dan selama seminggu ini Salsa tinggal di rumah Bram, bersama dengan si kembar. Sementara Dewa, memilih untuk mengalah, dan setiap dari kantor, ia selalu menyempatkan diri untuk berunjuk ke rumah ayahnya, menemui istri dan anak-anak. Rasanya sehari saja tidak melihat mereka, sudah seperti satu bulan.Lalu, untuk masalah ibunya dan Vira, Dewa masih mencari informasi tentang hubungan mereka berdua. Dewa berharap semoga ibunya tidak menyembunyikan apapun dari dirinya. Sudah cukup dulu Sinta menyembunyikan siapa ayah kandung Dewa. Kali ini, ia tidak ingin ada rahasia lagi yang tersembunyi antara mereka.Sementara itu, Vira juga masih bekerja di kantor Dewa, memang jika diperhatikan, ada yang tidak beres dengan wanita itu. Namun, Dewa akan tetap mempertahankannya, sampai rahasia tentang Vira terkuak. Dan apa hubungannya dengan Sinta, sejak Dewa memergoki kedua wanita itu di rumah sakit, pria berlesung pipi itu menyuruh orang kepercayaan
Keduanya masih beradu pandang, tetapi tiba-tiba ponsel wanita itu berdering. Dengan cepat ia bangkit dan beranjak dari tempat tersebut. Sementara Sinta masih memandangi punggung wanita itu yang kini menghilang di balik dinding."Ya, Allah. Gadis itu ... apa mungkin dia ... tidak mungkin, dia pasti hanya mirip," gumam Sinta, ia pun memilih untuk beranjak pergi. Pikiran Sinta kacau, sudah tua kali ia bertemu gadis itu.Di dalam ruangan, Bram tengah menemani putrinya. Salsa terus merengek meminta pulang, padahal dokter belum mengijinkan. Dan yang membuat Bram berpikir dua kali adalah, Salsa meminta pulang ke rumahnya, bukan ke rumahnya sendiri."Yah, boleh ya. Salsa ingin menenangkan pikiran, Salsa akan membawa si kembar juga," bujuknya. Salsa terus berusaha membujuk ayahnya agar mengijinkan dirinya untuk pulang ke rumahnya.Bram menghembuskan napasnya. "Baiklah, terserah kamu saja, tapi kamu harus izin dulu sama Dewa. Karena bagaiman